Anda di halaman 1dari 36

KONSEP PEMIKIRAN GUS DUR TENTANG ISLAM DAN NASIONALISME (1982-2001)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perdebatan seputar hubungan Islam dan Negara di Indonesia telah begitu banyak menguras

energy, sejak masa-masa persiapan kemerdekaan hingga setengah abad lebih setelah merdeka. Namun,

dalam masa yang panjang itu pula belum ditemukan sebuah plat form bersama, meskipun pada masa

pemerintahan Orde Baru perdebatan ini seolah-olah dianggap selesai.(Marzuki Wahid & Rumadi, 2001)

Termasuk Islam dan Negara yang dimaksud disini adalah agama dan Negara dalam wuud sekarang sudah

melembaga.1

Di antara tema hangat yang didiskusikan dalam percaturan politik di Indonesia pada tahun 1950-

an adalah hubungan Islam dan pondasi Negara Indonesia. Kalangan muslim secara umum terbagi dalam

dua kelompok dalam wacana ini, mereka menginginkan Islam sebagai dasar Negara dan mereka yang

menawarkan model Negara sekuler. Kelompok pertama meyakini bahwa Negara Islam sebagai model

pemerintahan akan menjamin terlaksana ajaran Islam di Masyarakat. Kelompok kedua menolak

formalisme agama dalam urusan kenegaraan sebaliknya mereka memfokuskan pada pentingnya

menumbuhkan dan membina masyarakat religious dan integritas bangsa.

Secara umum dapat dikatakan bahwa sejak awal, umat Islam Indonesia, modernis dan sayap

pesantren, telah memiliki system politik yang lebih baik yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan-

tujuan dan cita-cita politik Islam. Golongan modernis khususnya adalah pembela-pembela demokrasi

yang tanggung dalam menentang gerakan politik otoriter Soekarno pada akhir 1950-an yang kemudian

membuahkan demokrasi terpimpin.(Nanah Raqiq, 2004)


1
Pelembagaan agama terjadi, pada mulanya dimaksudkan sebagai wahana untuk mengejawantahkan kesadaran
ruhaniyyah (kerinduan Ilahiyyah, komitmen kepada keadlian dan kerahmatan semesta). Atau dengan kata lain,
sebagai wahana untuk mengaktualisasikan hakikat kemanusiaan yang terbuka (extrovert), tetapi kemudian
berubah menjadi wahana untuk mengaktualisasikan dan sekaligus menumpuk sentimen kelompok yang bersifat
substansialinklusif bergeser menjadi komitmen perkauman yang bersifat formal ekslusif. Lihat Masdar F. Mas’udi,
“Agama dan Pluralitasnya”, (Yogyakarta: Interfidei, 1995), hlm. 368.
Demokrasi terpimpin, sekalipun diciptakan oleh Soekarno yang punya kharisma, ternyata tidak

mampu bertahan lama, karena memang tidak mempunyai tempat berpijak yang kukuh untuk dapat hidup

langgeng. Sesudah berjalan lima atau enam tahun, sistem otoriter ini hancur secara drastis, sementara

pihak komunis yang menyokongnya juga mengalami nasib serupa.(Ahmad Syafi’i Maarif, 1985)

Pada awal Orde Baru, di kalangan aktivis Islam timbul optimisme untuk kembali memainkan

peranan dalam politik nasional, mengingat sumbangan mereka dalam meruntuhkan rezim orde lama.

(Thaba, 1996)

Periode awal dalam kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid merupakan saat paling penuh

kesibukan, Presiden Abdurrahman Wahid agaknya melihat adanya beberapa persoalan yang dengan

segera harus dibenahi. Ia sendiri telah memiliki banyak rencana mengenai apa yang mesti dilakukan

dalam rentang waktu yang pendek, mulai dari melanjutkan economic recovery yang belum tuntas

penyelesaian konflik horizontal masyarakat dan ancaman desintegrasi yang melanda beberapa wilayah,

“domestikasi” peranan militer, penegakan hak asasi manusia, sampai dengan membuka ruang partisipasi

dan otonomi masyarakat secara lebih luas dengan meminimalisir keterlibatan Negara. 2

Kajian tentang Islam dalam politik di Indonesia selalu menarik perhatian. Sebab, berbicara

tentang politik Islam di Indonesia berarti juga berbicara tentang Islam. Islam adalah agama yang dianut

mayoritas penduduk Indonesia. Secara sosiologis, potensi ummat Islam sebagai sumber legitimasi sistem

politik dalam rangka menyukseskan pembangunan nasional, sangat besar. Dalam setiap pemilu, citra

Islam selalu ditampilkan secara doctrinal ajaran Islam melingkupi kehidupan politik kenegaraan,

bersamaan dengan sistem nilai lainnya sehingga sekularisasi politik terhadap umat Islam tidak pernah

berhasil.

Sebagaimana disebutkan Islam menolak sekularisme sebab ajaran Islam mencakup seluruh

bidang kehidupan manusia termasuk bidang kenegaraan. Dalam Islam tidak ada pemisahan antara urusan

agama dan urusan politik.3 Munawir Sjadzali berpendapat, Islam tidak memiliki preferensi terhadap

2
Khamami Zada, Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan, (Jakarta: LAKPESDAM, 2002), hlm. 34.
3
Ibid., hlm. 34.
sistem politik yang mapan. Islam tidak mempunyai system politik dan hanya memiliki seperangkat tata

nilai etis yang dapat dijadikan pedoman penyelenggaraa Negara. 4

Masalah Islam dan negara merupakan salah satu hal yang peting dalam pemikiran Abdurrahman

Wahid, oleh sebab itu banyak orang yang melakukan review terhadap pemikirannya ini. 5 Secara garis

besar bias dikatakan bahwa arus pemikiran Abdurrahman Wahid mengenai hubungan Islam dan negara

dapat dikategorikan sebagai pemikiran yang sekularistik, yaitu pemisahan antara Islam dan negara, yang

sejalan dengan pemikiran Ali Abd. Al-Raziq.

Tahap akhir adalah Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Orde Baru, yang

utamanya terdiri dari kelompok nasionalis dan militer mnegkritik kehidupan politik sebelumnya dan

mengakibatkan terus menerus menjadi tidak efektif dlam penyelenggaraan negara. Politisi sipil yang

dipengaruhi oleh liberalisme Barat, pengikut komunisme, dan muslim radikal semuanya dipersalahkan

sebagai unsur yang ikut bertangung jawab terhadap kekacauan dan kegagakan politik Indonesia. Orde

Baru telah mengubah tren politik dari orientasi idealisme menuju pragmatik, yang memusatklan diri pada

pelaksanaan program-progran pemerintah. Mereka membangun ekonomi, pada satu sisi, pada masa Orede

Baru membuat partisipasi publik dalam kegiatan politik melemah.(Nanah Raqiq, 2004)

Menurut KH. Abdurrahman Wahid menggelar diskursus hokum tidak bisa dipisahkan dari

konteks sosial politik (negara) di mana hukum itu diciptakan, atau dengan kata lain dari konteks politik

hukumnya.6

Dalam Islam, negara didirikan atas prinsip-prinsip tertentu yang ditetapkan Al-Qur’an dan sunnah

Nabi Muhammad SAW. Prinsip pertama adalah bahwa seluruh klekuasaan dalam semesta ada pada Allah

karena Ia yang telah menciptakannya. Maka, menurut keimanan seorang muslim, hanya Allah yang harus

ditaati; orang dapat ditaati hanya bila Allah memerintahkannya. Prinsip kedua adalah bahwa ditetapkan

oleh Allah dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi, sedangkan sunnah nabi merupakan penjelasan otoritatif

4
Munawir Sadjali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990), hlm. 4-7.
5
Pergulatan Pemikiran Islam yang dialami Gus Dur pada fase awal pergerakan intelektualimenya adalah sebuah
proses modernisasi Islam-sebagai satu konsekuensi dari modernisasi politik yng dibutuhkan oleh Orde Baru.
6
Abdurrahman Wahid, Individu, Negara dan Ideologi, (Jakarta: Kompas, 1994), 4 Februari, hlm. IV-V.
tentang al-Qur’an. Ketentuan-ketentuan ini, untuk membimbing umat manusia, diturunkan kepada para

Nabi dari wwaktu ke waktu, yang terakhir adalah Nabi Muhammad SAW, yang memulai beliaulah agama

disempurnakan.

Sebuah negara yang diatur menurut hukum Islam secara teknis disebut dar Al-Islam (negeri yang

Damai), apabila sebuah negara Islam secara politik dan ekonomi ditaklukan oleh negara yang bukan

Islam, maka diubah namanya menjadi dar al-harb (negara yang berperang), dan kaum muslimin hanya

mempunyai dua pilihan. Dalam teori, negara Islam merupakan Negara Allah dan kaum muslimin

merupakan partainya (hizbullah). Hal ini berdasarkan konsep tentang kebahagiaan (falah).7

Birokratisasi agama melalui pengorganisasian kaum inteligensia muslim dalam lembaga

kecendekiaan yang disponsori negara manapun pentaaan kegiatan umat misalnya Departemen Agama dan

Majelis Ulama Indonesia makin memisahkan geliat kritis dari politik Islam kearah kehidupan beragama

yang serba seremonial, tanpa kritisme agama terhadap strutur kekuasaan. Manipulasi politik ini

menyebabkan Abdurrahman Wahid memilih peran oposisional dalam hubungan agama dan negara.

Meski pada awal 1970 hingga awal 1990 Gus Dur seolah melakukan “saling pengertian” dengan

agenda depolitisasi Islam melalui penerimaan NU atas Pancasila (1984), tidak serta merta pengertian ini

menjurus pada watak akomodatif. Penerimaan terhadap Pancasila dan sikap anti fundamentalisme Islam

merupakan strategi jangka panjang yang membuatnya leluasa merebut tafsir ideologi negara yang

berkonfrontasi pada awal 1990 ketika Negara berbalik melakukan reislamisasi dnegan merangkul Islam

militant kedalam struktur kekuasaan. Ini merupakan cara pembacaan Gus Dur atas dialetika hubungan

antara hegemoni negara dengan otonomi masyarakat (civil society) yang saat itu memenuhi ruang

harapan sebagian aktivis muslim.(Syaiful Arif, 2001)

7
Mumtaz Ahmad, Masalah-Masalah Teori Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 557.
Negara Islam8 dalam pelaksanaan masalah-masalah akhirat harus melihatnya sebagai tujuan, dan

melaksanakan seluruh perbuatan-perbuatan baik yang diperintahkan oleh agama, yang akan membawa

menuju keridhaan Allah SWT, dan mewujudkan kebutuhan rohani bagi manusia. Negara Islam pun

menjadikan agama atau undang-undang akhlak sebagai ukuran yang mengukur berbagai perbuatan dan

tindak tanduknya.9

K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bisa disebut sebagai tokoh paling kontroversial. Pemikiran

dan sikap politiknya selalu mengundang pro dan kontra. Bahwa pemikiran dan sikap politik Gus Dur pada

hakikatnya merupakan terjemahan ajaran syariat dan pengembangan tradisi pesantren dari mana ia

berasal. Dengan kata lain, politik (siyasah) Gus Dur sebenarnya bersumber pada ajaran Islam (syariah)

dalam bingkai tradisi pesantren.

Islam adalah agama yang secara tegas menyatakan bahwa kehadirannya hanyalah untuk menjadi

rahmat bagi seluruh alam (rahmatan nlil alamin). Dengan dasar ini, ajaran Islam harus dikembangkan

sebagai sumber nilai untuk mewujudkan kedamaian, keadilan dan kemakmuran bagi semua umat tanpa

memandang agama, suku dan asal usul kebangsaan (Muhaimin Iskandar, 2007).

Azyumardi Azra10 memberikan pengertian korelasi syariah dan HAM sejauh ini, kerap kali ketika

berbicara syariah, maka akan muncul dibenak adalah suatu yang “amat” menyeramkan. Sebab,

pemahaman syariah kemudian berkembang menjadi negara Islam dan selanjutnya muncul hokum potong

tangan dan jihad. Inilah pemahaman tentang syariah yang berkembang di tengah-tengah masyarakat

Indonesia. Hal ini dipicu oleh adanya pandangan yang tidak menginginkan formalisasi syariat Islam di

Indonesia. Sebaliknya, pandangan yang menghendaki formalisasi syariat Islam dicap Islam

fundamentalis, Islam formalistik, Islam liberal. Pada gilirannya, mereka menjadi momok yang sangat

8
Menurut Natsir, Negara Islam dengan Ideologi Islam. Pada intinya, sistem kenegaraan dalam pandangannya boleh
mencontoh bentuk mana saja, yang penting tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam hal ini Islam bagi
Natsir telah menyediakan perangkat dasar yang dapat diterapkan sesuai dengan zamannya. Adapun praktek
kenegaraan pada masa Nabi dalam anggapan Natsir adalah hanya patokan untuk mengatur negara. Dengan kata
lain, Natsir ingin sekali menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.
9
M. Dhlauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 311.
10
Azyumardi Azra, Wajah Baru Islam di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hl, 103.
menakutkan dan harus ditakuti. Begitu juga pandangan kelompok kedua pada kelompok pertama,

dipandang telah keluar dari agama Islam dan antek-antek orientalis.

Telah banyak diperagakan oleh Abdurrahman Wahid dalam kontek ini, memang kehadiran

Abdurrahman Wahid sebagai kelompok minoritas telah menjadikannya “diterima” oleh semua pihak.

Karena itu Abdurrahman Wahid sering dipandang sebagai pembela minoritas. Dengan kata, “Jamaah”

Islam liberal berupaya meneruskan pikiran-pikiran Abdurrahman Wahid, yang selama ini banyak

mengandung kontroversi.

Penulis melihat dari latar belakang kehidupan Abdurrahman Wahid yang dilahirkan di

lingkungan pesantren, yang dengan pemikiran keras menolak Islam dijadikan sebagai dasar negara.

Karenanya, perjuangan Abdurrahman Wahid tidak menghendaki formalisasi atau simbol-simbol eksklusif

yang memberi kesan mengecilkan kelompok lain, tetapi menekankan diri pada nilai dasarnya yang

universal seperti menegakan keadilan dan hukum dalam bentuk perlawanan terhadap kaum lemah, dan

sebagainya. Dalam konsep ini yang diperjuangkan adalah Allah sebagai rabbul ‘alamien dan Islam

sebagai rahmatan lil ‘alamien. Ia menerima kehadiran Republik Indonesia sebagai dar Sulh yang harus

ditaati dan dibela sebagai kewajiban Islam.

Gus Dur berpendapat bahwa Islam tidak bisa dihubungkan dengan Negara akan tetapi sebagai

seorang muslim harus mempunyai rasa kritis terhadap Negara sebagai rasa Nasionalisme.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep Islam menurut pemikiran KH. Abdurrahman Wahid?

Bagaimana Konsep Nasionalisme menurut pemikiran KH. Abdurrahman Wahid?

2. Bagaimana Implementasi dan Implikasi pemikiran KH. Abdurrahman Wahid?

C. Tujuan Penulisan

Tulisan ini secara umum diarahkan pada upaya menjawab berbagai masalah yang berkaitan dengan

pemikiran Gus Dur tentang Islam dan Nasionalisme di Indonesia, secara lebih rincai tulisan ini bertujuan:

1. Untuk mendeskripsikan konsep Islam menurut pemikiran KH. Abdurrahman Wahid


2. Untuk mendeskripsikan konsep Nasionalisme menurut pemikiran KH. Abdurrahman Wahid

3. Untuk mendeskripsikan implementasi dan implikasi pemikiran KH. Abdurrahman Wahid.

D. Manfaat Penelitian

Secara akademik, hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pemikiran

Abdurahman Wahid, penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam mengetahui

tokoh kontroversial yang merupakan seseorang dari kalangan keluarga pesantren untuk

kemerdekaan Indonesia.

Secara praktisi akademik, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan

informasi kepada kalangan para pelajar dan masyarakat pada umumnya. Yang selama ini

memberikan pemasukan tentang wacana dalam pemikiran Abdurahman Wahid. Dapat

dimanfaatkan untuk mengembangkan ide-ide yang berhubungan dengan islam dan Nasionalisme

dalam perspektif Abdurahman Wahid.

E. Tinjauan Pustaka

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah seorang tokoh muslim yang mempunyai gagasan pemikiran

yang jernih, baik yang berhubungan dengan masalah keagamaan ataupun masalah politi dan bahkan

sampai masalah keagamaan. Oleh karena itu tingginya tingkat keilmuan Abdurrahman Wahid menjadi

beberapa ilmuan mencoba mengelaborasi pemikiran tokoh tersebut.

Kajian tentang pemikria Gus Dur sudah banyak dilakukan oleh para peneliti, salah satunya adalah

skripsi yang disusun oleh M. Bahrul Ulum dengan judul Konsep Pluralisme Abdurahman Wahid (dalam

perspektif Pendidikan Islam). Skripsi tersebut membahas mengenai pemikiran Gus Dur tentang

Pluralisme dalam perspektif Islam yang mempunyai andil besar dalam perkembangan masyarakat

Indonesia yang multicultural. Menurut Gusdur Pendidikan Islam mempunyai pengaruh yang cukup
signifikan terhadap perkembangan peserta didik yang dilihat dari berbagai aspek. Hal ini tentu saja

merupakan hal yang positif untuk perkembangan Indonesia di masa yang akan akan datang. 11

Selain Skripsi, terhadap disertasi antara lain karya Munawar Ahmad dengan judul Kajian Kritis

Pemikiran Politik KH. Abdurahman Wahid (1970-2005). Disertasi ini menguraikan pemikiran dan

aktivitas politik Gusdur. Dijelaskan secara mendalam pengalaman politik Gusdur yang ia dapatkan saat

terjun dalam dunia politik. Pemikiran politik Gus Dur selalu menimbulkan wacana-wacana baru dalam

perpolitikan Indonesia.12

Sementara itu, Greg Barton dalam bukunya “Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikrian Neo-

Modernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahid dan Abdurahman Wahid”, memaparkan

bagaimana perkembangan pesantren dari yang tradisional hingga modern serta bagaimana sikap Gusdur

sebagai kiai yang mempunyai pemikiran liberal, ia digambarkan sebagai seorang muslim yang secara

konsisten membela minoritas serta menyeru toleransi di Indonesia. Buku ini juga menjelasan mengenai

modernisasi dan globalisasi yang terjadi di Indonesia sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin

maju.(Greg Barton, 1999)

Yang membedakan dengan penelitian di atas penulis meneliti tentang Konsep Pemikiran Gus dur

tentang Islam dan Nasionalisme, yang dimana menjelaskan pandangan Gusdur tentang keterkaitan Islam

dan rasa Nasionalisme yang dimiliki oleh Gus Dur. Ia menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara

Islam dan Negara tetapi sebagai seorang muslim harus mempunyai rasa nasionalisme terhadap negaranya

sendiri dalam kehidupan bernegara, dimana agama Islam mampu memberi kontribusi positif dalam

Nasionalisme.

F. Kerangka Pemikiran

11
M. Bahrul Ulum, Skripsi: Konsep Pluralisme Abdurahman Wahid (dalam Perspektif Pendidikan Islam), Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah, 2013.
12
Munawar Ahmad, Disertasi: Kajian Kritis Pemikiran Politik KH. Abdurahaman Wahid (1970-2005), Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada, 2007.
Lahirnya kemerdekaan Indonesia membuat para tokoh nasional, baik paham nasionalis, sekuler

maupun Islam untuk berfikir serius dalam meletakan dasar filosofi negara, terlepas itu perjuangan atau

kepentingan golongan yang jelas Indonesia saat itu memerlukan konsep dasar negara yang kuat sehingga

terjamin kemaslahatannya dan terhindar dari segala kemudharatan.

Umumnya nasionalisme bangsa Indonesia muncul sekitar abad ke 20. Muslim sebagai mayoritas

penduduk (sekitar 87,5%), secara aktif terlibat dalam mengembangkan konsep nasionalisme Indonesia.

Mereka mengambil bagian dalam organisasi kegamaan seperti SI (Syarikat Islam), Muhammadiyah, NU

(Nahdlatul Ulama, dan Persis (Persatuan Islam). (Nanah Raqiq, 2004)

G. Metode Penelitian dan Pendekatan

1. Meode Penelitian

Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode penelitian sejarah melalui tahap-tahap berikut:

a. Pengumpulan Sumber (Heuristik)

Heuristik berarti mengumpulkan atau menemukan sumber, menulis sejarah tidak mungkin dapat

dilakukan tanpa tersedianya sumber sejarah. Sumber sejrah adalah bahan penulisan sejarah yang

mengandung bukti lisan maupun tertulis. Pengumpulan sumber dilakukan dengan studi pustaka.

Dalam penelitian ini yang tertulis lakukan pertama adalah pengumpulan sumber dalam bentuk

buku yang didapat dari Perpustakaan UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan juga buku dan dalam bentuk

format e-Book, sumber yang lainnya berupa jurnal, artikel, literatur yang berhubungan dengan masalah

yang penulisa bahas, penelitian kepustakaan ini digunakan untuk mendapatkan data dan sumber yang

relevan dengan tema penelitian diantaranya :

a. Sumber Primer

1. Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat, (Jakarta:

Kompas: 2007),
2. Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam anda, Islam kita, ( Jakarta: Thewahid

Institute, 2006),

3. Sukidi, Gus Dur Presiden Santri, (Jakarta: Kompas, 23 Oktober 1999),

4. Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme

Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahid dan Abdurrahman Wahid,

(Jakarta : Paramida, 1999),

5. Syaiful Arif, Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif sebuah Biografi Intelektual,

(Jakarta : Koekoesan, 2001),

6. Asghar Ali Enginer, Devolusi Negara Islam, Terj. Imam Muttaqin, (Yogyakarta :

Pustaka Pelajar, 2000),

7. Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta : PT. Pustaka

LP3ES, 1985),

8. Wahid & Rumadi Marzuki, Fiqih Madzhab Negara Kritik Atas Polik Hukum

Islam di Indonesia, (Yogyakarta : LKiS, 2001),

9. Masdar F. Mas’udi, Agama dan Pluralitasnya, (Yogyakarta: Interfidei, 1995),

10. Muhaimin Iskandar, Gus Dur Islam dan Kebangkitan Indonesia, (Yogyakarta:

KLIK, 2007),

11. Al-Zastrouw Ng, Gus Dur Siapa Sih Sampean?, (Jakarta: Erlangga, 1999),

12. M. Dahlauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001),

13. Nanah Raqiq, Politik Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004),

14. Munawir Sadjali, Islam dan Tata Negara, Ajaran Sejarah dan Pemikiran,

(Jakarta: UI Press, 1990),


15. Soelastomo, “Dwi Tunggal Gus Dur-Mega”, Koran Kompas, 1999),

16. Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema

Insani Press),

17. Abdurrahman Wahid, Individu, Negara dan Ideologi, (Jakarta: Kompas, 1994),

18. Abdurrahman Wahid, “Masa Depan Demokrasi di Indonesia, (Koran Kompas),

19. Abdurrahman Wahid, “Mencari Sintesa Agama-Negara” dalam YB.

Sudarmanto, dkk, H. Mathori Jalil, Dari NU untuk kebangkitan Bangsa”,

(Jakarta: PT. Grasindo),

20. Abdurrahman Wahid, . “Kata Pengantar”, dalam Einar M. Sitompul, Nahdlatul

Ulama dan Pancasila. (Jakarta: Sinar Harapan, 1989),

21. Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 1999),

22. Abdurrahman Wahid, “Islam, Ideologi dan Etos Kerja Indonesia” dalam Budhy

Munawar Rahman (Ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta:

Paramidina),

23. Khamami Zada, Meraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan, (Jakarta:

LAKPESDAM, 2002),

24. Abu Bakar Aceh, Sedjarah Hidup K.H.A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar,

(Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. K.H.A Wahid Hasyim 1957, 2008),

b. Sumber Sekunder

1. Greg Fearly & Greg Berton, Tradisionalisme Radikal Persinggungan NU dan

Negara, yang menitik beratkan kajiannya pada ekspresi gagasan kunci politik

Abdurahman Wahid.
2. Greg Berton, Biografi Gus Dur, buku ini mengungkapkan secara detail tentang

sisi kehidupan Abdurrahman Wahid dari latar belakang keluarga hingga proses

karirnya yang penuh liku.

3. Umarudin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang

Demokrasi, yang menitik beratkan kajiannya pada gagasan pemikiran keislaman

dan juga demokrasi.

4. Andree Feillard, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, buku ini menitik beratkan

kajiannya pada gagasan pemikiran NU untuk memberdayakan masyarakat sipil

dalam proses pembangunan bangsa.

5. Imran Nawawi, Tertawa Ala Gus Dur: Humor Sang Kyai: The Humor Code,

(Jakarta: Banana Books, 2015),

6. M. Rusli, Pemikiran Keagamaan dan Kebangsaan Gus Dur, Vol. XII No. 1 Juni

2015.

b. Kritik Sumber (Verifikasi)

Kritik Sumber adalah upaya untuk memeriksa otentisitas dan kredibilitas sumber. Dalam mencari

kebenaran, penulis diharapkan mampu membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar, apa yang

mungkin dan apa yang diragukan. Supaya memperoleh sumber yang benar, seorang penulis sejarah harus

menggabungkan antara pengetahuan, sikap ragu (skeptik), serta tidak percaya begitu saja, menggunakan

akal sehat, dan melakukan tebakan intelegen. Jadi, fungsi dari kritik sumber adalah supaya karya sejarah

merupakan produk dari suatu proses ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Bukan hasil dari suatu

fantasi, manipulasi atau fabrikasi. Dalam metode sejarah ada dua jenis kritik sumber, yaitu kritik eksternal

(otentisitas dan integritas) dan kritik internal.(Helius Sjamsudin, 2012)


Dalam penelitian ini yang penulis lakukan adaah mencari kebenaran dari berbagai sumber yang

penulis temukan. Setelah materi selesai penulis baca dan analisis kemudian membandingkannya dengan

sumber lain, apakah sumber tersebut asli atau hasil dari manipulasi buku. Selanjutnya, setelah materi yang

dibandingkan dirasa benar kemudian peneliti mulai menulis.

a) Kritik Intern

1. buku Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita, ini berisi 94 artikel yang ditulis dalam rentang antara

awal 2002 hingga awal 2004, setelah Gus Dur diturunkan secara politis lewat Sidang Istimewa

MPR pada 23 Juli 2001. Peristiwa pendongkelan itu pun menjadi salah satu peristiwa yang

disinggung dalam tulisannya di buku setebal 412 halaman ini. jelas merangkum beragam dimensi

yang luas dari Gus Dur. Tulisan-tulisan ini merambah beragam isu, dari kajian keislaman ala

pesantren, hingga isu hubungan internasional; dari budaya hingga ekonomi Islam. Di buku yang

diberi kata pengantar M. Syafii Anwar ini, tulisan-tulisan Gus Dur dibagi dalam tujuh bab.

Pertama, Islam dalam Diskursus Ideologi, Kultural, dan Gerakan; kedua, Islam, Negara dan

Kepemimpinan Umat; ketiga, Islam, keadilan dan HAM; keempat, Islam dan Ekonomi

Kerakyatan; Kelima Islam, Pendidikan, dan Masalah Sosial Budaya; keenam, Islam tentang

Kekerasan dan Terorisme; ketujuh, Islam, Perdamaian dan Masalah Internasional.

2. Buku Islam Kosmopolitan : Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, Di dalam buku

ini terdapat tiga peta pemikiran Gus Dur yang dibagi atas tiga bab. Pertama menyangkut ajaran,

transformasi dan pendidikan agama. Kedua, mengenai nasionalisme, gerakan sosial dan anti

kekerasan dan terakhir membahas pluralisme, kebudayaan dan hak asasi manusia. Masing-masing

bab memuat sepuluh karya tulis Gus Dur. Ketiga bab tersebut sangat terpengaruh oleh kehidupan

Gus Dur sebagai santri, kiai, budayawan, aktivis, hingga politisi.

3. Buku Pergulatan Negara Agama dan Kebudayaan. Karya ini diterbitkan pada tahun 2001 oleh

penerbit Desantara, di dalamnya dijelaskan, negara tidak pernah ada dan tidak seharusnya
berhubungan dengan kebudayaan. Karena kebudayaan merupakan seni hidup atau kehidupan

sosial manusiawi yang terbangun dari interaksi antar manusia; individu maupun kelompok.

4. Buku Kiai Nyentrik Membela Pemerintah. Buku ini tipis saja, hanya berisi 26 artikel Gus Dur

tentang kiai, tentnag ulama, tentang guru Gus Dur, tentang teman-teman Gus Dur sesama kiai. M.

SObary dalam pengantarnya menyebut buku ini sebagai “antropologi kiai”. Meskipun tipis, tapi

buku ini mengabarkan kepada kita, bahwa Gus Dur demikian luas dan dalam menguasai

dunianya: pesantren.

b) Kritik Ekstern

1. Greg Barton, “Biografi Gus Dur”, sebuah buku karya Greg Berton buku ini mengungkap secara

detail tentang sisi kehidupan Abdurrahman Wahid dari mulai latar belakang keluarga hingga

proses karirnya yang penuh liku.

2. Umarudin Masdar, “Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais Tentang Demokrasi”, buku

karya Umarudin Masdar yang menitik beratkan kajiannya pada gagasan pemikiran keislaman

dan juga demokrasi.

3. Andree Feillard, “Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil”, Buku ini menitik beratkan kajiannya

pada gagasan pemikiran NU untuk memberdayakan masyarakat sipil dalam proses

pembangunan bangsa.

4. Khamami Zada, “Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan”, buku ini menitik beratkan pada Era

Reformasi Gus Dur menjadi presiden dalam sebagai upaya pendidikan politik kepada warga NU

agar memposisikan Gus Dur secara Proposional.

H. Interpretasi

Fakta yang sudah dikumpulkan harus diinterpretasi untuk menghasilkan cerita sejarah. Interpretasi

atau tafsir sebenarnya sangat individual, artinya siapa saja dapat menafsirkan. Meski datanya sama tetapi

interpretasinya dapat berbeda, perbedaan itu terjadi karena perbedaan latar belakang, pengaruh, motivasi,
pola piker. Jadi interpretasi sangat subjektif tergantung siapa yang melakukannya tergantung pribadinya

masing-masing.

Terpretasi ada diantara verifikasi dan eksposisi. Dalam melakukan interpretasi penulisan ada

dibawah bimbingan metodologi mengaharuskan penulis untuk mencantumkan sumber datanya. Hal ini

dimaksudkan agar pembaca dapat mengkroscek kebenaran data dan konsisten dengan interpretasinya.

Interpretasi sangat esensial dan krusial di dalam metodologi sejarah. Interpretasi dapat dilakukan

setelah ditarik dengan analisis dan sistensis. Dari data yang bervarian data dianalisis setelah ditarik secara

induktif sehingga dapat dikumpulkan. Sedangkan sistensis berlawanan dengan apa yang dilakukan oleh

analisis. Sistensis sama dengan penyatuan. Data-data yang dikelompokkan menjadi satu kemudian

disimpulkan.(Suhartono Pranoto, n.d.)

Langkah selanjutnya setelah kritik sumber yang penulis lakukan adalah rangkaian kalimat yang

didapat dari berbagai sumber dengan menggunakan pola pikir penulis sendiri sehingga menjadi penulis

sejarah berbeda dari yang lain. Penulis memilih sumber yang relevan dengan topik yang ada untuk

mendukung kebenaran sejarah.

I. Historiografi (Penulisan)

Dalam penulisan sejarah, aspek kronologi sangat penting, tahap penulisan mencakup interpretasi

sejarah, ekplanasi sejarah, sampai presentasi atau pemaparan sejarah sebenarnya. Ketika penulis

memasuki tahapan ini, ia harus menggunakan pikiran-pikiran kritis dan menganalisisnya karena penulis

harus menghasilkan suatu sistesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya itu, dalam suatu

penulisan utuh yang disebut historiografi (penulisan sejarah). (Suhartono Pranoto, n.d.)

Tahapan terakhir dari penelitian ini adalah penulisan atau historiografi, dimana penulis mulai

menulis kisah sejarah sesuai dengan tema penelitian. Dalam penulisan ini penulis mencoba

menyampaikan suatu pemikiran melalui interpretasi sejarah berdasarkan fakta hasil penelitian.
2. Pendekatan

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (Content Analysis)

yang bersifat penafsiran (hermeneutic). Analisis isi merupakan metodologi penelitian yang memanfaatkan

seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang benar dari sebuah buku atau dokumen.

BAB II

Biografi dan Karya Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid

A. Biografi K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

a. Kelahiran

K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur) 13 Pada 14 Agustus 1940 di Denanyar, Jombang Jawa Timur,

putra pertama dari enam bersaudara. (Al-Zastrouw Ng, 2011) Secara Genetik Gus Dur merupakan

keturunan darah biru dan menempati strata social tertinggi dalam masyarakat Indonesia. Ia lahir dari

seorang tokoh besar bernama KH. Hj. Wahid Hasyim putra pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hasyim

Asy’ari. Ibunya, Hj. Sholehah adalah anak dari KH. Bisri Syansuri yang juga merupakan pendiri NU.

Ayah Gus Dur menjadi Menteri Agama yang pertama di Indonesia. (Al-Zastrouw Ng, 1999)

Kakek Gus Dur dari pihak Ayah, Kiai Hasyim Asy’ari, lahir di Jombang pada bulan Februari

1871. Ia adalah seorang tokoh pendiri NU pada tahhun 1926. Kiai Hasim Asy’ari selain dikenal sebagai

ulama, juga merupakan seorang guru yang banyak memberi inspirasi bagi masyarakat. Ia merupakan

seorang nasionalis yang ikut dalam memperjuangkan Indonesia melawan penjajah. Teman-teman

seperjuangannya banyak yang merupakan tokoh terkemuka Gerakan nasionalis pada masa Kolonial. (Al-

Zastrouw Ng, 2011)

13
Abdurahman Wahid, ia lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas
pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti “Abang” atau “Mas”.
Kiai Hasyim Asy’ari tidak hanya mengurus dunia pesantren yang didirikannya, tetapi juga

berperan dalam membela negara melawan penjajah. Semangat kepahlawanannya sangat tinggi. (Chairul

Anam, 2010). di didik dan dibimbing mendalami pengetahuan Islam oleh ayahnya sendiri, sedemikian

rupa sehingga menjadi tokoh Islam yang dikenal pintar dan berwawasan luas terhadap ilmu agama

(Islam). KH. Hasyim Asy’ari berkelana ke berbagai pesantren terkenal di Jawa saat itu banyak

menghabiskan waktunya untuk mempelajari Islam di Makkah dan Madinah. Setelah kembali dari Makkah

dan Madinah, ia kemudian mendirikan Pesantren Tebuireng di Jombang pada tanggal 3 Agustus 1899 M.

(Salahudin Wahid, 2011)

Dari kakeknya inilah, Gus Dur mewarisi nilai-nilai perjuangan, pengabdian dan kepahlawanan.

Pertama, perjuangan untuk mendapatkan ilmu dan wawasan yang kelak bisa bermanfaat untuk

masyarakat luas, kedua, pengabdian sebgai seorang guru dan ulama yang mampu menginspirasi dan

meneruskan pemikiran-pemikiran Islam yang rahmatan lil’ alamin. Gus Dur banyak mendapatkan

pengalam hidup dari sikap dan tindakan yang ditunjukan oleh kakeknya untuk bangsa. Ketiga, semangat

kepahlawanan KH. Hasyim Asy’ari dan teman-teman seperjuangannya melawan penjajah sangat

membekas dan menggugah jiwa Nasionalisme Gus Dur untuk bangkit. Tidak mengherankan jika Gus Dur

menjadi seorang Nasionalis seperti sekarang ini.

Setelah NU berdiri tahun 1926, Kiai Hasyim diangkat menjadi pemimpin agung dan

mendapatkan posisi sebgai kepala Dewan Penasihat Agama. Ia juga diberi gelar kehormatan yaitu Guru

Agung aau Hadratussyaikh dalam Bahasa Arab. Namun diluar kalangan pesantren, kiai Hasyim lebih

dikenal sebagai nasionalis yang sering mengkritik pemerintah colonial Belanda pada saat itu. Pemikiran

kritis kiai Wahid Hasyim ini ternyata diwarisi oleh Gus Dur. Hal ini bisa dilihat dari kritik agama, social,

politik dan kemanusiaan yang kerap dilontarkan Gus Dur melalui tulisan-tulisannya dikemudian hari.

Kakek Gus Dur dari pihak ibu adalah Kiai Bisri Syansuri, yang juga dieknal aktif dalam

pergerakan Nasional. Kiai Bisri Syansuri yang lahir pada September 1886 di Pati Jawa Tengah,
merupakan salah seorang tokoh kunci lahirnya NU. Pada tahun 1917, ia mendirikan pesantren di desa

Denanyar yang terkenal seperti pesantren Tambakberas dan pesantren Tebuireng.(Al-Zastrouw Ng, 2011)

Pesantren Kiai Bisri Syansuri di Denanyar menerapkan system yang sama seperti pesantren Kiai

Hasyim Asy’ari yaitu dengan mengembangkan pertanian, kerohanian dan terkenal dengan pendekatannya

yang teratur/disiplin terhadap bidang keilmuan dan kehidupan bermasyarakat.

Sebagai diketahui diatas, kedua kakek Gus Dur merupakan ulama besar yang dihormati di

kalangan NU, termasuk ayahnya, Kiai Wahid Hasyim. Ayah Gus Dur bergabung dengan Nahdlatul

Ulama (NU), yang merupakan sebuah organisasi social keagamaan, setelah hamper dua tahun ia

dipromosikan menjadi pengurus besar NU.(Abu Bakar Aceh, 2008) Di Lembaga inilah Wahid Hasyim

mengembangkan ide-ide yang berkaitan dengan pengembangan kurikulum pesantren serta terorganisasi

madrasah-madrasah NU.

Selain mengurus pesantren, Wahid Hasyim juga peduli terhadap perpolitikan di Indonesia pada

masa penjajahan. Ia terlibat dalam pergerakan menentang penjajah. Pada tahun 1940. Wahid Hasyim

menjadi ketua Majelis Al-Islam Al-A’la Indonesia (MIAI) sebuah federasi organisasi-organisasi Islam

yang berdiri tahun 1937. Bersama dengan Gabungan Politik GAPI).

Tumbuhnya karakter dan jiwa kepemimpinan dalam diri Gus Dur sangat dipengaruhi dari sikap

dan tindakan yang dilakukan ayahnya, Wahid Hasyim. Sikap cinta tanah air dan demi memajukan bangsa

secara langsung ia dapatkan dari ayahnya. Selain itu Gus Dur juga mendapatkan pengalaman dalam dunia

perpolitikan dan pemerintahan.

Setelah ayah Gus dur dilantik sebagai Menteri Agama, Gus Dur belajar di Jakarta dan bersekolah

di SD Matraman Perwari. Setamat Sekolah Dasar ia melanjutkan ke SMEP Gowongan, sambal sekolah

pesantren Krapyak Yogyakarta. Karena merasa jenuh sekolah di pesantren, akhirnya Gus Dur pindah ke

kota.(Al-Zastrouw Ng, 1999)


Pada tahun 1957 setelah menyelsaikan sekolah dari SMEP, Gus Dur melanjutkan pendidikannya

di Pesantren Tegalrejo Magelang Jawa Tengah. Di Pesantren ini Gus Dur diajar oleh kiai Chudhori yang

merupakan sosok kiai humoris dan menjadi panutannya namun setelah dua tahun belajar di Pesantren

Tegalrejo, ia kemudian pindah ke Jombang dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat usianya

menginjak 20 tahun. Gus Dur sudah menjadi seorang Ustadz di pesantren milik pamannya yaitu K.H.

Abdul Fatah.(Imran Nawawi, 2015)

Pembentukan karakter dan pribadi Gus Dur terus berkembang ketika menempuh Pendidikan

akademisnya di pesantren. Selain mendapatkan ilmu Gus Dur juga mendapatkan pelajaran berharga

berupa keteladanan dan pengalaman hidup dari para kiai yang menjadi panutannya. Beberapa kiai inilah

yang mendidik dan membimbing Gus Dur sejak remaja hingga dewasa. ia meneladani sifat kiai Fatah dari

Tambak Beras, seorang yang mempunyai kepribadian kuat dan memiliki sikap teguh dalam memegang

prinsip, disiplin, dan humanis (suka menolong sesame tidak membeda-bedakan). (KH. Ali Maksum,

2010)

Gus Dur lahir dari kalangan keluarga pesantren. Pemikiran Gus Dur tentang Nasionalisme

dipengaruhi oleh lingkungan pesantren yang telah membesarkannya yaitu NU (Nahdlatul Ulama). Dalam

pemikiran NU, khususnya pemikiran para ulamanya diseluruh Nusantara sejak tahun 1926 sudah

mempunyai komitmen tinggi terhadap keutuhan bangsanya. Menurut ulama NU, Nasionalisme sudah

lahir sejak negara Indonesia hidup dalam penjajahan Kolonial Belanda yang begitu Panjang dan

melelahkan serta mengakibatkan penderitaan rakyat Indonesia. (Sugiarto, n.d.)

Visi dan misi Gus Dur tentang masa depan Indonesia adalah rakyat Indonesia tumbuh menjadi

bangsa yang demokratis dan toleran terhadap sesamanya, serta menjadi negara yang menjamin warganya

dari berbagai latar belakang yang berbeda. Seluruh warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang

sama, tidak ada diskriminasi dalam kehidupan mereka. Pemikiran-pemikiran Gus Dur yang telah ia tulis

merupakan wujud rasa nasionalismenya terhadap bangsa dan negara Indonesia. Gus Dur memberikan
kritik dan juga gagasan yang merupakan salah satu upaya untuk menjadikan Indonesia negara yang maju,

berakhlak dan damai. Pemikiran Gus Dur bias diangkat sebagai solusi bagi permasalahan bangsa

Indonesia yang terjadi saat ini, karena jarang sekali ditemui pemikiran-pemikiran yang menjungjung

tinggi nilai kamanusiaan, selain itu Gus Dur mengedepankan pentingnya kesejahteraan dan keberpihakan

kepada yang lemah. (Marzuki Wahid, n.d.-b)

Dalam sejarah ketatanegaraan “Indonesia Merdeka”, Negara Hukum Indonesia rupanya baru

mengenal dua orde. (Depdikbud RI, 1990) periodesasi, yakni Orde Lama dan Orde Baru. Orde Reformasi

yang muncul taun 1998 terakhir ini, menyusul tumbangnya rezim Soeharto, tampaknya belum jelas visi

ketatanegaraanya, sehingga butuh waktu untuk mengkategorikan secara otonom.

Orde Baru adalah suatu istilah umum yang digunakan untuk menamai suatu tatanan pemerintahan

Negara (rezim politik) Republik Indonesia yang berkuasa sejak tahun 1966 hingga Mei 1998 istilah ini

muncul untuk membedakan dengan rezim politik sebelumnya. 14

Sosok Gus Dur bukan hanya dipandang sebagai politikus tetapi juga sebagai negarawan yang

selalu memikirkan bangsa. Komitmen terhadap kebangsaan dan tindakannya diwujudkan dalam

pemikiran yang nasionalistik.

Pemikiran Abdurrahman Wahid hamper selalu membincang sebuah alternative, sebagaimana

pemikiran tentang pembangunan ini. Ketika Abdurrahman Wahid mengkritik perencanaan pembangunan

negara yang tidak sesuai dengan hak-hak fundamental rakyat (the state’s development plans that don’t

comform to people’s fundamental rights), maka Abdurrahman Wahid telah menggerakan dirkursus

Humanitic Economics yang tidak hanya menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai target pembangunan.

(Syaiful Arif, 2001)

14
Sejarah mencatat, sebelum Orde Baru lahir didahului meletusnya tragedi Nasional yang sering disebut
Pembrontakan G 30 S/PKI. Peristiwa ini oleh sebagain orang dianggap sebagai proses bagian dari proses maker
yang dilakukan oleh PKI, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya atau, yang menyebabkan lagi adalah
penggantian Presiden (suksesi) dan seluruh jajarannya. Sebab, Indonesia belum mmepunyai tradisi lain selain
mempunyai dua presiden yang kemudian terjadi dikotonomi Orde Lama dan Orde Baru.Perubahan sistem
pemerintahan dan konstitusipun tidak menjadikan dikotonomi baru.
Meskipun ia pernah mendirikan partai politik dan menjadi Presiden namun ia tetap

mengedapankan rakyat daripada politiknya. Gus Dur merupakan seorang yang rela melakukan apa saja

agar bangsanya tidak tertinggal dan bias menjadi bangsa yang bermartabat. Bentuk nasionalisme yang

dilakukan oleh Gus Dur sudah dibuktikannya jauh sebelum ia menjadi presiden. Pada saat menjadi

presiden, ia semakin menunjukan sikap cinta tanah air sebagai dilihat dari kebijakan-kebijakan yang

diterapkan. Pemikiran dan tindakannya selalu berjalan beriringan dengan kenyataannya. Gus Dur layak

mendapat prdikat sebagai Bapak Bangsa karena pemikiran serta sumbangsih terhadap bangsa Indonesia.

b. Latar Belakang Pendidikan

Adapun jenjang pendidikan yang dilewati oleh Gus Dur yakni Padatahun 1953 sampai 1957

belajar di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama(SMEP), Gus Dur tinggal di rumah Kyai Haji Junaid,

seorang KyaiMuhammadiyah dan anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah. Beberapa tahunkemudian, ia

mondok di Pesantren Tegalrejo, sebuah pesantren NU terkemukadi Magelang, Jawa Tengah di bawah

bimbingan khusus KH. Chudhori dan Kyaiini pulalah yang memperkenalkan kepada Gus Dur amalan-

amalan ritual danmistik secara mendalam dalam Islam Jawa yang sampai hari ini tetapdiamalkan. Kyai ini

adalah antara lain sosok yang dikagumi Gus Dur karenasosok yang humanis. Di bawah bimbingan Kyai

ini, Gus Dur kerap kalimelakukan ziarah kubur ke beberapa wali di Jawa pada hari-hari tertentu, berdoa

dan membaca al-Qur’an di Candimulyo. Ini semua merupakan pengalaman religius yang memperdalam

dimensi spritualitas Gus Dur.Kemudian pada tahun 1957, ia sempat

Nyantri di Pesantren Krapyak,Yogyakarta dan tinggal di rumah KH. Ali Maksum. Tahun 1959

sampai 1963,Gus Dur belajar di Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang, asuhan kakek dari ibunya,

KH. Bisri Syamsuri. Ketika itu, ia pun diminta mengajar santri-santriwati yang lebih muda termasuk Sinta

Nuriyah yang kemudiandiperistrikannya.(M. Rusli, 2015)


Masa remaja Gus Dur sebagian besar sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta danTegalrejo. Di

tempat-tempat inilah ia mulai mengembangkan ilmunya. Ia banyak membacabuku sepertiDas Kapital

Karl Max, filsafat Plato, Thalles, dan novel William Bochner. (Hamidah, 2011)

Masa berikutnya, Gus Dur melanjutkan nyantrinya di Pesantren Tegalrejo, Magelang. Setelah

menghabiskan waktunya selama dua tahun di Pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindahkembali ke Jombang

dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati20 tahun, sehingga di pesantren milik

pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustad dan menjadi ketua keamanan.

Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadahhaji, yang

kemudian diteruskan ke Mesir melanjutkan studi ke Universitas al-Azhar.Terdapat kondisi yang

menguntungkan ketika ia berada di Mesir. Di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang

nasionalis yang dinamis, Kairo pada waktu itumengalami masa keemasan kaum intelektual. Kebebasan

untuk mengeluarkan pendapat mendapat perlindungan yang cukup.(Hamidah, 2011)

Pada tahun 1966, Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam

yang cukup maju. Di Irak, ia masuk Departement of Religion di Universitas Baghdad sampai tahun 1970.

Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di sana ia

mendapat rangsangan intelektual yang tidakia dapatkan di Mesir. Ia kembali menekuni hobinya secara

intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada.

Setelah Gus Dur menyelsaikan studinya di Baghdad. Ia bermaksud melanjutkan studinya ke

Eropa, namun ketatnya persyaratan yang harus dipenuhi, Gus Dur mengurungkan niatnya. Meskipun

urung melanjutkan studi, Gus Dur banyak melakukan kunjungan dari satu universitas ke universitas lain

untuk menambah pengetahuannya. Gus Dur juga berkesempatan untuk melakukan percakapan dan

diskusi mengenai masyarakat dan pemikiran Barat selama ia berada di Eropa. Saat berada di Belanda

selama beberapa bulan, Gus Dur Bersama teman-temannya pada tahun 1970 mendirikan sebuah
Perkumpulan Pelajar bagi Muslim yang tinggal di Eropa, yang beranggotakan orang-orang Indonesia dan

Malaysia.

Untuk biaya hidup di rantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai

pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari

kajian keislaman secara mendalam. Namun pada akhirnya, ia pulang ke Indonesia setelah terilhami

informasi yang menarik seputar perkembangan pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir

tahun 1971. (Hamidah, 2011)

c. Aktivisme dan Peran Gus Dur dalam bidang Politik

Pada awal tahun 1980-an, Gus Dur terjun menjadi pengurus Nahdlatul Ulama (NU) sebagai

Dewan Syuriah (Dewan Penasihat). Awalnya ia menolak untuk menjadi pengurus NU, akan tetapi berkat

bujukan sang kakek akhirnya ia mau bergabung dengan kepengurusan NU, dalam beberapa tahun masa

jabatannya, Gus Dur berhasil mereformasi tubuh NU sehingga membuat Namanya semakin dikenal

dikalangan NU. Pada tahun 1984 ketika Musyawarah Nasional, ia ditunjuk sebagai Ketua Umum PBNU.

Pada masa jabatan pertamnya, Gus Dur berhasil mereformasi system Pendidikan pesantren serta mampu

meningkatkan kualitas Pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekuler. (M. Hamid,

2010)

Filsafat politik yang mendasari pemikiran Gus Dur adalah bagaimana cara mengkombinasikan

ajaran Islam dengan apa yang disebutkan sebagai komitmen kemanusiaan. Menurut Gus Dur sebuah nilai

bias digunakan sebagai dasar bagi penyelsaian tuntas persoalan utama kiprah politik seseorang, yakni

posisi komunitas Islam pada sebuah masyarakat modern dan pluralistic Indonesia. Humanitarianisme

Islam pada intinya adalah menghargai sikap toleran dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap
kerukunan social. Dari kedua elemen asasi inilah sebuah keberadaan politik komunitas Islam negeri ini

harus diupayakan.(Marzuki Wahid, n.d.-a)

Pengalaman politik Gus Dur terbentuk saat ia menjadi ketua umum dewan penasihat PKB (Partai

Kebangkitan Bangsa). Gus Dur ingin memberikan kontribusi yang serius pada perpolitikan Indonesia

yang ia salurkan melalui satu partai yang berbasis keanggotaan NU yang meluas.(Al-Zastrouw Ng, 2011)

Selama berada di PKB ia banyak mendapatkan pengalaman perpolitikan. Dengan adanya PKB, NU

sebagai kekuatan kultural dilengkapi dengan PKB sebagai kekuatan politik, yang merupakan suatu

kesatuan yang harus diperhitungkan oleh lawan politiknya.

Gus Dur menulis Artikel yang dimuat di koran Kompas tahun 1998 yang berjudul “Masa Depan

Demokrasi di Indonesia”. Dalam tulisan tersebut ia memaparkan pemikirannya setelah tumbangnya Orde

Baru, ia berpendapat bahwa ia konstelasi politik yang ada pada masa itu belum memungkinkan

tumbuhnya demokrasi di masyarakat Indonesia yang sebenarnya, sebab masih banyak rekayasa dan intrik

yang berlaku.(Abdurrahman Wahid, 1998)

Selain itu, masih banyak Lembaga-lembaga pemerintahan yang mempertahankan status-quo. Undang-

undang pemilu dan system politik yang ada masih memungkinkan terjadinya hal itu. Selain itu tradisi

bangsa Indonesia belum melahirkan budaya politik yang sehat. Banyak yang belum sadar akan demokrasi

yang sebenarnya.

Gus Dur mengatakan, Indonesia harus bersedia melakukan perubahan dan pembenahan yang

serius serta efektif terhadap suatu tatanan demokrasi. Perubahan mendasar yang dimaksud adalah pola

hubungan antara pusat dan daerah yang harus berimbang. Menurutnya hal ini penting dilakukan jika

Indonesia ingin tetap menjadi satu negara yang utuh (negara kesatuan) yang adil.

Dalam tulisannya tersebut, Gus Dur membandingkan pelaksanaan demokrasi antara masa Orde

Baru dengan Reformasi. Ia mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia belum berjalan dengan baik
walaupun rezim Orde Baru sudah tumbang. Demokratisitas belum berjalan dengan baik, serta tatanan

perpolitikan di Indonesia masih jauh dari kemajuan yang diharapkan.

B. Karya-karya K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah seorang tokoh muslim yang mempunyai hubungan

gagasan pemikiran yang jernih, kontrovesial, baik yang berhubungan dengan masalah keagamaan ataupun

masalah politik dan bahkan sampai masalah keagamaan. Oleh karena itu tingginya keilmuan

Abdurrahman Wahid menjadikan berapa ilmuan mencoba mengelaborasi pemikiran tokoh tersebut. Disini

hanya akan disinggung sebagian dari buku-buku atau tulisan-tulisan beliau secara serius khususnya

wacana Keagamaan dan Nasionalisme.

5. buku Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita, ini berisi 94 artikel yang ditulis dalam rentang antara

awal 2002 hingga awal 2004, setelah Gus Dur diturunkan secara politis lewat Sidang Istimewa

MPR pada 23 Juli 2001. Peristiwa pendongkelan itu pun menjadi salah satu peristiwa yang

disinggung dalam tulisannya di buku setebal 412 halaman ini. jelas merangkum beragam dimensi

yang luas dari Gus Dur. Tulisan-tulisan ini merambah beragam isu, dari kajian keislaman ala

pesantren, hingga isu hubungan internasional; dari budaya hingga ekonomi Islam. Di buku yang

diberi kata pengantar M. Syafii Anwar ini, tulisan-tulisan Gus Dur dibagi dalam tujuh bab.

Pertama, Islam dalam Diskursus Ideologi, Kultural, dan Gerakan; kedua, Islam, Negara dan

Kepemimpinan Umat; ketiga, Islam, keadilan dan HAM; keempat, Islam dan Ekonomi

Kerakyatan; Kelima Islam, Pendidikan, dan Masalah Sosial Budaya; keenam, Islam tentang

Kekerasan dan Terorisme; ketujuh, Islam, Perdamaian dan Masalah Internasional.

6. Buku Islam Kosmopolitan : Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, Di dalam buku

ini terdapat tiga peta pemikiran Gus Dur yang dibagi atas tiga bab. Pertama menyangkut ajaran,

transformasi dan pendidikan agama. Kedua, mengenai nasionalisme, gerakan sosial dan anti

kekerasan dan terakhir membahas pluralisme, kebudayaan dan hak asasi manusia. Masing-masing
bab memuat sepuluh karya tulis Gus Dur. Ketiga bab tersebut sangat terpengaruh oleh kehidupan

Gus Dur sebagai santri, kiai, budayawan, aktivis, hingga politisi.

7. Buku Pergulatan Negara Agama dan Kebudayaan. Karya ini diterbitkan pada tahun 2001 oleh

penerbit Desantara, di dalamnya dijelaskan, negara tidak pernah ada dan tidak seharusnya

berhubungan dengan kebudayaan. Karena kebudayaan merupakan seni hidup atau kehidupan

sosial manusiawi yang terbangun dari interaksi antar manusia; individu maupun kelompok.

8. Buku Kiai Nyentrik Membela Pemerintah. Buku ini tipis saja, hanya berisi 26 artikel Gus Dur

tentang kiai, tentnag ulama, tentang guru Gus Dur, tentang teman-teman Gus Dur sesama kiai. M.

SObary dalam pengantarnya menyebut buku ini sebagai “antropologi kiai”. Meskipun tipis, tapi

buku ini mengabarkan kepada kita, bahwa Gus Dur demikian luas dan dalam menguasai

dunianya: pesantren.

9. Buku “Tuhan Tidak Perlu dibela, 2014”,

10. Buku “Gus Dur dan Sepak Bola, 2014”,

11. Buku “Umat Bertanya Gus Dur Menjawab”, 2013”,

12. Buku “Sekadar Mendahului, 2011”,

13. Buku “Khazanah Kiai Bisri Syansuri, 2010”,

14. Buku “Membaca Sejarah Nusantara, 2010”,

15. Buku “Dialog Peradaban Untuk Toleransi dan Perdamaian, 2010”,

16. Buku “90 Menit Bersama Gus Dur, 2006”,

17. Buku “Gus Dur Bertutur, 2005”,

18. Buku “Mengatasi Krisis Ekonomi Membangun Ekonomi Kelautan Tinjauan Sejarah dan

Perspektif Ekonomi, 2004”,

19. Buku “Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser, 2002”,

20. Buku “Menggerakan Tradisi, 2001”,

21. Buku “Prisma Pemikiran Gus Dur, 2000”,

22. Buku “Islam Negara, dan Demokrasi, 1999”,


23. Buku “Mengurai Hubungan Agama dan Negara, 1999”,

24. Buku “Tabayun Gus Dur : Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural, 1998”,

25. Buku “Islam Indonesia: Legitimasi dan Resistensi Kultural Gus Dur di Era Orde Baru, 1998”,

26. Buku “Sebuah Dialog Mencari Kejelasan: Gus Dur diadili Kiai-kiai, 1989”,

27. Buku “Muslim Di Tengah Pergumulan, 1981”,

28. Buku “Islam Dalam Cinta dan Fakta, 1981”,

BAB III

PEMBAHASAN

A. Islam Menurut Gus Dur

Islam adalah agama yang secara tegas menyatakan bahwa kehadirannya hanyalah untuk menjadi

rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil alamin). Dengan dasar ini, ajaran Islam harus dikembangkan

sebagai sumber nilai untuk mewujudkan kedamaian, keadilan dan kemakmuran bagi semua umat tanpa

memandang agama, suku dan asal usul kebangsaan.(Muhaimin Iskandar, 2007)

Agama Islam dalam pandangan Gus Dur Islam sangat mendukung nasionalisme. Ia menyatakan

bahwa ada hubungan antara Islam dan Nasionalisme dalam kaitan hidup bernegara. Dimana agama

(Islam) mampu memberi kontribusi positif dalam nasionalisme Indonesia.(Abdurrahman Wahid, 2007)

Ia mengatakan bahwa tidak ada konsep dalam Islam. Ia menilai gagasan mengenai negara Islam

tidaklah konseptual, dan tidak diikuti oleh mayoritas muslim. Akan tetapi hanya pandangan sebagai kecil
yang memandang Islam dari sudut institusional saja. 15 Maka perlu ada upaya menanamkan, menumbuh

kembangkan dan memelihara wawasan kebangsaan masyarakat melalui sentra-sentra Pendidikan seperti

sentra keluarga masyarakat dan sekolah, yang disebut pula sebagai tri sentra.

Dalam hubungan Islam dan Nasionalisme, Gusdur Menjelaskan bahwa Islam tidak mengenal

doktrin tentang negara, Doktrin Islam tentang negara adalah doktrin tentang keadilan dan

kemasyarakatan. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terdapat doktrin tentang keadilan dan

kemakmuran. Tak ada pula doktrin bahwa negara harus berbentuk formalisme negara Islam, demikian

pula dalam pelaksanaan hal-hal kenegaraan. 16

Azyumardi Azra17 memberikan pengertian korelasi Syariah dan HAM sejauh ini, kerap kali ketika

berbicara Syariah, maka akan muncul dibenak adalah sesuatu yang “amat” menyeramkan. Sebab,

pemahaman Syariah kemudian berkembang menjadi negara Islam dan selanjutnya muncul hokum potong

tangan dan jihad. Inilah pemahaman tentang Syariah yang berkembang di tengah-tengah masyarakat

Indonesia. Hal ini dipicu oleh adanya pandangan yang tidak menginginkan formalisasi syariat Islam di

Indonesia. Sebaliknya, pandangan yang menghendaki formalisasi syariat Islam dicap Islam

fundamentalis, Islam formalistic, Islam liberal. Pada gilirannya, mereka menjadi momok yang sangat

menakutkan dan harus ditakuti. Begitu juga pandangan kelompok kedua kelompok pertama, dipandang

telah keluar dari agama Islam dan antek-antek orientalis.

Pemikiran Gus Dur tersebut sejalan dengan pemikiran Qamaruddin Khan, Dosen Universitas

Karachi, yang mengatakan bahwa tujuan Al-Qur’an bukanlah menciptakan sebuah negara melainkan

sebuah masyarakat, sehingga tidak adanya bentuk negara yang baku dalam Islam membawa hikmah

tersendiri. Oleh karena itu, apapun bentuknya seta wujud suatu negara jika di dalamnya terbentuk sebuah

masyarakat Qur’ani, maka itu pun sudah merupakan tanda-tanda negara Islam. 18 Ketidak jelasan resmi

15
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam anda, Islam kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hlm. 84.
16
Wawancara D&R dengan Gus Dur, “Politik sebagai Moral, Bukan Institusi” dalam Tabayun Gus Dur, (Yogyakarta:
LKiS, 1998), hlm. 235.
17
Azyumardi Azra, Wajah Baru Islam di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 103.
18
Asghar Ali Enginer, Devolusi Negara Islam, Terj. Imam Muttaqin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 59.
tentang negara memungkinkan Islam untuk mengikuti kemajuan zaman dan menyesuaikan diri terhadap

kondisi dan lingkungan, tempat ia tumbuh dan berkembang.19

Keinginan Gus Dur untuk tidak memformalkan Islam sebagai ideologi dan acuan formal dalam

bernegara sejalan dengan keinginan sebagian besar warga negara yang mayoritas Islam. Tampak bahwa

gusdur tidak memformalkan Islam dalam memperjuangkan Islam dalam negara yang bukan berasaskan

Islam. Menurutnya, bangsa dan negeri ini bukanlah milik golongan Islam semata, tetapi juga selainnya. 20

Hal ini juga sesuai dengan perjuangan pluralis Gus Dur. Akan tetapi asas tunggal sudak tidak berlaku

lagi, maka perjuangan pluralisme yang lain yang diusahakan Gus Dur adalah perjuangan pluralis agama.

Maksudnya tidak bersikap diskriminatif terhadap agama selain Islam. Dalam negeri yang plural seperti

Indonesia, harus diberi kesempatan menjalankan dan mengamalkan syariat agamanya sesuai keyakinan

dan kepercayaan masing-masing.

Pernyataan diatas bukan berarti bahwa bangsa Indonesia sebagian besar berpaham sekuler dalam

arti hendak memisahkan urusan agama dari negara tetapi tidak lebih pada keadaan kemajemukan latar

belakang agama, budaya, suku, dan kelompok. Bahkan jika Indonesia menjadi negara Islam dan Islam

diterima sebagai dasar negara, akan terjadi perpecahan dikalangan rakyat Indonesia karena tidak seluruh

rakyat Indonesia umat Islam.

Berdasarkan pemikiran diatas, NU adalah organisasi Islam pertama yang menerima kehadiran

Pancasila sebagai ideologi negara. Gus Dur dengan penuh keyakinan menjelaskan bahwa negara yang

berideologi Pancasila termasuk negara damai yang harus dipertahankan, karena Syariah dalam bentuk

hokum, agama, fikih, atau etika masyarakat masih dilaksanakan oleh kaum muslimin di dalamnya

sekalipun hal itu tidak diikuti dengan legalisasi dalam bentuk undang-undang negara. Bila etik

kemasyarakatan dijalankan, taka da alas an selain mempertahankannya sebagai kewajiban agama. Dari

sanalah munculnya keharusan untuk taat kepada pemerintahan.

19
Muh. Rusli, Pemikiran Keagamaan & Kebangsaan Gus Dur, Volume 12 No. 1 juni 2015, hlm. 6.
20
Abdurrahman Wahid, “ Mencari Sintesa Agama-Negara” dalam YB. Sudarmanto, dkk, H. Mathori Jalil, Dari NU
untuk kebangkitan Bangsa, (Jakarta: PT. Grasindo, 1999), hlm. XIV-XV.
Gus Dur berusaha memberikan sinergi memparelelkan hubungan agama dan negara. Dalam

pemikirannya, ia melihat besarnya hambatan dalam proses pembangunan yang diakibatkan oleh

kesalahpahaman yang sangat besar terhadap ideologi-ideologi negara yang sedang berkembang. 21 Upaya

Gus Dur ini tidak lepas dari peran bapaknya sebagai perumus konsep kenegaraan. Gus Dur menambahkan

bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan Nasionalisme. Islam bias berkembang secara spiritual

dalam sebuah negara nasional yang tidak secara formal berdasarkan pada Islam.

Gus Dur menjelaskan lebih lanjut bahwa kejelasan soal pemilahan antara agama dan negara ini

perlu dirumuskan lebih jauh, karena ketakutan akan hilangnya aspek-aspek keagamaan dari kehidupan

pemerintahan kita itulah yang justru menimbulkan kebutuhan semu yang dirasakan sebagai sesuatu yang

serius (oleh yang merasakannya) untuk melakukan formalisasi fungsi keagamaan dari pemerintah di

bidang agama…22

Dari penjelasan Gus Dur diatas, lantas muncul pertanyaan dimana peran agama dalam perkara

kenegaraan dan politik? Untuk hal ini Gus Dur secara tegas menggaris bawahi peranan agama sebagai

etika social yang berarti Islam berfungsi komplementer dalam kehidupan negara. Memaksakan Islam

pada fungsi suplementer dalam negara hanya akan menjadikan Islam tersebut dari nilai-nialai

fundamentalnya yang kondusif bagi tegaknya keadilan, egalitarianism dan demokrasi. Hal ini belum

banyak diangkat oleh pemikir Islam Indonesia lainnya. Sayangnya, Gus Dur tidak mengebolarasi visi

etika sosialnya dalam bentuk yang lebih mapan. Islam berfungsi dalam kehidupan bangsa dalam dua

bentuk. Pertama adalah akhlak masyarakat (etika social) warga masyarakat, sedangkan bentuk. Kedua,

adalah partikel-partikel dirinya yang dapat diundangkan melalui proses consensus (Undang-undang

seperti undang-undang No. 1/1974 tentang perkawinan, Undang-undang Peradilan agama No. 7/1989). 23

21
KH. Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 2.
22
K.H. Abdurrahman Wahid, “Kata Pengantar”, dalam Einar M. Sitompul, Nahdlatul Ulama dan Pancasila, (Jakarta:
Sinar Harapan, 1989), hlm. 15.
23
K.H. Abdurrahman Wahid, “Islam, Ideologi dan Etos Kerja Indonesia” dalam Budhy Munawar Rahman (Ed),
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1994), hlm. 585.
Dari sini jelas bahwa Gus Dur tidak pernah memimpikan sebuah negara yang menganut ideologi

Islam secara formal tetapi nilai-nilai Islam tertanam dalam setiap pribadi muslim Indonesia. Cita-cita Gus

Dur seperti ini menurut Soelastomo menjadi sebuah garansi bahwa Gus Dur akan berhasil memimpin

Indonesia. Karena wawasan keagamaan yang dimilikinya sarat dengan wawasan kebangsaanya. 24

Etika social yang dikembangkan Gus Dur memunculkan pertanyaan, bagaimana pengaruhnya

terhadap proses perjalanan pemerintahan. Soalnya, Gus Dur berada di luar pemerintahan bahkan sangat

oposan terhadap segala kebijakan pemerintahan Orde Baru waktu itu. Sementara itu, apa yang disebutnya

dengan partikel-partikel agama yang bias masuk ke dalam negara dalam bentuk undang-undang oleh Gus

Dur dijelaskan lebih lanjut bahwa Islam sebagai agama memberlakukan nilai-nilai normative dalam

kehidupan perorangan maupun kolektif para pemeluknya, sedangkan negara seperti republic Indonesia

tidak akan memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima oleh semua warga negara, yang berasal dari

agama dan pandangan hidup yang berlainan. Dengan kata lain, tidak semua nilai-nilai normative yang

dimiliki oleh Islam dapat diberlakukan dalam kehidupan bernegara kita di negeri ini.

B. Nasionalisme menurut Gus Dur

Kakek Gus Dur dari pihak Ayah, Kiai Hasyim Asy’ari, lahir di Jombang pada bulan Februari

1871. Ia adalah seorang tokoh pendiri NU pada tahhun 1926. Kiai Hasim Asy’ari selain dikenal sebagai

ulama, juga merupakan seorang guru yang banyak memberi inspirasi bagi masyarakat. Ia merupakan

seorang nasionalis yang ikut dalam memperjuangkan Indonesia melawan penjajah. Teman-teman

seperjuangannya banyak yang merupakan tokoh terkemuka Gerakan nasionalis pada masa Kolonial.

(Greg Barton, hlm. 26-27.)

Kiai Hasyim Asy’ari tidak hanya mengurus dunia pesantren yang didirikannya, tetapi juga

berperan dalam membela negara melawan penjajah. Semangat kepahlawanannya sangat tinggi.(Charul

Anam Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Surabaya: PT Duta Aksara Mulia, 2010, hlm.

24
Soelastomo, “Dwi Tunggal Gus Dur-Mega”, dalam Kompas, 29 November 1999.
58.)Ia di didik dan dibimbing mendalami pengetahuan Islam oleh ayahnya sendiri, sedemikian rupa

sehingga menjadi tokoh Islam yang dikenal pintar dan berwawasan luas terhadap ilmu agama (Islam).

KH. Hasyim Asy’ari berkelana ke berbagai pesantren terkenal di Jawa saat itu banyak menghabiskan

waktunya untuk mempelajari Islam di Makkah dan Madinah. Setelah kembali dari Makkah dan Madinah,

ia kemudian mendirikan Pesantren Tebuireng di Jombang pada tanggal 3 Agustus 1899 M. 25

Dari kakeknya inilah, Gus Dur mewarisi nilai-nilai perjuangan, pengabdian dan kepahlawanan.

Pertama, perjuangan untuk mendapatkan ilmu dan wawasan yang kelak bisa bermanfaat untuk

masyarakat luas, kedua, pengabdian sebgai seorang guru dan ulama yang mampu menginspirasi dan

meneruskan pemikiran-pemikiran Islam yang rahmatan lil’ alamin. Gus Dur banyak mendapatkan

pengalam hidup dari sikap dan tindakan yang ditunjukan oleh kakeknya untuk bangsa. Ketiga, semangat

kepahlawanan KH. Hasyim Asy’ari dan teman-teman seperjuangannya melawan penjajah sangat

membekas dan menggugah jiwa Nasionalisme Gus Dur untuk bangkit. Tidak mengherankan jika Gus Dur

menjadi seorang Nasionalis seperti sekarang ini.

Setelah NU berdiri tahun 1926, Kiai Hasyim diangkat menjadi pemimpin agung dan

mendapatkan posisi sebgai kepala Dewan Penasihat Agama. Ia juga diberi gelar kehormatan yaitu Guru

Agung aau Hadratussyaikh dalam Bahasa Arab. Namun diluar kalangan pesantren, kiai Hasyim lebih

dikenal sebagai nasionalis yang sering mengkritik pemerintah colonial Belanda pada saat itu. Pemikiran

kritis kiai Wahid Hasyim ini ternyata diwarisi oleh Gus Dur. Hal ini bisa dilihat dari kritik agama, social,

politik dan kemanusiaan yang kerap dilontarkan Gus Dur melalui tulisan-tulisannya dikemudian hari.

Kakek Gus Dur dari pihak ibu adalah Kiai Bisri Syansuri, yang juga dieknal aktif dalam

pergerakan Nasional. Kiai Bisri Syansuri yang lahir pada September 1886 di Pati Jawa Tengah,

merupakan salah seorang tokoh kunci lahirnya NU. Pada tahun 1917, ia mendirikan pesantren di desa

Salahudin Wahid, Transformasi Pesantren Tebuireng: Menjaga Tradisi di Tengah Tantangan, Malang: UIN-
25

Maliki Press, 2011, hlm. 14.


Denanyar yang terkenal seperti pesantren Tambakberas dan pesantren Tebuireng. (Greg Barton. hlm. 28-

29.)

Pesantren Kiai Bisri Syansuri di Denanyar menerapkan system yang sama seperti pesantren Kiai

Hasyim Asy’ari yaitu dengan mengembangkan pertanian, kerohanian dan terkenal dengan pendekatannya

yang teratur/disiplin terhadap bidang keilmuan dan kehidupan bermasyarakat.

Sebagai diketahui diatas, kedua kakek Gus Dur merupakan ulama besar yang dihormati di

kalangan NU, termasuk ayahnya, Kiai Wahid Hasyim. Ayah Gus Dur bergabung dengan Nahdlatul

Ulama (NU), yang merupakan sebuah organisasi social keagamaan, setelah hamper dua tahun ia

dipromosikan menjadi pengurus besar NU.(Abubakar Aceh, Sedjarah Hidup K.H.A Wahid Hasyim dan

Karangan Tersiar, 2008, Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. K.H.A Wahid Hasyim, 1957, hlm. 161.)

Di Lembaga inilah Wahid Hasyim mengembangkan ide-ide yang berkaitan dengan

pengembangan kurikulum pesantren serta terorganisasi madrasah-madrasah NU.

Selain mengurus pesantren, Wahid Hasyim juga peduli terhadap perpolitikan di Indonesia pada

masa penjajahan. Ia terlibat dalam pergerakan menentang penjajah. Pada tahun 1940. Wahid Hasyim

menjadi ketua Majelis Al-Islam Al-A’la Indonesia (MIAI) sebuah federasi organisasi-organisasi Islam

yang berdiri tahun 1937. Bersama dengan Gabungan Politik (GAPI).

Tumbuhnya karakter dan jiwa kepemimpinan dalam diri Gus Dur sangat dipengaruhi dari sikap

dan tindakan yang dilakukan ayahnya, Wahid Hasyim. Sikap cinta tanah air dan demi memajukan bangsa

secara langsung ia dapatkan dari ayahnya. Selain itu Gus Dur juga mendapatkan pengalaman dalam dunia

perpolitikan dan pemerintahan.

Gus Dur lahir dari kalangan keluarga pesantren. Pemikiran Gus Dur tentang Nasionalisme

dipengaruhi oleh lingkungan pesantren yang telah membesarkannya yaitu NU (Nahdlatul Ulama). Dalam

pemikiran NU, khususnya pemikiran para ulamanya diseluruh Nusantara sejak tahun 1926 sudah
mempunyai komitmen tinggi terhadap keutuhan bangsanya. Menurut ulama NU, Nasionalisme sudah

lahir sejak negara Indonesia hidup dalam penjajahan Kolonial Belanda yang begitu Panjang dan

melelahkan serta mengakibatkan penderitaan rakyat Indonesia.(A Shiddiq Sugiarto, Mukafi Niam, Hubbul

Wathon Minal Iman, Jargon Pertahankan NKRI, diakses dari http://nu.or.id?post/read/76064/hubbul-

wathon-minal-iman-jargon-pertahankan-nkri/ diakses pada 20 September 2019.)

Visi dan misi Gus Dur tentang masa depan Indonesia adalah rakyat Indonesia tumbuh menjadi

bangsa yang demokratis dan toleran terhadap sesamanya, serta menjadi negara yang menjamin warganya

dari berbagai latar belakang yang berbeda. Seluruh warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang

sama, tidak ada diskriminasi dalam kehidupan mereka. Pemikiran-pemikiran Gus Dur yang telah ia tulis

merupakan wujud rasa nasionalismenya terhadap bangsa dan negara Indonesia. Gus Dur memberikan

kritik dan juga gagasan yang merupakan salah satu upaya untuk menjadikan Indonesia negara yang maju,

berakhlak dan damai. Pemikiran Gus Dur bias diangkat sebagai solusi bagi permasalahan bangsa

Indonesia yang terjadi saat ini, karena jarang sekali ditemui pemikiran-pemikiran yang menjungjung

tinggi nilai kamanusiaan, selain itu Gus Dur mengedepankan pentingnya kesejahteraan dan keberpihakan

kepada yang lemah.(Marzuki Wahid, http//www.gusdur.net/id/mengagas-gus-dur/inspirasi-dari-

pemikiran-gus-dur/ diakses pada 20 September 2019.)


BAB IV

Penutup

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dari bab II sampai bab III, maka dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut:

Pokok-pokok pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid sangat inspiratif dalam menyelesaikan

berbagai problem keagamaan dan kebangsaan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Baginya, doktrin

Islam tentang negara adalah doktrin tentang keadilan dan kemasyarakatan. Untuk itu, ideologi yang

relevan bagi Indonesia adalah ideologi Pancasila; selain itu, demokrasi adalah kebebasan, keadilan,

dan musyawarah. Demokrasi harus diperjuangkan sistemik, kultural dan kontinyu tanpa radikalisme;

Untuk itu, pluralisme adalah jaminan bagi setiap warga Indonesia untuk beribadah sesuai dengan

agama dan keyakinannya dengan rasa aman. Pluralisme dapat dibangun dengan karangka Ukhuwah

Insaniyah (Persaudaraan Kemanusiaan), Ukhuwah Wathaniyah (Persaudaraan Kenegaraan).

Pribumisasi dan Indonesianisasi, adalah upaya kontekstualisasi ajaran Islam, menghargai hasil budaya
dan kreatifitas bangsa sendiri. Islam Indonesia memiliki khasanah tersendiri dalam mengapresiasi

ajaran agama.

Menyikapi pokok-pokok pikiran Gus Dur, maka wajar jika ia dikategorikan sebagai pemikir

Islam yang inspiratif. Penghargaannya dan penerimaan terhadap pluralisme dan nilai-nilai

demokratisasi termasuk hubungan agama dan negara. Selain itu, nilai-nilai pluralistik telah dirajuk ke

dalam struktur iman (Islam) sebagai nilai inti Islam itu sendiri. Baginya itulah Islam, agama yang

berfungsi untuk memberikan solusi bagi setiap persoalan umat tetapi sebaliknya agama justru menjadi

problem bagi umat. Gagasangagasan yang telah dibangun oleh Gus Dur banyak menginspirasi

kalangan muda Indonesia untuk keluar dari belenggu sebagaimana Gus Dur terkadang keluar dari

pemikiran NU yang membesarkannya. Pemikiran Gus Dur juga telah membawa angin segar bagi

kehidupan beragama di Indonesia, hak-hak minoritas pun mulai diperhatikan. Lahirnya gagasan

kearifan lokal sebagai solusi konflik merupakan bukti bahwa dewasa ini penghargaan kepada sesuatu

yang sifatnya lokal/minoritas kini telah mendapat pengakuan, bahkan dianggap bisa menjadi solusi di

tingkat nasional di tengah banyaknya persoalan bangsa.

Anda mungkin juga menyukai