Anda di halaman 1dari 19

PENGANTAR TARIKH TASYRI

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan (agama itu),
maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui. (Al-Jatsiyah: 18)

A. PENGERTIAN TARIKH TASYRI, MAKNA SYARIAH DAN TASYRI

Tarikh artinya catatan tentang perhitungan tanggal, hari, bulan dan tahun. Lebih
populer dan sederhana diartikan sebagai sejarah atau riwayat. Sedangkan syariah adalah
peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan (diwahyukan) oleh Allah kepada
Nabi Muhammad saw untuk manusia yang mencakup tiga bidang, yaitu keyakinan
(aturan-aturan yang berkaitan dengan aqidah), perbuatan (ketentuan-ketentuan yang
berkaitan dengan tindakan hukum seseorang) dan akhlak (tentang nilai baik dan buruk).

Sedangkan tasyri berarti penetapan atau pemberlakuan syariat yang


berlangsung sejak diutusnya Rasulullah saw dan berakhir hingga wafat beliau. Namun
para ulama kemudian memperluas pembahasan tarikh (sejarah) tasyri sehingga
mencakup pula perkembangan fiqh Islami dan proses kodifikasinya serta ijtihad-ijtihad
para ulama sepanjang sejarah umat Islam. Oleh karena itu pembahasan tarikh tasyri
dimulai sejak pertama kali wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad saw hingga masa
kini. Tasyri' juga bermakna legislation, enactment of law, artinya penetapan undang-
undang dalam agama Islam. Kata Syariat secara bahasa berarti al-utbah (lekuk liku
lembah), dan maurid al- ma'i (sumber air) yang jernih untuk diminum. Lalu kata ini
digunakan untuk mengungkapkan al-thariqah al-mustaqimah (jalan yang lurus). Sumber
air adalah tempat kehidupan dan keselamatan jiwa, begitu pula dengan jalan yang lurus
yang menunjuki manusia kepada kebaikan, di dalamnya terdapat kehidupan dan
kebebasan dari dahaga jiwa dan akal. Sebagaiman firman Allah SWT dalam surat al-
Jatsiah ayat 18 di atas. Juga firman Allah SWT dalam surat al-Syura ayat 13. Dia Telah
mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan- Nya kepada Nuh.
Dan firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 48. .untuk tiap-tiap umat diantara
kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Syari'ah adalah "law statute"
artinya hukum yang telah ditetapkan dalam agama Islam. Syariat menurut fuqaha berarti
hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT melalui Rasul untuk hamba-Nya agar mereka
mentaati hukum ini atas dasar iman, baik yang berkaitan dengan aqidah, amaliah atau
disebut ibadah dan muamalah atau yang berkaitan dengan akhlak. Menurut Muhammad
Ali al-Tahanuwi, syariat adalah hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk hamba-Nya
yang disampaikan melalui para Nabi atau Rasul, baik hukum yang berhubungan dengan
amaliah atau aqidah. Syariat disebut juga din (agama) dan millah. Syariah Islamiyah
didefinisikan dengan apa yang telah ditetapkan Allah Taala untuk hamba-hamba-Nya
berupa aqidah, ibadah, akhlaq, muamalat, dan sistem kehidupan yang mengatur hubungan
mereka dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama makhluk agar terwujud kebahagiaan
dunia dan akhirat.

Tarikh al-tasyri' menurut Muhammad Ali al-sayis adalah : "Ilmu yang


membahas keadaan hukum Islam pada masa kerasulan (Rasulullah SAW masih
hidup) dan sesudahnya dengan periodisasi munculnya hukum serta hal-hal yang
berkaitan dengannya, (membahas) ciri-ciri spesifikasi keadaan fuqaha dan
mujtahid dalam merumuskan hukum-hukum tersebut.

Menurut Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, tasyri' adalah pembentukan dan
penetapan perundang-undangan yang mengatur hukum perbuatan orang mukallaf dan
hal-hal yang terjadi tentang berbagai keputusan serta peristiwa yang terjadi dikalangan
mereka. Jika pembentukan undang-undang ini sumbernya dari Allah dengan perantaraan
Rasul dan kitab-kitabnya, maka hal itu dinamakan perundang-undangan Allah (at-
Tasyri'ul Ilahiyah). Sedangkan jika sumbernya datang dari manusia baik secara individual
maupun kolektif, maka hal itu dinamakan perundang-undangan buatan manusia (at-
Tasyri'ul Wadh'iyah). Secara sederhana Tarikh Tasyri' adalah sejarah penetapan hukum
Islam yang dimulai dari zaman Nabi sampai sekarang.

B. RUANG LINGKUP BAHASAN TARIKH TASYRI & MACAM-MACAM


TASYRI

Meliputi :
1. Periodisasi hukum
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan ciri-ciri spesifikasinya
3. Fuqaha dan mujtahid
4. Pemikiran para mujtahid serta sistem pemikiran yang dipakai atau sistem istinbath.
Pembahasan tarikh tasyri' terbatas pada keadaan perundang-undangan Islam dari
zaman ke zaman yang dimulai dari zaman Nabi saw sampai zaman berikutnya, yang
ditinjau dari sudut pertumbuhan perundang-undangan Islam, termasuk didalamnya hal-
hal yang menghambat dan mendukungnya serta biografi sarjana-sarjana fiqh yang banyak
mengarahkan pemikirannya dalam upaya menetapkan perundang-undangan Islam. Kamil
Musa dalam al-madkhal ila tarikh at-Tasyri' al-Islami, mengatakan bahwa Tarikh
Tasyri' tidak terbatas pada sejarah pembentukan al Qur'an dan As Sunnah. Ia juga
mencakup pemikiran, gagasan dan ijtihad ulama pada waktu atau kurun tertentu.
Macam-macam Tasyri', Secara umum tasyri' dapat dibedakan menjadi dua
yaitu dilihat dari sudut sumbernya dan dari sudut kekuatannya. Tasyri' dilihat dari sudut
sumbernya dibentuk pada periode Rasulullah SAW yaitu al-Qur'an dan Sunah.
Sedangkan tasyri' kedua yang dilihat dari kekuatan dan kandungannya mencakup
ijtihad sahabat, tabi'in dan ulama sesudahnya. Tasyri' tipe kedua ini dalam pandangan
Umar Sulaiman al-Asyqar dapat dibedakan menjadi dua bidang. Pertama bidang ibadah
dan kedua bidang muamalat. Dalam bidang ibadah, fiqh dibagi menjadi beberapa topik,
yaitu : Thaharah, Shalat, Zakat, Puasa, I'tikaf, Jenazah, Haji, umrah, sumpah, nadzar,
jihad, makanan, minuman, kurban dan sembelihan. Bidang muamalat dibagi menjadi
beberapa topik yaitu perkawinan dan perceraian, uqubat (hudud, qishash, dan ta'zir), jual
beli, bagi hasil (qiradl), gadai, musaqah, muzara'ah, upah, sewa, memindahkan utang
(hiwalah), syuf'ah, wakalah, pinjam meminjam ('ariyah), barang titipan, ghashab,
luqathah (barang temuan), jaminan (kafalah), seyembara (fi'alah), perseroan (syirkah),
peradilan, waqaf, hibah, penahanan dan pemeliharaan (al-hajr), washiat dan faraid
(pembagian harta warisan).

Akan tetapi ulama Hanafiah seperti Ibnu Abidin berbeda pendapat dalam
pembagian fiqh. Dia membagi fiqh menjadi tiga bagian yaitu ibadah, muamalat dan
uqubat. Cakupan fiqh ibadah dalam pandangan mereka shalat, zakat, puasa, haji dan
jihad. Cakupan fiqh muamalat adalah pertukaran harta seperti jual beli, titipan, pinjam
meminjam, perkawinan, mukhasamah (gugatan), saksi, hakim dan peradilan. Sedangkan
cakupan fiqh uqubat dalam pandangan ulama Hanafiah adalah qishash, sanksi pencurian,
sanksi zina, sanksi menuduh zina dan sanksi murtad. Ulama syafi'iyah berbeda pendapat
dengan mereka. Fiqh dibedakan menjadi empat yaitu fiqh yang berhubungan dengan
kegiatan yang bersifat ukhrawi (ibadah), fiqh yang berhubungan dengan kegiatan yang
bersifat duniawi (muamalat), fiqh yang berhubungan dengan masalah keluarga
(munakahat) dan fiqh yang berhubungan penyelenggaraan ketertiban negara (uqubat).

C. URGENSI & KEGUNAAN MEMPELAJARI TARIKH TASYRI

1. Melalui kajian tarikh tasyri kita dapat mengetahui prinsip dan tujuan syariat Islam.

2. Melalui kajian tarikh tasyri kita dapat mengetahui kesempurnaan dan syumuliyah
(integralitas) ajaran Islam terhadap seluruh aspek kehidupan yang tercermin dalam
peradaban umat yang agung terutama di masa kejayaannya. Bahwa penerapan syariat
Islam berarti perhatian dan kepedulian negara dan masyarakat terhadap pendidikan,
ilmu pengetahuan, ekonomi, akhlaq, aqidah, hubungan sosial, sangsi hukum, dan
aspek-aspek lainnya. Dengan demikian adalah keliru jika ada persepsi bahwa syariat
Islam hanyalah berisi hukum pidana seperti qishash, rajam, dan sejenisnya.

3. Melalui kajian tarikh tasyri kita dapat menghargai usaha dan jasa para ulama, mulai
dari para sahabat Rasulullah saw hingga para imam dan murid-murid mereka dalam
mengisi khazanah ilmu dan peradaban kaum muslimin. Semua itu mereka ambil dari
cahaya kenabian yang dibawa oleh Rasulullah saw.

4. Melalui kajian ini akan tumbuh dalam diri kita kebanggaan terhadap Syariat Islam
sekaligus optimisme akan kembalinya siyadah al-syariah (kepemimpinan syariat)
dalam kehidupan umat di masa depan.

Untuk mengetahui KEGUNAAN mempelajari sejarah hukum Islam, harus


diketahui terlebih dahulu latar belakang munculnya suatu hukum, baik yang didasarkan
pada al-Qur'an dan Sunah maupun tidak. Kalau tidak, maka akan melahirkan pemahaman
hukum yang cenderung ekstrim bahkan mengarah pada merasa benar sendiri. Oleh
karena itu memahami hukum Islam dengan mengetahui latar belakang
pembentukan hukumnya menjadi sangat penting agar tidak salah dalam
memahami hukum Islam itu. Misalnya, fiqh adalah hasil produk pemikiran ulama baik
secara individu maupun kolektif. Oleh karena itu mempelajari perkembangan fiqh berarti
mempelajari pemikiran ulama yang telah melakukan ijtihad dengan segala kemampuan
yang memilikinya. Dengan demikian mempelajari sejarah hukum Islam berarti
melakukan langkah awal dalam mengkonstruksikan pemikiran ulama klasik dan langkah-
langkah ijtihadnya untuk diimplementasikan sehingga kemaslahatan manusia senantiasa
terpelihara. Di antara kegunaan mempelajari sejarah hukum Islam adalah agar
dapat melahirkan sikap hidup toleran dan untuk mewarisi pemikiran ulama klasik
dan langkah-langkah ijtihadnya agar dapat mengembangkan gagasan-gagasannya.

D. SYARIAT ISLAM dan HUKUM WADHI (HUKUM POSITIF)

Antara syariat Islam yang bersumber dari Allah Taala dengan hukum dan
undang-undang buatan manusia sebenarnya tak dapat dibandingkan, mengingat
perbedaan antara Al-Khaliq yang Maha Sempurna dengan makhluk yang maha lemah dan
maha kurang. Keraguan terhadap kelaikan dan keadilan syariat Islam berarti keraguan
terhadap sifat Allah Taala yang Maha Sempurna, Maha Tahu dan Maha Bijaksana, atau
berarti keinginan kuat untuk membebaskan hawa nafsu dari aturan-aturan Ilahi. Dan
kedua hal ini berarti kekufuran. Al-Syahid Abdul Qadir Audah dalam bukunya Al-
Tasyri Al-Jina-i fi Al-Islam (Hukum Pidana dalam Islam) menyebutkan beberapa
keunggulan syariat Islam atas hukum dan undang-undang buatan manusia, di
antaranya:

1. Hukum wadhi tidak mengandung keadilan yang hakiki karena dibuat oleh
manusia yang memiliki hawa nafsu serta kepentingan. Jiwa Manusia tunduk
dengan perasaan dan kecenderungan tertentu sehingga produk hukum yang
dihasilkan pun tidak mungkin merealisasikan keadilan hakiki. Sedangkan syariat
Islam bersumber dari Allah Yang Maha Kaya dan tidak membutuhkan
makhluk-Nya sehingga keadilannya adalah sebuah kepastian.
Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia
bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Luqman: 12). Tuhanku tidak
akan salah dan tidak (pula) lupa. (Thaha: 52). Telah sempurnalah kalimat
Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat
mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui. (Al-Anam: 115). Dan hendaklah kamu memutuskan perkara
di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka. (Al-Maidah: 49).

2. Manusia tidak tahu pasti apa yang akan terjadi di masa depan, apa lagi masa
depan yang jauh. Pengetahuan manusia hanya didasari pengalaman dan keadaan
yang melingkupinya saat ini. Oleh karena itu, hukum dan peraturan yang
dibuatnya hanya mempertimbangkan kekinian dan kesinian serta pasti
perlu diubah dan diperbaiki di lain tempat dan waktu. Berbeda dengan
syariat yang bersumber dari Dzat yang Maha Mengetahui masa lalu, kini
dan masa depan, pasti mampu menjawab tantangan setiap tempat dan
zaman.
Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu tampakkan
atau rahasiakan)?! Padahal Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui? (Al-Mulk:
14).

3. Hukum wadhi memiliki prinsip-prinsip yang terbatas, diawali


kemunculannya dari aturan keluarga, kemudian berkembang menjadi
aturan suku atau kabilah dan seterusnya. Dan baru memiliki teori-teori
ilmiahnya pada abad ke-19 M. Berbeda dengan syariat Islam yang sejak masa
kehidupan Rasulullah saw telah menjadi undang-undang yang lengkap dan
sempurna memenuhi segala kebutuhan individu, keluarga, masyarakat,
negara serta hubungan internasional. Di samping itu, sejak diturunkan,
Syariat Islam tidak terbatas hanya untuk kaum atau bangsa tertentu
melainkan untuk semua umat manusia sepanjang zaman.
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam. (Al-Anbiya: 107). Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa
untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka
dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam
itu jadi agama bagimu. (Al-Maidah: 3).

4. Hukum wadhi hanya mengatur hubungan sesama manusia tanpa memiliki


konsep aqidah tauhid yang menghubungkan semua itu dengan Allah Taala.
Sedangkan syariat Islam dilandasi oleh tauhid dan keimanan kepada Allah dan
hari akhir yang menjadi motivasi utama ketaatan seorang hamba kepada syariat
Allah Taala. Oleh karenanya hukum wadhi kehilangan kekuasaannya atas
jiwa manusia di mana ia hanya mengandalkan sangsi hukum semata dan ini
memberi kesempatan kepada para penjahat untuk mencari celah kelemahan
hukum dan menggunakan berbagai tipu muslihat agar lepas dari jeratan
hukum. Sedangkan syariat Islam selalu memperhatikan pembinaan aqidah
umat sebelum, ketika, dan setelah penegakan hukum-hukumnya, sehingga
sanksi hukum hanyalah salah satu faktor untuk membuat masyarakat
menjadi baik dan tertib. Motivasi spiritual, berupa pengawasan Allah Taala,
rasa harap akan ridha-Nya dan takut akan murka-Nya menjadi faktor utama
ketaatan warga negara terhadap hukum. Dan barangsiapa yang membunuh
seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di
dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan
azab yang besar baginya. (An-Nisa: 93)


:

.



Dari Ummu Salamah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya
kalian mengadukan perkara di antara kalian kepadaku, boleh jadi salah satu pihak
lebih pandai berargumentasi dari pada pihak lain (sehingga aku memenangkannya).
Maka siapa yang aku menangkan perkaranya karena kepandaiannya berargumentasi
(padahal sebenarnya lawannya yang berhak dimenangkan), berarti aku telah
memberikan kepadanya bagian dari siksa neraka, maka janganlah ia
mengambilnya. (H.R. Bukhari-Muslim).
5. Hukum wadhi mengabaikan faktor-faktor akhlaq dan menganggap
pelanggaran hukum hanya terbatas pada hal-hal yang membahayakan
individu atau masyarakat secara langsung. Namun hukum wadhi tidak
memberi sangsi atas perbuatan zina, misalnya, kecuali jika ada unsur paksaan dari
salah satu pihak. Hukum wadhi tidak memberi sangsi atas peminum minuman
keras kecuali jika dilakukan di depan umum dan mengancam keamanan orang
lain. Hukum wadhi tidak memberi sanksi bagi pezina karena zina adalah
perbuatan keji yang merusak moral, mengganggu keutuhan rumah tangga, menga-
caukan nasab keturunan, dan berpotensi menimbulkan berbagai bahaya kesehatan
serta tersebarnya kerusakan moral. Hukum wadhi tidak menghukum peminum
arak karena arak dan semua yang memabukkan itu merusak akal dan tubuh,
merusak akhlaq, dan menyia-nyiakan harta. Tetapi sekali lagi sangsi hukum hanya
diberlakukan jika perbuatan itu dianggap membahayakan orang lain secara
langsung dalam konteks fisik dan keamanan. Sedangkan syariat Islam adalah
syariat akhlaq yang memperhatikan kebaikan mental dan fisik masyarakat
secara umum, memperhatikan kebahagiaan dunia akhirat sekaligus,
sehingga Islam melarang dan menetapkan sangsi atas zina karena ia adalah
perbuatan keji yang diharamkan Allah Swt dengan berbagai dampak negatifnya
meskipun dilakukan suka sama suka, begitu pula dengan minum minuman yang
memabukkan. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (Al-Isra: 32). Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan
berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan menegakkan shalat;
maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (Al-Maidah: 90-91)

E. FASE-FASE TARIKH TASYRI


1. Fase Tasyri: dari awal kenabian Muhammad saw hingga wafat beliau (11 H).
2. Fase Perkembangan Fiqh Pertama: Masa Khulafa Rasyidin, 11-40 H.
3. Fase Perkembangan Fiqh Kedua: Masa Sahabat Yunior atau Tabiin Senior
sampai Permulaan Abad 2 H.
4. Fase Perkembangan Fiqh Ketiga: dari Permulaan Abad ke-2 hingga
Pertengahan Abad ke-4 Hijriyah.
5. Fase Perkembangan Fiqh Keempat: dari Pertengahan Abad ke-4 hingga
Jatuhnya Baghdad tahun 656 H.
6. Fase Perkembangan Fiqh Kelima: dari Jatuhnya Baghdad hingga kini.

Dalam menyusun sejarah pembentukan dan pembinaan hukum (fiqh) Islam, di


kalangan ulama fiqh kontemporer terdapat beberapa macam cara. Dua diantaranya yang
terkenal adalah cara menurut Syekh Muhammad Khudari Bek (mantan dosen
Universitas Cairo) dan cara Mustafa Ahmad az-Zarqa (guru besar fiqh Islam
Universitas Amman, Yordania). Cara pertama, periodisasi pembentukan hukum (fiqh)
Islam oleh Syekh Muhammad Khudari Bek dalam bukunya, Tarikh at-Tasyri al-Islamy
(Sejarah Pembentukan Hukum Islam). Ia membagi masa pembentukan hukum (fiqh)
Islam dalam enam periode, yaitu:
1. Periode awal, sejak Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul;
2. Periode para sahabat besar;
3. Periode sahabat kecil dan tabiin;
4. Periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H;
5. Periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab; dan
6. Periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan [1217-
1265]) sampai sekarang.

Cara kedua, pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Mustafa Ahmad az-Zarqa
dalam bukunya, al-Madkhal al-Fiqhi al-Amm (Pengantar Umum fiqh Islam). Ia
membagi periodisasi pembentukan dan pembinaan hukum Islam dalam tujuh periode. Ia
setuju dengan pembagian Syekh Khudari Bek sampai periode kelima, tetapi ia membagi
periode keenam menjadi dua bagian, yaitu:

1. Periode sejak pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majallah al-Ahkam


al-Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada tahun 1286 H; dan

2. Periode sejak munculnya Majallah al-Ahkam al-Adliyyah sampai sekarang.

Periodisasi sejarah pembentukan hukum Islam menurut Mustafa Ahmad az-


Zarqa adalah sebagai berikut:

PERIODE PERTAMA

Masa Rasulullah SAW. Pada periode ini, kekuasaan pembentukan hukum berada
di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Quran. Apabila
ayat Al-Quran tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia, dengan
bimbingan Allah SWT menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini dinamakan
sunnah Rasulullah SAW. Istilah fiqh dalam pengertian yang dikemukakan ulama fiqh
klasik maupun modern belum dikenal ketika itu. ilmu dan fiqh pada masa Rasulullah
SAW mengandung pengertian yang sama, yaitu mengetahui dan memahami dalil berupa
Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW. Pengertian fiqh di zaman Rasulullah SAW
adalah seluruh yang dapat dipahami dari nash (ayat atau hadits), baik yang berkaitan
dengan masalah aqidah, hukum, maupun kebudayaan. Disamping itu, fiqh pada periode
ini bersifat aktual, bukan bersifat teori. Penentuan hukum terhadap suatu masalah
baru ditentukan setelah kasus tersebut terjadi, dan hukum yang ditentukan hanya
menyangkut kasus itu. Dengan demikian, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, pada
periode Rasulullah SAW belum muncul teori hukum seperti yang dikenal pada beberapa
periode sesudahnya. Sekalipun demikian, Rasulullah SAW telah mengemukakan kaidah-
kaidah umum dalam pembentukan hukum Islam, baik yang berasal dari Al-Quran
maupun dari sunnahnya sendiri.

PERIODE KEDUA

Masa al-Khulafa ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar) sampai pertengahan abad


ke-1 H. Pada zaman Rasulullah SAW para sahabat dalam menghadapi berbagai masalah
yang menyangkut hukum senantiasa bertanya kepada Rasulullah SAW. setelah ia wafat,
rujukan untuk tempat bertanya tidak ada lagi. Oleh sebab itu, para sahabat besar
melihat bahwa perlu dilakukan ijtihad apabila hukum untuk suatu persoalan yang
muncul dalam masyarakat tidak ditemukan di dalam Al-Quran atau sunnah
Rasulullah SAW. Ditambah lagi, bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam
membuat persoalan hukum semakin berkembang karena perbedaan budaya di
masing-masing daerah. Dalam keadaan seperti ini, para sahabat berupaya untuk
melakukan ijtihad dan menjawab persoalan yang dipertanyakan tersebut dengan hasil
ijtihad mereka. Ketika itu para sahabat melakukan ijtihad dengan berkumpul dan
memusyawarahkan persoalan itu. Apabila sahabat yang menghadapi persoalan itu tidak
memiliki teman musyawarah atau sendiri, maka ia melakukan ijtihad sesuai dengan
prinsip-prinsip umum yang telah ditinggalkan Rasulullah SAW. Pengertian fiqh dalam
periode ini masih sama dengan fiqh di zaman Rasulullah SAW, yaitu bersifat aktual,
bukan teori. Artinya, ketentuan hukum bagi suatu masalah terbatas pada kasus itu saja,
tidak merambat kepada kasus lain secara teoretis.

PERIODE KETIGA

Pertengahan abad ke-1 H sampai awal abad ke-2 H. Periode ini merupakan
awal pembentukan fiqh Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656), khalifah
ketiga, para sahabat sudah banyak yang bertebaran di berbagai daerah yang ditaklukkan
Islam. Masing-masing sahabat mengajarkan Al-Quran dan hadits Rasulullah SAW
kepada penduduk setempat. Di Irak dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah
Abdullah bin Masud (Ibnu Masud), Zaid bin Sabit (11 SH/611 M-45 H/665 M) dan
Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) di Madinah dan Ibnu Abbas di Makkah. Masing-
masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai dengan keadaan
masyarakat setempat. Para sahabat ini kemudian berhasil membina kader masing-masing
yang dikenal dengan para tabiin. Para tabiin yang terkenal itu adalah Said bin
Musayyab (15-94 H) di Madinah, Atha bin Abi Rabah (27-114H) di Makkah,
Ibrahiman-Nakhai (w. 76 H) di Kufah, al-Hasan al-Basri (21 H/642 M-110H/728M)
di Basra, Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus di Yaman. Mereka ini kemudian
menjadi guru-guru terkenal di daerah masing-masing dan menjadi panutan untuk
masyarakat setempat. Persoalan yang mereka hadapi di daerah masing-masing berbeda
sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula. Masing-masing ulama di daerah
tersebut berupaya mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka, sehingga
muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat tersebut. Dari perbedaan metode yang
dikembangkan para sahabat ini kemudian muncullah dalam fiqh Islam Madrasah al-
hadits (madrasah = aliran) dan Madrasah ar-rayu. Madrasah al-hadits kemudian dikenal
juga dengan sebutan Madrasah al-Hijaz dan Madrasah al-Madinah; sedangkan
Madrasah ar-rayu dikenal dengan sebutan Madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Kufah.
Kedua aliran ini menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah al-
Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada hadits karena mereka banyak mengetahui
hadits-hadits Rasulullah SAW, di samping kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat
sederhana dan pemecahannya tidak banyak memerlukan logika dalam berijtihad.
Sedangkan Madrasah al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih banyak
menggunakan logika dalam berijtihad. Hal ini mereka lakukan karena hadits-hadits
Rasulullah SAW yang sampai pada mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka
hadapi jauh lebih berat dan beragam, baik secara kualitas & kuantitas, dibandingkan yang
dihadapi Madrasah al-Hijaz. Ulama Hijaz berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki
budaya homogen, sedang ulama Irak berhadapan dengan masyarakat yang relatif
majemuk. Oleh sebab itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, tidak mengherankan jika
ulama Irak banyak menggunakan logika dalam berijtihad.

Pada periode ketiga ini, pengertian fiqh sudah beranjak dan tidak sama lagi
dengan pengertian ilmu, sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan
kedua, karena fiqh sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang
mengandung pengertian mengetahui hukum-hukum syara yang bersifat amali
(praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci. Di samping fiqh, pada periode ketiga ini
pun ushul fiqh telah matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Berbagai
metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan dan istislah, telah dikembangkan oleh ulama
fiqh. Dalam perkembangannya, fiqh tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi
juga menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah fiqh iftird
(fiqh berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa
datang).

Pada periode ketiga ini pengaruh rayu (ar-rayu; pemikiran tanpa berpedoman
kepada Al-Quran dan sunnah secara langsung) dalam fiqh semakin berkembang karena
ulama Madrasah al-hadits juga mempergunakan rayu dalam fiqh mereka. Di samping
itu, di Irak muncul pula fiqh Syiah yang dalam beberapa hal berbeda dari fiqh
Ahlusunnah wal Jamaah (imam yang empat).

PERIODE KEEMPAT

Pertengahan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H. Periode ini disebut
sebagai periode gemilang karena fiqh dan ijtihad ulama semakin berkembang. Pada
periode inilah muncul berbagai mazhab, khususnya mazhab yang empat, yaitu
Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafii dan Mazhab Hanbali. Pertentangan
antara Madrasah al-hadits dengan Madrasah ar-rayu semakin menipis sehingga masing-
masing pihak mengakui peranan rayu dalam berijtihad, seperti yang diungkapkan oleh
Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar fiqh di Universitas al-Azhar, Mesir, bahwa
pertentangan ini tidak berlangsung lama, karena ternyata kemudian masing-masing
kelompok saling mempelajari kitab fiqh kelompok lain. Imam Muhammad bin Hasan
asy-Syaibani, ulama dari Mazhab Hanafi yang dikenal sebagai Ahlurrayu (Ahlulhadits
dan Ahlurrayu), datang ke Madinah berguru kepada Imam Malik dan mempelajari
kitabnya, al-Muwaththa (buku hadits dan fiqh). Imam asy-Syafii, salah seorang tokoh
ahlulhadits, datang belajar kepada Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Imam Abu Yusuf,
tokoh ahlurrayu, banyak mendukung pendapat ahli hadits dengan mempergunakan
hadits-hadits Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah.
kitab-kitab fiqh banyak berisi rayu dan hadits. Hal ini menunjukkan adanya titik temu
antara masing-masing kelompok.

Kitab-kitab fiqh pun mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah pun
mulai menganut salah satu mazhab fiqh resmi negara, seperti dalam pemerintahan
Daulah Abbasiyah yang menjadikan fiqh Mazhab Hanafi sebagai pegangan para
hakim di pengadilan. Disamping sempurnanya penyusunan kitab fiqh dalam
berbagai mazhab, dalam periode ini juga disusun kitab-kitab ushul fiqh, seperti
kitab ar-Risalah yang disusun oleh Imam Syafii. Sebagaimana pada periode ketiga,
pada periode ini fiqh iftird semakin berkembang karena pendekatan yang
dilakukan dalam fiqh tidak lagi pendekatan aktual di kala itu, tetapi mulai bergeser
pada pendekatan teoritis. Oleh sebab itu, hukum untuk permasalahan yang
mungkin akan terjadi pun sudah ditentukan.

PERIODE KELIMA

Pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Periode ini ditandai
dengan menurunnya semangat ijtihad di kalangan ulama fiqh, bahkan mereka
cukup puas dengan fiqh yang telah disusun dalam berbagai mazhab. Ulama lebih
banyak mencurahkan perhatian dalam mengomentari, memperluas atau meringkas
masalah yang ada dalam kitab fiqh mazhab masing-masing. Lebih jauh, Mustafa
Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa pada periode ini muncullah anggapan bahwa pintu
ijtihad sudah tertutup. Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan beberapa penyebab
yang menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada periode ini, yaitu sebagai berikut:

1. Munculnya sikap taassub madzhab (fanatisme mazhab imamnya) di kalangan


pengikut mazhab. Ulama ketika itu merasa lebih baik mengikuti pendapat yang
ada dalam mazhab daripada mengikuti metode yang dikembangkan imam
mazhabnya untuk melakukan ijtihad;

2. Dipilihnya para hakim yang hanya bertaqlid kepada suatu mazhab oleh pihak
penguasa untuk menyelesaikan persoalan, sehingga hukum fiqh yang diterapkan
hanyalah hukum fiqh mazhabnya; sedangkan sebelum periode ini, para hakim
yang ditunjuk oleh penguasa adalah ulama mujtahid yang tidak terikat sama sekali
pada suatu mazhab; dan

3. Munculnya buku fiqh yang disusun oleh masing-masing mazhab; hal ini pun,
menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, membuat umat Islam mencukupkan diri
mengikuti yang tertulis dalam buku-buku tersebut.

Sekalipun ada mujtahid yang melakukan ijtihad ketika itu, ijtihadnya hanya
terbatas pada mazhab yang dianutnya. Di samping itu, menurut Imam Muhammad Abu
Zahrah, perkembangan pemikiran fiqh serta metode iitihad menyebabkan banyaknya
upaya tarjadi (menguatkan satu pendapat) dari ulama dan munculnya perdebatan
antarmazhab di seluruh daerah. Hal ini pun menyebabkan masing-masing pihak/mazhab
menyadari kembali kekuatan dan kelemahan masing-masing. Akan tetapi, sebagaimana
dituturkan Imam Muhammad Abu Zahrah, perdebatan ini kadang-kadang jauh dari sikap-
sikap ilmiah.
PERIODE KEENAM

Pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majallah al-Ahkam al-Adliyyah


pada tahun 1286 H. Periode ini diawali dengan kelemahan semangat ijtihad dan
berkembangnya taklid serta taassub (fanatisme) mazhab. Penyelesaian masalah
fiqh tidak lagi mengacu pada Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW serta
pertimbangan tujuan syara dalam menetapkan hukum, tetapi telah beralih pada
sikap mempertahankan pendapat mazhab secara jumud (konservatif). Upaya
mentakhrij (mengembangkan fiqh melalui metode yang dikembangkan imam
mazhab) dan mentarjih pun sudah mulai memudar. Ulama merasa sudah cukup
dengan mempelajari sebuah kitab fiqh dari kalangan mazhabnya, sehingga
penyusunan kitab fiqh pada periode ini pun hanya terbatas pada meringkas dan
mengomentari kitab fiqh tertentu. Di akhir periode ini pemikiran ilmiah berubah
menjadi hal yang langka. Di samping itu, keinginan penguasa pun sudah masuk ke dalam
masalah-masalah fiqh. Pada akhir periode ini dimulai upaya kodifikasi fiqh (hukum)
Islam yang seluruhnya diambilkan dari mazhab resmi pemerintah Turki Usmani
(Kerajaan Ottoman; 1300-1922), yaitu Mazhab Hanafi, yang dikenal dengan
Majallah al-Ahkam al-Adliyyah.

PERIODE KETUJUH

Sejak munculnya Majallah al-Ahkam al- Adliyyah sampai sekarang. Ada tiga
ciri pembentukan fiqh Islam pada periode ini, yaitu:
1. Munculnya Majallah al-Ahkam al-Adliyyah sebagai hukum perdata umum
yang diambilkan dari fiqh Mazhab Hanafi;
2. Berkembangnya upaya kodifikasi hukum Islam;
3. Munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di
seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman.

Munculnya kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majallah al-Ahkam


al-Adliyyah dilatarbelakangi oleh kesulitan para hakim dalam menentukan hukum yang
akan diterapkan di pengadilan, sementara kitab-kitab fiqh muncul dari berbagai mazhab
dan sering dalam satu masalah terdapat beberapa pendapat. Memilih pendapat terkuat
dari berbagai kitab fiqh merupakan kesulitan bagi para hakim di pengadilan, di samping
memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab itu, pemerintah Turki Usmani berpendapat
bahwa harus ada satu kitab fiqh/hukum yang bisa dirujuk dan diterapkan di pengadilan.
Untuk mencapai tujuan ini dibentuklah sebuah panitia kodifikasi hukum perdata. Pada
tahun 1286 H panitia ini berhasil menyusun hukum perdata Turki Usmani yang dinamai
dengan Majallah al-Ahkam al-Adliyyah yang terdiri atas 1.851 pasal. Setelah berhasil
dengan penyusunan Majallah al-Ahkam al-Adliyyah, para penguasa di negeri-negeri
Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki Usmani mulai pula menyusun
kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang perdata, pidana, maupun ketatanegaraan.
Pada abad ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan ulama dari berbagai negara
Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta menimbang dalil
yang paling kuat diantara semua pendapat itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja
dari mazhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat dan tabiin, dengan syarat bahwa
pendapat itu lebih tepat dan sesuai. Bersumber dari berbagai pendapat atas pendapat
terkuat dari berbagai mazhab, maka pada tahun 1333 H pemerintah Turki Usmani
menyusun kitab hukum keluarga (al-Ahwal asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan
dari berbagai pendapat mazhab. Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai
pemikiran mazhab yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah
kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Pada tahun 1920 dan 1925
pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga yang disaring dari
pendapat yang ada dalam berbagai kitab fiqh. Dengan demikian, seluruh pendapat dalam
mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum dan boleh dipilih untuk diterapkan di
berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan.

Semangat kodifikasi hukum (fiqh) Islam di berbagai negara Islam ikut didorong
oleh pengaruh hukum Barat yang mulai merambat ke berbagai dunia Islam. Pengaruh
hukum Barat ini menyadarkan ulama untuk merujuk kembali khazanah intelektual
mereka dan memilih pendapat mazhab yang tepat diterapkan saat ini. Lebih jauh lagi,
menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, di daerah yang berpenduduk mayoritas Islam, upaya
penerapan hukum Islam dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi setempat mulai
berkembang. Di banyak negara Islam telah bermunculan hukum keluarga yang diambil
dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania, Suriah, Sudan, Maroko, Afghanistan,
Turki, Iran, Pakistan, Malaysia dan Indonesia.

Ali Hasaballah, ahli fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa upaya penerapan hukum
Islam di berbagai neqara Islam semakin tampak. Akan tetapi, pembentukan dan
pengembangan hukum Islam tersebut, menurutnya, tidak harus mengacu kepada kitab-
kitab fiqh yang ada, tetapi dengan melakukan ijtihad kembali ke sumber aslinya, yaitu Al-
Quran dan sunnah Rasulullah SAW. Menurutnya, ijtihad jamai (kolektif) harus
dikembangkan dengan melibatkan berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu, tidak
hanya ulama fiqh, tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran
dan sosiologi. Dengan demikian, hukum fiqh menjadi lebih akomodatif jika dibandingkan
dengan hukum fiqh dalam kitab berbagai mazhab.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/6/1/pustaka-115.html

http://www.dakwatuna.com/2006/tarikh-tasyri-bagian-pertama/

Muhammad Ali Sayis, Tarikh fal-Fiqh Islamy (Beirut:Dar al-kutub al-


Ilmiyah,1990)

Muhammad Salam Madkur, Al Madkhal Li al fiqh al Islam ( Cairo : Dar an


Nadhah Islamiyah)

Umar Sulaiman al-Asygar, Tarikh al-Fiqh al- Islamy, (Amman: Dar al-
Nafais,1991)
Makna Tasyrik, Syariah, Tujuannya, Sejarah
Perkembangannnya, Ruang lingkupnya,
Kegunaannya serta Manfaatnya bagi Hukum
Islam
DI
S
U
S
U
N
OLEH :

1. Arbaiyah
2. Sri Utamni
3. Tengku Berlian
4. Fari Hanum
5. Putri Umayyah
6. Ramadhana
7. Nurhalimah
SEMESTER VI UNIT 7
PRODI : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI


ZAWIYAH COT KALA LANGSA
TAHUN AJARAN 2009 2010
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita rahmat dan hidayahnya
kepada kita semua sehingga sampai saat ini Allah masih menyayangi kita mencintai kita
memberikan kita ilmu pengetahuan.

Shalawat beserta salam kita sampaikan kepada junjungan alam yakni


baginda Rasulullah SAW yang telah membawa umatnya dari zaman zahiliyah ke zaman
yang penuh dengan pengetahuan dan teknologi sekarang ini.

Kami sebagai penyusun makalah ini sangat berterima kasih kepada teman-
teman mahasiswa yang sudi kiranya membaca makalah kami, dan memberikan kritik dan
saran terhadap makalah yang kami buat, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua, khususnya mahasiswa.

Apabila didalamnya terdapat kesalahan dalam penulisan teks atau penyajian


makalah dan bacaan yang kurang dipahami, kami sebagai penyusun mohon maaf. Kepada
Allah kami mohon ampun. Wassalamualaikum warahmatullahi wabaraakatuh

PENYUSUN
DAFTAR ISI

I. KATA PENGANTAR
II. DAFTAR ISI
III. PENGERTIAN TARIKH TASYRIK 1
A. Pengertian Tarikh Tasyrik, Makna Syariah dan
Tasyrik 1
B. Ruang Lingkup Bahasan Tarikh Tasyrik &
macam-macam Tasyrik 2
C. Urgensi & kegunaan Memperlajari Tarikh tasrik 3
D. Syariat Islam dan Hukum WadhI (Hukum Positif) 4
E. Fase-fase Tarikh Tasyrik 7
IV. DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai