Anda di halaman 1dari 11

KAJIAN POLITIK ISLAM

DALAM PERSPEKTIF ILMU USHULUDDIN

A. Filsafat dan Ilmu Politik

Fakultas Ushuluddin di lingkungan Institut Agama Islam Negeri Sunan

Ampel selama ini telah mengembangkan bidang keahlian (jurusan) Tafsir Hadits

(TH), Aqidah Filsafat (AF), dan Perbandingan Agama (PA). Dalam rangka

pengembangan fakultas ke depan, telah dilakukan analisis-analisis melalui

seminar maupun diskusi, dengan didasarkan pada kebutuhan masyarakat, dunia

kerja, dan kemampuan fakultas sendiri. Maka kemudian diputuskan untuk

membuka Program Studi Politik Islam. Pertanyaan lebih lanjut adalah; relevankah

Program Studi Politik Islam di Fakultas Ushuluddin?

Sebagaimana diketahui, salah satu bidang keahlian yang dikembangkan di

Fakultas Ushuluddin adalah filsafat, yaitu dalam jurusan Aqidah Filsafat. Politik

adalah salah satu pemikiran yang dikembangkan oleh filsafat. Tokoh filsafat

Yunani seperti Plato1 dan Aristoteles telah mengawali pemikiran-pemikiran

tentang politik secara sistematis, yang kemudian diteruskan filosuf-filosuf Barat

yang lain, seperti tokoh kontroversial Machiavelli dengan konsepnya tentang

kekuasaan; Thomas Hobbes dengan The Leviathan, John Locke dengan

pembagian kekuasaan; Rousseau dengan kontrak sosial dan prinsip kedaulatan

rakyat, sampai dengan Karl Marx tentang negara sosialis-komunis.2

1
Karya Plato Republic dianggap sebagai karya monumental pertama tentang filsafat Politik yang
kemudian juga mengilhami gagasan tentang “Kota Tuhan” dari St. Agustinus di abad
pertengahan. Lihat David E. Apter, Pengantar Analisis Politik, terj. Setiawan Abadi (Jakarta,
LP3ES: 1996), 33.
2
Tentu ini adalah sebagian kecil dari para pemikir politik Barat, di samping tokoh-tokoh lain
seperti Montesquieu, John Stuart Mill, Bentham, Sir Thomas More, Lenin, dan lain-lain.

1
Di dunia Islam, pemikiran-pemikiran tentang politik tidak kalah

menariknya. Bahkan masalah politiklah yang kemudian memicu munculnya

berbagai mazhab atau aliran teologi yang ada di dalam Islam. Sejarah mencatat

bahwa sepeninggal Nabi, persoalan politik segera muncul, yaitu tentang siapa

yang menjadi khalifah.3 Khalifah pertama dan kedua yaitu Abu Bakar dan Umar

bin Khattab dicatat telah berhasil menjaga keutuhan yang telah dibina oleh Nabi,

namun keadaan kemudian berbalik ketika kekhalifahan dipegang oleh Utsman bin

Affan yang berakhir secara menyedihkan. Utsman telah dibunuh secara kejam

oleh para pemberontak. Keadaan politik umat Islam kian memanas pada masa

kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Puncak memanasnya situasi politik pada masa

tersebut adalah adanya perang saudara secara terbuka, yaitu antara pendukung Ali

dan pendukung Aisyah, istri Nabi yang juga mertua Ali; dan antara pendukung

Ali dan pendukung Mu’awiyah bin Abu Sufyan.4

Perkembangan yang selanjutnya terjadi adalah umat Islam mulai terkotak-

kotak dalam beberapa “partai politik” besar, misalnya Sunni dan Syi’ah. Pada

tahap selanjutnya, perbedaan politik (kekhalifahan) umat Islam berakibat pada

munculnya berbagai kelompok (firqah) di bidang kalam (teologi) dan fiqih

(hokum Islam). Beberapa aliran kemudian muncul setelah ini, didasarkan atas

persoalan doktrinal, tanpa melibatkan urusan politik, seperti Murji’ah, Jabariah,

Qadariah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, Ahlussunnah, dan Ahmadiyah.5


3
Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta, UI Press: 1986), 3. Bahkan pada saat Nabi meninggal
persoalan penguburan beliau menjadi soal kedua bagi umat Islam kala itu. Mereka disibukkan
dengan usaha mencari pengganti Nabi sebagai kepala negara.
4
M. Amin Suma, ‘Kelompok dan Gerakan,” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 3, ed. Taufik
Abdullah, dkk (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve: 2002), 340.
5
Ibid. Lihat juga Haidar Baqir dan Luthfi Assyaukanie, “Dinamika Intern Umat Islam,” dalam
Ensiklopedia Tematis Dunia Islam 6, Ibid., 194. Kelompok Murji’ah menjadi pengecualian, karena
faktor politik juga berperan besar pada kelahirannya yang merupakan reaksi dari sikap ekstrim

2
Selain persoalan politik praktis yang telah menghasilkan doktrin politik,

teologi, dan fiqih, khazanah politik umat Islam klasik juga dikembangkan oleh

para filsuf muslim. Misalnya, Al-Farabi memiliki pemikiran tentang masyarakat

kota dan Ibn Khaldun memiliki konsep sosiologi politik yang sangat

mengagumkan seperti tampak dalam teorinya tentang ‘ashabiyah (group feeling).

Ibn Khaldun membedakan pemerintahan atau kekuasaan menjadi dua; siyasah

diniyyah, yaitu kekuasaan yang didasarkan pada hukum agama yang diwahyukan

(syari’ah) dan siyasah aqliyah, yaitu kekuasaan berdasarkan hukum politik akal

budi (rasional). Yang pertama ditujukan untuk keselamatan dunia-akhirat, sedang

yang kedua dilaksanakan untuk dunia saja.6

Persoalan pemikiran politik Islam yang banyak ditulis kemudian adalah

persoalan tentang ketatanegaraan atau dikenal sebagai fiqih siyasah. Definisi dari

fiqih siyasah adalah “Ilmu tata negara, salah satu disiplin ilmu tentang seluk beluk

pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara pada

khususnya, berupa hukum, peraturan, dan kebijakan yang dibuat oleh pemegang

kekuasaan yang bernafaskan pada ajaran Islam. Mewujudkan kemaslahatan umat

manusia sesuai dengan tuntunan syari’at merupakan motivasi fiqih siyasah.7

Ulama-ulama fiqih periode klasik banyak menggagas tentang fiqih

siyasah. Di antaranya ‘Abdurrahman Taj, Ibnu ‘Aqil, Al-Qarafi, ‘Abdul Wahhab

Khallaf, Ibnu Rusyd, maupun Muhammad Diya’uddin al-Rais. Konsep-konsep

yang mereka kemukakan adalah di seputar perundang-undangan, tata hubungan


golongan Khawarij.
6
Abdul Azis Dahlan, “Filsafat,” dalam Ensiklopedia Tematis Dunia Islam 4, Ibid., 190-191. Kamal
Abdullah Alwyn, “Ibn Khaldun: Agama dan Kekuasaan Politik,” dalam Jurnal Ulumul Qur’an,
Vol. II (1991), 86-87. Dalam analisisnya, Kamal Abdullah menunjukkan kerapian dan kejernihan
Ibn khaldun dalam memetakan persoalan agama dan sosial.
7
Ahmad Sukardja, Fiqih Siyasah, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 3, Ibid. 192.

3
internasional, pengelolaan keuangan negara imarah, imamah, khilafah, sampai

dengan syarat maupun diberhentikannya kepala negara. Teori-teori politik juga

banyak ditulis oleh para filsuf seperti Al-Ghazali, Ibnu’Arabi, dan Ibnu Taimiyah.

Dalam sejarah Islam modern, muncul pula pemikir-pemikir politik modern Islam,

seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha,

Ali Abdul Raziq, Abul A’la al-Maududi, Muhammad Hussein Haikal, sampai

dengan tokoh politik Indonesia misalnya, Soekarno, Muhammad Hatta, Mr.

Muhammad Roem, dan Muhammad Natsir.8

Dunia Islam modern juga diramaikan oleh gerakan-gerakan Islam yang

berbasis politik. Gerakan yang paling berpengaruh dan menjadi prototype gerakan

Islam selanjutnya adalah Ikhwanul Muslimin yang didirikan di Mesir tahun 1928

oleh Hasan al-Banna9 dan dalam sejarah perkembangannya menjadi oposisi dari

pemerintah Mesir. Gerakan politik lainnya adalah Hamas yang berlatar belakang

pembebasan Palestina; Nurculuk di Turki yang lahir dari tasawuf kemudian

masuk dalam kehidupan politik dan sosial, maupun Jamaah Islami di India yang

menginginkan Islamisasi kehidupan sosial ekonomi.10

Di samping muncul gerakan, perdebatan tentang negara dalam wacana

politik Islam tidak kalah seru. Nasionalisme di Turki berujung pada pembentukan

8
Ibid., 192-221
9
Hasan al-Banna adalah penggagas tentang perlunya membangun kembali lembaga kekhalifahan.
Menurutnya, kekhalifahan adalah simbol persatuan umat Islam dan manifestasi ikatan bangsa
muslim. Imamah merupakan program dari ikhwanul Muslimin yang disiapkan Hasan al-Banna
melalui kerjasama kebudayaan, sosial, dan ekonomi pada seluruh bangsa muslim. Samsu Rizal
Panggabean, “Din, Dunya dan Daulah,” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 6, Ibid., 59.
10
Gerakan-gerakan ini merupakan reaksi dari dominasi Barat yang telah menjajah negara-negara
yang mayoritas penduduknya Islam maupun dominasi Barat atas kebudayaan dan ilmu
pengetahuan, yang telah menyebabkan banyak umat Islam tercerabut dari akarnya yang paling
mendasar yaitu ajaran Islam itu sendiri. Lebih lanjut lihat Samsu Rizal Panggabean, “Organisasi
dan Gerakan Islam,” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 6, Ibid. 83-103.

4
negara sekular sebagai dampak dari pembaharuan dan reaksi dari rezim represif

dari Kerajaan Usmani (Sultan Abdul Hamid II), merupakan tonggak perdebatan

tentang negara agama versus negara sekular. Pada penghujung abad XX dunia

juga dikejutkan oleh revolusi Islam di Iran, yang dipersiapkan oleh para ulama

yang mempopulerkan Islam sebagai ideologi pembebasan sosial dan terutama

gagasan Khomeini tentang wilayah al-Faqih. Dukungan ulama, rakyat yang

menjadi korban modernisasi, dan mahasiswa, mengantarkan revolusi Islam di Iran

menjadi Republik Islam Iran yang diproklamasikan tahun 1979.11

Wacana politik Islam abad XX ini juga mengangkat isu nasionalisme.

Islam sebagai perekat persatuan atau solidaritas Islam. Hak-hak muslim sebagai

minoritas di negara-negara non-muslim, sampai dengan runtuhnya sosialisme

Eropa yang memunculkan negara-negara dengan mayoritas muslim, seperti

Bosnia dan negara-negara pecahan Uni Soviet, seperti Turkmenistan, Azerbeijan,

Tajikistan, maupun etnis Checnya yang berjuang memerdekakan diri sampai saat

ini.12

B. Politik Islam sebagai Kajian Khusus

Sementara itu, dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin

pesat, masalah yang terkait dengan politik sebagai ilmu khusus tidak lepas dari

keinginan keluarnya tekanan yang bersifat yuridis, historis, dan filosofis dalam

pembahasan tentang realitas politik. Dengan keluarnya ilmu politik dari ketiganya,

maka ilmu politik lebih mendasarkan diri pada pengumpulan data empiris.13

11
Johan Hendrik Meuleman, “Dinamika Abad ke-20,” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 6,
Ibid, 14-29.
12
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta, Gramedia: 1983), 2.
13
Ibid.

5
Tentang politik sebagai disiplin ilmu tersendiri, Miriam Budiardjo

menyebutkan di bukunya bahwa di negara-negara benua Eropa seperti Jerman,

Austria, dan Perancis, bahasan mengenai politik dalam abad ke XVIII dan XIX

banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum dan karena itu fokus perhatiannya adalah

negara semata-mata. Bahasan mengenai negara termasuk kurikulum Fakultas

Hukum sebagai mata kuliah ilmu negara (staatlehre). Di Inggris permasalahan

politik dianggap termasuk filsafat, terutama moral philosophy, dan bahasannya

tidak pernah lepas dari sejarah. Akan tetapi dengan didirikannya Ecole Libre de

Sciences Politiques di Paris (1870) dan London School of Economics and Political

Science (1895) ilmu politik untuk pertama kali di negara-negara tersebut dianggap

sebagai disiplin ilmu tersendiri yang patut mendapat tempat di perguruan tinggi.

Perkembangan berbeda terjadi di Amerika Serikat. Mulanya tekanan

yuridis seperti yang terdapat di Eropa mempengaruhi bahasan masalah politik,

akan tetapi lama-kelamaan timbul hasrat untuk membebaskan diri dari tekanan

yuridis itu, dan lebih mendasarkan diri pada pengumpulan data empiris. Kebetulan

perkembangan selanjutnya bersamaan waktunya dengan perkembangan psikologi

dan sosiologi, sehingga kedua cabang ilmu sosial ini banyak mempengaruhi

metodologi dan terminologi ilmu politik.

Saat ini filsafat politik adalah bagian yang telah terintegrasi dalam ilmu

politik.14 David E. Apter menyebutkan ada enam pendekatan atau sistem analisis

dalam ilmu politik, yaitu filsafat politik, institutionalism, behavioralism,

pluralism, structuralism, dan developmentalism.15 Dengan demikian maka obyek


14
Sementara itu tentang ketatanegaraan dengan pendekatan yuridis, dimasukkan sebagai hukum
tata Negara, dan biasanya masuk dalam Fakultas Hukum.
15
David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, 7.

6
kajian politik tidak melulu masalah negara atau pemikiran tentang kenegaraan,

tapi lebih luas dari itu karena menyangkut pula perilaku politik, sistem kepartaian,

wilayah-wilayah sedang berkembang, bangsa-bangsa baru, lembaga politik,

ideologi, koalisi, kekuasaan, sampai pada perubahan dan revolusi politik. Maka

menjadi tepat jika data-data empiris sangat penting di samping pemikiran, sejarah

maupun konstitusi atau aspek-aspek yuridis yang tidak bisa diabaikan dalam

penguatan analisisnya.

Dalam perspektif ilmu-ilmu keislaman, sangat menarik pendapat dari

Qodri Azizy. Ia menyatakan bahwa ilmu-ilmu sosial dan humaniora telah dipakai

untuk mengkaji atau meneliti agama. Dan yang menjadi persoalan bukan pada

tepat atau tidak tepatnya penggunaan ilmu sosial untuk kajian Islam, tapi lebih

pada kesenjangan apa yang terjadi dan kekurangan atau kelemahan apa yang harus

dipecahkan.16 Lebih lanjut, Qodri Azizy menyatakan bahwa selama ini yang

terjadi bahwa kalau kita berbicara tentang studi Islam, hampir selalu merujuk pada

sosok ajaran Islam, belum terbiasa pada masyarakatnya yang merefleksikan atau

bahkan mengaplikasikan ajaran tersebut. Hal ini sering dianggap sebagai bukan

wilayah kajian Islam, namun wilayah disiplin lain, yakni social sciences atau

humanities, yang biasa dianggap ilmu-ilmu sekuler. Di satu pihak, realisasi ilmu

tersebut menjadi biasa jika dilakukan oleh para ahli yang kurang mendalami ilmu-

ilmu keislaman. Di pihak lain, orang Islam sendiri sering memperlakukan ilu-ilmu

tersebut sebagai ilmu luar yang seolah terlepas sama sekali dari ilmu Islam.17

16
Qodri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman (Jakarta, Direktorat Perguruan Tinggi Agama
Islam: 2003), 88-89.
17
Ibid., hal. 97

7
Ketika pemikiran Islam dikaji dengan meletakkannya pada posisi hasil

pemikiran ulama dan dilihatnya secara interdisipliner, maka kajian seperti ini akan

memerlukan disiplin lain dari luar (social sciences/humanities). Kajian seperti ini

masih dikategorikan pada kajian “ajaran Islam” dalam hal yang berkaitan dengan

Islam, maka perilaku para pemeluk Islam, baik secara sadar atau tidak sadar, tidak

jarang berupa perilaku yang terpengaruh atau realisasi ajaran Islam itu sendiri.

Inilah saya kira salah satu ciri penting kajian Islam dengan menggunakan disiplin

ilmu sosial untuk mengkaji masyarakat muslim mau tidak mau tidak lepas dari

kajian Islam itu sendiri dalam konteks sosialnya. Artinya, ajaran dan keyakinan

Islam tidak bisa dilepaskan sama sekali dari proses analisisnya.18

Berdasarkan hal tersebut, maka politik Islam sebagai disiplin ilmu untuk

melihat realitas politik umat Islam, baik dari aspek perilaku, institusi, lembaga,

pemikiran, maupun perkembangannya dengan analisis epistemologis keislaman,

menjadi relevan untuk dikembangkan. Beberapa contoh realitas politik umat Islam

di Indonesia berikut ini patut untuk menjadi renungan; pertama, perkembangan

Islam di nusantara, terutama pada masa awal pembentukannya sebagai sosial

budaya, berlangsung sejalan dengan dinamika politik internal. Ini kemudian

menimbulkan adanya pembentukan-pembentukan institusi Islam dan Islamisasi

kelembagaan politik.19 Kedua, meskipun Indonesia memiliki tradisi politik yang

tidak terpisahkan dengan kawasan dunia muslim pada umumnya, maka pengaruh

18
Ibid., hal. 100. Lebih lanjut lagi Dr Qodri Azizi menawarkan cara ideal untuk mengatasi ini
adalah mewujudkan para ilmuwan sosial yang dalam waktu bersamaan juga mendalami ilmu-ilmu
keislaman, atau ahli Islam yang dalam waktu bersamaan mendalami ilmu-ilmu sosial. Langkah
berkutnya adalah mewujudkan suatu teori dalam dunia ilmu sosial yang mencerminkan identitas
keislaman meskipun belum/tidak sampai meng-Islamkan ilmu sosial.
19
Jajat Burhanudin, Islamisasi Kelembagaan Politik, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 5,
hal 63-66

8
tradisi politik lokal juga bisa diamati dalam tradisi politik Islam di Indonesia.

Ketiga, Ulama sebagai bagian dari struktur politik di Indonesia. Menurut Husni

Rahim dkk,20 ulama menduduki posisi utama bukan saja pada bidang keagamaan,

tetapi juga sosial, politik dan budaya. Dalam bidang agama, ulama adalah penafsir

yang sah atas doktrin agama, dan dalam bidang sosial-politik, peran yang sama

juga disandangnya. Dengan demikian, ulama telah memainkan peranan yang besar

dalam sosial budaya dan politik.

Di samping itu beberapa kondisi empiris ikut mendukung urgensinya

politik Islam ini;

1. Realitas empiris yang terjadi pada anggota legislatif di daerah-daerah,

mayoritas adalah memiliki gelar sarjana Agama (S.Ag.). Sebagaimana kita

ketahui bahwa mereka kurang memiliki wawasan politik dan manajemen

politik yang baik. Sebagai anggota legislatif sudah selayaknya untuk

memiliki bekal yang memadai tentang wawasan dan manajemen politik

untuk mengelola lembaga politik.

2. Era otonomi daerah, di mana mayoritas masyarakat Indonesia adalah

beragama Islam, maka memerlukan wawasan politik yang bercirikan atau

bernuansa keislaman.

3. Era pemilihan presiden, legislatif, maupun kepala daerah (PILKADA)

secara langsung memerlukan pula wawasan politik keislaman yang perlu

diberikan kepada masyarakat.

20
Husni Rahim, dkk, Struktur Politik dan Ulama, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 5, hal.
91

9
4. Islam sebagai agama yang holistik, termasuk memiliki konsep tentang

politik, namun terlihat dalam realitas terdapat kesenjangan yang lebar

antara konsep-konsep politik tersebut dengan praktis yang ada di

masyarakat muslim. Gerakan-gerakan Islam Politik dan Islam Kultural

yang berkembang di Indonesia menjadi menarik untuk diamati. Satu sisi

adanya gerakan memberlakukan Syariat Islam secara politik, yang

diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin

Indonesia (MMI), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang

(PBB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Indonesia, dan pada sisi

yang lain vis a vis dengan gerakan Islam Kultural yang diperjuangkan

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan warga NU sebagai basis utama,

Partai Amanat Nasional (PAN) dengan warga Muhammadiyah sebagai

basis utama.

5. Kajian tentang Islam Politik dan Islam Kultural sangat menarik untuk

dikaji karena salah satu doktrin mereka sama-sama untuk

memperjuangkan tegaknya Islam, tetapi mereka berbeda dalam strategi

dan taktik tentang bagaimana menegakkan Islam dalam tataran politik

praktis.

6. Moralitas politik menjadi hal yang sangat penting dalam kancah politik.

Sebagaimana kita ketahui para filsuf politik dalam terjun ke politik

mempunyai tujuan yang mulia. Yang mana, jabatan politik diperuntukkan

bagaimana untuk kesejahteraan masyarakat atau kepentingan umum,

bukan meraih kekuasaan untuk kepentingan yang serba pribadi artinya

10
bagaimana berpolitik dengan etika politik yang benar. Pergeseran tujuan

politik inilah yang menarik untuk dikaji dalam melihat fakta-fakta empirik

di lapangan.

Persoalan-persoalan di atas memerlukan kajian secara ilmiah-akademis,

perlunya mewujudkan ilmuwan sosial (dalam hal ini politik) yang dalam waktu

bersamaan juga mendalami ilmu-ilmu ke-Islaman. Alasan ini semakin

menguatkan kita tentang urgensi dibukanya Program Studi Politik Islam di

Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel.

11

Anda mungkin juga menyukai