Oleh:
Imro’atun Mufidah
15771005
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kiri Islam, mendengar kata tersebut banyak hal yang muncul dalam fikiran
kita apa yang dimaksud dengan kata Kiri dan apa hubungannya dengan Islam?. Dalam
kehidupan kita sering mendengar kata Kiri dan Kanan. Kiri selalu menggambarkan
hal-hal yang berkaitan dengan kejelekan, sedangkan kanan berkaitan dengan hal-hal
kebaikan. Namun ketika kata Kiri dikaitkan dengan kata Islam, muncul sejumlah
pertanyaan apakah yang dimaksud dengan Kiri Islam itu? Makna apa yang
terkandung di dalamnya?. Sebelum menjawab semua pertanyaan itu perlu diketahui
bahwa ajaran Islam semenjak dibawa oleh nabi Adam hingga Nabi Muhammad saw
itu adalah ajaran kiri. Dalam arti Islam adalah Islam adalah agama yang selalu
memberontak terhadap tatanan-tatanan sosial yang menindas dan diskriminatis. Jika
demikian halnya dapat dikatakan bahwa Kiri disini mempunyai makna melawan
penindasan serta menjunjung tinggi penegakan kesetaraan dan keadilan. Lalu
mengapa Hassan Hanafi memunculkan Kiri Islam?
Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, pemakalah akan mencoba
memaparkan secara detail makksud Kiri Islam Hassan Hanafi ini dalam pembahasan
makalahnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada makalah ini yaitu:
1. Bagaimana biografi Hassan Hanafi?
2. Bagaimana Kiri Islam Hassan Hanafi?
3. Bagaimana peran dan pengaruh Kiri Islam Hassan Hanafi?
4. Bagaimana Kiri Islam dan teologi pembebasan?
214
BAB II
PEMBAHASAN
1
Majalah Al-Wasath. no. 276. edisi 12-18 mei 1997. h. 16
2
Abad Badruzzaman. Kiri Islam Hassan Hanafi: Menggugat kemapanan Agama dan Politik. (Yogya: Tiara
Wacana, 2005/cet. 1). h. 41
3
Digest. April 1997. h. 176-185
215
kurang disetujui oleh orang tua Hanafi, dengan alasan karena harga alat musik
itu mahal. Memasuki usia sekitar sebelas tahun (1946) Hanafi sudah ikut serta
dalam demonstrasi bersama buruh dan mahasiswa. Diusianya yang relatif
muda itu, ia sudah mempunyai pandangan ilmu yang diperoleh di sekolah
harus didedikasikan untuk membela tanah air. Bahwasanya untuk membela
tanah airnya tidak hanya harus dengan duduk di bangku sekolah tetapi
perlunya tindakan turun ke jalan.
Organisasi-organisasi yang pernah diikuti oleh Hassan Hanafi:
1. Pada tahun 1948 Hanafi mendaftarkan diri ke Organisasi Pemuda Islam
(Jam‟iyah Syubban al-Muslimin) untuk bergabung dengan prajurit
sukarelawan membantu perjuangan Palestina melawan kaum Zionis.
Namun permohonannya tersebut ditolak karena usianya yang masih terlalu
muda.4
2. Pada tahun 1951 Hanafi mendapatkan kesempatan untuk ikut dalam
perjuangan pembebasan al-Qanat (terusan Suez). Dalam perjuangan
pembebasan tersebut Hanafi ikut mengantar dan menyalatkan jenzah para
syahid di masjid al-Kukhya dengan mengenakan pakaian kumal sambil
membawa tongkat yang dibuat mirip dengan senapan. Pada waktu itu juga
ia sempat belajar memegang senjata di Fakultas Teknik di Abbasiyah,
Kairo Selatan.
3. Tahun 1952 Hanafi tercatat menjadi anggota resmi gerakan Ikhwan al-
Muslimin (Moslems Brothers) di Khalil Agha. Gerakan ini merupakan
gerakan politik-keagamaan yang ada di negaranya. Ketika menjadi
mahasiswa di Universitas Kairo Mesir, Hanafi terus terlibat aktif dalam
gerakan Ikhwan hingga oraganisasi itu dilarang oleh pemerintah Mesir.5
Bagi Hanafi Al-Ikhwan al-Muslimin merupakan satu-satunya organisasi
yang menurutnya masih baik dan bersih yang ada di Mesir. Gerakan-
gerakan politik yang lainnya yang ada di Mesir sudah tidak revolusioner
dan tidak mempunyai koordinasi organisasi yang baik dan murni, karena
pada umumnya organisasi-organisasi yang ada di Mesir dihuni oleh orang-
orang yang munafik dan oportunis semata. Di bawah payung Ikhwan ini
4
Digest Al-Hilal. April 1997. h. 178
5
Ilham B. Saenong. Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Quran Menurut Hassan Hanafi. (Jakarta:
Teraju, cet. I, 2002). h. 71
216
Hanafi menjadi koordinator Persatuan Pelajar Mesir. Ikhwan dikenal
sebagai gerakan revolusi. Ikhwan juga mengkritik sangat tajam atas hasil
perundingan antara Inggris dan Mseir mengenai Terusan Suez yang
menurutnya salah satu diantara butir perundingan dinilai sangat merugikan
bangsa Mesir, karena memberikan peluang terhadap Inggris untuk
menguasai kembali Terusan Suez. Dalam kritik Ikhwan ini Hanafi
bertugas menyebarkan edaran tersebut.6 Hubungan Ikhwan dengan Hanafi
tidak selalu berjalan dengan mulus. Terkadang juga ada perbedaan-
perbedaan pendapat diantara keduanya. Puncak dari perbedaan itu adalah
ketika pecahnya revolusi Mushaddeq di Iran (1954). Ikhwan menentang
revolusi tersebut dan menuduh sebagai gerakan komunis. Berbeda dengan
hanafi yang mendukung gerakan tersebut, karena Hanafi menilai gerakan
itu merupakan gerakan perjuangan melawan tirani dan kezaliman.
“bukankah agama adalah revolusi?” kata Hanafi pada waktu itu.7
Gelar sarjananya ia raih pada tanggal 11 Oktober 1956 dari Kuliyyat al-
Adab (fakultas sastra) jurusan Filsafat Universitas Kairo. Setelah itu Hanafi
pergi ke Perancis untuk memperdalam filsafat di Universitas Sorbonne,
dengan spesialis Filsafat Barat Modern dan Pra-Modern. Ia mendalami
Idealisme Jerman, terutama filsafat dialektika yang lazim dalam pemikiran
Hegel dan Karl Marx. Ia juga tertarik pada fenomenologi yang dikembangkan
Enmund Husserl yang sangat menghargai individu dalam teori epistimologi
dan memahami realitas. Oleh karena ketertarikannya pada fenomenologi
Enmund, Hanafi menyusun disertasinya yang berjudul Essai sur la Methode
d’Exegese (Essai Tentang Metode Penafsiran). Disertasi dengan setebal 900
halaman ini memperoleh penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir
pada tahun 1961.8 Disertasi tersebut merupakan upaya Hanafi dalam
menghadapkan Ilmu Ushul Fiqh kepada suatu madzhab filsafat modern.
Selama kurang lebih sepuluh tahun hanafi tinggal di Perancis, salah satu
negara tempat orientalis berada. Dalam rentang waktu tersebut tradisi,
6
Al-Hilal... h. 180
7
Al-Hilal... h. 181
8
Abdurrahman Wahid. Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya, pengantar untuk Kazuo Shimogaki, Kiri Islam
antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi. (Yogyakarta: LkiS, cet III,
1997). h. xi
217
pemikiran dan keilmuan barat dikuasainya. Ia sempat pula mengajar bahasa
arab di Ecole des Langues Orientales di Paris. Pada awal di Perancis Hanafi
sempat mengikuti kursus musik disalah satu sekolah tinggi musik di Paris.
Pada jiwa hanafi mengalir dunia seni dari keluarganya yang juga keluarga
musisi. Begitu serius dalam menekuni bidang ini, Hanafi sampai pernah
bercita-cita menjadi musisi dan komponis dunia. Kegiatan yang dilakukan
Hanafi dalam kesehariannya begitu padat, pagi hari kursus musik, siangnya
kuliah dan sore hari digunakan untuk membaca atauu mencipta suatu simponi
musik. Setelah dua tahun bergulat dengan kesibukan tersebut Hanafi sempat
terserang penyakit TBC akibat kelelahan. Doker menyarankan untuk memilih
antara musik atau filsafat. Hanafi akhirnya memilih filsafat. Karena dalam
filsafat ia dapat menemukan pandangan-pandangan yang apresiatif terhadap
aspek estetis kehidupan.9
9
Hassan Hanafi. Al-Din wa al-Tsawrah fi Mishr 1952-1981, vol. VI (Al-Ushuliyyah al-Islamiyah). (Kairo:
Maktabah Madbuli, 1989). h. 242-243
10
Abdurrahman Wahid. Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya... h. xiii
218
Profesor tamu di Perancis (1069).11
1. Periode pertama awal 60-an. Priode ini Hanafi dipengaruhi oleh paham-
paham dominan yang berkembang di Mesir, yaitu nasionalistik-sosialistik-
populistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi Pan-Arabik. Selama
periode ini hanafi menempuh study di Universitas Sorbonne, Perancis.
Karya-karyanya adalah:
Les Metode d‟Exegese,
Essai sur La Science des Fondament de la Comprehension,
„Ilm Ushul al-Fiqh (1965),
L‟ Exegese de la Phenomenologie L‟etat actuel de la metode
Phenomenologique et son application ua phenomene religiux (1965)
dan
La Phenomenologie d L‟Exegese essai d‟une Hermenetique Existille a
parti du Nouvea Testanment.12
2. Pada periode kedua tahun70-an. Pada periode ini Hanafi memberikan
perhatian utama pada sebab-sebab kekalahan bangsa Arab ketika
berperang melawan Israel pada tahun1967. Pada tahun ini penulisan
Hanafi lebih populis. Karyanya:
Menulis artikel di media massa seperti Al-Katib, Al-Akhbar, Al-Adab,
Al-Fikr al-Mu‟ashir dan Minbar al-Islam. Semua artikel yang pernah
dimuat diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Qadhaya Mu’ashirah fi
Fikrina al-Mu’ashir. Buku ini merupakan refleksi Hanafi atas dunia
Arab dan berbagai problematikanya, dengan menekankan pada
pentingnya pemikiran pembaharuan Islam dalam kerangka revitalisasi
Islam klasik dalam kehidupan modern.13
11
Ilham B. Saenong. Hermeneutika Pembebasan... .h. 69
12
Ilham B. Saenong. Hermeneutika Pembebasan... .h. 78
13
E. Kusnadiningrat. Teologi dan Pembebasan, Gagasan Islam Kiri Hassan Hanafi. (Jakarta: PT. Logos Wacana
Ilmu, cet. I, 1999). h. 55
219
Religious Dialogue and Revolution (1977), berisikan pemikiran-
pemikiran yang ditulis saat Hanafi berada di Amerika (1972-1976)
Dirasat Islamiyah (1978), memuat deskripsi dan analisis pembaharuan
atas ilmu-ilmu klasik (ushul fiqh, ushuluddin dan filsafat).14
3. Periode ke-3 tahun 80-an sampai tahun 90-an. Dalam periode ini karya-
karya Hanafi memiliki latal belakang politik yang lebih stabil dibanding
dengan periode-periode sebelumnya. Karyanya yaitu:
Al-Tsurats wa al-Tajdid, berisi tentang landasan teoritis bagi
pembaharuan dan langkah-langkahnya
Al-Yassar al-Islamiyah, merupakan refleksi atas semua karya-karya
yang telah diselesaikannya, karena embrio gagasannya telah ia
sampaikan sejak pergumulan Hanafi dengan suasana sosial-politik
yang penuh gejolah selama hampir 35 tahun (1946-1981).
Min al-„Aqidah ila al-Tsawrah (1988)
Hiwal al-Masyriq wa al-Maghrub (1990)
Islam in the Modern world (1955)
Humum al-Fikr wa al-wathan (1997)
Jamaluddin al-Afghani (1997)
Hiwar al-Ajyal (1998)
Selain itu ada karya-karya Hanafi yang berupa terjemahan, saduran dan
suntingan. Yang menjadi perhatian karya-karya ini adalah teologi
rasionalistik, teologi dan politik, human education dan eksistensialisme,15
yaitu:
Muhammad Abu husain al-Bashari
Al-Mu‟tamad fi „Ilm Ushul al-Fiqh (1964-1965)
Al-Hukumah al-Islamiyah li al-imam Khamaini (1980)
Jihad an-Nafs aw jihad al-Akbar li al-imam Khamaini (1980)
Namadzij min al-Falsafah al-Mashihiyyah fi al-„Ashr al-wasith: Al-
Mu‟allim li Aghustin, Al-Iman al-Bahits „an al-„Aql la Taslim, Al-
wujud wa al-Mahiyah li Tuma al-Akwini (1968)
Spinoza: Risalah fi al-Lahut wa al-Siyasah (1973)
Lessing: Tarbiyyah fi al-Jins al-Basyari wa A‟mal Ukhra (1977)
14
E. Kusnadiningrat. Teologi dan Pembebasan... h. 58
15
Ilham B. Saenong. Hermeneutika Pembebasan... .h. 80
220
Jean Paul Sartre: Ta‟ali al-Ana al-Mawjud (1978)
Selain karya-karya di atas, Hanafi juga pernah berkunjung ke negeri
Belanda, Swedia, Portugal, Spanyol, Sudan, Saudi Arabia, dan juga Indonesia.
Kinjungan tersebut berlangsung pada tahun 1980-1987. Dalam kunjungannya
tersebut Hanafi banyak bertemu dengan pemikir ternama, yang kemudian
memberikan sumbangan terhadap keluasan persoalan hakiki yang dihadapi
oleh manusia dan khususnya umat Islam.16
B. Kiri Islam Hassan Hanafi
Latar belakang Kiri Islam
Sebelum menjadi pemikiran yang menjadi trade marknya Hassan
Hanafi, Kiri Islam adalah nama sebuah jurnal berkala yang diluncurkan Hanafi
pada tahun 1981. Nama lengkap jurnal tersebut adalah Al-Yasr al-Islami:
Kitabat fi al-Nahdhah al-Islamiyah yang berisi tentang sejumlah esai
kebangkitan Islam. Esai pertama jurnal berjudul “Apa Arti Kiri Islam?‟
Membahas tentang isu penting berkaitan dengan kebangkitan Islam. Dalam
rangka mewujudkan kebangkitan Islam.
Sebelum diberi nama Kiri Islam ada beberapa pilihan nama lain,
diantaranya Al-Manar al-Jadid (Neo al-Manar), shahwah al-Islam atau Yaqzah
al-Islam, al-Taqaddum al-Islami (Kemajuan Islam), al-Harakah al-Islamiyah
(gerakan Islam), al-Islam al-Muashir, dll. Dari beberapa nama-nama tersebut
menurut Hanafi kurang tepat dan tidak dapat memenuhi kriteria yang
diinginkannya. Hanya ada satu nama yang sanggup merangkum dan
mencerminkan gagasan, pemikiran, konsep serta gerakan yang
dikehendakinya. Nama itu tidak lain adalah “Kiri Islam”. Bagi Hanafi nama
itu merupakan suatu nama ilmiah karena dalam filsafat ada “Kiri Hegelian”,
dalam psikologi ada “Kiri Freud”, dalam ilmu sejarah agama ada “Kiri
Agama”. Kiri merupakan suatu terminologi dalam ilmu politik yang berarti
oposisi (al-Mu‟aradhah), kritik (al-Naqd) serta penjelasan tentang kesenjangan
antara “apa yang ada” (al-Waqi‟) dengan “apa yang seharusnya” (al-Mitsal).
Nama itu merupakan ungkapan paling jujur tentang realita kaum Muslimin
saat itu, yang terpecah antara kelompok penguasa dan yang dikuasai,
pemerintah dan rakyat, dll, yang sejatinya kepentingan diantara keduanya
16
E. Kusnadiningrat. Teologi dan Pembebasan... h. 52
221
saling bersebrangan. Kiri Islam merupakan kubu kedua, yakni kaum yang
tertindas, dikuasai, miskin dan tersingkirkan. Oleh karena itu kata “Kiri”
menjadi makna ilmiah. Hanafi sadar bahwa akan ada penentang yang muncul
dengan menggunaan Kiri Islam, karena dalam Islam tidak dikenal istilah Kiri
dan Kanan yang ada hanyalah Islam yang satu, umat yang satu dan Tuhan
yang satu. Penentangan itu sebenarnya diberikan kepada prinsip dasar Islam
bukan pada realitas. Artinya secara ideologis Islam memang tidak menganl
Kiri-Kanan, akan tetapi dalam realitas yang ada umat Islam terpencar
diberbagai komunitas dan negara, serta terpilah kedalam beberapa kelas dan
pemikiran. Ia menjelaskan dalam konteks teologis ada Mu‟tazilah sebagai Kiri
dan Asy‟ariyah sebagai Kanan. Dalam filsafat ada filsafat rasionalisme-
naturalistik Ibnu Rusy sebagai Kiri dan filsafat iluminasi-emanasi Al-Farabi
sebagai Kanan. Dalam ilmu tafsir, tafsir rasional sebagai Kiri dan tafsir
tekstual (bilma‟tsur) sebagai Kanan. Di dalam sejarah Islam peristiwa finah al-
Kubra-Ali r.a adalah Kiri dan Mu‟awiyah Kanan.
Selain itu, Hanafi dengan Kiri Islam ingin menyucikan persepsi
tentang Kiri yang bagi kalangan pembela status quo (politik, ekonomi dan
status sosial) adalah sebuah perminan kata-kata yang memecah belah umat.
Kiri adalah penghianatan, pembangkang, penghasut, dan tidak senang pada
kebaikan manusia. Sesungguhnya tuduhan tersebut bagi Hanafi adalah sia-sia
penjajahan kultural di negeri-negeri Islam ketika mereka mengacaukan istila-
istilah bahasa dan pola pemikiran secara sengaja sehingga masyarakat tidak
akrab lagi dengan kosa kata demokrasi, kebebasan, kerakyatan, perjuangan
dst, yang termasuk dalam kosa kata Kiri. Dengan demikian penjajah merasa
aman dari segala gerakan yang menyerukan pembebasan dari penjajah. Maka
dari itu, menyucikan dan membebaskan kata-kata dari penyalahgunaan secara
sengaja adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pembelaan atas kebudayaan
bangsa melawan penjajahan kultural dan fanatisme buta.
222
Rasionalisme merupakan keniscayaan untuk kemajuan dan
kesejahteraan Muslim serta untuk memecahkan situasi yang ada di
dalam dunia Islam.
2. Pilar kedua adalah perlunya menantang peradaban Barat. Pada pilar
ini, Hanafi memperingatkan pembaca jurnal bahwa pentingnya
mewaspadai bahaya imperialisme kultural Barat yang cenderung
membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang secara historis kaya.
Hanafi mengusulkan Oksidentalisme sebagai tandingan dari
Orientalisme, dalam rangka mengakhiri mitos peradaban Barat.
3. Pilar ketiga adalah analisis terhadap realitas dunia islam. Untuk
analisi ini Hanafi mengkritik metode tradisional yang bertumpu
pada teks dan mengusulkan suatu metode tertentu agar realitas
dunia Islam dapat berbicara bagi dirinya sendiri. pada saat itu
Hanafi melihat bahwa dunia Islam sedang menghadapai tiga
ancaman, yaitu: imperialisme, zionisme dan kapitalisme dari luar;
kemiskinan; ketertindasan dan keterbelakangan dari dalam. Dan
Kiri Islam berfokus pada masalah-masalah itu.17
223
Dalam Kiri Islam hanafi juga menyebut bahwa ia berjuang melawan
imperialisme kultural Barat dan menyatukan dunia Islam.
C. Peran dan Pengaruh Pemikiran Hassan Hanafi
Kiri Islam dan Reaktualisasi Khazanah Keilmuan Islam
Kiri Islam ingin membentuk kesadaran muslim yang terbuka terhadap
Barat sebagai objek kajian, dengan tetap menggunakan tradisi yang dimiliki
sebagai tolak ukur kebenarannya. Kiri Islam juga berupaya merekonstruksi
khazanah klasik Islam dengan tujuan untuk membangun kembali paradigma
ilmu pengetahuan Islam setelah lama keluar dari agenda kehidupan umat
Islam. Reaktualisasi tradisi keilmuan Islam berarti menghidupkan kembali
tradisi keilmuan Islam. Ilmu-ilmu pengetahuan klasik (tsurats) dalam
pandangan Hanafi dianggap sebagai starting point dalam melanjutkan upaya
tajdid. Reaktualisasi tsurats keilmuan Islam yang dimaksud oleh Hanafi
sebagai reaktualisasi untuk mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang
datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam
sejarah. Tradisi yang terpelihara itu menentukan lebih banyak lagi pengaktifan
untuk dituangkan ke dalam realitas duniawi yang ada sekarang.19
Rekonstruksinya terlebih dahulu dari tradisi sendiri yang berupa khazanah
Islam Klasik yang menjadi landasan terpenting, baru kemudian melakukan
reformulasi berupa respon terhadap Barat dan realitas. Beberapa pemikiran-
pemikiran Hanafi dalam Kiri Islam, diantaranya:
1. Dalam bidang ilmu kalam (ushuluddin), Kiri Islam memandang
aliran Muktazilah sebagai refleksi gerakan rasionalisme,
naturalisme dan kebebasan. Kiri Islam menyepakati Lima Prinsip
ajaran pokok Muktazilah dan berusaha mengaktualisasikan ajaran
itu kembali. Kiri isam memperkenalkan kembali ajaran Muktazilah
karena bermaksud mengembangkan rasionalisme, kebebasan
demokrasi dan eksplorasi alam. Kiri Islam juga mengelaborasi
khawarij, karena Kiri Islam mendukung adanya revolusi Islam dan
teguh dalam merebut hak-hak sekaligus mengembalikan martabat
rakyat. Kiri islam juga menyerukan “tidak ada perbedaan antara
19
A. H. Ridwan. Reformasi Intelektual Islam, Pemikiran Hassan Hanafi tentang Reaktualisasi Tradisi Keilmuan
Islam. (Yogyakarta: ITTAQA Press, 1998). h. 29
224
Arab-Non Arab, hanya ketakwaanlah yang menjadi
pembedanya”.20
2. Kiri Islam menolak tasawuf, serta memandang tasawuf sebagai
penyebab kemunduran kaum muslimin. Menurut Hanafi, awalnya
tasawuf muncul sebagai gerakan anti penyelewengan kehidupan,
penyelewengan yang dimaksud adalah kemewahan, arogansi, gila
kekuasaan dan kompetisi duniawi. Tetapi pada realitas yang ada,
tasawuf itu sendiri berkembang menjadi bentuk lain dari
penyelewengan (al-Inhiraf). Gerakan tasawuf justru menjadikan
umat Islam mengalami kemunduran. Nilai-nilai tasawuf pada
realitas yang ada seperti anjuran hidup miskin, penuh ketakutan,
berlapar-lapar, sabar, tawakkal, penurut, penerima adanya, dan
menyerah tak lebih semua itu menunjukkan kiat pembelaan diri
orang lemah yang memandang nilai keutamaan diri hanya dapat
diraih ketika ia apa yang seharusnya menjadi haknya.
3. Dalam bidang tsurats fiqih. Menurut Hanafi tsurats fiqih diliputi
dengan perdebatan teoritis yang tidak mampu mendukung
perubahan realitas, bahkan diwarnai dengan perdebatan paham
yang sekedar permainan-permainan kosong, serta fanatisme atau
pengakuan sepihak untuk mengalahkan lawan. Nasihat-nasihat
tentang nilai-nilai keutamaan berserakan, sementara kenistaan
moral menjamur dimana-mana.
4. Dalam hubungannya dengan ilmu hadis, Kiri Islam lebih
memberikan prioritas paa matan (teks) daripada pada sanad,
dengan alasan kata Hanafi, kita tidak mampu melakukan kritik
sanad, tetapi kita mampu melakukan kritik matan dengan melihat
apakah teks hadis tersebut masuk akal atau tidak, wajar atau tidak,
dsb.21 banyak ahli tafsir melakukan tafsir historis, seolah-olah Al-
Quran berbicara untuk relitas, ruang dan waktu tertentu karena
hanya menampilkan peristiwa-peristiwa masa lalu. Kiri Islam
menggunakan tafsir perseptif (al-tafsir al-syu‟uri) seperti tafsirnya
Sayyid Kutub (fi zhilal Al-Quran), bahwa Al-Quran
20
Kazuo Shimogaki. Kiri Islam... h. 96
21
Kazuo Shimogaki. Kiri Islam... h. 103-104
225
mendiskripsikan manusia, hubungannya dengan manusia lain,
tugasnya di dunia kedudukannya dalam sejarah, membangun
sistem sosial dan politik. Kiri Islam membangun tafsir tematik
dengan menghimpun ayat-ayat yang bertema sama kemudian
dianalisis sehingga muncul konsepsi universal tentang Islam,
dunia, manusia dan sistem sosial.
5. Dalam bidang syariat Islam. menurut Hanafi seorang Muslim di
bawah pemerintahan Islam hidup hanya untuk dihukum, bukan
untuk dijamin hak hidupnya. Karena syariat Islam lantang
diserukan tetapi seruan dan cita-cita itu dimulai dengan penerapan
hukuman-hukuman, seakan hukuman adalah tujuan, bukan cara.
Yang di tuntut adalah Muslim yang melakukan kewajiban-
kewajibannya tetapi hak mereka tidak pernah diberikan. Dalam
aplikasinya ajaran islam dimulai dari menampilkan hal-hal apa saja
yang diharamkan, seakan menunjukkan Islam adalah agama
“pengharaman” mengapa tidak dimulai dari mengedepankan hal-
hal yang halal sehingga manusia dapat menikmati anugerah-Nya
yang disediakan di alam semesta. Selain itu menurut Hanafi,
mengapa dalam syariat Islam dimulai dengan penerapan-penerapan
hukum kekeluargaan dan perdata seperti, nikah, cerai, khitbah ,
mahar, dsb, seolah negara Islam adalah seperti keluarga dan
seorang Muslim adalah pengurus rumah tangga, bukan seorang
warga negara yang hidup di bawah naungan pemerintahan. kenapa
tidak dimulai dari penataan hukum0hukum ekonomi politik Islam,
sehingga ekonomi politik penguasa dapat dikontrol agar tidak
berbuat semena-mena sesuai keinginan mereka.22
22
Hassan Hanafi. Al-Tsurats wa al-Tajdid, Mawqifuna min al-Tsurats al-Qadim. (Kairo: Al-Markas al-‘Arabi li al-
Bahts wa al-Nasyr, 1981). h. 17-18
226
kesadaran akan sejarah dalam diri kita kini sejalan dengan semangat sejarah
yang tengah kita alami saat ini.
23
Kazuo Shimogaki. Kiri Islam... h. 116-117
227
Hanafi ingin peradaban Islam membuka risalahnya menuju Timur bukan
menuju peradaban Barat.
Kiri Islam dan Realitas Dunia Islam
Ancaman terhadap dunia Islam adalah adanya kapitalisme yang
dibangun diatas penindasan perilaku ekonomi bebas, dan diikuti dengan
persaingan bebas. Bentuk konkritnya adalah laba dan riba. Kapitalisme selain
mendatangkan penindasan, juga turut andil dalam penciptaan kelas-kelas sosial
dan kesenjangan kesempatan, yang pada gilirannya mengakibatkan pemusatan
otoritas ditangan pemilik modal.24 Kiri Islam menuntut hak-hak kaum miskin di
dalam harta orang-orang kaya, lalu melakukan pengembangan masyarakat
berdasarkan nilai-nilai persamaan dan keadilan sosial. Sementara realitas yang
ada, bangsa Islam adalah bangsa-bangsa termiskin di dunia, sehingga
kemiskinan dan keterbelakangan itu merupakan ancaman internal. Dalam QS:
al-Ma‟arij 24-25 dijelaskan bahwa di dalam harta orang kaya trdapat hak yang
jelas untuk para peminta-minta dan kaum yang terlemahkan. Pada prinsipnya
Islam mendeklarasikan bahwa kita adalah umat yang satu, bersaudara dan
sederajat.
Dalam hal ini Kiri Islam menuak misi kesejahteraan umat Islam dan
menstransformasikan mayoritas dari belenggu kuantitas ke status kualitas.
Adapun misi Kiri Islam pada awal abad ke-15H adalah:
1. Mewujudkan keadilan sosial dikalangan umat Islam dan menciptakan
masyarakat tanpa kelas agar tidak ada jurang pemisah antara si kaya dan si
miskin, sesuai dengan petunjuk Al-Quran
2. Menegakkan masyarakat yang bebas dan demokratis
3. Membebaskan tanah-tanah kaum Muslim dari kolonialisme di Palestina,
menghapus pakta-pakta militer di dunia Islam dan mengembalikan
kekayaan kaum Muslimin yang diambil oleh kaum imperialisme
4. Membangun kesatuan umat Islam secara menyeluruh dimulai dari
kesatuan umat Mesir, lembah Nil, Mesir-Suriah, Mesir-Maroko, kesatuan
dunia arab dan akhirnya kesatuan dunia Islam
5. Merumuskan sistem politik nasional yang bebas dari pengaruh super
power, yaitu kebijakan bukan Barat dn bukan Timur sejalur dengan nash
24
Hassan Hanafi. Madza Ya’ni al-Yassar al-Islami, Kitabat fi al-Nahdhah al-Islamiyah. (Kairo: al-Markaz al-
‘Arabi li al-Bahts wa al-Nasyr, 1981). h. 34
228
A-Quran serta menjalin persahabatan dengan bangsa Asia-Afrika yang
merupakan bangsa-bangsa Islam dan dunia ketiga
6. Mendukung gerakan revolusioner terjajah dan tertindas, karena
sesungguhnya Islam hadir untuk mereka. Revolusi mereka adalah revolusi
Islam. Bukan salah mereka kalau mereka tak terjangkau oleh risalah Islam,
tetapi salah kita yang tidak berusaha menyampaikan kepada mereka.25
D. Kiri Islam dan Teologi Pembebasan
Kiri Islam dan Pembebasan Akidah (Tauhid)
Hassan Hanafi ketika membahas ilmu tauhid dalam bukunya Min al-
„Aqidah ila al-Tsawrah vol. II (tauhid), sebenarnya ia mengajak kita untuk
merekonstruksi ilmu kalam yang selama ini kita terima dari ulama-ulama
tradisional. Tujuan utamanya adalah mereformulasi konsepsi teologi sehingga
dapat menjawab tantangan realitas kemanusiaan universal dan kehidupan
kontemporer. 26
Dalam merekonstruksi ilmu tauhid agar menjadi suatu teologi
transformatif yang membebaskan, Hanafi merekonstriksi terlebih dahulum
makna kata kunci tauhid itu sendiri yaitu kalimat “Aku bersaksi tiada Tuhan
selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad rasul Allah”. Kalimat itu
terdiri dari tiga kata penggalan, satu “aku bersaksi bahwa” (Asyhadu anna),
dua “tiada Tuhan selain Allah” (laa ilaaha illa llaah), dan tiga “bahwa
Muhammad adalah rasul Allah” (wa Anna Muhammadan rasulu llaah”.
Penggalan itu dinamai syahadah atau persaksian. Dari tiga kalimat itu, Hanafi
merekonstruksi menjadi:
1. Menurut Hanafi banyak orang menyalah artikan “aku bersaksi”
(Asyhadu anna) atau syahadah hanya sebatas ucapan lisan. Karena
betapa mudahnya orang mengucapkan syahadah dengan lisannya,
tetapi akal dan pikirannya tidak menyertai ucapannya, rasa dan
emosi tidak ikut bersaksi, dan karya amali tidak pernah
membenarkannya.27 Kata Hanafi syahadah bukan hanya sekedar itu
semua, akan tetapi manusia ketika mengucapkannya harus hadir di
tengah jama‟ahnya, menyaksikan zamannya. Harus berani dengan
25
Hassan Hanafi. Madza Ya’ni al-Yassar al-Islami... h. 37-38
26
Kazuo Shimogaki. Kiri Islam... h. 107-108
27
Hassan Hanafi. Al-Din wa al-Tsawrah... h. 147
229
lantang dan jujur menyatakan bahwa ada penyakit yang harus
disembuhkan, bahwa ada penyelewengan yang harus diluruskan,
bahwa ada kemiskinan di tengah masyarakat kaa, bahwa ada
perampasan atas tanah-tanah kaum Muslimin, bahwa ada
keterbelakangan di tengah umat terbaik yang dikeluarkan untuk
umat manusia. Kata syahada (penyaksian) menurut Hanafi
mengandung makna: informasi, peringatan, penyangkalan,
pembekuan, konfirmasi, negasi, bersikap, dan membela kebenaran.
Tidak lain pengertian syahadah bagi Hanafi pada zamannya yaitu,
amar ma‟ruf nahi munkar dimanapun orang bersyahadah itu
tinggal, dalam jamaah apapun ia berada, ia akan mengubah
manusia yang mungkar dengan tangan (perbuatan), ucapan dan
hatinya.
2. Makna “tiada Tuhan selain Allah” (laa ilaaha illa llaah), menurut
Hanafi merupakan kalimat negasi dan penolakan dengan
mengatakan laa ilaaha ...(tiada Tuhan ...). Dengan ungkapan itu
seorang Mukmin menolak, menafikkan, mengenyahkan segala
bentuk Tuhan palsu yang ada pada zaman ia hidup, serta
memberantasnya dengan tangan (perbuatan), ucapan dan hatinya.
Disini Tuhan palsu yang dimaksud oleh Hanafi adalah harta,
kekuasaan, kedudukan, dan kenikmatan jasadi lainnya. Semua itu
merupakan Tuhan, karena merupakan pendorong terkuat dalam diri
kita. Demi harta orang tak lagi memperdulikan hukum, tak lagi
mempedulikan harga diri dan kehormatan. Segala jalan ditempuh
demi meraih harta. Menyogok kesana-kesini demi menjanjikan
kedudukan dan kekuasaan.28 Bila seseorang berani pelakukan
penolakan terhadap Tuhan-tuhan palsu itu, maka dia harus
menetapkan bahwa hanya ada satu Tuhan yaitu Allah.
3. Penggalan ketiga “dan bahwasannya Muhammad adalahr rasul
Allah”. Menurut Hanafi, banyak orang yang salah, mengira bahwa
maksud dari syahadah kedua ini mengangungkan para nabi
utamanya Muhammad. Bahkan orang-orang larut di dalam
28
Hassan Hanafi. Al-Din wa al-Tsawrah... h. 151
230
kecintaanya terhadap Muhammad, sampai-sampai memperingati
kelahirannya dengan cara yang berlebihan, seakan melupakan
perkataan Abu Bakar “Barang siapa menyembah Muhammad,
maka sesungguhnya ia telah mati, dan barang siapa menyembah
Allah, maka sesungguhnya ia hidup dan tak akan pernah mati”.
Bagi Hanafi, syahadah dua ini mengandung makna, pengakuan dan
kesaksian tentang berakhirnya fase perkembangan wahyu, dan
bahwasanya wahyu itu telah disempurnakan oleh wahyu terakhir,
yaitu Islam. Islam merupakan fase terakhir dari fase-fase itu,
wahyu turun sesuai dengan derajat kesadaran dan kemajuan
manusia, sejalan dengan kondisi sosial, latar belakang historis dan
peradabannya.29 Pada fase terkahir itu secara tegas menunjukkan
hakikat penting:
a. Bahwasanya manusia setelah Islam turun tidak lagi
membutuhkan wahyu baru, sebab akalnya sudah matang. Akal
sudah mampu memahami, menafsirkan, mengambil pelajaran,
dan mengaplikasikan hakikat-hakikat yang diberikan oleh
wahyu dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, usaha
apapun yang hendak menyebabkan kemandulan, ketidak mau
mengetahui dan membedakan pada akal, merupakan usaha
yang bertentangan dengan Islam.
b. Bahwasanya manusia sanggup dengan kemampuan akalnya
mewujudkan kalimat Allah di muka bumi dan memikul amanat
yang diemban. Sebab ia telah menerima amanat itu dengan
suka rela.30
29
Hassan Hanafi. Al-Din wa al-Tsawrah... h. 151
30
Hassan Hanafi. Al-Din wa al-Tsawrah... h. 160
231
keluar dari mitos menuju ke akal.keluar dari lingkup masyarakat yang sarat
dengan kesamaran, ketidakjelasan dan ketidakpastian menuju masyarakat yang
jelas dan pasti. Jika kita tidak menggunakan rasio, maka kita akan mengalami
kemandulan akal yang akan berakibat pada krisis pemikiran, dan salah satu
penyebab krisis pemikiran adalah dominasi kekuasaan politik atas sentra-
sentra pemikiran, serta tidak ada garis batas tegas antara kekuasaan politik
dengan kebebasan pemikiran.
31
Hassan Hanafi. Al-Din wa al-Tsawrah... h. 319
32
Hassan Hanafi. Al-Din wa al-Tsawrah... h. 216
232
rakyat agar jangan sekali-kali mengkritisi lingkar kekuasaan, apalagi sang
penguasa itu sendiri.
33
Hassan Hanafi. Al-Din wa al-Tsawrah... h. 147
233
2. Muncul kesadaran bahwa Barat merupakan bagian dari sejarah
manusia yang tidak terpisah, dan tidak seperti yang selama ini
menghantui banyak orang, bahwa Barat berada di luar garis sejarah
3. Terjadi pengembalian tradisi dan budaya Barat ke asalnya, dan
penyudahan perang pemikiran dan perang budaya
4. Penghapusan mitos yang selau diteriakkan oleh Barat, budaya
internasional atau budaya dunia. Dalam hal ini kita harus mengakui
bahwa setiap negara mempunyai budayanya sendiri
5. Adanya penulisan kembali sejarah dan meletakkan Barat pada
proporsi yang sebenarnya.
6. Adanya usaha lebih aktif untuk meraih kebebasan.34
Teologi Pembebasan Sebagai Alternatif
Seluruh pemaparan di atas dimaksud untuk membangun suatu
kerangka baru sebagai alternatif dari teologis lama yang dinilai sudah tidak
lagi dapat merespon tuntutan zaman dan tidak lagi menyentuh persoalan
realitas umat manusia.
Bagi Hanafi, merekonstruksi dan merevisi fungsi teologi menjadi ilmu-
ilmu yang bermanfaat bagi masa kini serta membangun kembali epistimologi
baru yang lebih signifikan. Rekonstruksi teologi bagi Hanafi adalah salah satu
cara yang harus ditempuh jika diharapkan teologi dapat memberikan
sumbangan yang konkrit bagi sejarah manusia. Teologi Islam adalah teologi
yang membumi dalam makna sanggup menjawab tantangan, dinamika dan
problematika seluruh kehidupan manusia.
Langkah-langkah merekonstrusi itu dilakukan dengan cara:
1. Membangun suatu kerangka ideologi yang mempunyai
karakteristik yang jelas di tengah pergumulan zaman.
2. Penegasan bahwa ilmu tauhid corak baru tidak hanya mempunyai
fungsi teoritis, tetapi juga mempunyai fungsi praktis
3. Mempersatukan dan integrasi seluruh dunia Islam hingga
melampaui batas-batas teritorial dan geografis. Menegaskan
kesataun dunia Islamdalam segala aspek.
34
A. Luthfi Syaukani. Oksidentalisme: Kajian Barat setelah Kritik Orientalisme. (Dalam Jurnal Ulumul Quran,
edisi No. 5 dan 6, vol. 5, 1994). h. 124-125
234
Kritik Terhadap Hassan Hanafi
35
Kazuo Shimogaki. Kiri Islam... h. 76-77
235
Penilaian terhadap Kiri Islam, pada kenyataannya Hassan Hanafi
mengemukakan beberapa permasalahan yang sangat penting dan argumennya
tajam. Akan tetapi Kiri Islam tidak mampu mempengaruhi kaum intelektual dan
massa di dunia Arab-Islam.36
36
Kazuo Shimogaki. Kiri Islam... h. 74
236
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Hassan Hanafi lahir di Kairo, ibu kota Republik Arab mesir (jumhuriyyat mishr al-
„Arabiyah), pada tanggal 13 Pebruari 1935. Keluarganya berasal dari propinsi Banu Swaif,
salah satu propinsi di Mesir bagian selatan. Namun kemudian pindah ke Kairo. Kakek Hassan
hanafi berasal dari Maghrib (Maroko), sedangkan neneknya berasal dari kabilah Bani Mur.
Hanafi hidup di lingkungan dengan banyak terjadi penindasan, penjajahan dan
kesenjangan sosial. Menurut Hanafi seharusnya ajaran Islam membela mereka-mereka yang
tertindas, memperjuangkan kebebasan dengan segala dimensi, menegakkan demokratis dan
mengajarkan bahwa semua manusia mempunyai hak yang sama di dunia ini. Sekembalinya
ke Mesir ia ingin membangun kesadaran diri melalui penelusuran dan pengkajian ulang atas
tradisi klasik (tsurats) dan menjadikan Barat sebagai objek kajian sekaligus mitra sejajar
dalam hubungan Timur (Islam) – Barat. Oleh karena itu Hanafi mulai memunculkan Kiri
Islam sebagai seruan untuk menegakkan kebebasan, keadilan sosial serta mempersatukan
umat Islam dalam suatu kesatuan.
Secara singkat Kiri Islam bertopang pada tiga pilar, pertama revitalisasi khazanah
Islam klasik, kedua perlunya menantang Barat, dan ketiga analisis terhadap realitas dunia
Islam. Ketiga pilar tersebut berisi tentang bagaimana Kiri Islam memberikan argumentasinya
terhadap realitas yang ada.
Pada hakikatnya Hanafi adalah manusia biasa yang ketika ia memunculkan Kiri
Islamnya pasti menuai beberapa kritik, diantaranya menurut Kazuo Shimogaki, sebagai
seorang pemikir, dari segi pemikiran Hassan Hanafi dapat didefinisikan pada modernis, tapi
tidak seluruhnya benar, terutama karena Hanafi menggunakan analisis fenomenologis yang
muncul di Barat untuk melawan modernisme. Walaupun ia sudah menyerap modernitas dan
praposmodernitas, tapi ia belum merambah pada gerakan pemikiran yang paling baru di Barat
yakni posmodernisme. Sehingga pemikiran Hanafi masih pada permukaan.
237
DAFTAR PUSTAKA
Abad Badruzzaman. Kiri Islam Hassan Hanafi: Menggugat kemapanan Agama dan Politik.
Yogya: Tiara Wacana, cet. 1, 2005
Abdurrahman Wahid. Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya, pengantar untuk Kazuo
Shimogaki, Kiri Islam antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis
Pemikiran Hassan Hanafi. Yogyakarta: LkiS, cet III, 1997
A. H. Ridwan. Reformasi Intelektual Islam, Pemikiran Hassan Hanafi tentang Reaktualisasi
Tradisi Keilmuan Islam. Yogyakarta: ITTAQA Press, 1998
A. Luthfi Syaukani. Oksidentalisme: Kajian Barat setelah Kritik Orientalisme. Dalam Jurnal
Ulumul Quran, edisi No. 5 dan 6, vol. 5, 1994
Digest Al-Hilal. April, 1997
E. Kusnadiningrat. Teologi dan Pembebasan, Gagasan Islam Kiri Hassan Hanafi. Jakarta:
PT. Logos Wacana Ilmu, cet. I, 1999
Hassan Hanafi. Al-Din wa al-Tsawrah fi Mishr 1952-1981, vol. VI (Al-Ushuliyyah al-
Islamiyah). Kairo: Maktabah Madbuli, 1989
Hassan Hanafi. Al-Tsurats wa al-Tajdid, Mawqifuna min al-Tsurats al-Qadim. Kairo: Al-
Markas al-„Arabi li al-Bahts wa al-Nasyr, 1981
Hassan Hanafi. Madza Ya’ni al-Yassar al-Islami, Kitabat fi al-Nahdhah al-Islamiyah. Kairo:
al-Markaz al-„Arabi li al-Bahts wa al-Nasyr, 1981
Ilham B. Saenong. Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Quran Menurut Hassan
Hanafi. Jakarta: Teraju, cet. I, 2002
Kazuo Shimogaki. Kiri Islam, Antara Modernisme dan Postmodernisme. Yogyakarta: Lkis
Yogyakarta, 1993
Majalah Al-Wasath. no. 276. edisi 12-18 mei 1997
238