Anda di halaman 1dari 4

Hassan Hanafi: Proyeksi Gagasan “Kiri Islam”

Beberapa waktu yang lalu, dunia islam kembali kehilangan salah satu tokoh pegiat
keilmuannya. Pada tanggal 21 Oktober 2021, Hassan Hanafi—seorang tokoh cendekiawan-
reformis muslim—tutup usia pada umur 86 tahun. Tak pelak, hal itu menjadi pukulan hebat
pada dunia keilmuan, khususnya keilmuan islam. Bagaimana tidak? Hanafi merupakan
seorang filosof hukum islam, pemikir islam, sekaligus guru besar Fakultas Filsafat
Universitas Kairo.
Hassan Hanafi lahir pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo, Mesir. Pendidikan formalnya
dimulai pada sekolah dasar yang tamat pada tahun 1948. Kemudian Hanafi melanjutkan
pendidikannya pada Madrasah Tsanawiyah “Khalil Agha” Kairo dan tamat pada tahun 1952.
Selama belajar di sana, Hanafi aktif mengikuti kegiatan-kegiatan diskusi kelompok Ikhwân
al-Muslimîn. Oleh karenanya, sejak masih belia Hanafi sudah mengetahui pemikiran-
pemikiran yang dikembangkan oleh kelompok Ikhwân al-Muslimîn dan para aktivis
sosialnya. Selain itu, Hanafi juga menggemari studi pemikiran-pemikiran Sayyid Quthb,
khususnya mengenai prinsip-prinsip keadilan sosial dalam islam.((E. Kusnadiningrat,
“Teologi dan Pembebasan: Gagasan Islam Kiri Hassan Hanafi” (Jakarta: Logos, 1999),
49.))
Kemudian, Hanafi melanjutkan studinya di Fakultas Filsafat Universitas Kairo yang selesai
pada tahun 1956. Pada periode ini, Hanafi mengalami kejadian yang boleh dikata paling
buruk dalam perjalanan hidupnya. Instabilitas politik pecah di Mesir pada tahun 1954 karena
panasnya perseteruan dua gerakan besar antara kelompok Ikhwân al-Muslimîn dengan
gerakan revolusi terjadi. Hanafi sendiri memihak pada kelompok gerakan revolusi, alasannya
ialah karena mereka mempunyai komitmen serta visi-misi politik islam yang jelas.((Suharti,
“Menjinakkan Barat dengan Oksidentalisme: Gagasan Kiri Islam Hassan Hanafi”, Ulumuna,
Volume IX Edisi 16 Nomor 2 Juli-Desember 2005, 356-357.))
Berbagai peristiwa yang dialami oleh Hanafi pada saat itu, mendorongnya untuk bangkit
menjadi seorang pembaharu, pemikir dan reformis islam. Timbulnya keprihatinan yang terus
bergejolak dalam hatinya tentang mengapa umat islam selalu bisa dikalahkan dan konflik
internal islam terus-menerus terjadi? Pada tahun ini pula, Hanafi mendapat kesempatan
berupa beasiswa untuk melanjutkan studinya di Universitas Sorbonne Prancis. Di sini Hanafi
menemukan lingkungan yang kondusif untuk mempelajari berbagai persoalan yang dihadapi
oleh negerinya sekaligus merumuskan wacana-wacana solutif sebagai jawabannya.((Ibid.,
357.))
Di Prancis, Hanafi terlatih untuk berpikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah serta
bacaan atas berbagai karya sejumlah orientalis. Hanafi juga sempat belajar kepada seorang
reformis katolik Jean Gitton tentang metode berpikir, pembaruan, dan sejarah filsafat. Hanafi
juga sempat belajar mengenai fenomenologi dari Paul Ricour, analisis kesadaran dari
Edmund Husserl, serta bimbingan penulisan terkait pembaruan ushûl al-fiqh dari supervisi
Professor Massignon. Hanafi menyelesaikan studi magister dan doktoralnya pada tahun 1966.
((Ibid.))
Pada tahun 1967, Hanafi diangkat menjadi lektor di Fakultas Filsafat Universitas Kairo.
Kemudian pada tahun 1988 ia dikukuhkan sebagai guru besar filsafat Universitas Kairo
sekaligus sebagai ketua bidang studi filsafat di sana. Hanafi juga sempat menjadi professor
tamu di beberapa negara seperti Prancis, Belgia, Temple University Philadelpia, Maroko,
Tokyo dan pada tahun 1985-1987 ia diangkat menjadi penasehat program di Universitas PBB
Jepang.((Ibid., 357-358.))
Selain sebagai Guru Besar Universitas Kairo yang aktivitasnya padat, Hanafi juga aktif di
berbagai organisasi masyarakat yang menggandrungi kajian filsafat. Beberapa di antaranya
ialah “Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir”, “Ikatan Penulis Asia-Afrika”, “Anggota
Solidaritas Asia-Afrika” dan sebagai wakil ketua di “Masyarakat Filsafat Arab”. Melalui
organisasi-organisasi tersebut, tulisan-tulisan maupun seminarnya dikenal dunia keilmuan
secara luas.((Yusdani, “Gerakan Pemikiran “Kiri” Islam (Studi atas Pemikiran Hassan
Hanafi)” Al Mawarid Edisi VII 2002, 81.))
Hanafi mempromosikan pemikiran-pemikiran islam dan filosofisnya seperti teologi
pembebasan dalam islam. Salah satu keprihatinan utama Hanafi adalah bagaimana
melanjutkan proyek yang dirancang untuk membuat dunia islam bergerak menuju pencerahan
yang menyeluruh. Kita dapat menengarai tiga wajah dalam rangka memastikan posisi
pemikirannya dalam dunia islam. Khususnya mengenai gagasan “Kiri Islam”.
Wajah pertama ialah peranannya sebagai seorang pemikir revolusioner. Sesaat selepas
revolusi islam Iran meletus dan berhasil mengkudeta pemerintahan lama, Hanafi
menyuarakan gagasan “Kiri Islam”. Salah satu tugasnya ialah mencapai revolusi tauhid
(keesaan, pengesaan: konsep fundamental dalam pandangan islam). Dalam hal ini, Hanafi
bisa dikategorikan sebagai pemikir islam revolusioner semacam Ali Syariati, pemikir yang
menjadi tulang punggung dari revolusi islam Iran dan Ayatullah Khomeini sebagai pemimpin
gerakan revolusi islam Iran yang sukses.((Kazuo Shimogaki, “Kiri Islam Antara Modernisme
dan Posmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi”, terj. M. Imam Aziz dan M.
Jadul Maula (Yogyakarta: LKIS, 1993), 4.))
Wajah kedua ialah Hanafi sebagai seorang reformis tradisi intelektual islam klasik. Dalam hal
ini ia disejajarkan dengan Muhammad Abduh—seorang tokoh pemikir islam Mesir(1849-
1905). Sebagai seorang reformis tradisi islam, Hanafi juga seorang nasionalis sebagaimana
Muhammad Abduh.((Ibid.))
Wajah ketiga ialah Hanafi sebagai penerus gerakan Al-Afghani (1838-1896). Al-Afghani
adalah pendiri gerakan islam modern, yang dikenal sebagai pejuang perlawanan terhadap
imperialisme Barat serta mempunyai tujuan mempersatukan umat islam. Hanafi dalam
gagasan “Kiri Islam” juga mempunyai tujuan serupa: perjuangan melawan kultur
imperialisme Barat dan mempersatukan dunia islam.((Ibid., 5))
Proyeksi Gagasan “Kiri Islam”
Istilah “Kiri Islam” telah dikenal semenjak terbitnya jurnal “al-Yasâr al-Islâmî” pada tahun
1981. Sebenarnya istilah ini tidak murni muncul dari ide Hassan Hanafi sendiri, karena
sebelumnya telah digunakan oleh Ahmad Ghabbas Shâlih dalam tulisannya “al-Yamîn wa al-
Yasâr fî al-Islâm” (1972). Dalam buku ini, istilah tersebut didefinisikan sebagai “Sosialistik
dalam Islam”. Kemudian dipandang baik oleh Hanafi untuk dikembangkan dengan
pengertian “mengangkat posisi kaum yang dikuasai, kaum miskin, kaum tertindas, dan
menderita”. Atau dengan definisi sederhana “perlawanan dan kritisisme”.((Suharti,
“Menjinakkan Barat dengan Oksidentalisme: Gagasan Kiri Islam Hassan Hanafi”, Ulumuna,
Volume IX Edisi 16 Nomor 2 Juli-Desember 2005, 359-360))
Kemunculan “Kiri Islam” sangat dipengaruhi oleh semangat revolusi islam yang meletus di
Iran pada tahun 1979. Selain itu, ia juga dipengaruhi oleh gerakan islam lainnya di dunia
Arab. Beberapa di antaranya ialah: pertama, adanya kecenderungan keislaman yang terkait
dengan kekuasaan dan praktik keislaman berubah menjadi sebuah ritus belaka. Hanafi
memandang hal ini sebagai kecenderungan negatif yang akan mengarah kepada sikap
feodalisme dan kapitalisme kesukuan. Kedua, adanya kecenderungan liberalisme yang
dominan sebelum terjadinya revolusi Arab yang secara budaya berasal dari Barat, meskipun
mereka menentang kultur imperialisme.((Ibid., 360))
Ketiga, adanya kecenderungan-kecenderungan Marxis Barat yang ingin membangun
kekuatan untuk melawan imperialisme, sementara khazanah islam sendiri tidak
dikembangkan. Keempat, adanya gejala-gejala revolusi nasional yang menimbulkan
perubahan mendasar pada struktur sosial-budaya, namun tidak melibatkan kesadaran umat
islam.((Ibid.))
Meskipun jurnal “al-Yasâr al-Islâmî” hanya sekali terbit, namun ia merupakan literatur
penting untuk ditelaah. Penting, karena beberapa alasan berikut: pertama, tercapainya
revolusi di Iran memberikan pengaruh luar biasa khususnya pada dunia Arab. Jurnal ini
merupakan salah satu teks terbaik sebagai alat untuk menelaah pengaruh revolusi Iran
terhadap intelektualitas umat islam di Arab. Kedua, “al-Yasâr al-islâmî” semata-mata bukan
respons Hanafi terhadap revolusi islam Iran. Ide-ide sejenisnya dalam karya lainnya seperti
“Revolusi di Dunia Ketiga” dan “Agama dan Revolusi” penting untuk dikaji.((Ibid.))
Dua karya Hanafi ini mengungkap refleksi intelektualnya dalam konteks sosial-politik
modern. Ketiga, “al-Yasâr al-Islâmî” merupakan literatur penting bagi studi mengenai
perkembangan gerakan islam modern, terutama jika dilihat gerakan-gerakan baru ini sebagai
proses kelanjutan dari perjuangan yang dimulai oleh Jamâl al-Dîn al-Afghânî. Memang jurnal
Hanafi ini disebut sebagai penerus jurnal “Urwah al-Wutsqâ” yang diterbitkan oleh al-
Afghâni dan Muhammad Abduh. Keempat, “al-Yasâr al-Islâmî” merupakan teks pemikiran
islam. Dalam hal ini dapat ditelaah mengenai hubungan antara kekuatan politik,
kesejahteraan umat islam, dan bahkan rasionalisme.((Ibid., 360-361.))
Kelima, dalam “al-Yasâr al-Islâmî” Barat selalu dibutuhkan untuk didudukkan sebagai
ancaman terhadap islam. Oleh karenanya, penting untuk menjadikan Barat sebagai objek
untuk ditelaah. Berkenaan dengan hal ini, Hanafi mencoba mengembangkan suatu ilmu sosial
baru berupa “oksidentalisme” sebagai konfrontasi terhadap “orientalisme”. Keenam, “al-
Yasâr al-Islâmî” merupakan refleksi dari kebingungan di lingkungan sosial-politik dunia
Arab dan intelektual Arab. Terakhir ketujuh, beberapa persoalan pokok yang menjadi
kepedulian dalam “al-Yasâr al-Islâmî” adalah kolonialisme, kapitalisme, zionisme, serta
dukungan yang datang kepada dunia islam dari luar.((Kazuo Shimogaki, “Kiri Islam Antara
Modernisme dan Posmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi”, terj. M. Imam
Aziz dan M. Jadul Maula (Yogyakarta: LKIS, 1993), 4-10.))
Selain itu juga masalah kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan yang muncul dari
dunia islam sendiri. Secara garis besar, “Kiri Islam” mempunyai tiga pilar utama untuk
memproyeksikan kebangkitan islam, revolusi islam, dan persatuan umat islam. Pertama,
revitalisasi khazanah islam klasik. Dalam hal ini, Hanafi secara tegas menekankan
pentingnya rasionalisme. Rasionalisme merupakan keniscayaan bagi kemajuan dan
kesejahteraan untuk memecahkan situasi keterbelakangan dan keterpurukan dunia islam.
((Suharti, “Menjinakkan Barat dengan Oksidentalisme: Gagasan Kiri Islam Hassan Hanafi”,
Ulumuna, Volume IX Edisi 16 Nomor 2 Juli-Desember 2005, 362.))
Kedua, perlunya menentang peradaban Barat. Dalam hal ini, Hanafi mewanti-wanti akan
bahaya imperialisme kultur Barat yang cenderung membasmi kekayaan budaya bangsa-
bangsa secara historis. Kemudian pilar ketiga, analisis atas realitas dunia islam. Hanafi
mengkritik metode penafsiran tradisional yang bertumpu pada teks (nash). Oleh karenanya,
Hanafi mengusulkan suatu metode tertentu agar realitas dunia islam dapat berbicara bagi
dirinya sendiri.((Ibid.))
Analisis terhadap realitas dunia islam ini merupakan bagian dari metode yang dibangun
Hanafi dalam mewujudkan cita-cita “Kiri Islam”. Bagi Hanafi, makna realitas adalah
sebangun dan searti dengan realitas masyarakat, realitas ekonomi dan politik, realitas
khazanah islam, dan realitas tantangan Barat. Keberhasilan mencapai cita-cita revolusi islam
tergantung pada kecermatan menganalisis realitas-realitas tersebut. Hanafi menggunakan
metode fenomenologi dengan harapan dunia islam dapat berbicara bagi dirinya sendiri secara
faktual dan objektif.((Ibid.))
Selamat jalan Hassan Hanafi, gerakan intelektual-revolusionermu untuk kebangkitan umat
islam yang menderita dan tertindas akan selalu abadi terpatri dalam jiwa-jiwa manusia yang
nuraninya hidup sepertimu, Alfatihah.

Anda mungkin juga menyukai