Anda di halaman 1dari 10

Teknik analisis data kualitatif

Kita mulai dengan koding. Koding merupakan langkah dasar dalam operasionalisasi analisis data
kualitatif. Sampai pada tahap koding artinya data lapangan (awal) sudah dikumpulkan. Meskipun
demikian, tidak menutup kemungkinan peneliti ke lapangan lagi untuk mengumpulkan data lagi.
Begitulah riset kualitatif yang cenderung
membentuk proses sirkulasi dalam analisisnya.

metode analisis data kualitatif


Koding

Koding bisa dilakukan secara manual atau


menggunakan software analisis data kualitatif
seperti Atlas.ti atau Nvivo. Proses koding biasa
disebut juga indexing. Peneliti memberikan kode
pada teks atau narasi (data) yang ditemukan.
Misal, transkirp wawancara imajiner menunjukkan
narasi berikut:

◊ Pewawancara: Adakah buku keislaman yang


telah mengubah cara berpikir Anda sehingga Anda
memutuskan berhijrah?

♦ Informan: Saya suka membaca tulisan-


tulisan sarjana Islam kontemporer dari Barat
seperti John L. Esposito dan Tariq Ramadan. Tapi
yang membuat saya suka membaca buku adalah
ketika saya ditugaskan membuat review tentang
Ikhwanul Muslimin. Saya jadi tau siapa Hasan Al
Banna dan bagaimana dia bisa mendirikan
organisasi yang besar. Satu-satunya buku yang
saya khatam dua jilid membacanya adalah buku
Hasan Al Banna, seorang tokoh intelektual Mesir. Dari buku itu saya jadi menyukai Islam,
sedangkan yang saya lakukan dahulu penuh dengan dosa.
Peneliti bisa mengkoding teks tersebut ke dalam ”literatur Timur-Tengah”, misalnya. Atau bisa juga
koding ditulis dengan ”pernyataan mengapa suka membaca”. Berbagai cara koding bisa
dilakukan untuk mempermudah usaha analisis yang sistematis.

Baca juga: Pedoman Wawancara Penelitian

Penelitian yang kita lakukan masih sama seperti contoh di atas, yaitu tentang ’Konsumsi literatur
keislaman’. Contoh yang digunakan disini hanyalah contoh imajiner untuk keperluan
pembelajaran online semata.

Dari sampling teoritis yang kita kembangkan, ditemukan bahwa literatur keislaman yang diproduksi
oleh entitas yang berhubungan dengan NU dan Muhammadiah banyak beredar di toko buku dan
menjadi konsumsi publik. Namun anak muda yang memutuskan hijrah cenderung tidak
mengkonsumsi literatur tersebut.
Membuat konsep

Hasil koding data menunjukkan bahwa buku-buku keislaman terjemahan dari penulis mancanegara
banyak menginspirasi anak muda yang mengonsuminya untuk hijrah. Peneliti perlu memeriksa
lagi data lapangan atau bahkan mengumpulkan data lagi untuk memastikan apakah data baru
diperlukan. Jika data sudah dirasa jenuh, maka hasil koding bisa dijadikan konsep. Literatur
Timur-Tengah adalah sebuah konsep. Peneliti bisa mengartikan apa yang dimaksud dengan
literatur Timur-Tengah, apa yang dimaksud literatur NU, apa yang dimaksud literatur
Muhammadiyah, dan literatur lainnya, sesuai data lapangan.
Membuat kategori

Setelah konsep yang digunakan jelas, peneliti bisa menyusun kategori. Misalnya, membuat daftar
pernyataan informan mana saja yang masuk dalam ’literatur Timur-Tengah’, ’literatur lokal’, dan
sebagainya. Pembuatan kategori atau kategorisasi tidak kaku. Peneliti bisa saja melakukannya
dengan memunculkan istilah lain yang pernah disebutkan oleh informan dalam wawancara.
Misalnya, ’buku Islam ngepop’, ’buku Islam radikal’, dan lain sebagainya. Langkah berikutnya,
peneliti mengeksplorasi hubungan tiap kategori dan memastikan bahwa data (biasanya berbentuk
teks atau narasi) masuk dalam kategori yang sudah sesuai.
Membuat hipotesis

Dari kategori yang telah disusun, peneliti bisa membuat hipotesis. Misalnya, ’anak muda ibukota
yang telah hijrah lebih suka membaca literatur Timur-Tengah daripada literatur keislaman NU
atau Muhammadiyah’. Hipotesis ini menunjukkan bahwa buku karya penulis lokal tidak
mendorong orang untuk berhijrah atau hanya dibaca oleh anak muda yang memang sudah tidak
perlu berhijrah. Hipotesis itu tentunya harus diuji terlebih dahulu.
Memperoleh hasil analisis

Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, analisis data kualitatif hampir selalu tidak berjalan
linier. Peneliti ke lapangan, mentas lagi, ke lapangan lagi dan seterusnya untuk mendapatkan hasil
yang berkualitas. Riset kualitatif memiliki penekanan pada kualitas hasil penelitian, bukan
kuantitas. Setelah hipotesis diuji, peneliti bisa mengonfirmasi teori yang sudah ada,
mengembangkan teori atau membuat teori baru. Hasil analisis itu merupakan hasil studi yang siap
diuji dan dipresentasikan kepada khalayak.

ANALISIS DATA

Pada esensinya kegiatan pengumpulan dan analisis data dalam Grounded Theory adalah proses
yang saling berkaitan erat, dan harus dilakukan secara bergantian (siklus). Karena itu kegiatan
analisis –yang dibicarakan pada bagian berikut– telah dikerjakan pada saat pengumpulan data
sedang berlangsung.

Kegiatan analisis dalam penelitian ini dilakukan dalam bentuk pengkodean (coding).
Pengkodean merupakan proses penguraian data, pengonsepan, dan penyusunan kembali dengan
cara baru. Tujuan pengkodean dalam penelitian Grounded Theory adalah untuk; (a) menyusun
teori, (b) memberikan ketepatan proses penelitian, (c) membantu peneliti mengatasi bias dan
asumsi yang keliru, dan (d) memberikan landasan, memberikan kepadatan makna, dan
mengembangkan kepekaan untuk menghasilkan teori.

Terdapat dua prosedur analisis yang merupakan dasar bagi proses pengkodean, yaitu; (a)
pembuatan perbandingan secara terus-menerus (the constant comparative methode of analysis);
dan (b) pengajuan pertanyaan. Dalam konteks penelitian Grounded Theory, hal-hal yang
diperbandingkan itu cukup beragam, yang intinya berada pada sekitar; (i) relevansi fenomena
atau data yang ditemukan dengan permasalahan pokok penelitian, dan (ii) posisi dari setiap
fenomena dilihat dari sifat-sifat atau ukurannya dalam suatu tingkatan garis kontinum.

Pengkodean Terbuka (Open Coding)


Pelabelan fenomena

Pelabelan fenomena merupakan langkah awal dalam analisis. Yang dimaksud dengan pelabelan
fenomena adalah pemberian nama terhadap benda, kejadian atau informasi yang diperoleh
melalui pengamatan dan atau wawancara. Pada hakikatnya, pelabelan itu merupakan suatu
pembuatan nama dari setiap fenomena dengan konsep-konsep tertentu. Jadi pelabelan fenomena
itu tidak lain adalah satu kegiatan konseptualisasi data.

Cara untuk melakukan pelabelan ini ialah dengan membandingkan insiden-insiden, sampai dapat
diberikan nama yang sama untuk fenomena-fenomena yang serupa. Cara ini tidak sekedar
meringkas hasil pengamatan atau wawancara dengan kata-kata kunci sebagai ganti dari sebuah
deskripsi yang panjang, melainkan memberikan konsep baru terhadap fenomena (atau kegiatan
konseptualisasi). Sebagai contoh, jika peneliti melihat sekelompok orang duduk melingkar
mengelilingi sebuah meja besar, di mana masing-masing menyampaikan pendapat secara
bergantian di bawah kordinasi seorang yang mengatur lalu-lintas pembicaraan, maka fenomena
yang berlangsung dalam waktu yang lama ini dapat diberi label dengan diskusi atau rapat.

Penemuan dan penamaan kategori

Pada hakikatnya, setiap fenomena yang sudah diberi label adalah unit-unit data yang masih
berserakan. Kapasitas intelektual manusia tidak cukup kuat untuk sekaligus memproses dan
menganalisis informasi yang jumlahnya besar seperti itu. Untuk menyederhanakan data tersebut
perlu dipisahkan ke dalam beberapa kelompok. Penyederhanaan data itu pada umumnya
dilakukan dengan cara mereduksi data sehingga menjadi lebih ringkas dan padat, kemudian
membagi-baginya ke dalam kelompok-kelompok tertentu (kategorisasi) sesuai sifat dan
substansinya. Proses kategorisasi ini pada dasarnya tergantung pada tujuan penelitian yang sudah
ditetapkan pada rancangan penelitian.

Jika dalam pelabelan fenomena dilakukan proses konseptualisasi, maka dalam pemberian nama
kategori dilakukan proses abstraksi. Kegiatan ini berkaitan dengan logika induktif, di mana
sejumlah unit data yang sama atau memiliki keserupaan dikelompokkan dalam satu kategori
kemudian diberi nama yang lebih abstrak. Kambing, lembu, dan kerbau, misalnya, adalah
konsep-konsep yang memiliki keserupaan dan dapat dikelompokkan jadi satu kategori dengan
nama binatang menyusui (mamalia). Contoh lain, jika anda melihat anak-anak sedang bermain,
lalu ada yang “merebut” mainan, “menyembunyikan mainan”, “menjauhi teman”, “menangis”,
maka semua konsep perilaku itu dapat dijadikan satu kategori, yaitu sebagai “strategi untuk
menghindari pinjaman atas mainan miliknya”. Intinya adalah memadukan konsep-konsep –yang
menurut tujuan penelitian anda memiliki keserupaan—menjadi satu kategori dan kemudian
memberi label (nama) yang lebih abstrak yang mencakup semua konsep tersebut.

Dalam pemberian nama kategori ini, adakalanya peneliti membuat sendiri nama yang sesuai
dengan kelompok unit data, tetapi adakalanya meminjam istilah yang sudah dibuat oleh peneliti
atau ahli lainnya. Kedua-duanya tetap dibenarkan dalam Grounded Theory. Namun demikian,
cara pemberian nama yang paling dianjurkan, adalah dengan menggunakan istilah yang dipakai
oleh subyek yang diteliti, karena cara inilah yang disarankan sesuai dengan pendekatan emic
yang menjadi ciri dari setiap penelitian kualitatif.
Penyusunan Kategori

Dasar untuk penyusunan kategori adalah sifat dan ukurannya. Yang dimaksud dengan sifat di
sini adalah karakteristik atau atribut suatu kategori (yang berfungsi sebagai ranah ukuran,
dimensional range), sedangkan ukuran adalah posisi dari sifat dalam suatu kontinium. Lambang-
lambang Partai Golkar dalam suatu kampanye, misalnya, berupa kaos, jaket, topi, bendera,
spanduk, umbul-umbul, dan sebagainya, semua dikategorikan dengan “warna kuning”. “Warna
kuning” (kategori) dari lambang-lambang yang tampak itu sesungguhnya tidak persis sama, di
sana ada perbedaan baik dari segi intensitas coraknya, maupun kecerahannya. Intensitas corak
dan kecerahan itulah sifat dari “warna kuning” tersebut. Masing-masing sifat itu memiliki
dimensi yang dapat diukur. Setiap dimensinya dapat ditempatkan pada posisi tertentu dalam
garis kontinium. Intensitas corak warna itu, misalnya, dapat diberi ukuran mulai dari yang
“kuning tebal” (orange) sampai pada “kuning tipis” (keputih-putihan). Demikian seterusnya,
setiap kategori data bisa ditempatkan di mana saja di sepanjang kontinua dimensional secara
bervariasi. Akibatnya, setiap kategori memiiki profil dimensional yang terpisah. Beberapa profil
itu dapat dikelompokkan sehingga membentuk suatu pola. Profil dimensional ini
menggambarkan sifat khusus dari suatu fenomena dalam kondisi-kondisi yang ada.

Hal penting yang perlu dipahami adalah penentuan sifat umum dari suatu fenomena atau
kategori. Sifat umum dari setiap kategori fenomena tentu tidak sama. Sifat umum dari warna,
adalah intensisitas corak dan kecerahan, sedangkan sifat umum dari perilaku adalah frekuensi,
intensitas, durasi, dan seterusnya.

Pengkodean Terporos (Axial Coding)

Pengkodean terporos adalah seperangkat prosedur penempatan data kembali dengan cara-cara
baru dengan membuat kaitan antarkategori. Pengkodean ini diawali dari penentuan jenis kategori
kemudian dilanjutkan dengan penemuan hubungan antar kategori atau antarsubkategori.

Dalam Grounded Theory, setiap kategori harus dikelompokkan ke dalam satu jenis kategori
berikut; yaitu kondisi kausal, konteks, kondisi pengaruh, strategi aksi/interaksi, dan konsekuensi.
Sistem pengelompokan kategori ini disebut dengan model paradigma Grounded Theory. Tugas
peneliti pada tahap ini adalah memberi kode terhadap setiap kategori data, dengan mengajukan
pertanyaan, “termasuk jenis kategori apa data ini”? Model paradigma inilah yang menjadi dasar
untuk menemukan hubungan antar kategori atau antarsubkategori.

Kegiatan selanjutnya adalah menghubungkan subkategori dengan kategorinya. Sifat pertanyaan


yang diajukan dalam pengkodean terporos mengarah pada suatu jenis hubungan. Alternatif
hubungan-hubungan itu adalah; hubungan antara kondisi kausal dengan strategi aksi/interaksi,
hubungan antara konteks dengan strategi aksi/interaksi, hubungan antara kondisi pengaruh
dengan strategi aksi/interaksi, hubungan antara strategi aksi/interaksi dengan konsekuensi. Pola
hubungan yang perlu ditemukan itu tidak terhenti pada hubungan antara dua kategori, melainkan
harus dapat mengungkap hubungan antara semua jenis kategori, yang dapat digambarkan ke
dalam skema berikut:

Pengkodean Terpilih (Selective Coding)


Mengingat masalah penelitian dalam Grounded Theory masih bersifat umum, mungkin sekali
peneliti menemukan sejumlah besar data dengan kategori dan hubungan
antarkategori/subkategori yang banyak dan bervariasi. Kenyataan ini tentu dapat
membingungkan, karena datanya masih belum terfokus pada titik tertentu. Untuk
menyederhanakannya perlu dilakukan proses penggabungan dan atau seleksi secara sistematis.

Langkah pertama yang dapat dilakukan untuk menyederhanakan data adalah dengan
menggabungkan semua kategori, sehingga menghasilkan tema khusus. Penggabungan tidaklah
banyak berbeda dengan pengkodean terporos, kecuali tingkat abstraksnya. Konsep-konsep yang
digunakan dalam penggabungan lebih abstrak dari konsep pengkodean terporos. Cara ini
merupakan tugas peneliti yang paling sulit. Kepekaan teoritik dari peneliti amat penting di sini.
Inti dari proses penggabungan itu adalah, bagaimana peneliti dapat menemukan spirit teoritis
dari semua kategori. Spirit teoritis itu mungkin saja tidak tampak secara eksplisit, tetapi
tertangkap oleh pikiran peneliti.

Ada beberapa tahapan kerja yang disarankan dalam proses pengkodean terpilih ini;

Mereproduksi kembali alur cerita atau susunan data ke dalam pikiran.

Mengidentifikasi data dengan menulis beberapa kalimat pendek yang berisi inti cerita atau data.
Pertanyaan yang perlu diajukan peneliti terhadap dirinya sendiri, adalah “apakah yang tampak
menonjol dari wilayah penelitian ini?”, atau “apa masalah utamanya”.

Menyimpulkan dan memberi kode terhadap satu atau dua kalimat sebagai kategori inti. Keriteria
kategori inti yang disimpulkan itu ialah bahwa ia merupakan inti masalah yang dapat mencakup
semua fenomena/data. Kategori inti harus cukup luas agar mencakup dan berkaitan dengan
kategori lain. Kategori inti ini dapat diibaratkan sebagai matahari yang berhubungan secara
sistematis dengan planet-planet lain. Lalu kategori inti tersebut diberi nama (konseptualisasi).

Menentukan pilihan kategori inti. Jika ternyata pada tahap “c” ada dua atau tiga kategori inti,
maka mau tak mau harus dipilih satu saja. Kategori inti lainnya dijadikan sebagai kategori
tambahan yang tidak menjadi inti pembahasan dalam penelitian ini.

Pada tahap penggabungan dan atau pemilihan ini, peneliti sebenarnya telah sampai pada
penemuan tema pokok penelitian. Pada umumnya metode kualitatif menganggap penelitian telah
selesai pada penemuan tema ini. Lain hal dalam Grounded Theory, tema utama (yang sudah
ditemukan) dipandang sebagai dasar untuk merumuskan masalah utama dan hipotesis penelitian.
Karena itu, peneliti perlu merumuskan masalah pokok dan hipotesis penelitiannya. Berdasarkan
masalah dan hipotesis itu, peneliti harus kembali lagi ke lapangan untuk mengabsahkan atau
membutikannya. Hasil pembuktian itulah yang menjadi temuan penelitian, yang disebut sebagai
teori.

4. Analisis Proses

Menganalisis proses merupakan bagian penting dalam Grounded Theory. Yang dimaksud
dengan analisis proses adalah pengaitan urutan tindakan/interaksi. Kegiatan analisis ini terdiri
dari penelusuran terhadap; (a) perubahan kondisi, (b) respon (strategi aksi/interaksi) terhadap
perubahan; (c) konsekuensi yang timbul dari respon, dan (d) penjabaran posisi konsekwensi
sebagai bagian dari kondisi.

Pada penelitian Grounded Theory, analisis proses bukan merupakan bagian dari tahapan
kegiatan, tetapi sebagai cara untuk mempertajam analisis dalam pengkodean (khusus pada
pengkodean terporos dan pengkodean terpilih). Hasil analisis proses itu juga perlu ditunjukkan
dalam penulisan laporan penelitian. Maksud analisis proses ini adalah sebagai cara untuk
menghidupkan data melalui penggambaran dan pengaitan tindakan/interaksi untuk mengetahui
urutan dan atau rangkaian data. Dalam pengaitan itu tidak hanya untuk mengenali urutan waktu
atau kronologi suatu peristiwa, melainkan yang lebih penting adalah untuk menemukan
keterkaitan antara stimulus, respon, dan akibat. Kondisi, respon, dan konsekwensi harus dilihat
sebagai tiga hal yang terus bergerak secara dinamis dan berputar mengikuti garis lingkaran.

Dalam prakteknya, proses dapat dilihat sebagai pergerakan progresif dan dapat pula dilihat
sebagai pergerakan nonprogresif. Kedua perspektif proses ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

Proses sebagai pergerakan progresif; Jika proses dilihat sebagai pergerakan progresif, maka
peneliti dapat mengkonsepkan data sebagai langkah-langkah, fase-fase, atau tahapan. Cara ini
cukup baik untuk penelitian yang membahas tentang perkembangan, sosialisasi, transformasi
mobilitas sosial, imigrasi, dan peristiwa sejarah. Hal penting yang perlu diingat di sini ialah
bahwa kesemua unsur paradigma Grounded Theory harus berperan dalam menjelaskan rentang
waktu dan variasinya, di mana keterkaitan atau hubungan-hubungan antar unsur tetap dapat
dieksplisitkan.

Proses sebagai pergerakan nonprogresif; Bagaimanapun tidak semua fenomena terjadi secara
kronologis, karena tidak jarang pula ditemukan fenomena yang tidak dapat dinyatakan sebagai
langkah-langkah dan fase-fase progresif yang runtut. Untuk fenomena seperti ini, peneliti
dianjurkan untuk menganalisis penggantian atau perubahan tindakan/interaksi yang terencana
sebagai tanggapan atas perubahan kondisi.

PENGUMPULAN DATA DAN PENYAMPELAN TEORITIK

Pada dasarnya instrumen pengumpul data penelitian Grounded Theory adalah peneliti sendiri.
Dalam proses kerja pengumpulan data itu, ada 2 (dua) metode utama yang dapat digunakan
secara simultan, yaitu observasi dan wawancara mendalam (depth interview). Metode observasi
dan wawancara dalam Grounded Theory tidak berbeda dengan observasi dan wawncara pada
jenis penelitian kualitatif lainnya.

Hal yang spesifik yang membedakan pengumpulan data pada penelitian Grounded Theory dari
pendekatan kualitatif lainnya adalah pada pemilihan fenomena yang dikumpulkan. Paling tidak,
pada Grounded Theory sangat ditekankan untuk menggali data perilaku yang sedang
berlangsung (life history) untuk melihat prosesnya serta ditujukan untuk menangkap hal-hal yang
bersifat kausalitas. Seorang peneliti Grounded Theory selalu mempertanyakan “mengapa suatu
kondisi terjadi?”, “apa konsekwensi yang timbul dari suatu tindakan/reaksi?”, dan “seperti apa
tahap-tahap kondisi, tindakan/reaksi, dan konsekwensi itu berlangsung”?.
Dalam Grounded Theory, masalah sampel penelitian tidak didasarkan pada jumlah populasi,
melainkan pada keterwakilan konsep dalam beragam bentuknya. Teknik pengambilan sampel
dilakukan dengan cara penyampelan teoritik. Penyampelan teoritik adalah pengambilan sampel
berdasarkan konsep-konsep yang terbukti berhubungan secara teoritik dengan teori yang sedang
disusun. Tujuannya adalah mengambil sampel peristiwa/fenomena yang menunjukkan kategori,
sifat, dan ukuran yang secara langsung menjawab masalah penelitian. Sebagai contoh, jika
peneliti sedang meneliti “warna kuning” yang di dimensinya terdiri atas “intensitas corak” dan
“kecerahan”, maka peneliti memutuskan untuk mendalami “intensitas corak” saja (tidak lagi
membahas tentang ‘kecerahan”), berarti ia sudah melakukan penyampelan. Penegasan ini
memberi makna, bahwa pada dasarnya yang di sampel itu bukan obyek formal penelitian (orang
atau benda-benda), melainkan obyek material yang berupa fenomena-fenomena yang sudah
dikonsepkan. Namun demikian, karena fenomena itu melekat dengan subyek (orang atau benda),
maka dengan sendirinya obyek formal juga ikut di sampel dalam peroses pengumpulan atau
penggalian fenomena.

Berkenaan dengan proposisi terakhir, pada hakikatnya fenomena yang telah terpilih itulah yang
dicari atau digali oleh peneliti ketika proses pengumpulan data. Karena fenomena itu melekat
dengan subyek yang diteliti, maka jumlah subyek pun terus bertambah sampai tidak ditemukan
lagi informasi baru yang diungkap oleh beberapa subyek yang terakhir. Itulah sebabnya,
penentuan sampel subyek dalam penelitian Grounded Theory, seperti halnya penelitian kualitatif
pada umumnya, tidak dapat direncanakan dari awal. Subyek-subyek yang diteliti secara
berproses ditentukan di lapangan, kaetika pengumpulan data berlangsung. Cara penyampelan
inilah yang disebut dalam penelitian kualitatif sebagai snow bowl sampling.

Sesuai dengan tahap pengkodean dan analisis data, penyampelan dalam Grounded Theory
diarahkan dengan logika dan tujuan dari tiga jenis dasar prosedur pengkodean. Ada tiga pola
penyampelan teoritik, yang sekaligus menandai tiga tahapan kegiatan pengumpulan data; (a)
penyampelan terbuka, (b) penyampelan relasional dan variasional, serta (c) penyampelan
pembeda. Penyampelan ini bersifat kumulatif (di mana penyampelan terdahulu menjadi dasar
bagi penyampelan berikutnya) dan semakin mengerucut sejalan dengan tingkat kedalaman fokus
penelitian. Keterangan yang berkenaan dengan tiga pola penyampelan ini dapat diringkas sebagai
berikut:

Penyampelan Terbuka; Penyampelan ini bertujuan untuk menemukan data sebanyak mungkin
sepanjang berkenaan dengan rumusan masalah yang dibuat pada awal penelitian. Karena pada
tahap awal itu peneliti belum yakin tentang konsep mana yang relevan secara teoritik, maka
obyek pengamatan dan orang-orang yang diwawncarai juga masih belum dibatasi. Data yang
terkumpul dari kegiatan pengumpulan data awal inilah kemudian dianalisis dengan pengkodean
terbuka.

Penyampelan Relasional dan Variasional; Sebagaimana diutarakan di atas, tujuan pengkodean


terporos adalah menghubungkan secara lebih khusus kategori-kategori dengan sub-
subkategorinya. Untuk maksud ini perlu dilakukan penyampelan yang berfokus pada
pengungkapan dan pembuktian hubungan-hubungan tersebut. Kegiatan itu dinamakan
penyampelan relasional dan variasional.
Pada penyampelan relasional dan variasional diupayakan untuk menemukan sebanyak mungkin
perbedaan tingkat ukuran di dalam data. Hal pokok yang perlu pada penemuan perbedaan tingkat
ukuran tersebut adalah proses dan variasi. Jadi, inti utama penyampelan di sini adalah memilih
subyek, lokasi, atau dokumen yang memaksimalkan peluang untuk memperoleh data yang
berkaitan dengan variasi ukuran kategori dan data yang bertalian dengan perubahan.

Penyampelan Pembeda: Penyampelan pembeda berkaitan dengan kegiatan pengkodean terpilih.


Karena itu tujuan penyampelan pembeda di sini adalah penetapan subyek yang diduga dapat
memberi peluang bagi peneliti untuk membuktikan atau menguji hubungan antarkategori.

Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian Grounded Theory berlangsung secara bertahap dan
dalam rentang waktu yang relatif lama. Proses pengambilan sampel juga berlangsung secara
terus menerus ketika kegiatan pengumpulan data. Jumlah sampel bisa terus bertambah sejalan
dengan pertambahan jumlah data yang dibutuhkan. Ketentuan umum dalam Grounded Theory
adalah melakukan penyampelan hingga pemenuhan teoritik bagi setiap kategori tercapai.
Maksudnya, penyampelan dihentikan apabila; (a) tidak ada lagi data baru yang relevan, (b)
penyusunan kategorinya telah terpenuhi; dan (c) hubungan antarkategori sudah ditetapkan dan
dibuktikan.

Dari keterangan tentang prinsip penyampelan di atas, pengambilan kesimpulan dalam penelitian
Grounded Theory tidak didasarkan pada generalisasi, melainkan pada spesifikasi. Bertolak dari
pola penalaran ini, penelitian Grounded Theory bermaksud untuk membuat spesifikasi-
spesifikasi terhadap (a) kondisi yang menjadi sebab munculnya fenomena, (b) tindakan/interaksi
yang merupakan respon terhadap kondisi itu, (c) serta konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari
tindakan/i nteraksi itu. Jadi, rumusan teoritik sebagai hasil akhir yang ditemukan dari jenis
penelitian ini tidak menjustfikasi keberlakuannya untuk semua populasi, seperti dalam penelitian
kuantitatif, melainkan hanya untuk situasi atau kondisi tersebut.

PENUTUP

Grounded Theory Approach adalah satu jenis metode penelitian kualitatif yang berorientasi pada
penemuan teori dari kancah. Dilihat dari prosedur, prinsip, dan teknik yang digunakan, metode
ini benar-benar bersifat kualitatif murni, tetapi jika dilihat dari kerangka berpikir yang digunakan
ternyata secara implisit pendekatan ini meminjam metode kuantitatif. Paling tidak ada 3 (tiga)
dasar kerangka berpikir kuantitif yang dipinjam Grounded Theory;

Penggunaan hukum kausalitas sebagai dasar penyusunan teori. Seperti diketahui, bahwa dalam
epistemologi ilmiah, prinsip kausalitas adalah salah asumsi dasar bagi pengembangan ilmu
pengetahuan, karena sangat diyakini bahwa segala hal yang terjadi di alam ini tidak lepas dari
hukum sebab-akibat.

Pengukuran fenomena. penelitian kualitatif pada umumnya tidak melakukan pengukuran


terhadap data yang ditemukannya, melainkan lebih menekankan pada pengelompokan
konfigurasi dari variasinya. Lain hal dengan Grounded Theory, di sini dilakukan pengukuran-
pengukuran, sebagaimana yang lazim dilakukan pada metode kuantitatif.
Penggunaan variabel; Secara eksplisit memang tidak pernah disebut-sebut istilah variabel dalam
Grounded Theory. Tetapi dengan penggunaan paradigma teoritik yang membagi fenomena ke
dalam kondisi kausal, konteks, kondisi pengaruh, tindakan/interaksi, dan konsekwensi, serta
mencari hubungan-hubungan antara unsur-unsur itu merupakan pertanda bahwa di dalam metode
ini digunakan konsep-konsep yang identik dengan variabel.

Perkawinan metode kualitatif dengan kuantitatif dalam Grounded Theory merupakan satu
perkembangan baru yang patut diberi apresiasi positif. Proses perkawinan itu sendiri harus
dimaklumi, tidak saja karena Strauss dan Glaser sebagai dua tokoh penggagas metode ini yang
memiliki latar pemikiran yang berbeda (kualitatif dan kuantitatif), melainkan juga karena
tuntutan perkembangan metode keilmuan yang terus berkembang. Mau tak mau, metode
kualitatif harus menata prosedur dan teknik-teknik penelitiannya agar semakin dipercaya sebagai
metode yang dapat diandalkan dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Anda mungkin juga menyukai