Anda di halaman 1dari 18

KAJIAN ATAS KARYA ABDULLAH AHMED AN-NA’IM

“ DEKONTRUKSI SYARIAH ”
Oleh :
Minanur Rohman Mahrus Maulana
15771049

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada kesempatan kali ini, penulis akan memaparkan makalah yang
berjudul Kajian atas pemikiran Abdullah Ahmed An-Naim “Dekontruksi
Syariah”. Abdullah Ahmed An-Naim adalah seorang pemikir muslim
kelahiran Sudan, murid dari seorang tokoh sufi yang terkenal dari sudan
namanya adalah mahmud muhammad taha.
Menurut penulis, An-Naim merupakan salah satu tokoh muslim yang
penting untuk dibahas, karena ia adalah salah satu dari sedikit tokoh muslim
yang mencoba untuk memikirkan ulang hubungan antara ajaran Islam dengan
gagasan modern mengenai hak asasi manusia. Ada banyak hal di dalam
praktek gerakan Islam modern yang menurut An-Naim bermasalah karena
bertentangan dengan gagasan HAM modern.
Di tengah besarnya perbedaan pendapat di dunia muslim tentang
interpretasi dan aplikasi Syariah, An-Naim mencoba mengembangkan
gagasan-gagasan pembaharu dengan basis teoritis pendekatan evolusioner. Ia
berusaha membangun jalan berfikir Islam yang memberi topangan bagi
berkah sekularisasi, seperti toleransi antar agama, hak dan status yang setara
bagi laki-laki dan perempuan serta muslim dan non muslim, kehidupan
politik yang konstitusional dan benar-benar demokratis, dan status yang sama
bagi negara Muslim dan non Muslim.
Menurut An-Naim dalam bukunya Dekonstruksi Syari’ah, bagi umat
Islam, Syari’ah adalah tugas umat manusia yang menyeluruh, meliputi moral,
teologi dan etika pembinaan umat, aspirasi spiritual, ibadah formal dan ritual
yang rinci. Syari’ah mencakup semua aspek hukum publik dan perorangan,

196
kesehatan, bahkan kesopanan dan akhlak. Akan tetapi mayoritas umat Islam
meyakini bahwa keseluruhan Syari’ah itu bersifat Ilahiyah, maka akan
dituduh bid’ah jika terdapat praktek yang keluar dari syari’ah tersebut.
Pandangan yang menjadi keyakinan umum ini akan menjadi hambatan
psikologis utama dalam upaya merekonstruksi Syari’ah, apalagi diperkuat
dengan ancaman tuntutan hukum pidana dengan dakwaan murtad. Ini adalah
ancaman nyata di negara-negara Islam seperti Sudan dewasa ini.1
Disini An-Naim mencoba melakukan reformasi Syari’ah bahwa ajaran
Islam bukanlah seperti tersebut. Langkah An-Naim adalah dengan
menunjukkan bahwa sejatinya hukum publik Syari’ah bukanlah hukum yang
semua prinsip khusus dan aturan rinciannya langsung diwahyukan Allah
kepada Nabi Muhammad SAW. Jika dapat diyakinkan bahwa Syari’ah itu
disusun oleh para ahli hukum Islam awal berdasarkan interpretasi sumber
asasinya, yaitu Al-Qur’an dan sunnah. Umat Islam kontemporer niscaya akan
lebih terbuka menerima kemungkinan reformasi Syari’ah secara subtansional.
An-Naim dengan gigih mempropagandakan isu dekonstruksi syari’ah.
Syari’ah yang dibuat belasan abad silam dirubah dengan diganti dengan
perspektif yang baru dan segar. Syari’ah model baru yang di usung An-Naim
adalah sekularisme.2 Dengan gagasan ini, An-Naim menegosiasikan kembali
pemisahan yang tegas antara persoalan negara dan urusan keagamaan.
Secara lebih detailnya, penulis akan menjelaskan tentang biografi dan
pemikiran-pemikiran Abdullah Ahmed An-Naim dalam medekonstruksi
Syari’ah pada bab selanjutnya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Abdullah Ahmed An-Naim?
2. Bagaimana metode pemikiran Abdullah Ahmed An-Na’im?
3. Bagaimana sumber dan perkembangan Syari’ah menurut Abdullah Ahmed
An-Naim?

1
Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, terjemah Hamid Suaedy dan
Amiruddin Arrani, (Yogyakarta, LKiS, 1997), hlm. 26
2
An-Naim, Islam dan Negara Sekuler Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah, (Bandung,
PT. Mizan Pustaka, 2007), hlm. 15

197
4. Bagaimana pemikiran Abdullah Ahmed An-Naim mengenai
“Dekonstruksi Syari’ah”?

198
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Abdullah Ahmed An-Na’im


Abdullah Ahmed An-Naim adalah seorang ahli hukum dan aktivis Hak
Asasi Manusia (HAM), hingga sekarang ia adalah ketua Africa Watch,
sebuah organisasi HAM di Washington, D.C.3 Ia merupakan pemikir
kebangsaan Sudan, yaitu salah satu negara yang terdapat di benua afrika. An-
Naim lahir pada 19 November 1946 di Sudan. Keluarga besar An-Naim jika
dilihat dari status sosialnya, boleh dikatakan termasuk kelas menengah,
namun memiliki visi pendidikan yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari rekam
jejaknya yang dapat menempuh semua jenjang pendidikan.
An-Naim adalah sorang yang sangat peduli terhadap pendidikan.
Setelah menyelesaikan pendidikan SMA-nya, An-Naim kemudian
melanjutkan S1 ke Universitas Khartoum, Sudan, dengan konsentrasi Hukum
Pidana. Pada saat tercatat sebagai mahasiswa di Universitas tersebut, An-
Naim sempat berkenalan dengan seorang ulama’ moderat yang bernama
Mahmud Muhammad Taha, yang tak lain ialah dosennya.4 Mahmud
Muhammad Taha menjadi sosok yang cukup memberi warna dalam
kehidupan intelektual An-Naim.
An-Naim bergabung dengan Republik ketika masih mahasiswa di
fakultas hukum Universitas Khartoum. Dia aktif menghadiri kuliah yang
disampaikan Mahmud Muhammad Taha dan kemudian segera bergabung
dengan diskusi-diskusi informal di rumah Taha. Menjelang tahun 1968 An-
Naim resmi menjadi anggota Persaudaraan Republik.5
Setelah menyelesaikan studi hukumnya di Khartoum, An-Naim
melanjutkan studinya ke Inggris dimana ia memperoleh gelar LL.B dan
diploma di fakultas Kriminologi Universitas Cambridge pada tahun 1973. Dia
melanjutkan studi hukumnya dan menerima gelar Ph.D dari Universitas
3
Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu
Global, (Jakarta, Paramadina, 2003), hlm. 369
4
Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, terjemah Hamid Suaedy dan
Amiruddin Arrani,... hlm. xi
5
Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, terjemah Hamid Suaedy dan
Amiruddin Arrani,... hlm. xi

199
Edinburgh pada tahun 1976. Lalu kembali ke Sudan menjadi pengacara dan
dosen hukum di Universitas Khartoum. Menjelang tahun 1979 ia menjadi
kepala departemen Hukum Publik di Fakultas hukum Universitas Khartoum.6
Sambil mengajar An-Naim menjadi juru bicara yang fasih tentang ide-
ide Mahmud Muhammad Taha, menulis artikel untuk surat kabar dan
berbicara dengan berbagai kalangan. Ia tercatat sebagai praktisi di lembaga
Africa Watch, yaitu sebuah lembaga yang bergerak pada penanganan isu-isu
Hak Asasi Manusia (HAM) di kawasan Afrika.7 Saat ini ia juga menduduki
jabatan sebagai profesor Charles Howard Candler di bidang hukum di Emory
Law School, Atlanta, Amerika Serikat.
An-Naim juga dikenal sebagai pembicara diberbagai forum, baik lokal
maupun internasional. Ia dikenal sangat getol bersuara tentang penegakan
HAM, dan ia juga menjadi inisiator rekonstruksi konseptualnya, dalam hal ini
ia mewakili kelompok Islam. Dan pada beberapa waktu terakhir ia juga aktif
bersafari ke beberapa negara, termasuk Indonesia.
Selain sebagai pembicara, An-Naim merupakan seorang intelektual
yang produktif dalam menghasilkan tulisan, esai, makalah, maupun buku.
Diantara karya-karyanya tersebut adalah:
1. African Contitusionalism and The Role fo Islam. Diterbitkan pada
tahun 2006 oleh University of Pennsylvania Press
2. Human Right in Cross-Cultural Perspectives: Quest for Consensus.
Diterbitkan pada tahun 1992 oleh University of Pennsylvania Press
3. Toward and Islamic Reformation; Civil Liberties, Human Right and
Internasional Law. Diterbitkan pada tahun 1990 oleh Syracuse
University Press. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
judul Dekonstruksi Syari’ah, oleh Hamid Suaedy dan Amiruddin
Ar-rani, Lkis, tahun 1997
4. The cultural dimensions of Human Right in the Arab World.
Diterbitkan pada tahun 1993 ileh Ibn Khaldun Center

6
Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, terjemah Hamid Suaedy dan
Amiruddin Arrani,... hlm. iv
7
Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, terjemah Hamid Suaedy dan
Amiruddin Arrani,... hlm. v

200
5. Human Right Under African Constitution: Realizing the promise for
Ourselves. Terbit pada tahun 2003 oleh University of Pannsylvania
Press
6. The Independent of Religion, Secularism, and Human Right.
Common Knowledge, 11:1 (artikel)
7. Self determination and Unity: the case of Sudan. Dalam Law
Policy, vol. 18 (1996)
8. Self Islamic Law of Apostasy and Its Modern Applicability: A case
from a Sudan. Dalam religion, vol. 16, 1986 (artikel)
9. Dhimma, dalam Shorter Encycloedia of Islam. Pada tahun 1991.
Ensiklodi ini dicetak oleh EJ. Brill
10. Islamic Foundation of Religious Human Right, dalam John Witte,
Ir. Dan Johan D. Van der Vyner, Religious Human Right in Global
Perspective: Religious Perspective. Dicetak pada tahun 1996 oleh
The Hague: Martinus Nihof Publishers.
11. Human Right in The Arab World: a Religional Perspective, dalam
Human Right Quarterly, vol. 23, tahun 2001
12. Islam dan Negara Sekuler: menegosiasikan Mada Depan Syari’ah.
Diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Mizan, pada tahun 2007

Selain karya-karya tersebut, masih terdapat banyak lagi karya tulisan


lain, baik berupa artikel maupun makalah yang tidak sempat dipublikasikan.
Namun secara umum, pokok gagasan An-Naim hampir tertampung dalam
karya-karya di atas.

B. Metode Pemikiran Abdullah Ahmed An-Na’im


An-Naim mengikuti garis yang telah dikembangkan oleh gurunya,
Mahmud Muhammad Taha, yang membedakan antara surat Al-Qur’an yang
diwahyukan selama priode Makkah dan Madinah. Surat Makkah lebih banyak
memperhatikan masalah-masalah spiritual dan cakrawala keagamaan,
sedangkan dalam surat Madinah problem-problem politik, sosial, dan hukum
menjadi lebih ditekankan. Pembedaan ini sangat dikenal dalam tradisi
Muslim sejak masa pembahasan-pembahasan dimunculkan oleh adanya

201
pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an dalam sebuah mushaf. An-Naim berusaha
menguraikan teori pembatalan (nasikh-mansukh) sebagai peralatan modern
bagi apa yang disebutnya sebagai sebuah metodologi pembaharuan yang
memadai.8
Reformasi Islam atau dekonstruksi syari’ah yang digagas An-Na’im
yang kemudian terkenal ke seluruh penjuru dunia sebagai respon terhadap
pemikirannya bermaksud memberikan solusi bagi proses perubahan persepsi,
sikap dan kebijakan umat Islam atas dasar-dasar Islam dan bukan sekuler.
Tesisnya mengatakan bahwa jika tidak dibangun dasar pembaruan modernis
murni yang dapat diterima secara keagamaan, maka umat Islam sekarang dan
akan datang hanya punya dua alternative, yaitu mengimplementasikan
syari’ah dengan segala kelemahan dalam menjawab dinamika zaman dan
masalahnya, atau meninggalkannya dan memilih hukum publik sekuler.
Menurut an-Na’im, selama umat Islam tetap setia pada kerangka kerja
syari’ah historis, mereka tidak akan pernah benar-benar mencapai tingkat
keharusan pembaruan yang mendesak supaya hukum publik Islam bisa
berfungsi sekarang.
Selanjutnya An-Na’im mengambil metode gurunya, yaitu metodologi
pembaharuan yang revolusioner, yang digambarkan sebagai evolusi legislasi
Islam (modern mistical approach), yang intinya suatu ajakan untuk
membangun prinsip penafsiran baru yang memperbolehkan penerapan ayat-
ayat Al-Qur’an dan Sunnah. Pendekatan ini jika diterapkan akan mampu
memecahkan kebuntuan antara tujuan pembaruan, keterbatasan konsep dan
teknik syari’ah historis.
Prinsip naskh pembatalan teks Al-Qur’an dan Sunnah tertentu untuk
tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah yang
lain sangat menentukan bagi validitas teoritik dan kelangsungan praktek dari
pendekatan evolusioner. Kemudian memadukan teori naskh tersebut dengan
prinsip-prinsip umum tentang analisa kongkret terhadap implikasi-implikasi
hukum publik Islam. Utamanya terhadap keseimbangan hak-hak muslim dan
non-muslim serta laki-laki dan perempuan dalam menentukan nasib sendiri.
8
Abdullah Ahmed An-Naim , Muhammed Arkoun, DKK, Dekonstruksi Syari’ah (II),
Kritik Konsep, Penjelajahan Lain, Terjemahan Farid Wajidi, (Yogyakarta, LkiS, 1996), hlm. 18

202
Inilah harga kemanusian yang tertimbun dalam formulasi teoritik syari’ah
tradisional.

C. Sumber Hukum dan Perkembangan Syari’ah Versi Abdullah Ahmed An-


Naim
Menurut An-Na’im, umat Islam sedunia boleh menerapkan hukum
Islam, asal tidak melanggar hak orang dan kelompok lain, baik di dalam
maupun di luar komunitas Islam. An-Naim mengatakan jika syari’ah histories
diterapkan akan menimbulkan masalah serius menyangkut masalah-masalah
konstitusinalisme, hukum pidana, hubungan internasional dan hak-hak asasi
manusia.
Menelaah pemikiran politik Abdullah Ahmed An-Naim secara
komprehensif, tentu tak bisa mengabaikan politik sebelumnya yang
berkembang dalam dunia Islam. Sejak Rasulullah SAW melakukan hijrah
dari Makkah ke Yatsrib yang kemudian diubah namanya menjadi Madinah
hingga saat sekarang ini menjadi kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam
Iran, Islam menampilkan dirinya sangat terkait dengan masalah negara. 9
Menurut An-Naim, proses pertumbuhan dan perubahan syari’ah dapat
diklasifikasi menjadi tiga priode penting, yaitu:
1. Priode klasik, yaitu pada masa kepemimpinan Nabi dan sahabat
Pada masa ini adalah masa pembentukan syari’ah. Pemegang
otoritas interpretasi sumber ajaran syari’ah adalah Nabi. Di sini relatif
tidak ada problem, sebab tantangan sosiologisnya masih bisa dijangkau
oleh postulat ajaran Islam yang diterima Nabi. Namun konsekuensinya,
watak syari’ah sangat terikat kuat pada identitas sosiokultural Arab.
2. Priode pertengahan, yaitu masa dinasti-dinasti kekhalifahan
Pada masa ini terjadi ketegangan yang sangat akut, antara bahan
mentah yang diwariskan pada periode klasik dengan dinamika sosial
akibat ekspansi kekuasaan Islam ke luar Arab. Pilihannya antara
mempertahankan bahan mentah atau memperbaharui. Namun pembaruan
tampaknya yang paling diminati. Sebab hanya dengan begitu Islam bisa

9
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta, Universitas Paramadina Press, 2003), hlm.
23

203
diterima oleh hasanah kultural masyarakat non arab. Disinilah terjadi
dialog-sintetik atau perjumpaan cakrawala. Namun di awal periode ini
terjadi establisasi konsep syari’ah pada masa klasik. Baru pada periode
akhir umayah dan awal abasiyah mulailah terjadi konsolidasi syari’ah
dengan unsur-unsur lain yang berasal dari hasanah non Islam (non Arab).
Sejak itu pula lahirlah syari’ah dalam ranah keilmuan, semisal fikih.
Namun implikasinya wajah syari’ah menjadi heterogen, tidak monogen
sebagaimana era klasik.
3. Priode modern, yaitu pasca dinasti-dinasti
Di masa ini, apa yang telah dirintis abad pertengahan terlihat
semakin matang. Hal ini dibuktikan tidak hanya pada tataran produk
interpretasi syari’ah yang dihasilkan, tetapi juga pengembangan
metodologi yang sangat dinamis. Di era ini umat Islam mulai bersentuhan
dengan formula negara atau konstitusi negara modern.
Sumber syari’ah sendiri, menurut An-Naim ada empat macam, yaitu:
Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Al-Qur’an sebagai rujukan hukum
menempati posisi pertama, baru kemudian sunnah, ijma’ dan qiyas. Secara
tekstual, tidak ada yang perlu diperdebatkan dari Al-Qur’an sebagai sumber
hukum pertama, berbeda dengan Arkoun yang masih memperdebatkan
banyak hal yang terkait dengan pewahyuan dan proses kodifikasinya hingga
menjadi mushaf. Namun yang dipersoalkan An-Naim lebih pada saat Al-
Qur’an diberlakukan sebagai sumber hukum positif.10 Kata Naim, Al-Qur’an
adalah teks yang menginspirasi lahirnya hukum, dan hanya berbicara tentang
standar perilaku syari’ah dan bukan hak dan kewajiban.11
Sumber hukum kedua adalah sunnah. Kata Naim, sunnah yang layak
dijadikan sumber rujukan syari’ah adalah sunnah yang sudah diverivikasi atau
sunnah yang telah terotentifikasi.12 Sebab sejak wafatnya Nabi ditemukan
banyak kasus pemalsuan sunnah.
Sumber hukum ketiga adalah ijma’. Ijma’ merupakan tradisi warisan
para sahabat dan pengikutnya, sehingga bisa disebut juga tradisi yang hidup

10
Abdullahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, ... hlm. 21
11
Abdullahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, ... hlm. 20
12
Abdullahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, ... hlm. 33

204
(living tradition).13 Ijma’ mempunyai otoritas yang besar sebagai sumber
hukum, karena di dalamnya mengandung otoritas Al-Qur’an dan sunnah.
Sumber hukum ke empat adalah qiyas. Qiyas hanya berlaku jika
ketiga hukum di atas tidak memadai. Qiyas diperoleh dengan jalan ijtihad,
maka dari itu, qiyas lebih menitikberatkan pada peran akal, maka sumber
hukum ini di batasi peranannya.
Proses penarikan hukum dari keempat sumber tersebut dilakukan
dengan menggunakan berbagai teknik. Di antaranya adalah istihsan
(kontruksi yang menguntungkan), istislah (kemaslahatan umum), istishab,
darurah dan ‘urf (adat kebiasaan).14 Dengan pola-pola tersebut, sumber-
sumber syari’ah bisa ditarik menjadi dalil yang melegitimasi syari’ah.

D. Implementasi Dekonstruksi Syari’ah


1. Dekonstruksi Syari’ah
Dekonstruksi syari’ah yang digagas An-Naim bertumpu kepada
dua alasan utama. Pertama, karena tergerak untuk memperbaiki Sudan
yang porak-poranda akibat konflik Islam dan Kristen. Akar dari semua itu
adalah pemaksaan kehendak dari kalangan Islam untuk menerapkan
syari’ah Islam sebagai konstitusi negara. Karena pemaksaan tersebut,
kemudian mematik api resistensi dari kalangan kristiani, terutama yang
bermukim di Sudan selatan (Dharfur). Bersama gurunya, Mahmud
Muhammad Taha, An-Naim bergrilya di tengah-tengah masyarakat Sudan
sembari menyerukan reformasi syari’ah.
Kedua, kegelisahan akademis yang mengusik jiwa
kecendikiawanan An-Naim. An-Naim menemukan sesuatu yang salah
dalam konstruksi pemikiran Islam selama ini. Salah disini bukan berarti
tidak benar, melainkan tidak sesuai karena tidak kontekstual (up to date).
Konstruksi pemikiran Islam semacam itu mungkin hanya layak
dipraktikkan dalam konteks ruang dan waktu bukan saat ini. Konteks
pemikiran seperti itu mungkin hanya bisa dipraktikkan pada abad
pertengahan atau sebelumnya, yang tantangansosialnya tidak sekompleks

13
Abdullahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, ... hlm. 39
14
Abdullahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, ... hlm. 50

205
saat ini. Bagi An-Naim, Islam pada dasarnya merupakan agama yang
dinamis, sebagaimana tersirat dalam filosofi hijrah. Islam bukanlah
dogmatis yang kaku, bisu dan beku, tetapi senantiasa menyapa dan
berdiaog dengan realitas sosiologis umat Islam. Oleh sebab itulah, dari
balik isu reformasi syari’ah yang dilontarkan terselip seruan agar umat
Islam berhijrah, dari cara berislam jumud dan represif menuju cara
berislam yang cair dan inklusif.
2. Syari’ah dan Hukum Internasional Modern
An-Naim banyak mengupas tentang eksistensi komunitas non-
muslim di negara berpenduduk muslim. Ketika negara tersebut memilih
konsep negara modern yang demokratis sebagai sistem, mungkin tidak
terlalu menjadi persoalan. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah jika
negara tersebut didorong oleh penduduk muslim untuk menerapkan sistem
Islam sebagai konstitusi. Disanalah kemudian terjadi ketidak adilan,
seperti yang terjadi di negara-negara Islam pada umumnya.
Sistem syari’ah senantiasa berimbas pada pemetaan warga negara
ke dalam dua arus besar, yaitu warga negara utama dan warga negara
kedua.15 Dari pembagian kelas ini biasanya disusul dengan ketidakadilan
dalam soal akses dan perhatian pemerintah. Disinilah juga menjadi lahan
yang subur bagi berlangsungnya pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM).16
Warga negara kelas dua kerap diistilahkan dengan dzimmi. Istilah
berikut makna deviritifnya diproduksi oleh sejarah dinasti Islam dan
dipertahankan dalam klaim-klaim umat Islam sesudahnya sebagai konsep
yang diatur oleh Al-Qur’an. An-Naim kemudian meragukan terhadap
klaim tersebut dan mengajak untuk memverifikasi ulang.
Menurut An-Naim bahwa munculya konsep dzimmi bukan semata-
mata karena persoalan negara, melainkan persoalan agama.17 Dengan
demikian An-Naim tidak sepakat jika istilah tersebut juga diberlakukan

15
Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekulear, Menegosiasi Masa Depan
Syari’ah, (Bandung, Mizan, 2007), hlm. 194
16
Abdullahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, ... hlm. 167
17
Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekulear, Menegosiasi Masa Depan
Syari’ah,... hlm. 201

206
dalam domain kewarganegaraan. Lagi pula, penduduk dzimmi sejatinya
merupakan penduduk asli negara yang dikuasai oleh umat Islam. Islam
masuk ke kawasan tersebut (daerah yang didiami oleh masyarakat
dzimmi) dalam upaya ekspansi. Maka menjadi aneh di mata An-Naim jika
masyarakat penduduk asli tersebut kemudian menjadi warga negara kelas
dua karena ke-dzimmian-nya.
Dari permasalahan tersebut, An-Naim menawarkan konsep warga
negara murni sebagai alternative utama. Artinya dalam konsep tersebut
tidak ada lagi klasifikasi warga negara menjadi kelas utama dan kelas
kedua. Warga negara adalah mereka yang tinggal di teritorial negara
tersebut, terlepas apa pun identitasnya, yang memiliki posisi setara antara
satu dengan yang lainnya. Kendati skematisasi konsep warga negara
berasal dari kolonialisme, namun An-Naim lebih sepakat dengan konsep
ini. Sebab, dalam konsep warga negara murni terjalin kebebasan dan
penghormatan atas HAM.18

3. Syari’ah dan Hak Asasi Manusia


Selain problem konstitusionalisme dan kewarganegaraan adalah
masalah Hak Asasi Manusia (HAM). HAM adalah hak-hak individual
yang berkembang dari pemikiran modern Eropa tentang hukum alam.
Hak-hak ini terus berkembang di barat menjadi standar institusional-legal.
Dengan deklarasi universal hak-hak asasi manusia perserikatan bangsa-
bangsa (PBB), hak-hak ini sekarang telah menjadi hukum internasional.19
Menurut An-Naim HAM sebenarnya masuk pada area tujuan dari
eksistensi sebuah negara. HAM tidak hanya sebatas wacana, namun
merupakan aksi nyata berupa sikap melindungi, membela, dan
memperjuangkan hal-hal yang baik diterima setiap individu sebagai
manusia yang bebas.
Kata An-Naim, orang muslim tidak harus mengabaikan agamanya
hanya untuk mengakui HAM. Mereka juga tidak boleh mendiskriminasi

18
Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekulear, Menegosiasi Masa Depan
Syari’ah,... hlm. 203
19
Bassam Tibi, Syari’ah, HAM dan Hukum Internasional (Dekonstruksi Syari’ah II),
(Yogyakarta, LkiS, 1996), hlm. 85

207
orang lain berdasarkan jenis kelamin, ras, kebangsaan, maupun agama.
Karena untuk menjustifikasi secara moral atas klam HAM, tanpa
melakukan diskriminasi kepada orang lain, umat Islam harus menyadari
bahwa orang lain pun memiliki hak yang sama dengan umat Islam. Hal
yang sama juga berlaku bagi seluruh umat manusia, dan bukan hanya bagi
muslim.20
Mengenai syari’ah dan HAM, An-Naim menjelaskan mengenai isu
non-muslim yang terkait dengan kejahatan yang paling tak termaafkan,
sehingga seringkali berujung tindakan yang tidak manusiawi, aitu tentang
murdat atau keluar dari Islam. Siapapun yang bertindak murtad harus
dihukum dengan hukuman mati atau dianggap halal darahnya,
sebagaimana yang banyak menimpa para pemikir Islam liberal. 21 Selain
dihukum dengan hukuman mati, pelaku murtad juga secara sepihak
diceraikan dari istrinya yag sah.
Beberapa hal yang menjadi indikator seseorang disebut murtad
sangat beraneka ragam, diantaranya; 1) Menolak keberadaan Tuhan atau
menolak keberadaan sifat Tuhan, 2) Menolak salah satu kenabian Tuhan,
3) Menolak salah satu prinsip keagamaan, semisal shalat atau berpuasa di
bulan ramadlon, 4) Menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang
halal.22
Vonis murtad dijatuhkan kepada seorang muslim yang telah jelas-
jelas berpaling dari Islam dengan ucapan atau tindakan yang sengaja atau
menghina lantaran sentimentil maupun keyakinan. Pada saat itu juga yang
bersangkutan dinyatakan salah dan dihukum seberat-beratnya. Hal itu
menurut An-Naim sangat melanggar HAM sekaligus melanggar Al-
Qur’an itu sendiri. Memang secara eksplisit Al-Qur’an sangat mengutuk
perbuatan murtad, tetapi Al-Qur’an tidak menjabarkan hal-hal yang terkait
dengan hukuman kepada kaum murtad tersebut. Bahkan menurut An-

20
Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekulear, Menegosiasi Masa Depan
Syari’ah,... hlm. 177
21
Diantara tokoh yang pernah dieksekusi mati adalah Mahmud Muhammad Taha yaitu
guru An-Naim sendiri. Beliau dihukum mati pada januari 1985
22
Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekulear, Menegosiasi Masa Depan
Syari’ah,... hlm. 186

208
Naim, Al-Qur’an menyebutkan beberapa situasi yang menyatakan bahwa
orang yang murtad dapat terus hidup di tengah-tengah komunitas muslim
karena tidak ada paksaan dalam beragama. Hal ini sesuai dengan ayat Al-
Qur’an, yatu:

               

           
Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (syaitan dan apa saja
yang disembah selain dari Allah SWT) dan beriman kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang
tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.23

Menurut An-Naim, sebenarnya Al-Qur’an sangat menghomati


kebebasan beragama. Tatkala umat Islam menghukumi riddah (orang yang
murtad) dengan seberat-beratnya, hal tersebut layak dipertanyakan.
Mungkin, penghukuman orang-orang murtad lebih karena tindakan
tersebut sangat dekat dengan kafir, menghina Rasul, zindiq, dan munafiq.
Namun di tataran konseptual, kategori tindakan tersebut tidak dijelaskan
secara gamblang termasuk oleh Al-Qur’an sendiri.24
Dari penjelasan tersebut, menurut An-Naim, negara yang
menerapkan hukum syari’ah justru akan melahirkan pelanggaran HAM.
Disinilah perjuangan An-Naim yang sangat kontektual, ia melakukan
pembaruan hubungan antara syari’ah Islam dengan Hak Asasi Manusia.
Isu eformasi negara syari’ah yang diusungnya tidak semata-mata
mematahkan konstitusi lama kemudian mengganti dengan yang baru.
Akan tetapi lebih dari itu, ia ingin menegakkan HAM seadil-adilnya,
sebagaimana pesan Al-Qur’an itu sendiri.
4. Perbudakan

23
QS. Al-Baqoroh ayat 256
24
Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekulear, Menegosiasi Masa Depan
Syari’ah,... hlm. 185

209
Syari’ah tidak memperkenalkan perbudakan, yang pada masa lalu
menjadi norma umum yang berlaku di seluruh dunia. Dalam kondisi
demikian, syari’ah mengakui keberadaan sebagai lembaga, tapi syari’ah
berupaya untuk membatasi perkembangan perbudakan, memberdayakan
para budak, dan mendorong emansipasi mereka melalui berbagai macam
pendekatan keagamaan dan kerakyatan. Namun demikian, hingga
sekarang, syari’ah belum menghapus perbudakan. Rasanya perbudakan itu
tak mungkin diakui secara formal di negara-negara Islam.25
An-Naim mengatakan bahwa pemahaman umat Islam yang awal
benar terhadap Al-Qur’an dan sunnah yang mengakui lembaga perbudakan
dalam konteks sejarah Islam masa awal. Dalam konteks masa kini, dan
dengan prinsip penafsiran yang baru sebagaimana yang telah diusulkan
dalam kajian ini, argumen kaum muslimin modern untuk menentang
perbudakan sekarang dapat digunakan untuk menghapus perbudakan
berdasarkan hukum Islam yang otoritatif.
Ketika akhirnya perbudakan dihapuskan di negara-negara Islam,
dalam beberapa kasus paling tidak pada tahun 1960-an dan sesudahnya,
hasil tersebut dicapai melalui hukum sekular, bukan syari’ah.26 Dengan
adanya larangan resmi atas perbudakan di seluruh negeri Islam, sebagian
orang berpendapat bahwa perbudakan sudah tak lagi menjadi masalah.
Menurut An-Naim, sangat memalukan dan tak dapat dipertahankan
secara moral, jika kini syari’ah tetap mengakui perbudakan, terlepas dari
kemungkinan-kemungkinannya untuk hidup kembali. Lebih lagi, fakta
bahwa perbudakan masih diperbolehkan menurut syari’ah telah
menimbulkan konsekuensi-konsekuensi praktis yang sangat berbahaya,
tidak saja pada pengabdian prilaku sosial yang negatif terhadap keturunan
budak dan unsur-unsur masyarakat yang dijadikan ladang pembiakan
budak, tapi juga pembenaran terhadap terhadap praktik-praktik
terselubung yang tak jauh berbeda dengan perbudakan.

25
Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu
Global,... hlm. 382
26
Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu
Global,.. hlm. 385

210
Di Sudan misalnya, citra-citra perbudakan terus menimbulkan
gambaran yang buruk bagi orang-orang Sudan di bagian selatan dan barat,
karena hingga akhir abad ke 19 merupakan sarang kaumbudak. Lebih jauh,
laporan-laporan berita di Sudan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa
ternyata kaum pribumi Muslim di bagian barat daya merasa dibenarkan
untuk menangkap non-Muslim dari bagian selatan, dan menawan mereka
dalam perbudakan terselubung.27

27
Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu
Global,... hlm. 386

211
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Abdullah Ahmed An-Naim adalah seorang ahli hukum dan aktivis Hak
Asasi Manusia (HAM), ia adalah ketua Africa Watch, sebuah organisasi
HAM di Washington, D.C. Ia lahir pada 19 November 1946 di Sudan. An-
Naim melewatkan pendidikannya S1 di Universitas Khartoum, Sudan, dengan
konsentrasi Hukum Pidana. Setelah itu ia melanjutkan studinya ke Inggris di
bidang hukum konstitusional dan ia memperoleh gelar LL.B dan diploma di
fakultas Kriminologi Universitas Cambridge pada tahun 1973. Dia
melanjutkan studi hukumnya dan menerima gelar Ph.D dari Universitas
Edinburgh pada tahun 1976.
Dekonstruksi Syari’ah yang digagas An-Na’im adalah metodologi
pembaruan yang revolusioner yang dikembangkan dari gurunya Mahmud
Muhammad Taha, sebagai alternatif perubahan di zaman sekarang. Ia
berpendapat umat Islam sekarang dan akan datang hanya punya dua
alternative, yaitu mengimplementasikan syari’ah dengan segala kelemahan
dalam menjawab dinamika zaman dan masalahnya, atau meninggalkannya
dan memilih hukum publik sekuler.
An-Naim banyak mengupas tentang eksistensi komunitas non-muslim
di negara berpenduduk muslim. Jika suatu negara menerapkan sistem syari’ah
Islam sebagai konstitusi, maka disana akan terjadi diskriminasi dan
ketidakadilan antar warga negara islam dan lainnya, karena sistem syari’ah
seringkali berimbas pada pemetaan warga negara ke dalam dua arus besar,
yaitu warga negara utama dan warga negara kedua. Maka hal ini merupakan
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

212
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Ahmed An-Naim, Muhammed Arkoun, DKK, Dekonstruksi Syari’ah


(II), Kritik Konsep, Penjelajahan Lain, Terjemahan Farid Wajidi,
(Yogyakarta, LkiS, 1996).
Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, terjemah Hamid Suaedy dan
Amiruddin Arrani, (Yogyakarta, LKiS, 1997).
Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekulear, Menegosiasi Masa
Depan Syari’ah, (Bandung, Mizan, 2007).
Bassam Tibi, Syari’ah, HAM dan Hukum Internasional (Dekonstruksi Syari’ah
II), (Yogyakarta, LkiS, 1996).
Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang
Isu-Isu Global, (Jakarta, Paramadina, 2003).
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta, Universitas Paramadina Press,
2003).

213

Anda mungkin juga menyukai