dalam Islam
Achmad Resa
Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Ponorogo
Email: achmadresa1811@gmail.com
Pendahuluan
Syariah dan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan salah satu isu aktual yang sangat
hangat diperbincangkan dan menarik perhatian pemikir Islam akhir-akhir ini. Berbagai
diskusi dan seminar diselenggarakan untuk membahas isu ini dan mewacanakannya. Namun
ada masalah yang dihadapi dalam merumuskan hubungan antara HAM dan syariat. Syariat
yang merupakan produk orisnil Agama Islam dan sudah mapan sejak awal berdirinya
menemui berbagai pilihan dalam menghadapi HAM yang merupakan standar dunia barat.
Berkonfrontasi atau mengkompromikan keduanya merupakan sesuatu yang tidak dapat
dinafikan.
Dalam wacana ini, seorang pemikir berkebangsaan Sudan, Abdullahi Muhammad An-
na’im atau lebih dikenal dengan An-Na’im memiliki gagasan-gagasan dalam problem
Syariah dan HAM. Bagi An-Na’im, HAM yang sudah ditetapkan oleh dunia barat merupakan
sebuah produk yang final dan universal, sehingga seluruh umat manusia harus menerimanya.
Dan menurutnya, syariat yang dimiliki oleh umat Islam tidaklah bertentangan dengan HAM.
Yang dimaksud oleh An-Na’im, syariat bisa menyesuaikan diri dengan HAM dengan jalur
mereformasi syariah. Karena menurutnya, syariah merupakan produk sejarah yang
menyesuaikan diri dengan kondisi pada zamannya.
Definisi Syariah
Untuk memperjelas bahasan ini, kita perlu mengetahui definisi dari ‘syariah’. Secara
bahasa, Syariah diambil dari kata syara’a yang berarti menjalani dan memperlihatkan.
Sedangkan Syariah berarti peraturan yang diterapkan oleh Allah SWT bagi hamba-hamba-
Nya dari sunnah-sunnah dan hukum-hukum.1 Para juris Islam memiliki pandanganannya
masing-masing dalam mendefinisikan apa itu syariat. Ada yang mendefiniskan syari’ah
adalah sebentuk hukum-hukum Tuhan yang diambil dari Al-Quran dan Hadits. Adapun
perbedaanya dengan fiqih, jika syariat ditunjukkan oleh dali-dalil yang bersifat qath’i (pasti)
dalam Al-Quran dan Hadits, maka fiqih diambil dari dalil-dalil yang bersifat zhanni
1
Al-Munjid fi Al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Daar al-Masyriq, 2003, cet. 40), hal. 382.
(asumtif). Bahkan ada pula yang meletakkan syari’ah sejajar dengan akidah. Maksudnya
syari’ah dan akidah saling melengkapi satu sama lain pada wilayah garapan yang tidak sama.
Pada bahasan kali ini kita akan membatasi makna’syariat sebagai metode agama atau
seperangkat aturan agama yang digariskan oleh Allah SWT.2
Isi Buku
Dalam realita yang terjadi dalam sejarah, syariat mengalami evolusi seiring dengan
berjalannya waktu dalam sejarah umat manusia. Ia selalu tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat muslim, semuanya merupakan produk intelektual.5 Dalam
perkembangannya, syariat dibagi kedalam 4 periodisasi waktu. Masa pertama adalah masa
petumbuhan yang terjadi pada masa Rasulullah SAW. Pada masa ini terjadi pembentukan dan
pertumbuhan syariat. Periode kedua adalah periode perkembangan, periode ini terbentang
2
Abu Yazid, Nalar dan Wahyu: Interrelasi dalam Proses Pembentukan Syariat, (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2007), hal. 86-87.
3
Syaukani, Imam, “Abdullahi Ahmad An-Na’im dan Reformasi Syariah Demokratik” dalam Ulumuddin
nomor 2 tahun 11/Juli, hal. 97.
4
An-Na’im, Abdullahi Ahmad, Dekonstruksi Syariah, (Yogyakarta:LKIV, 1997), hal. Iv.
5
Salikin, Adang Djumhur, Reformasi Syariah dan HAM dalam Islam: Bacaan Kritis terhadap
pemikiran An-Na’im, (Yogyakarta: Penerbit Gama Media, 2004), hal. 58.
mulai dari sejak masa Khulafaurrasyidin hingga runtuhnya Baghdad. Masa ini merupakan
masa yang paling produktif dalam perkembangan syariat, pada masa ini juga Islam sedang
melakukan ekspansi besar-besaran sehingga syariat berasimilasi dengan unsur-unsur yang
terdapat ke daerah-daerah yang diekspansi oleh umat Islam. Periode ketiga, atau disebut juga
dengan masa kemunduran atau disebut juga dengan periode taklid. Periode ini berlangsung
mulai dari jatuhnya Baghdad hingga zaman modern. Perkembangan syariat pada masa ini
hanya terbatas pada peringkasan dan pensyarahan karya-karya ulama klasik. Periode
keempat, saat teradi kontak antara Barat dan Islam pada abad ke-18 dan berlangusng hingga
hari ini. Umat Islam pada masa ini menyadari ketertinggalan mereka dari dunia barat yang
maju sehingga mereka berusaha bangkit untuk melakukan pembaharuan. An-Na’im melihat
perkembangan syariat diatas sebagai landasan legitimasi bagi kemungkinan pembaharuan
syariat, karena syariat selalu berevolusi sesuai perkembangan zaman.6
Sebagaimana ulama-ulama klasik, An-na’im tetap meyakini bahwa sumber syariat
berasal dari Al-Quran, Sunnah, Ijma’, dan qiyas. An-Na’im tetap meyakini bahwa al quran
murni berasal dari Allah dan tidak ada keraguan padanya. Namun baginya, -Quran lebih
cenderung membangun standar moral perilaku kaum muslimin daripadada mengekspresikan
standar-standar tersebut sebagai hak dan kewajiban. Al-Quran lebih cenderung mengatur
hubungan manusia dengan Allah daripada hubungan sesama manusia. Lebih singkatnya, Al-
Quran bukan merupakan kumpulan hukum melainkan motivasi untuk menjalankan hukum.
Meskipun demikian ia tidak menafikan adanya muatan hukum dalam Al-Quran, namun hal
tersebut lebih cenderung pada hukum ritual, bukan pada hukum secara eksplisit.7
An-Na’im membagi sunnah kedalam 2, yang pertama sisi historis sebagai fakta dan
tingkah laku (sunnah disini hanya sebagai kebiasaan nabi dan tradisi muslim/masyarakat pada
umumnya) dan yang kedua, sisi normatif dari fakta tersebut bagi generasi-genrasi penerusnya
. pada sisi normatif, sunnah merupakan sesuatu yang lahir dari akhir abad kedua hijriah
sebagaimana terkompilasi dalam kutub sittah. Pada sisi tersebut, An-Na’im meragukan
keotentikan sunnah, karena bisa jadi ada sunnah palsu yang masuk kedalam kutub sittah.8
Selanjutnya adalah ijma’. Disini An-Na’im mepertanyakan apakah ijma’ merupakan
kesepakatan secara keseluruhan atau mayoritas? Mengikat generasi awal saja atau setelahnya
juga? Pertanyaan ini muncul karena perangkat metodologi ijma’ yang tidak memadai. Jadi
ijma disini berdasarkan otoritas, kedaulatan rakyat atau kesalehan moralitas agama? An-
Na’im berpendapat bahwa ijma’ dapat dimusyarwarahkan secara demokratis sesuai
masyarakat dan tutuntan zaman sehingga ijma harus mendapat persetujuan dari semua
masyarakat tanpa diskriminasi apapun.9
Selanjutnya adalah qiyas, disini mengkritik An-Na’im mengkritik qiyas. Qiyas
merupakan penarikan hukum berdasarkan presedensi hukum terdahulu. Ia beranggapan
6
Salikin, Adang Djumhur, Reformasi Syariah dan HAM dalam Islam: Bacaan Kritis terhadap
pemikiran An-Na’im, (Yogyakarta: Penerbit Gama Media, 2004), hal. 59-60.
7
Salikin, Adang Djumhur, Reformasi Syariah dan HAM dalam Islam: Bacaan Kritis terhadap
pemikiran An-Na’im, (Yogyakarta: Penerbit Gama Media, 2004), hal. 63.
8
Salikin, Adang Djumhur, Reformasi Syariah dan HAM dalam Islam: Bacaan Kritis terhadap
pemikiran An-Na’im, (Yogyakarta: Penerbit Gama Media, 2004), hal. 66.
9
Salikin, Adang Djumhur, Reformasi Syariah dan HAM dalam Islam: Bacaan Kritis terhadap
pemikiran An-Na’im, (Yogyakarta: Penerbit Gama Media, 2004), hal. 68.
bahwa qiyas sangat tidak tepat karena mengedepankan akal daripada wahyu sehingga ia
bersifat independen.10
Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa An-Na’im menganggap
syariat merupakan produk sejarah dan bukan sesuatu yang bersifat ilahiyah (diwahyukan
langsung oleh Allah), kecuali Al-Quran dan sunnah. Jadi semuanya dapat dipakai, diubah
atau bahkan ditinggalkan sesuai dengan tuntutan zaman asalkan dapat melahirkan maslahat.
Karena baginya esensi dari syariah adalah maslahat umat manusia. Dan syariah yang pernah
ditinggalkan dapt digunaan kembali.11
An-Na’im juga ingin mengkondisikan ulang antara ayat makkiyah dan madaniyah.
Menurutnya, ayat-ayat madaniyah yang lebih banyak digunakan saat ini sudah tidak relevan.
Ayat-ayat makkiyyah memiliki karakterisktik berbeda dengan ayat madaniyyah. Ayat
makkiya turun Ketika umat islam menghadapi tekanan di kota Makkah dan ayat-ayat
madaniyah turun di kota Madinah ketika umat islam sudah mapan. Ayat-ayat makkiyah lebih
menkankan pada aspek keimanan dan sedangkan ayat makkiya lebih menekankan pada aspek
hukum yang menuntut komunitas sosial politik masyarakat Madinah.12 Dari fakta di atas, An-
Na’im berpendapat bahwa al-Quran pun turun sesuai dengan tuntutan zaman. An-na’im ingin
menasakh kembali ayat-ayat madaniyah menggunakan ayat-ayat makkiyah, syariat disini
dapat pula disebut dengan syariat historis. Jadi, ayat-ayat makkiyah yang sudah dinasakh,
dapat digunakan kembali.
15
Salikin, Adang Djumhur, Reformasi Syariah dan HAM dalam Islam: Bacaan Kritis terhadap
pemikiran An-Na’im, (Yogyakarta: Penerbit Gama Media, 2004), hal. 107.
16
Salikin, Adang Djumhur, Reformasi Syariah dan HAM dalam Islam: Bacaan Kritis terhadap
pemikiran An-Na’im, (Yogyakarta: Penerbit Gama Media, 2004), hal. 203.