BAB I
PENDAHULUAN
Perdebatan seputar hubungan Islam dan Negara di Indonesia telah begitu banyak menguras
energy, sejak masa-masa persiapan kemerdekaan hingga setengah abad lebih setelah merdeka. Namun,
dalam masa yang panjang itu pula belum ditemukan sebuah plat form bersama, meskipun pada masa
pemerintahan Orde Baru perdebatan ini seolah-olah dianggap selesai.(Marzuki Wahid & Rumadi, 2001)
Termasuk Islam dan Negara yang dimaksud disini adalah agama dan Negara dalam wuud sekarang sudah
melembaga.1
Di antara tema hangat yang didiskusikan dalam percaturan politik di Indonesia pada tahun 1950-
an adalah hubungan Islam dan pondasi Negara Indonesia. Kalangan muslim secara umum terbagi dalam
dua kelompok dalam wacana ini, mereka menginginkan Islam sebagai dasar Negara dan mereka yang
menawarkan model Negara sekuler. Kelompok pertama meyakini bahwa Negara Islam sebagai model
pemerintahan akan menjamin terlaksana ajaran Islam di Masyarakat. Kelompok kedua menolak
formalisme agama dalam urusan kenegaraan sebaliknya mereka memfokuskan pada pentingnya
Secara umum dapat dikatakan bahwa sejak awal, umat Islam Indonesia, modernis dan sayap
pesantren, telah memiliki system politik yang lebih baik yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan-
tujuan dan cita-cita politik Islam. Golongan modernis khususnya adalah pembela-pembela demokrasi
yang tanggung dalam menentang gerakan politik otoriter Soekarno pada akhir 1950-an yang kemudian
mampu bertahan lama, karena memang tidak mempunyai tempat berpijak yang kukuh untuk dapat hidup
langgeng. Sesudah berjalan lima atau enam tahun, sistem otoriter ini hancur secara drastis, sementara
pihak komunis yang menyokongnya juga mengalami nasib serupa.(Ahmad Syafi’i Maarif, 1985)
Pada awal Orde Baru, di kalangan aktivis Islam timbul optimisme untuk kembali memainkan
peranan dalam politik nasional, mengingat sumbangan mereka dalam meruntuhkan rezim orde lama.
(Thaba, 1996)
Periode awal dalam kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid merupakan saat paling penuh
kesibukan, Presiden Abdurrahman Wahid agaknya melihat adanya beberapa persoalan yang dengan
segera harus dibenahi. Ia sendiri telah memiliki banyak rencana mengenai apa yang mesti dilakukan
dalam rentang waktu yang pendek, mulai dari melanjutkan economic recovery yang belum tuntas
penyelesaian konflik horizontal masyarakat dan ancaman desintegrasi yang melanda beberapa wilayah,
“domestikasi” peranan militer, penegakan hak asasi manusia, sampai dengan membuka ruang partisipasi
dan otonomi masyarakat secara lebih luas dengan meminimalisir keterlibatan Negara. 2
Kajian tentang Islam dalam politik di Indonesia selalu menarik perhatian. Sebab, berbicara
tentang politik Islam di Indonesia berarti juga berbicara tentang Islam. Islam adalah agama yang dianut
mayoritas penduduk Indonesia. Secara sosiologis, potensi ummat Islam sebagai sumber legitimasi sistem
politik dalam rangka menyukseskan pembangunan nasional, sangat besar. Dalam setiap pemilu, citra
Islam selalu ditampilkan secara doctrinal ajaran Islam melingkupi kehidupan politik kenegaraan,
bersamaan dengan sistem nilai lainnya sehingga sekularisasi politik terhadap umat Islam tidak pernah
berhasil.
Sebagaimana disebutkan Islam menolak sekularisme sebab ajaran Islam mencakup seluruh
bidang kehidupan manusia termasuk bidang kenegaraan. Dalam Islam tidak ada pemisahan antara urusan
agama dan urusan politik.3 Munawir Sjadzali berpendapat, Islam tidak memiliki preferensi terhadap
2
Khamami Zada, Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan, (Jakarta: LAKPESDAM, 2002), hlm. 34.
3
Ibid., hlm. 34.
sistem politik yang mapan. Islam tidak mempunyai system politik dan hanya memiliki seperangkat tata
Masalah Islam dan negara merupakan salah satu hal yang peting dalam pemikiran Abdurrahman
Wahid, oleh sebab itu banyak orang yang melakukan review terhadap pemikirannya ini. 5 Secara garis
besar bias dikatakan bahwa arus pemikiran Abdurrahman Wahid mengenai hubungan Islam dan negara
dapat dikategorikan sebagai pemikiran yang sekularistik, yaitu pemisahan antara Islam dan negara, yang
Tahap akhir adalah Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Orde Baru, yang
utamanya terdiri dari kelompok nasionalis dan militer mnegkritik kehidupan politik sebelumnya dan
mengakibatkan terus menerus menjadi tidak efektif dlam penyelenggaraan negara. Politisi sipil yang
dipengaruhi oleh liberalisme Barat, pengikut komunisme, dan muslim radikal semuanya dipersalahkan
sebagai unsur yang ikut bertangung jawab terhadap kekacauan dan kegagakan politik Indonesia. Orde
Baru telah mengubah tren politik dari orientasi idealisme menuju pragmatik, yang memusatklan diri pada
pelaksanaan program-progran pemerintah. Mereka membangun ekonomi, pada satu sisi, pada masa Orede
Baru membuat partisipasi publik dalam kegiatan politik melemah.(Nanah Raqiq, 2004)
Menurut KH. Abdurrahman Wahid menggelar diskursus hokum tidak bisa dipisahkan dari
konteks sosial politik (negara) di mana hukum itu diciptakan, atau dengan kata lain dari konteks politik
hukumnya.6
Dalam Islam, negara didirikan atas prinsip-prinsip tertentu yang ditetapkan Al-Qur’an dan sunnah
Nabi Muhammad SAW. Prinsip pertama adalah bahwa seluruh klekuasaan dalam semesta ada pada Allah
karena Ia yang telah menciptakannya. Maka, menurut keimanan seorang muslim, hanya Allah yang harus
ditaati; orang dapat ditaati hanya bila Allah memerintahkannya. Prinsip kedua adalah bahwa ditetapkan
oleh Allah dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi, sedangkan sunnah nabi merupakan penjelasan otoritatif
4
Munawir Sadjali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990), hlm. 4-7.
5
Pergulatan Pemikiran Islam yang dialami Gus Dur pada fase awal pergerakan intelektualimenya adalah sebuah
proses modernisasi Islam-sebagai satu konsekuensi dari modernisasi politik yng dibutuhkan oleh Orde Baru.
6
Abdurrahman Wahid, Individu, Negara dan Ideologi, (Jakarta: Kompas, 1994), 4 Februari, hlm. IV-V.
tentang al-Qur’an. Ketentuan-ketentuan ini, untuk membimbing umat manusia, diturunkan kepada para
Nabi dari wwaktu ke waktu, yang terakhir adalah Nabi Muhammad SAW, yang memulai beliaulah agama
disempurnakan.
Sebuah negara yang diatur menurut hukum Islam secara teknis disebut dar Al-Islam (negeri yang
Damai), apabila sebuah negara Islam secara politik dan ekonomi ditaklukan oleh negara yang bukan
Islam, maka diubah namanya menjadi dar al-harb (negara yang berperang), dan kaum muslimin hanya
mempunyai dua pilihan. Dalam teori, negara Islam merupakan Negara Allah dan kaum muslimin
merupakan partainya (hizbullah). Hal ini berdasarkan konsep tentang kebahagiaan (falah).7
kecendekiaan yang disponsori negara manapun pentaaan kegiatan umat misalnya Departemen Agama dan
Majelis Ulama Indonesia makin memisahkan geliat kritis dari politik Islam kearah kehidupan beragama
yang serba seremonial, tanpa kritisme agama terhadap strutur kekuasaan. Manipulasi politik ini
menyebabkan Abdurrahman Wahid memilih peran oposisional dalam hubungan agama dan negara.
Meski pada awal 1970 hingga awal 1990 Gus Dur seolah melakukan “saling pengertian” dengan
agenda depolitisasi Islam melalui penerimaan NU atas Pancasila (1984), tidak serta merta pengertian ini
menjurus pada watak akomodatif. Penerimaan terhadap Pancasila dan sikap anti fundamentalisme Islam
merupakan strategi jangka panjang yang membuatnya leluasa merebut tafsir ideologi negara yang
berkonfrontasi pada awal 1990 ketika Negara berbalik melakukan reislamisasi dnegan merangkul Islam
militant kedalam struktur kekuasaan. Ini merupakan cara pembacaan Gus Dur atas dialetika hubungan
antara hegemoni negara dengan otonomi masyarakat (civil society) yang saat itu memenuhi ruang
7
Mumtaz Ahmad, Masalah-Masalah Teori Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 557.
Negara Islam8 dalam pelaksanaan masalah-masalah akhirat harus melihatnya sebagai tujuan, dan
melaksanakan seluruh perbuatan-perbuatan baik yang diperintahkan oleh agama, yang akan membawa
menuju keridhaan Allah SWT, dan mewujudkan kebutuhan rohani bagi manusia. Negara Islam pun
menjadikan agama atau undang-undang akhlak sebagai ukuran yang mengukur berbagai perbuatan dan
tindak tanduknya.9
K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bisa disebut sebagai tokoh paling kontroversial. Pemikiran
dan sikap politiknya selalu mengundang pro dan kontra. Bahwa pemikiran dan sikap politik Gus Dur pada
hakikatnya merupakan terjemahan ajaran syariat dan pengembangan tradisi pesantren dari mana ia
berasal. Dengan kata lain, politik (siyasah) Gus Dur sebenarnya bersumber pada ajaran Islam (syariah)
Islam adalah agama yang secara tegas menyatakan bahwa kehadirannya hanyalah untuk menjadi
rahmat bagi seluruh alam (rahmatan nlil alamin). Dengan dasar ini, ajaran Islam harus dikembangkan
sebagai sumber nilai untuk mewujudkan kedamaian, keadilan dan kemakmuran bagi semua umat tanpa
memandang agama, suku dan asal usul kebangsaan (Muhaimin Iskandar, 2007).
Azyumardi Azra10 memberikan pengertian korelasi syariah dan HAM sejauh ini, kerap kali ketika
berbicara syariah, maka akan muncul dibenak adalah suatu yang “amat” menyeramkan. Sebab,
pemahaman syariah kemudian berkembang menjadi negara Islam dan selanjutnya muncul hokum potong
tangan dan jihad. Inilah pemahaman tentang syariah yang berkembang di tengah-tengah masyarakat
Indonesia. Hal ini dipicu oleh adanya pandangan yang tidak menginginkan formalisasi syariat Islam di
Indonesia. Sebaliknya, pandangan yang menghendaki formalisasi syariat Islam dicap Islam
fundamentalis, Islam formalistik, Islam liberal. Pada gilirannya, mereka menjadi momok yang sangat
8
Menurut Natsir, Negara Islam dengan Ideologi Islam. Pada intinya, sistem kenegaraan dalam pandangannya boleh
mencontoh bentuk mana saja, yang penting tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam hal ini Islam bagi
Natsir telah menyediakan perangkat dasar yang dapat diterapkan sesuai dengan zamannya. Adapun praktek
kenegaraan pada masa Nabi dalam anggapan Natsir adalah hanya patokan untuk mengatur negara. Dengan kata
lain, Natsir ingin sekali menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.
9
M. Dhlauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 311.
10
Azyumardi Azra, Wajah Baru Islam di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hl, 103.
menakutkan dan harus ditakuti. Begitu juga pandangan kelompok kedua pada kelompok pertama,
Telah banyak diperagakan oleh Abdurrahman Wahid dalam kontek ini, memang kehadiran
Abdurrahman Wahid sebagai kelompok minoritas telah menjadikannya “diterima” oleh semua pihak.
Karena itu Abdurrahman Wahid sering dipandang sebagai pembela minoritas. Dengan kata, “Jamaah”
Islam liberal berupaya meneruskan pikiran-pikiran Abdurrahman Wahid, yang selama ini banyak
mengandung kontroversi.
Penulis melihat dari latar belakang kehidupan Abdurrahman Wahid yang dilahirkan di
lingkungan pesantren, yang dengan pemikiran keras menolak Islam dijadikan sebagai dasar negara.
Karenanya, perjuangan Abdurrahman Wahid tidak menghendaki formalisasi atau simbol-simbol eksklusif
yang memberi kesan mengecilkan kelompok lain, tetapi menekankan diri pada nilai dasarnya yang
universal seperti menegakan keadilan dan hukum dalam bentuk perlawanan terhadap kaum lemah, dan
sebagainya. Dalam konsep ini yang diperjuangkan adalah Allah sebagai rabbul ‘alamien dan Islam
sebagai rahmatan lil ‘alamien. Ia menerima kehadiran Republik Indonesia sebagai dar Sulh yang harus
Gus Dur berpendapat bahwa Islam tidak bisa dihubungkan dengan Negara akan tetapi sebagai
seorang muslim harus mempunyai rasa kritis terhadap Negara sebagai rasa Nasionalisme.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
Tulisan ini secara umum diarahkan pada upaya menjawab berbagai masalah yang berkaitan dengan
pemikiran Gus Dur tentang Islam dan Nasionalisme di Indonesia, secara lebih rincai tulisan ini bertujuan:
D. Manfaat Penelitian
Abdurahman Wahid, penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam mengetahui
tokoh kontroversial yang merupakan seseorang dari kalangan keluarga pesantren untuk
kemerdekaan Indonesia.
Secara praktisi akademik, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan
informasi kepada kalangan para pelajar dan masyarakat pada umumnya. Yang selama ini
dimanfaatkan untuk mengembangkan ide-ide yang berhubungan dengan islam dan Nasionalisme
E. Tinjauan Pustaka
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah seorang tokoh muslim yang mempunyai gagasan pemikiran
yang jernih, baik yang berhubungan dengan masalah keagamaan ataupun masalah politi dan bahkan
sampai masalah keagamaan. Oleh karena itu tingginya tingkat keilmuan Abdurrahman Wahid menjadi
Kajian tentang pemikria Gus Dur sudah banyak dilakukan oleh para peneliti, salah satunya adalah
skripsi yang disusun oleh M. Bahrul Ulum dengan judul Konsep Pluralisme Abdurahman Wahid (dalam
perspektif Pendidikan Islam). Skripsi tersebut membahas mengenai pemikiran Gus Dur tentang
Pluralisme dalam perspektif Islam yang mempunyai andil besar dalam perkembangan masyarakat
Indonesia yang multicultural. Menurut Gusdur Pendidikan Islam mempunyai pengaruh yang cukup
signifikan terhadap perkembangan peserta didik yang dilihat dari berbagai aspek. Hal ini tentu saja
merupakan hal yang positif untuk perkembangan Indonesia di masa yang akan akan datang. 11
Selain Skripsi, terhadap disertasi antara lain karya Munawar Ahmad dengan judul Kajian Kritis
Pemikiran Politik KH. Abdurahman Wahid (1970-2005). Disertasi ini menguraikan pemikiran dan
aktivitas politik Gusdur. Dijelaskan secara mendalam pengalaman politik Gusdur yang ia dapatkan saat
terjun dalam dunia politik. Pemikiran politik Gus Dur selalu menimbulkan wacana-wacana baru dalam
perpolitikan Indonesia.12
Sementara itu, Greg Barton dalam bukunya “Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikrian Neo-
Modernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahid dan Abdurahman Wahid”, memaparkan
bagaimana perkembangan pesantren dari yang tradisional hingga modern serta bagaimana sikap Gusdur
sebagai kiai yang mempunyai pemikiran liberal, ia digambarkan sebagai seorang muslim yang secara
konsisten membela minoritas serta menyeru toleransi di Indonesia. Buku ini juga menjelasan mengenai
modernisasi dan globalisasi yang terjadi di Indonesia sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin
Yang membedakan dengan penelitian di atas penulis meneliti tentang Konsep Pemikiran Gus dur
tentang Islam dan Nasionalisme, yang dimana menjelaskan pandangan Gusdur tentang keterkaitan Islam
dan rasa Nasionalisme yang dimiliki oleh Gus Dur. Ia menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara
Islam dan Negara tetapi sebagai seorang muslim harus mempunyai rasa nasionalisme terhadap negaranya
sendiri dalam kehidupan bernegara, dimana agama Islam mampu memberi kontribusi positif dalam
Nasionalisme.
F. Kerangka Pemikiran
11
M. Bahrul Ulum, Skripsi: Konsep Pluralisme Abdurahman Wahid (dalam Perspektif Pendidikan Islam), Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah, 2013.
12
Munawar Ahmad, Disertasi: Kajian Kritis Pemikiran Politik KH. Abdurahaman Wahid (1970-2005), Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada, 2007.
Lahirnya kemerdekaan Indonesia membuat para tokoh nasional, baik paham nasionalis, sekuler
maupun Islam untuk berfikir serius dalam meletakan dasar filosofi negara, terlepas itu perjuangan atau
kepentingan golongan yang jelas Indonesia saat itu memerlukan konsep dasar negara yang kuat sehingga
Umumnya nasionalisme bangsa Indonesia muncul sekitar abad ke 20. Muslim sebagai mayoritas
penduduk (sekitar 87,5%), secara aktif terlibat dalam mengembangkan konsep nasionalisme Indonesia.
Mereka mengambil bagian dalam organisasi kegamaan seperti SI (Syarikat Islam), Muhammadiyah, NU
1. Meode Penelitian
Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode penelitian sejarah melalui tahap-tahap berikut:
Heuristik berarti mengumpulkan atau menemukan sumber, menulis sejarah tidak mungkin dapat
dilakukan tanpa tersedianya sumber sejarah. Sumber sejrah adalah bahan penulisan sejarah yang
mengandung bukti lisan maupun tertulis. Pengumpulan sumber dilakukan dengan studi pustaka.
Dalam penelitian ini yang tertulis lakukan pertama adalah pengumpulan sumber dalam bentuk
buku yang didapat dari Perpustakaan UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan juga buku dan dalam bentuk
format e-Book, sumber yang lainnya berupa jurnal, artikel, literatur yang berhubungan dengan masalah
yang penulisa bahas, penelitian kepustakaan ini digunakan untuk mendapatkan data dan sumber yang
a. Sumber Primer
Kompas: 2007),
2. Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam anda, Islam kita, ( Jakarta: Thewahid
Institute, 2006),
5. Syaiful Arif, Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif sebuah Biografi Intelektual,
6. Asghar Ali Enginer, Devolusi Negara Islam, Terj. Imam Muttaqin, (Yogyakarta :
7. Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta : PT. Pustaka
LP3ES, 1985),
8. Wahid & Rumadi Marzuki, Fiqih Madzhab Negara Kritik Atas Polik Hukum
10. Muhaimin Iskandar, Gus Dur Islam dan Kebangkitan Indonesia, (Yogyakarta:
KLIK, 2007),
11. Al-Zastrouw Ng, Gus Dur Siapa Sih Sampean?, (Jakarta: Erlangga, 1999),
12. M. Dahlauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001),
14. Munawir Sadjali, Islam dan Tata Negara, Ajaran Sejarah dan Pemikiran,
16. Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema
Insani Press),
17. Abdurrahman Wahid, Individu, Negara dan Ideologi, (Jakarta: Kompas, 1994),
21. Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 1999),
22. Abdurrahman Wahid, “Islam, Ideologi dan Etos Kerja Indonesia” dalam Budhy
Paramidina),
LAKPESDAM, 2002),
24. Abu Bakar Aceh, Sedjarah Hidup K.H.A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar,
(Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. K.H.A Wahid Hasyim 1957, 2008),
b. Sumber Sekunder
Negara, yang menitik beratkan kajiannya pada ekspresi gagasan kunci politik
Abdurahman Wahid.
2. Greg Berton, Biografi Gus Dur, buku ini mengungkapkan secara detail tentang
sisi kehidupan Abdurrahman Wahid dari latar belakang keluarga hingga proses
3. Umarudin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang
4. Andree Feillard, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, buku ini menitik beratkan
5. Imran Nawawi, Tertawa Ala Gus Dur: Humor Sang Kyai: The Humor Code,
6. M. Rusli, Pemikiran Keagamaan dan Kebangsaan Gus Dur, Vol. XII No. 1 Juni
2015.
Kritik Sumber adalah upaya untuk memeriksa otentisitas dan kredibilitas sumber. Dalam mencari
kebenaran, penulis diharapkan mampu membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar, apa yang
mungkin dan apa yang diragukan. Supaya memperoleh sumber yang benar, seorang penulis sejarah harus
menggabungkan antara pengetahuan, sikap ragu (skeptik), serta tidak percaya begitu saja, menggunakan
akal sehat, dan melakukan tebakan intelegen. Jadi, fungsi dari kritik sumber adalah supaya karya sejarah
merupakan produk dari suatu proses ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Bukan hasil dari suatu
fantasi, manipulasi atau fabrikasi. Dalam metode sejarah ada dua jenis kritik sumber, yaitu kritik eksternal
penulis temukan. Setelah materi selesai penulis baca dan analisis kemudian membandingkannya dengan
sumber lain, apakah sumber tersebut asli atau hasil dari manipulasi buku. Selanjutnya, setelah materi yang
a) Kritik Intern
1. buku Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita, ini berisi 94 artikel yang ditulis dalam rentang antara
awal 2002 hingga awal 2004, setelah Gus Dur diturunkan secara politis lewat Sidang Istimewa
MPR pada 23 Juli 2001. Peristiwa pendongkelan itu pun menjadi salah satu peristiwa yang
disinggung dalam tulisannya di buku setebal 412 halaman ini. jelas merangkum beragam dimensi
yang luas dari Gus Dur. Tulisan-tulisan ini merambah beragam isu, dari kajian keislaman ala
pesantren, hingga isu hubungan internasional; dari budaya hingga ekonomi Islam. Di buku yang
diberi kata pengantar M. Syafii Anwar ini, tulisan-tulisan Gus Dur dibagi dalam tujuh bab.
Pertama, Islam dalam Diskursus Ideologi, Kultural, dan Gerakan; kedua, Islam, Negara dan
Kepemimpinan Umat; ketiga, Islam, keadilan dan HAM; keempat, Islam dan Ekonomi
Kerakyatan; Kelima Islam, Pendidikan, dan Masalah Sosial Budaya; keenam, Islam tentang
2. Buku Islam Kosmopolitan : Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, Di dalam buku
ini terdapat tiga peta pemikiran Gus Dur yang dibagi atas tiga bab. Pertama menyangkut ajaran,
transformasi dan pendidikan agama. Kedua, mengenai nasionalisme, gerakan sosial dan anti
kekerasan dan terakhir membahas pluralisme, kebudayaan dan hak asasi manusia. Masing-masing
bab memuat sepuluh karya tulis Gus Dur. Ketiga bab tersebut sangat terpengaruh oleh kehidupan
3. Buku Pergulatan Negara Agama dan Kebudayaan. Karya ini diterbitkan pada tahun 2001 oleh
penerbit Desantara, di dalamnya dijelaskan, negara tidak pernah ada dan tidak seharusnya
berhubungan dengan kebudayaan. Karena kebudayaan merupakan seni hidup atau kehidupan
sosial manusiawi yang terbangun dari interaksi antar manusia; individu maupun kelompok.
4. Buku Kiai Nyentrik Membela Pemerintah. Buku ini tipis saja, hanya berisi 26 artikel Gus Dur
tentang kiai, tentnag ulama, tentang guru Gus Dur, tentang teman-teman Gus Dur sesama kiai. M.
SObary dalam pengantarnya menyebut buku ini sebagai “antropologi kiai”. Meskipun tipis, tapi
buku ini mengabarkan kepada kita, bahwa Gus Dur demikian luas dan dalam menguasai
dunianya: pesantren.
b) Kritik Ekstern
1. Greg Barton, “Biografi Gus Dur”, sebuah buku karya Greg Berton buku ini mengungkap secara
detail tentang sisi kehidupan Abdurrahman Wahid dari mulai latar belakang keluarga hingga
2. Umarudin Masdar, “Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais Tentang Demokrasi”, buku
karya Umarudin Masdar yang menitik beratkan kajiannya pada gagasan pemikiran keislaman
3. Andree Feillard, “Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil”, Buku ini menitik beratkan kajiannya
pembangunan bangsa.
4. Khamami Zada, “Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan”, buku ini menitik beratkan pada Era
Reformasi Gus Dur menjadi presiden dalam sebagai upaya pendidikan politik kepada warga NU
H. Interpretasi
Fakta yang sudah dikumpulkan harus diinterpretasi untuk menghasilkan cerita sejarah. Interpretasi
atau tafsir sebenarnya sangat individual, artinya siapa saja dapat menafsirkan. Meski datanya sama tetapi
interpretasinya dapat berbeda, perbedaan itu terjadi karena perbedaan latar belakang, pengaruh, motivasi,
pola piker. Jadi interpretasi sangat subjektif tergantung siapa yang melakukannya tergantung pribadinya
masing-masing.
Terpretasi ada diantara verifikasi dan eksposisi. Dalam melakukan interpretasi penulisan ada
dibawah bimbingan metodologi mengaharuskan penulis untuk mencantumkan sumber datanya. Hal ini
dimaksudkan agar pembaca dapat mengkroscek kebenaran data dan konsisten dengan interpretasinya.
Interpretasi sangat esensial dan krusial di dalam metodologi sejarah. Interpretasi dapat dilakukan
setelah ditarik dengan analisis dan sistensis. Dari data yang bervarian data dianalisis setelah ditarik secara
induktif sehingga dapat dikumpulkan. Sedangkan sistensis berlawanan dengan apa yang dilakukan oleh
analisis. Sistensis sama dengan penyatuan. Data-data yang dikelompokkan menjadi satu kemudian
Langkah selanjutnya setelah kritik sumber yang penulis lakukan adalah rangkaian kalimat yang
didapat dari berbagai sumber dengan menggunakan pola pikir penulis sendiri sehingga menjadi penulis
sejarah berbeda dari yang lain. Penulis memilih sumber yang relevan dengan topik yang ada untuk
I. Historiografi (Penulisan)
Dalam penulisan sejarah, aspek kronologi sangat penting, tahap penulisan mencakup interpretasi
sejarah, ekplanasi sejarah, sampai presentasi atau pemaparan sejarah sebenarnya. Ketika penulis
memasuki tahapan ini, ia harus menggunakan pikiran-pikiran kritis dan menganalisisnya karena penulis
harus menghasilkan suatu sistesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya itu, dalam suatu
penulisan utuh yang disebut historiografi (penulisan sejarah). (Suhartono Pranoto, n.d.)
Tahapan terakhir dari penelitian ini adalah penulisan atau historiografi, dimana penulis mulai
menulis kisah sejarah sesuai dengan tema penelitian. Dalam penulisan ini penulis mencoba
menyampaikan suatu pemikiran melalui interpretasi sejarah berdasarkan fakta hasil penelitian.
2. Pendekatan
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (Content Analysis)
yang bersifat penafsiran (hermeneutic). Analisis isi merupakan metodologi penelitian yang memanfaatkan
seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang benar dari sebuah buku atau dokumen.
BAB II
a. Kelahiran
K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur) 13 Pada 14 Agustus 1940 di Denanyar, Jombang Jawa Timur,
putra pertama dari enam bersaudara. (Al-Zastrouw Ng, 2011) Secara Genetik Gus Dur merupakan
keturunan darah biru dan menempati strata social tertinggi dalam masyarakat Indonesia. Ia lahir dari
seorang tokoh besar bernama KH. Hj. Wahid Hasyim putra pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hasyim
Asy’ari. Ibunya, Hj. Sholehah adalah anak dari KH. Bisri Syansuri yang juga merupakan pendiri NU.
Ayah Gus Dur menjadi Menteri Agama yang pertama di Indonesia. (Al-Zastrouw Ng, 1999)
Kakek Gus Dur dari pihak Ayah, Kiai Hasyim Asy’ari, lahir di Jombang pada bulan Februari
1871. Ia adalah seorang tokoh pendiri NU pada tahhun 1926. Kiai Hasim Asy’ari selain dikenal sebagai
ulama, juga merupakan seorang guru yang banyak memberi inspirasi bagi masyarakat. Ia merupakan
seorang nasionalis yang ikut dalam memperjuangkan Indonesia melawan penjajah. Teman-teman
seperjuangannya banyak yang merupakan tokoh terkemuka Gerakan nasionalis pada masa Kolonial. (Al-
13
Abdurahman Wahid, ia lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas
pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti “Abang” atau “Mas”.
Kiai Hasyim Asy’ari tidak hanya mengurus dunia pesantren yang didirikannya, tetapi juga
berperan dalam membela negara melawan penjajah. Semangat kepahlawanannya sangat tinggi. (Chairul
Anam, 2010). di didik dan dibimbing mendalami pengetahuan Islam oleh ayahnya sendiri, sedemikian
rupa sehingga menjadi tokoh Islam yang dikenal pintar dan berwawasan luas terhadap ilmu agama
(Islam). KH. Hasyim Asy’ari berkelana ke berbagai pesantren terkenal di Jawa saat itu banyak
menghabiskan waktunya untuk mempelajari Islam di Makkah dan Madinah. Setelah kembali dari Makkah
dan Madinah, ia kemudian mendirikan Pesantren Tebuireng di Jombang pada tanggal 3 Agustus 1899 M.
Dari kakeknya inilah, Gus Dur mewarisi nilai-nilai perjuangan, pengabdian dan kepahlawanan.
Pertama, perjuangan untuk mendapatkan ilmu dan wawasan yang kelak bisa bermanfaat untuk
masyarakat luas, kedua, pengabdian sebgai seorang guru dan ulama yang mampu menginspirasi dan
meneruskan pemikiran-pemikiran Islam yang rahmatan lil’ alamin. Gus Dur banyak mendapatkan
pengalam hidup dari sikap dan tindakan yang ditunjukan oleh kakeknya untuk bangsa. Ketiga, semangat
kepahlawanan KH. Hasyim Asy’ari dan teman-teman seperjuangannya melawan penjajah sangat
membekas dan menggugah jiwa Nasionalisme Gus Dur untuk bangkit. Tidak mengherankan jika Gus Dur
Setelah NU berdiri tahun 1926, Kiai Hasyim diangkat menjadi pemimpin agung dan
mendapatkan posisi sebgai kepala Dewan Penasihat Agama. Ia juga diberi gelar kehormatan yaitu Guru
Agung aau Hadratussyaikh dalam Bahasa Arab. Namun diluar kalangan pesantren, kiai Hasyim lebih
dikenal sebagai nasionalis yang sering mengkritik pemerintah colonial Belanda pada saat itu. Pemikiran
kritis kiai Wahid Hasyim ini ternyata diwarisi oleh Gus Dur. Hal ini bisa dilihat dari kritik agama, social,
politik dan kemanusiaan yang kerap dilontarkan Gus Dur melalui tulisan-tulisannya dikemudian hari.
Kakek Gus Dur dari pihak ibu adalah Kiai Bisri Syansuri, yang juga dieknal aktif dalam
pergerakan Nasional. Kiai Bisri Syansuri yang lahir pada September 1886 di Pati Jawa Tengah,
merupakan salah seorang tokoh kunci lahirnya NU. Pada tahun 1917, ia mendirikan pesantren di desa
Denanyar yang terkenal seperti pesantren Tambakberas dan pesantren Tebuireng.(Al-Zastrouw Ng, 2011)
Pesantren Kiai Bisri Syansuri di Denanyar menerapkan system yang sama seperti pesantren Kiai
Hasyim Asy’ari yaitu dengan mengembangkan pertanian, kerohanian dan terkenal dengan pendekatannya
Sebagai diketahui diatas, kedua kakek Gus Dur merupakan ulama besar yang dihormati di
kalangan NU, termasuk ayahnya, Kiai Wahid Hasyim. Ayah Gus Dur bergabung dengan Nahdlatul
Ulama (NU), yang merupakan sebuah organisasi social keagamaan, setelah hamper dua tahun ia
dipromosikan menjadi pengurus besar NU.(Abu Bakar Aceh, 2008) Di Lembaga inilah Wahid Hasyim
mengembangkan ide-ide yang berkaitan dengan pengembangan kurikulum pesantren serta terorganisasi
madrasah-madrasah NU.
Selain mengurus pesantren, Wahid Hasyim juga peduli terhadap perpolitikan di Indonesia pada
masa penjajahan. Ia terlibat dalam pergerakan menentang penjajah. Pada tahun 1940. Wahid Hasyim
menjadi ketua Majelis Al-Islam Al-A’la Indonesia (MIAI) sebuah federasi organisasi-organisasi Islam
Tumbuhnya karakter dan jiwa kepemimpinan dalam diri Gus Dur sangat dipengaruhi dari sikap
dan tindakan yang dilakukan ayahnya, Wahid Hasyim. Sikap cinta tanah air dan demi memajukan bangsa
secara langsung ia dapatkan dari ayahnya. Selain itu Gus Dur juga mendapatkan pengalaman dalam dunia
Setelah ayah Gus dur dilantik sebagai Menteri Agama, Gus Dur belajar di Jakarta dan bersekolah
di SD Matraman Perwari. Setamat Sekolah Dasar ia melanjutkan ke SMEP Gowongan, sambal sekolah
pesantren Krapyak Yogyakarta. Karena merasa jenuh sekolah di pesantren, akhirnya Gus Dur pindah ke
di Pesantren Tegalrejo Magelang Jawa Tengah. Di Pesantren ini Gus Dur diajar oleh kiai Chudhori yang
merupakan sosok kiai humoris dan menjadi panutannya namun setelah dua tahun belajar di Pesantren
Tegalrejo, ia kemudian pindah ke Jombang dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat usianya
menginjak 20 tahun. Gus Dur sudah menjadi seorang Ustadz di pesantren milik pamannya yaitu K.H.
Pembentukan karakter dan pribadi Gus Dur terus berkembang ketika menempuh Pendidikan
akademisnya di pesantren. Selain mendapatkan ilmu Gus Dur juga mendapatkan pelajaran berharga
berupa keteladanan dan pengalaman hidup dari para kiai yang menjadi panutannya. Beberapa kiai inilah
yang mendidik dan membimbing Gus Dur sejak remaja hingga dewasa. ia meneladani sifat kiai Fatah dari
Tambak Beras, seorang yang mempunyai kepribadian kuat dan memiliki sikap teguh dalam memegang
prinsip, disiplin, dan humanis (suka menolong sesame tidak membeda-bedakan). (KH. Ali Maksum,
2010)
Gus Dur lahir dari kalangan keluarga pesantren. Pemikiran Gus Dur tentang Nasionalisme
dipengaruhi oleh lingkungan pesantren yang telah membesarkannya yaitu NU (Nahdlatul Ulama). Dalam
pemikiran NU, khususnya pemikiran para ulamanya diseluruh Nusantara sejak tahun 1926 sudah
mempunyai komitmen tinggi terhadap keutuhan bangsanya. Menurut ulama NU, Nasionalisme sudah
lahir sejak negara Indonesia hidup dalam penjajahan Kolonial Belanda yang begitu Panjang dan
Visi dan misi Gus Dur tentang masa depan Indonesia adalah rakyat Indonesia tumbuh menjadi
bangsa yang demokratis dan toleran terhadap sesamanya, serta menjadi negara yang menjamin warganya
dari berbagai latar belakang yang berbeda. Seluruh warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang
sama, tidak ada diskriminasi dalam kehidupan mereka. Pemikiran-pemikiran Gus Dur yang telah ia tulis
merupakan wujud rasa nasionalismenya terhadap bangsa dan negara Indonesia. Gus Dur memberikan
kritik dan juga gagasan yang merupakan salah satu upaya untuk menjadikan Indonesia negara yang maju,
berakhlak dan damai. Pemikiran Gus Dur bias diangkat sebagai solusi bagi permasalahan bangsa
Indonesia yang terjadi saat ini, karena jarang sekali ditemui pemikiran-pemikiran yang menjungjung
tinggi nilai kamanusiaan, selain itu Gus Dur mengedepankan pentingnya kesejahteraan dan keberpihakan
Dalam sejarah ketatanegaraan “Indonesia Merdeka”, Negara Hukum Indonesia rupanya baru
mengenal dua orde. (Depdikbud RI, 1990) periodesasi, yakni Orde Lama dan Orde Baru. Orde Reformasi
yang muncul taun 1998 terakhir ini, menyusul tumbangnya rezim Soeharto, tampaknya belum jelas visi
Orde Baru adalah suatu istilah umum yang digunakan untuk menamai suatu tatanan pemerintahan
Negara (rezim politik) Republik Indonesia yang berkuasa sejak tahun 1966 hingga Mei 1998 istilah ini
Sosok Gus Dur bukan hanya dipandang sebagai politikus tetapi juga sebagai negarawan yang
selalu memikirkan bangsa. Komitmen terhadap kebangsaan dan tindakannya diwujudkan dalam
pemikiran tentang pembangunan ini. Ketika Abdurrahman Wahid mengkritik perencanaan pembangunan
negara yang tidak sesuai dengan hak-hak fundamental rakyat (the state’s development plans that don’t
comform to people’s fundamental rights), maka Abdurrahman Wahid telah menggerakan dirkursus
Humanitic Economics yang tidak hanya menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai target pembangunan.
14
Sejarah mencatat, sebelum Orde Baru lahir didahului meletusnya tragedi Nasional yang sering disebut
Pembrontakan G 30 S/PKI. Peristiwa ini oleh sebagain orang dianggap sebagai proses bagian dari proses maker
yang dilakukan oleh PKI, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya atau, yang menyebabkan lagi adalah
penggantian Presiden (suksesi) dan seluruh jajarannya. Sebab, Indonesia belum mmepunyai tradisi lain selain
mempunyai dua presiden yang kemudian terjadi dikotonomi Orde Lama dan Orde Baru.Perubahan sistem
pemerintahan dan konstitusipun tidak menjadikan dikotonomi baru.
Meskipun ia pernah mendirikan partai politik dan menjadi Presiden namun ia tetap
mengedapankan rakyat daripada politiknya. Gus Dur merupakan seorang yang rela melakukan apa saja
agar bangsanya tidak tertinggal dan bias menjadi bangsa yang bermartabat. Bentuk nasionalisme yang
dilakukan oleh Gus Dur sudah dibuktikannya jauh sebelum ia menjadi presiden. Pada saat menjadi
presiden, ia semakin menunjukan sikap cinta tanah air sebagai dilihat dari kebijakan-kebijakan yang
diterapkan. Pemikiran dan tindakannya selalu berjalan beriringan dengan kenyataannya. Gus Dur layak
mendapat prdikat sebagai Bapak Bangsa karena pemikiran serta sumbangsih terhadap bangsa Indonesia.
Adapun jenjang pendidikan yang dilewati oleh Gus Dur yakni Padatahun 1953 sampai 1957
belajar di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama(SMEP), Gus Dur tinggal di rumah Kyai Haji Junaid,
mondok di Pesantren Tegalrejo, sebuah pesantren NU terkemukadi Magelang, Jawa Tengah di bawah
bimbingan khusus KH. Chudhori dan Kyaiini pulalah yang memperkenalkan kepada Gus Dur amalan-
amalan ritual danmistik secara mendalam dalam Islam Jawa yang sampai hari ini tetapdiamalkan. Kyai ini
adalah antara lain sosok yang dikagumi Gus Dur karenasosok yang humanis. Di bawah bimbingan Kyai
ini, Gus Dur kerap kalimelakukan ziarah kubur ke beberapa wali di Jawa pada hari-hari tertentu, berdoa
dan membaca al-Qur’an di Candimulyo. Ini semua merupakan pengalaman religius yang memperdalam
Nyantri di Pesantren Krapyak,Yogyakarta dan tinggal di rumah KH. Ali Maksum. Tahun 1959
sampai 1963,Gus Dur belajar di Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang, asuhan kakek dari ibunya,
KH. Bisri Syamsuri. Ketika itu, ia pun diminta mengajar santri-santriwati yang lebih muda termasuk Sinta
Karl Max, filsafat Plato, Thalles, dan novel William Bochner. (Hamidah, 2011)
Masa berikutnya, Gus Dur melanjutkan nyantrinya di Pesantren Tegalrejo, Magelang. Setelah
menghabiskan waktunya selama dua tahun di Pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindahkembali ke Jombang
dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati20 tahun, sehingga di pesantren milik
pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustad dan menjadi ketua keamanan.
Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadahhaji, yang
menguntungkan ketika ia berada di Mesir. Di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang
nasionalis yang dinamis, Kairo pada waktu itumengalami masa keemasan kaum intelektual. Kebebasan
Pada tahun 1966, Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam
yang cukup maju. Di Irak, ia masuk Departement of Religion di Universitas Baghdad sampai tahun 1970.
Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di sana ia
mendapat rangsangan intelektual yang tidakia dapatkan di Mesir. Ia kembali menekuni hobinya secara
Eropa, namun ketatnya persyaratan yang harus dipenuhi, Gus Dur mengurungkan niatnya. Meskipun
urung melanjutkan studi, Gus Dur banyak melakukan kunjungan dari satu universitas ke universitas lain
untuk menambah pengetahuannya. Gus Dur juga berkesempatan untuk melakukan percakapan dan
diskusi mengenai masyarakat dan pemikiran Barat selama ia berada di Eropa. Saat berada di Belanda
selama beberapa bulan, Gus Dur Bersama teman-temannya pada tahun 1970 mendirikan sebuah
Perkumpulan Pelajar bagi Muslim yang tinggal di Eropa, yang beranggotakan orang-orang Indonesia dan
Malaysia.
Untuk biaya hidup di rantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai
pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari
kajian keislaman secara mendalam. Namun pada akhirnya, ia pulang ke Indonesia setelah terilhami
informasi yang menarik seputar perkembangan pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir
Pada awal tahun 1980-an, Gus Dur terjun menjadi pengurus Nahdlatul Ulama (NU) sebagai
Dewan Syuriah (Dewan Penasihat). Awalnya ia menolak untuk menjadi pengurus NU, akan tetapi berkat
bujukan sang kakek akhirnya ia mau bergabung dengan kepengurusan NU, dalam beberapa tahun masa
jabatannya, Gus Dur berhasil mereformasi tubuh NU sehingga membuat Namanya semakin dikenal
dikalangan NU. Pada tahun 1984 ketika Musyawarah Nasional, ia ditunjuk sebagai Ketua Umum PBNU.
Pada masa jabatan pertamnya, Gus Dur berhasil mereformasi system Pendidikan pesantren serta mampu
meningkatkan kualitas Pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekuler. (M. Hamid,
2010)
Filsafat politik yang mendasari pemikiran Gus Dur adalah bagaimana cara mengkombinasikan
ajaran Islam dengan apa yang disebutkan sebagai komitmen kemanusiaan. Menurut Gus Dur sebuah nilai
bias digunakan sebagai dasar bagi penyelsaian tuntas persoalan utama kiprah politik seseorang, yakni
posisi komunitas Islam pada sebuah masyarakat modern dan pluralistic Indonesia. Humanitarianisme
Islam pada intinya adalah menghargai sikap toleran dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap
kerukunan social. Dari kedua elemen asasi inilah sebuah keberadaan politik komunitas Islam negeri ini
Pengalaman politik Gus Dur terbentuk saat ia menjadi ketua umum dewan penasihat PKB (Partai
Kebangkitan Bangsa). Gus Dur ingin memberikan kontribusi yang serius pada perpolitikan Indonesia
yang ia salurkan melalui satu partai yang berbasis keanggotaan NU yang meluas.(Al-Zastrouw Ng, 2011)
Selama berada di PKB ia banyak mendapatkan pengalaman perpolitikan. Dengan adanya PKB, NU
sebagai kekuatan kultural dilengkapi dengan PKB sebagai kekuatan politik, yang merupakan suatu
Gus Dur menulis Artikel yang dimuat di koran Kompas tahun 1998 yang berjudul “Masa Depan
Demokrasi di Indonesia”. Dalam tulisan tersebut ia memaparkan pemikirannya setelah tumbangnya Orde
Baru, ia berpendapat bahwa ia konstelasi politik yang ada pada masa itu belum memungkinkan
tumbuhnya demokrasi di masyarakat Indonesia yang sebenarnya, sebab masih banyak rekayasa dan intrik
Selain itu, masih banyak Lembaga-lembaga pemerintahan yang mempertahankan status-quo. Undang-
undang pemilu dan system politik yang ada masih memungkinkan terjadinya hal itu. Selain itu tradisi
bangsa Indonesia belum melahirkan budaya politik yang sehat. Banyak yang belum sadar akan demokrasi
yang sebenarnya.
Gus Dur mengatakan, Indonesia harus bersedia melakukan perubahan dan pembenahan yang
serius serta efektif terhadap suatu tatanan demokrasi. Perubahan mendasar yang dimaksud adalah pola
hubungan antara pusat dan daerah yang harus berimbang. Menurutnya hal ini penting dilakukan jika
Indonesia ingin tetap menjadi satu negara yang utuh (negara kesatuan) yang adil.
Dalam tulisannya tersebut, Gus Dur membandingkan pelaksanaan demokrasi antara masa Orde
Baru dengan Reformasi. Ia mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia belum berjalan dengan baik
walaupun rezim Orde Baru sudah tumbang. Demokratisitas belum berjalan dengan baik, serta tatanan
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah seorang tokoh muslim yang mempunyai hubungan
gagasan pemikiran yang jernih, kontrovesial, baik yang berhubungan dengan masalah keagamaan ataupun
masalah politik dan bahkan sampai masalah keagamaan. Oleh karena itu tingginya keilmuan
Abdurrahman Wahid menjadikan berapa ilmuan mencoba mengelaborasi pemikiran tokoh tersebut. Disini
hanya akan disinggung sebagian dari buku-buku atau tulisan-tulisan beliau secara serius khususnya
5. buku Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita, ini berisi 94 artikel yang ditulis dalam rentang antara
awal 2002 hingga awal 2004, setelah Gus Dur diturunkan secara politis lewat Sidang Istimewa
MPR pada 23 Juli 2001. Peristiwa pendongkelan itu pun menjadi salah satu peristiwa yang
disinggung dalam tulisannya di buku setebal 412 halaman ini. jelas merangkum beragam dimensi
yang luas dari Gus Dur. Tulisan-tulisan ini merambah beragam isu, dari kajian keislaman ala
pesantren, hingga isu hubungan internasional; dari budaya hingga ekonomi Islam. Di buku yang
diberi kata pengantar M. Syafii Anwar ini, tulisan-tulisan Gus Dur dibagi dalam tujuh bab.
Pertama, Islam dalam Diskursus Ideologi, Kultural, dan Gerakan; kedua, Islam, Negara dan
Kepemimpinan Umat; ketiga, Islam, keadilan dan HAM; keempat, Islam dan Ekonomi
Kerakyatan; Kelima Islam, Pendidikan, dan Masalah Sosial Budaya; keenam, Islam tentang
6. Buku Islam Kosmopolitan : Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, Di dalam buku
ini terdapat tiga peta pemikiran Gus Dur yang dibagi atas tiga bab. Pertama menyangkut ajaran,
transformasi dan pendidikan agama. Kedua, mengenai nasionalisme, gerakan sosial dan anti
kekerasan dan terakhir membahas pluralisme, kebudayaan dan hak asasi manusia. Masing-masing
bab memuat sepuluh karya tulis Gus Dur. Ketiga bab tersebut sangat terpengaruh oleh kehidupan
7. Buku Pergulatan Negara Agama dan Kebudayaan. Karya ini diterbitkan pada tahun 2001 oleh
penerbit Desantara, di dalamnya dijelaskan, negara tidak pernah ada dan tidak seharusnya
berhubungan dengan kebudayaan. Karena kebudayaan merupakan seni hidup atau kehidupan
sosial manusiawi yang terbangun dari interaksi antar manusia; individu maupun kelompok.
8. Buku Kiai Nyentrik Membela Pemerintah. Buku ini tipis saja, hanya berisi 26 artikel Gus Dur
tentang kiai, tentnag ulama, tentang guru Gus Dur, tentang teman-teman Gus Dur sesama kiai. M.
SObary dalam pengantarnya menyebut buku ini sebagai “antropologi kiai”. Meskipun tipis, tapi
buku ini mengabarkan kepada kita, bahwa Gus Dur demikian luas dan dalam menguasai
dunianya: pesantren.
18. Buku “Mengatasi Krisis Ekonomi Membangun Ekonomi Kelautan Tinjauan Sejarah dan
19. Buku “Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser, 2002”,
24. Buku “Tabayun Gus Dur : Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural, 1998”,
25. Buku “Islam Indonesia: Legitimasi dan Resistensi Kultural Gus Dur di Era Orde Baru, 1998”,
26. Buku “Sebuah Dialog Mencari Kejelasan: Gus Dur diadili Kiai-kiai, 1989”,
BAB III
PEMBAHASAN
Islam adalah agama yang secara tegas menyatakan bahwa kehadirannya hanyalah untuk menjadi
rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil alamin). Dengan dasar ini, ajaran Islam harus dikembangkan
sebagai sumber nilai untuk mewujudkan kedamaian, keadilan dan kemakmuran bagi semua umat tanpa
Agama Islam dalam pandangan Gus Dur Islam sangat mendukung nasionalisme. Ia menyatakan
bahwa ada hubungan antara Islam dan Nasionalisme dalam kaitan hidup bernegara. Dimana agama
(Islam) mampu memberi kontribusi positif dalam nasionalisme Indonesia.(Abdurrahman Wahid, 2007)
Ia mengatakan bahwa tidak ada konsep dalam Islam. Ia menilai gagasan mengenai negara Islam
tidaklah konseptual, dan tidak diikuti oleh mayoritas muslim. Akan tetapi hanya pandangan sebagai kecil
yang memandang Islam dari sudut institusional saja. 15 Maka perlu ada upaya menanamkan, menumbuh
kembangkan dan memelihara wawasan kebangsaan masyarakat melalui sentra-sentra Pendidikan seperti
sentra keluarga masyarakat dan sekolah, yang disebut pula sebagai tri sentra.
Dalam hubungan Islam dan Nasionalisme, Gusdur Menjelaskan bahwa Islam tidak mengenal
doktrin tentang negara, Doktrin Islam tentang negara adalah doktrin tentang keadilan dan
kemasyarakatan. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terdapat doktrin tentang keadilan dan
kemakmuran. Tak ada pula doktrin bahwa negara harus berbentuk formalisme negara Islam, demikian
Azyumardi Azra17 memberikan pengertian korelasi Syariah dan HAM sejauh ini, kerap kali ketika
berbicara Syariah, maka akan muncul dibenak adalah sesuatu yang “amat” menyeramkan. Sebab,
pemahaman Syariah kemudian berkembang menjadi negara Islam dan selanjutnya muncul hokum potong
tangan dan jihad. Inilah pemahaman tentang Syariah yang berkembang di tengah-tengah masyarakat
Indonesia. Hal ini dipicu oleh adanya pandangan yang tidak menginginkan formalisasi syariat Islam di
Indonesia. Sebaliknya, pandangan yang menghendaki formalisasi syariat Islam dicap Islam
fundamentalis, Islam formalistic, Islam liberal. Pada gilirannya, mereka menjadi momok yang sangat
menakutkan dan harus ditakuti. Begitu juga pandangan kelompok kedua kelompok pertama, dipandang
Pemikiran Gus Dur tersebut sejalan dengan pemikiran Qamaruddin Khan, Dosen Universitas
Karachi, yang mengatakan bahwa tujuan Al-Qur’an bukanlah menciptakan sebuah negara melainkan
sebuah masyarakat, sehingga tidak adanya bentuk negara yang baku dalam Islam membawa hikmah
tersendiri. Oleh karena itu, apapun bentuknya seta wujud suatu negara jika di dalamnya terbentuk sebuah
masyarakat Qur’ani, maka itu pun sudah merupakan tanda-tanda negara Islam. 18 Ketidak jelasan resmi
15
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam anda, Islam kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hlm. 84.
16
Wawancara D&R dengan Gus Dur, “Politik sebagai Moral, Bukan Institusi” dalam Tabayun Gus Dur, (Yogyakarta:
LKiS, 1998), hlm. 235.
17
Azyumardi Azra, Wajah Baru Islam di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 103.
18
Asghar Ali Enginer, Devolusi Negara Islam, Terj. Imam Muttaqin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 59.
tentang negara memungkinkan Islam untuk mengikuti kemajuan zaman dan menyesuaikan diri terhadap
Keinginan Gus Dur untuk tidak memformalkan Islam sebagai ideologi dan acuan formal dalam
bernegara sejalan dengan keinginan sebagian besar warga negara yang mayoritas Islam. Tampak bahwa
gusdur tidak memformalkan Islam dalam memperjuangkan Islam dalam negara yang bukan berasaskan
Islam. Menurutnya, bangsa dan negeri ini bukanlah milik golongan Islam semata, tetapi juga selainnya. 20
Hal ini juga sesuai dengan perjuangan pluralis Gus Dur. Akan tetapi asas tunggal sudak tidak berlaku
lagi, maka perjuangan pluralisme yang lain yang diusahakan Gus Dur adalah perjuangan pluralis agama.
Maksudnya tidak bersikap diskriminatif terhadap agama selain Islam. Dalam negeri yang plural seperti
Indonesia, harus diberi kesempatan menjalankan dan mengamalkan syariat agamanya sesuai keyakinan
Pernyataan diatas bukan berarti bahwa bangsa Indonesia sebagian besar berpaham sekuler dalam
arti hendak memisahkan urusan agama dari negara tetapi tidak lebih pada keadaan kemajemukan latar
belakang agama, budaya, suku, dan kelompok. Bahkan jika Indonesia menjadi negara Islam dan Islam
diterima sebagai dasar negara, akan terjadi perpecahan dikalangan rakyat Indonesia karena tidak seluruh
Berdasarkan pemikiran diatas, NU adalah organisasi Islam pertama yang menerima kehadiran
Pancasila sebagai ideologi negara. Gus Dur dengan penuh keyakinan menjelaskan bahwa negara yang
berideologi Pancasila termasuk negara damai yang harus dipertahankan, karena Syariah dalam bentuk
hokum, agama, fikih, atau etika masyarakat masih dilaksanakan oleh kaum muslimin di dalamnya
sekalipun hal itu tidak diikuti dengan legalisasi dalam bentuk undang-undang negara. Bila etik
kemasyarakatan dijalankan, taka da alas an selain mempertahankannya sebagai kewajiban agama. Dari
19
Muh. Rusli, Pemikiran Keagamaan & Kebangsaan Gus Dur, Volume 12 No. 1 juni 2015, hlm. 6.
20
Abdurrahman Wahid, “ Mencari Sintesa Agama-Negara” dalam YB. Sudarmanto, dkk, H. Mathori Jalil, Dari NU
untuk kebangkitan Bangsa, (Jakarta: PT. Grasindo, 1999), hlm. XIV-XV.
Gus Dur berusaha memberikan sinergi memparelelkan hubungan agama dan negara. Dalam
pemikirannya, ia melihat besarnya hambatan dalam proses pembangunan yang diakibatkan oleh
kesalahpahaman yang sangat besar terhadap ideologi-ideologi negara yang sedang berkembang. 21 Upaya
Gus Dur ini tidak lepas dari peran bapaknya sebagai perumus konsep kenegaraan. Gus Dur menambahkan
bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan Nasionalisme. Islam bias berkembang secara spiritual
dalam sebuah negara nasional yang tidak secara formal berdasarkan pada Islam.
Gus Dur menjelaskan lebih lanjut bahwa kejelasan soal pemilahan antara agama dan negara ini
perlu dirumuskan lebih jauh, karena ketakutan akan hilangnya aspek-aspek keagamaan dari kehidupan
pemerintahan kita itulah yang justru menimbulkan kebutuhan semu yang dirasakan sebagai sesuatu yang
serius (oleh yang merasakannya) untuk melakukan formalisasi fungsi keagamaan dari pemerintah di
bidang agama…22
Dari penjelasan Gus Dur diatas, lantas muncul pertanyaan dimana peran agama dalam perkara
kenegaraan dan politik? Untuk hal ini Gus Dur secara tegas menggaris bawahi peranan agama sebagai
etika social yang berarti Islam berfungsi komplementer dalam kehidupan negara. Memaksakan Islam
pada fungsi suplementer dalam negara hanya akan menjadikan Islam tersebut dari nilai-nialai
fundamentalnya yang kondusif bagi tegaknya keadilan, egalitarianism dan demokrasi. Hal ini belum
banyak diangkat oleh pemikir Islam Indonesia lainnya. Sayangnya, Gus Dur tidak mengebolarasi visi
etika sosialnya dalam bentuk yang lebih mapan. Islam berfungsi dalam kehidupan bangsa dalam dua
bentuk. Pertama adalah akhlak masyarakat (etika social) warga masyarakat, sedangkan bentuk. Kedua,
adalah partikel-partikel dirinya yang dapat diundangkan melalui proses consensus (Undang-undang
seperti undang-undang No. 1/1974 tentang perkawinan, Undang-undang Peradilan agama No. 7/1989). 23
21
KH. Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 2.
22
K.H. Abdurrahman Wahid, “Kata Pengantar”, dalam Einar M. Sitompul, Nahdlatul Ulama dan Pancasila, (Jakarta:
Sinar Harapan, 1989), hlm. 15.
23
K.H. Abdurrahman Wahid, “Islam, Ideologi dan Etos Kerja Indonesia” dalam Budhy Munawar Rahman (Ed),
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1994), hlm. 585.
Dari sini jelas bahwa Gus Dur tidak pernah memimpikan sebuah negara yang menganut ideologi
Islam secara formal tetapi nilai-nilai Islam tertanam dalam setiap pribadi muslim Indonesia. Cita-cita Gus
Dur seperti ini menurut Soelastomo menjadi sebuah garansi bahwa Gus Dur akan berhasil memimpin
Indonesia. Karena wawasan keagamaan yang dimilikinya sarat dengan wawasan kebangsaanya. 24
Etika social yang dikembangkan Gus Dur memunculkan pertanyaan, bagaimana pengaruhnya
terhadap proses perjalanan pemerintahan. Soalnya, Gus Dur berada di luar pemerintahan bahkan sangat
oposan terhadap segala kebijakan pemerintahan Orde Baru waktu itu. Sementara itu, apa yang disebutnya
dengan partikel-partikel agama yang bias masuk ke dalam negara dalam bentuk undang-undang oleh Gus
Dur dijelaskan lebih lanjut bahwa Islam sebagai agama memberlakukan nilai-nilai normative dalam
kehidupan perorangan maupun kolektif para pemeluknya, sedangkan negara seperti republic Indonesia
tidak akan memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima oleh semua warga negara, yang berasal dari
agama dan pandangan hidup yang berlainan. Dengan kata lain, tidak semua nilai-nilai normative yang
dimiliki oleh Islam dapat diberlakukan dalam kehidupan bernegara kita di negeri ini.
Kakek Gus Dur dari pihak Ayah, Kiai Hasyim Asy’ari, lahir di Jombang pada bulan Februari
1871. Ia adalah seorang tokoh pendiri NU pada tahhun 1926. Kiai Hasim Asy’ari selain dikenal sebagai
ulama, juga merupakan seorang guru yang banyak memberi inspirasi bagi masyarakat. Ia merupakan
seorang nasionalis yang ikut dalam memperjuangkan Indonesia melawan penjajah. Teman-teman
seperjuangannya banyak yang merupakan tokoh terkemuka Gerakan nasionalis pada masa Kolonial.
Kiai Hasyim Asy’ari tidak hanya mengurus dunia pesantren yang didirikannya, tetapi juga
berperan dalam membela negara melawan penjajah. Semangat kepahlawanannya sangat tinggi.(Charul
Anam Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Surabaya: PT Duta Aksara Mulia, 2010, hlm.
24
Soelastomo, “Dwi Tunggal Gus Dur-Mega”, dalam Kompas, 29 November 1999.
58.)Ia di didik dan dibimbing mendalami pengetahuan Islam oleh ayahnya sendiri, sedemikian rupa
sehingga menjadi tokoh Islam yang dikenal pintar dan berwawasan luas terhadap ilmu agama (Islam).
KH. Hasyim Asy’ari berkelana ke berbagai pesantren terkenal di Jawa saat itu banyak menghabiskan
waktunya untuk mempelajari Islam di Makkah dan Madinah. Setelah kembali dari Makkah dan Madinah,
Dari kakeknya inilah, Gus Dur mewarisi nilai-nilai perjuangan, pengabdian dan kepahlawanan.
Pertama, perjuangan untuk mendapatkan ilmu dan wawasan yang kelak bisa bermanfaat untuk
masyarakat luas, kedua, pengabdian sebgai seorang guru dan ulama yang mampu menginspirasi dan
meneruskan pemikiran-pemikiran Islam yang rahmatan lil’ alamin. Gus Dur banyak mendapatkan
pengalam hidup dari sikap dan tindakan yang ditunjukan oleh kakeknya untuk bangsa. Ketiga, semangat
kepahlawanan KH. Hasyim Asy’ari dan teman-teman seperjuangannya melawan penjajah sangat
membekas dan menggugah jiwa Nasionalisme Gus Dur untuk bangkit. Tidak mengherankan jika Gus Dur
Setelah NU berdiri tahun 1926, Kiai Hasyim diangkat menjadi pemimpin agung dan
mendapatkan posisi sebgai kepala Dewan Penasihat Agama. Ia juga diberi gelar kehormatan yaitu Guru
Agung aau Hadratussyaikh dalam Bahasa Arab. Namun diluar kalangan pesantren, kiai Hasyim lebih
dikenal sebagai nasionalis yang sering mengkritik pemerintah colonial Belanda pada saat itu. Pemikiran
kritis kiai Wahid Hasyim ini ternyata diwarisi oleh Gus Dur. Hal ini bisa dilihat dari kritik agama, social,
politik dan kemanusiaan yang kerap dilontarkan Gus Dur melalui tulisan-tulisannya dikemudian hari.
Kakek Gus Dur dari pihak ibu adalah Kiai Bisri Syansuri, yang juga dieknal aktif dalam
pergerakan Nasional. Kiai Bisri Syansuri yang lahir pada September 1886 di Pati Jawa Tengah,
merupakan salah seorang tokoh kunci lahirnya NU. Pada tahun 1917, ia mendirikan pesantren di desa
Salahudin Wahid, Transformasi Pesantren Tebuireng: Menjaga Tradisi di Tengah Tantangan, Malang: UIN-
25
29.)
Pesantren Kiai Bisri Syansuri di Denanyar menerapkan system yang sama seperti pesantren Kiai
Hasyim Asy’ari yaitu dengan mengembangkan pertanian, kerohanian dan terkenal dengan pendekatannya
Sebagai diketahui diatas, kedua kakek Gus Dur merupakan ulama besar yang dihormati di
kalangan NU, termasuk ayahnya, Kiai Wahid Hasyim. Ayah Gus Dur bergabung dengan Nahdlatul
Ulama (NU), yang merupakan sebuah organisasi social keagamaan, setelah hamper dua tahun ia
dipromosikan menjadi pengurus besar NU.(Abubakar Aceh, Sedjarah Hidup K.H.A Wahid Hasyim dan
Karangan Tersiar, 2008, Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. K.H.A Wahid Hasyim, 1957, hlm. 161.)
Selain mengurus pesantren, Wahid Hasyim juga peduli terhadap perpolitikan di Indonesia pada
masa penjajahan. Ia terlibat dalam pergerakan menentang penjajah. Pada tahun 1940. Wahid Hasyim
menjadi ketua Majelis Al-Islam Al-A’la Indonesia (MIAI) sebuah federasi organisasi-organisasi Islam
Tumbuhnya karakter dan jiwa kepemimpinan dalam diri Gus Dur sangat dipengaruhi dari sikap
dan tindakan yang dilakukan ayahnya, Wahid Hasyim. Sikap cinta tanah air dan demi memajukan bangsa
secara langsung ia dapatkan dari ayahnya. Selain itu Gus Dur juga mendapatkan pengalaman dalam dunia
Gus Dur lahir dari kalangan keluarga pesantren. Pemikiran Gus Dur tentang Nasionalisme
dipengaruhi oleh lingkungan pesantren yang telah membesarkannya yaitu NU (Nahdlatul Ulama). Dalam
pemikiran NU, khususnya pemikiran para ulamanya diseluruh Nusantara sejak tahun 1926 sudah
mempunyai komitmen tinggi terhadap keutuhan bangsanya. Menurut ulama NU, Nasionalisme sudah
lahir sejak negara Indonesia hidup dalam penjajahan Kolonial Belanda yang begitu Panjang dan
melelahkan serta mengakibatkan penderitaan rakyat Indonesia.(A Shiddiq Sugiarto, Mukafi Niam, Hubbul
Visi dan misi Gus Dur tentang masa depan Indonesia adalah rakyat Indonesia tumbuh menjadi
bangsa yang demokratis dan toleran terhadap sesamanya, serta menjadi negara yang menjamin warganya
dari berbagai latar belakang yang berbeda. Seluruh warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang
sama, tidak ada diskriminasi dalam kehidupan mereka. Pemikiran-pemikiran Gus Dur yang telah ia tulis
merupakan wujud rasa nasionalismenya terhadap bangsa dan negara Indonesia. Gus Dur memberikan
kritik dan juga gagasan yang merupakan salah satu upaya untuk menjadikan Indonesia negara yang maju,
berakhlak dan damai. Pemikiran Gus Dur bias diangkat sebagai solusi bagi permasalahan bangsa
Indonesia yang terjadi saat ini, karena jarang sekali ditemui pemikiran-pemikiran yang menjungjung
tinggi nilai kamanusiaan, selain itu Gus Dur mengedepankan pentingnya kesejahteraan dan keberpihakan
Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dari bab II sampai bab III, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
berbagai problem keagamaan dan kebangsaan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Baginya, doktrin
Islam tentang negara adalah doktrin tentang keadilan dan kemasyarakatan. Untuk itu, ideologi yang
relevan bagi Indonesia adalah ideologi Pancasila; selain itu, demokrasi adalah kebebasan, keadilan,
dan musyawarah. Demokrasi harus diperjuangkan sistemik, kultural dan kontinyu tanpa radikalisme;
Untuk itu, pluralisme adalah jaminan bagi setiap warga Indonesia untuk beribadah sesuai dengan
agama dan keyakinannya dengan rasa aman. Pluralisme dapat dibangun dengan karangka Ukhuwah
Pribumisasi dan Indonesianisasi, adalah upaya kontekstualisasi ajaran Islam, menghargai hasil budaya
dan kreatifitas bangsa sendiri. Islam Indonesia memiliki khasanah tersendiri dalam mengapresiasi
ajaran agama.
Menyikapi pokok-pokok pikiran Gus Dur, maka wajar jika ia dikategorikan sebagai pemikir
Islam yang inspiratif. Penghargaannya dan penerimaan terhadap pluralisme dan nilai-nilai
demokratisasi termasuk hubungan agama dan negara. Selain itu, nilai-nilai pluralistik telah dirajuk ke
dalam struktur iman (Islam) sebagai nilai inti Islam itu sendiri. Baginya itulah Islam, agama yang
berfungsi untuk memberikan solusi bagi setiap persoalan umat tetapi sebaliknya agama justru menjadi
problem bagi umat. Gagasangagasan yang telah dibangun oleh Gus Dur banyak menginspirasi
kalangan muda Indonesia untuk keluar dari belenggu sebagaimana Gus Dur terkadang keluar dari
pemikiran NU yang membesarkannya. Pemikiran Gus Dur juga telah membawa angin segar bagi
kehidupan beragama di Indonesia, hak-hak minoritas pun mulai diperhatikan. Lahirnya gagasan
kearifan lokal sebagai solusi konflik merupakan bukti bahwa dewasa ini penghargaan kepada sesuatu
yang sifatnya lokal/minoritas kini telah mendapat pengakuan, bahkan dianggap bisa menjadi solusi di