Anda di halaman 1dari 16

PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DAN POLITIK DI INDONESIA

ARTIKEL

Disusun untuk”memenuhi tugas”mata”kuliah Pemikiran Politik Islam


Kotemporer

yang diampu Bapak Dosen Prof. Dr. Zainuddin Syarif, M.Ag.

Disusun”Oleh
Kelompok 1 :

NURUL IMAN ADIANTA [21382071068]


NUR KHOLISATUL IMANI [21382072039]
ACH TAUFIKUR ROHMAN [20382071003]

PROGRAM STUDI HUKUM”TATA”NEGARA


FAKULTAS”SYARIAH
INSTITUT”AGAMA ISLAM NEGERI”MADURA
2024

ii
BAB”I
“PENDAHULUAN”
A. “Latar Belakang
Di dalam Islam, terdapat keyakinan yang kuat bahwa kekuasaan
tertinggi dalam ranah politik adalah milik Allah SWT semata, dan otoritas
kekuasaan harus bersumber dari-Nya. Konsep ini dikenal sebagai "siyāsah
ilāhiyyah wa inābah nabawiyyah," yang menunjukkan bahwa tatanan politik
haruslah berada dalam kerangka yang sesuai dengan ajaran Allah dan
petunjuk yang diberikan melalui nabi-nabi-Nya. Dalam pemikiran Maududi,
ini berkaitan dengan gagasan politik keadilan (siyāsah 'adilah), yang
merupakan dasar dari pemerintahan Islam mulai dari masa Nabi Muhammad
hingga masa kini.1
Islam sebagai agama yang komprehensif, memberikan panduan dalam
berbagai aspek kehidupan, termasuk politik. Pada masa awal Islam, politik
Islam berkembang berdasarkan wahyu dan praktik Nabi, seperti pada saat
Nabi Muhammad Saw membangun Komunitas Islam di Madinah pada tahun
622 M, sehingga diteruskannya kepada para Khulafaurasyidin (Sahabat Nabi)
dan Berkembang seiring sejarah yaitu munculnya Dinasty Bani Umayah dan
Abbasiyah dan mengalami kemunduran pada abad 10 M sehingga Pemikiran
Politik Islam Pada saat itu terjadi pergeseran Nilai-nilai pemikiran dari
kalangan islam Yaitu adanya Budaya Barat yang lebih mendominasi dan
Mulai pada saat abad 19 M Pemikiran Islam dan Politik mulai Berkembang
lagi sehingga melahirkan Pembaruan Adanya Pemikiran Islam dan Politik
dari Kalangan Tokoh Agama Terkemuka seperti Amaluddin al-Afghani,
beliau Seorang Aktivis Politik dan Nasionalis di Negara Afganistan, Iran,
Mesir pada saat abad 19 M, Peran beliau terdahulu Menentangkan
Penjajahan dari Negara Barat dan mengajak seluruh umat islam agar
melawan Penjajahan dari Negara Barat.2
Pembaruan Pemikiran Islam dan Politik di Negara Indonesia
dilatarbelakangi sejak pada Penjajahan jaman Belanda selama 350 tahun
sehingga membawa dampak besar bagi umat Islam di indonesia seperti
halnya memecah atau melemahkan pengaruh Islam dalam Kehidupan Politik,
hingga pada Abad 19 Munculnya pergerakan Nasional Islam serta Berdirinya
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, hingga pada abad ke 20
munculnya pelopor para cendikiawan dan aktivis yang terinpirasi ide ide
yang modern seperti halnya Nasionalisme dan Demokrasi.3
Pada Penelitian Ini Memfokuskan Terkait Pembaruan Pemikiran Islam
dan Politik yang ada di Negara Indonesia Khususnya Terkait Peran Penting
Tokoh Terkemuka Pemikiran Islam dan Politik, pada penelitian ini Mengkaji
1 Said Amirul Kamar dan Eka Januar, “Politik dan Pemerintahan Islam”, (Zahir Publishing,
IKAPI Yogyakarta, 2020), 2
2 Arbi Mulya Sirait, “Jamaluddin Al-Afghani dan Karir Politiknya”, (Jurnal Intelektual, Vol 10,

No 2 Agustus : 2020), 169-170


3 Alhilal Yusril Hawari, Utang Suwaryo, Dede Sri Kartini, Perbandingan Peran Nahdlatul

Ulama dan Muhammadiyah dalam Politik di Indonesia”, (Jurnal Pemerintahan dan Kebijakan,
Vol 5 No 1, Bandung : 2023), 47-50

3
dari Penelitian Sebelumnya dari M. Rahmat Effendi, dengan Judul “Pemikiran
Politik Islam di Indonesia Antara Simbolistik dan Substantivistik (Kajian Pra,
Masa, dan Pasca Orde Baru)” Jurnal Sosial dan Pembangunan MIMBAR Vol 19,
No 1, 2003
Dimana Penelitian Sebelumnya menjelaskan terkait Bagaimana Pemikiran
Islam dan Politik pada masa Pra Orde baru sampai Pasca Orde Baru tetapi
hanya menjelaskan tidak secara Detail atau Ekplisit seperti hal nya tidak
menjelaskan secara detail peran NU dan Muhammadiyah dalam Pemikiran
Islam dan Politik, tidak menjelaskan Para Tokoh yang berperan dalam
Pemikiran Islam dan Pollitik di Indonesia, sehingga pada Penelitian ini Akan
melanjutkan keterkaitan dari Pemikiran Politik islam yang Terbarukan.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Sejarah Masuknya Pemikiran Islam dan Politik di Indonesia
Sejarah Singkat dalam rentang waktu dari abad ke-19 hingga abad ke-
21, hubungan antara agama dan negara menjadi fokus perhatian yang besar
di kalangan masyarakat Muslim. Para pemikir politik Islam dari berbagai
belahan dunia tertarik pada wacana mengenai hubungan ini. Meskipun
prinsip-prinsip Islam terkait dengan urusan politik dan pemerintahan
tersedia dalam Alquran dan Hadis Nabi secara umum, namun dalam
praktiknya, terjadi beragam interpretasi dan pemikiran di kalangan pemuka
agama dan mujtahid Islam. Hal ini disebabkan oleh kompleksitas situasi
politik, sosial, dan budaya serta pengaruh dari berbagai aliran filsafat pada
masa tersebut. Ini menjadikan tafsir dan pandangan tentang hubungan Islam
dengan pemerintahan menjadi beragam dan terus berkembang seiring
waktu.4 Secara global, terdapat tiga aliran utama dalam pemikiran tentang
hubungan antara Islam dan ketatanegaraan.
Pertama, ada pandangan yang meyakini bahwa Islam merupakan
agama yang menyeluruh dan mencakup pengaturan bagi semua aspek
kehidupan manusia, termasuk tata negara. Dalam pandangan ini, prinsip-
prinsip Islam harus diimplementasikan secara penuh dalam struktur negara
dan kebijakan publik. Kedua, terdapat pandangan yang menafsirkan Islam
sebagai agama yang terpisah dari urusan negara. Pandangan ini seringkali
didasarkan pada argumen bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah
SWT, bukan sebagai kepala negara. Dalam konteks ini, agama dipandang
sebagai urusan individu dan spiritual, sedangkan negara adalah lembaga
yang terpisah dengan aturan-aturan yang lebih sekuler atau berdasarkan
kebijakan non-agama. Ketiga, ada aliran yang menolak pandangan ekstrem
dari kedua aliran sebelumnya. Mereka mengakui bahwa Islam memiliki
seperangkat nilai etika bagi kehidupan bernegara, meskipun tidak
memandang Islam sebagai dasar ideologi negara.
di Indonesia, negara dengan mayoritas penduduk Muslim, peran
agama dalam menanggapi berbagai masalah sosial semakin terlihat dan
penting. Hal ini juga mencakup bagaimana hubungan antara Islam dan
4 Abd Wahid, “Pemikiran Politik Islam”, (Banjarmasin, Ilmu Ushuluddin, Vol 9 No 1 : 2010), 3

4
negara ditempatkan dan dipahami dalam konteks masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, Indonesia menghadapi tantangan dan pertanyaan
mengenai bagaimana Islam dan negara berinteraksi, serta sejauh mana
agama dapat memengaruhi kebijakan publik dan tatanan sosial dalam negara
yang memiliki keragaman agama dan kepercayaan. Diskusi tentang
hubungan ini telah menjadi topik yang intens diperdebatkan, mengingat
kompleksitas masalah tersebut. Sejarah hubungan antara Islam dan negara di
Indonesia mencerminkan dinamika yang kompleks, dengan sebagian besar
babak sejarahnya dipenuhi dengan kisah antagonis dan kecurigaan antara
kedua pihak. Salah satu perbedaan utama yang muncul adalah apakah negara
ini seharusnya bercorak "Islam" atau "nasionalis". Perdebatan ini
mencerminkan pertarungan ideologis yang mendalam tentang arah dan
identitas negara Indonesia yang baru merdeka.
Tipologi(Klasifikasi) pemikiran tentang relasi Islamm dan negara di
Indonesia mencakup berbagai corak, yang dipengaruhi oleh dinamika
pemikiran dan gerakan pembaharuan. pengaruh-pengaruh utama dalam
pemikiran politik Islam di Indonesia. Pertama, terdapat pengaruh ide-ide
pembaharuan yang dipelopori oleh tokoh seperti Muhammad Abduh, yang
cenderung bersifat rasional-liberal. Ide-ide ini kemudian berpadu dengan
pemikiran Wahabiyyah yang lebih skriptural-formal di Indonesia.
Pendekatan rasional-liberal menekankan pada penafsiran yang lebih
kontekstual dan rasional terhadap ajaran Islam, sementara pemikiran
Wahabiyyah cenderung lebih konservatif dan mengutamakan ketaatan
terhadap teks-teks agama secara harfiah. Di sisi lain, masih ada pengaruh
yang kuat dari tradisi keilmuan yang dipelihara oleh para kyai melalui
pesantren. Tradisi ini menjadi basis bagi kelompok tradisionalis Islam di
Indonesia. Para kyai, sebagai pemimpin spiritual di pesantren, memainkan
peran penting dalam melestarikan ajaran Islam tradisional dan
mempertahankan nilai-nilai keagamaan yang diwarisi dari generasi ke
generasi.
dialektika antara modernis dan tradisionalis dalam pemikiran politik
Islam. Perdebatan antara kedua pandangan ini melahirkan pemikiran neo-
modernisme Islam. Namun, sebelum membahas lebih lanjut mengenai
pemikiran neo-modernisme tersebut, penting untuk membedakan antara
Islam sebagai wahyu atau ajaran ilahi, dan pemikiran Islam sebagai
interpretasi subjektif terhadap pesan obyektif Tuhan. Islam dipandang
sebagai wahyu atau ajaran ilahi yang terdapat dalam Alquran dan Hadis,
sementara pemikiran Islam adalah hasil interpretasi subjektif terhadap
pesan obyektif Tuhan. Pemikiran Islam merupakan hasil dari upaya manusia
untuk memahami dan menerapkan ajaran agama dalam konteks sosial,
budaya, dan historis tertentu. Karena bersifat subjektif, pemikiran Islam
dapat berubah sesuai dengan konteks dan pemahaman individu terhadap

5
ajaran Tuhan.5
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha,
mengenai hubungan antara Islam dan negara serta bentuk pemerintahan
yang diinginkan dalam konteks Islam. pandangan dan gagasan yang diusung
oleh Al-Afghani, seorang pemikir politik Islam yang terkenal. Al-Afghani
menganjurkan pembentukan Jamiah Islamiyah, sebuah organisasi politik
dengan tujuan untuk menyatukan umat Islam di seluruh dunia. Tujuan utama
dari organisasi ini adalah untuk membina kesetiakawanan dan persatuan
umat Islam serta menentang kolonialisme dan dominasi Barat yang telah
lama mempengaruhi dunia Islam.
Selain itu, Al-Afghani juga menginginkan bentuk republik bagi negara-
negara Islam. Republik ini akan didasarkan pada prinsip-prinsip kebebasan
berpendapat dan keharusan bagi kepala negara untuk tunduk pada undang-
undang. Dengan demikian, Al-Afghani mengusulkan suatu model negara
Islam yang tidak hanya menegakkan nilai-nilai kebebasan dan keadilan,
tetapi juga memperjuangkan persatuan umat Islam dalam menghadapi
tantangan kolonialisme dan dominasi Barat. Muhammad Abduh, murid Al-
Afghani, lebih menekankan pada dinamisme dalam bentuk pemerintahan
Islam. Baginya, bentuk pemerintahan tidaklah menjadi fokus utama, asalkan
bersifat dinamis dan mampu mengikuti perkembangan masyarakat dan
kebebasan berfikir. Dia mengkritik kejumudan umat Islam akibat
pemerintahan yang sewenang-wenang dan absolut, dan menekankan
pentingnya ijtihad untuk menyesuaikan syariat Islam dengan dinamika
zaman.6
Menurut Bahtiar efendi di Indonesia, terjadi konflik atau antagonisme
politik antara Islam dan negara. Konflik ini sebagian besar dipicu oleh
idealisme dan aktivisme politik Islam yang cenderung menekankan pada
aspek hukum formal dan struktural dalam negara, seringkali dianggap
legalistik dan formalistik. Bahtiar Effendy mengamati bahwa ketegangan
antara Islam dan negara di Indonesia sering kali disebabkan oleh pandangan
yang berbeda dalam memahami dan mengimplementasikan prinsip-prinsip
agama dalam ranah politik. Aktivisme politik Islam, yang terfokus pada aspek
legalitas dan formalitas hukum, dapat menimbulkan ketegangan dengan
negara yang berupaya untuk mempertahankan kedaulatan dan stabilitas
berdasarkan konstitusi dan hukum sekuler. Argumentasinya adalah bahwa
fokus terlalu banyak pada formalisme dan legalisme dalam politik Islam telah
menyulitkan terciptanya hubungan yang harmonis antara Islam dan negara
di Indonesia. Effendy berpendapat bahwa melalui transformasi intelektual,
sikap negara terhadap politik Islam dapat berubah, mengarah pada

5 Ach. Khoiri, “Pemikiran Politik Islam di Indonesia (Study Pemikiran KH. Abdurrahman
Wahid tentang Hubungan Islam dan Negara)”, (Pamekasan, Jurnal Hukum dan Keadilan, Vol
3 No 1, 2019), 5
6 Muhammad Zulifan, “Politik Islam di Indonesia, Ideologi Transformasi dan Prospek dalam

Proses Politik Terkini”, (Jurnal UNNES, Vol 1 No 2 2016), 177

6
hubungan yang lebih dinamis dan bermanfaat bagi kedua pihak. 7
=>pemikiran politik Islam tentang hubungan antara agama dan negara
di Indonesia mencerminkan kompleksitas dan dinamika yang terus
berkembang seiring waktu, dengan berbagai pandangan dan pemikiran yang
mempengaruhi interaksi antara Islam dan dunia politik.
B. Keterikatan Hubungan Islam dan Politik di Indonesia
hubungan antara Islam dan politik di Indonesia, yang dimulai sejak
akhir abad ke-13 hingga awal abad ke-14 ketika Islam pertama kali
diperkenalkan di kepulauan Indonesia. Islam tidak hanya menjadi agama
spiritual, tetapi juga terlibat aktif dalam politik, dan menjadi bagian integral
dari sejarah politik Indonesia. Meskipun Islam memiliki peran penting dalam
politik Indonesia, namun tidak selalu menjadi agama politik eksklusif.
Artinya, keberadaan Islam dalam politik tidak meniadakan keberadaan
agama-agama lain dan prinsip-prinsip pluralisme. Pada masa kemerdekaan
Indonesia dan pasca reformasi, terjadi persepsi bahwa Islam politik dapat
menjadi persaingan kekuasaan yang potensial dan dapat mengancam
kedaulatan negara. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia melakukan upaya
domestikasi terhadap gerakan politik Islam, yaitu dengan mengintegrasikan
gerakan politik Islam ke dalam struktur politik nasional, sambil tetap
mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi dan kedaulatan negara.
antagonisme politik antara Islam dan negara di Indonesia sebagian
besar disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, idealisme dan aktivisme
politik Islam yang cenderung legalistik dan formalistik. Hal ini mengacu pada
pendekatan politik Islam yang terfokus pada aspek hukum formal dan
struktural dalam negara, seringkali dianggap legalistik dan terlalu
memperhatikan formalitas. Pendekatan ini kadang-kadang menyebabkan
ketegangan dengan negara yang berusaha menjaga kedaulatan dan
stabilitasnya berdasarkan konstitusi dan hukum sekuler. Kedua, perbedaan
pandangan mengenai arah negara, apakah bercorak Islam atau nasionalis.
Terdapat perbedaan pendapat dalam masyarakat mengenai apakah negara
harus bercorak Islam atau mengutamakan prinsip-prinsip nasionalis dalam
sistem politiknya. Perbedaan pandangan ini menjadi sumber konflik dan
antagonisme politik antara kelompok-kelompok yang mendukung Islam
sebagai landasan negara dan yang menginginkan negara yang berdasarkan
prinsip-prinsip nasionalis. Meskipun upaya untuk menciptakan hubungan
harmonis terus dilakukan, belum sepenuhnya terwujud. Namun, ada
perkembangan baru, seperti sikap ramah negara terhadap Islam yang
tercermin dalam kebijakan-kebijakan tertentu.
Akomodasi antara Islam dan negara terwujud dalam berbagai bentuk,
termasuk melibatkan generasi baru Islam dalam lembaga-lembaga
pemerintahan dan legislatif, serta akulturasi nilai-nilai Islam dalam
kehidupan sehari-hari. Islam politik di Indonesia kini lebih fokus pada
pembangunan sistem sosial-politik yang mencerminkan prinsip-prinsip

7Rachmat Panca Putera, “Pemikiran Politik Islam di Indonesia : dari Formalistik Menuju
Substantif” (RI’ AYAH, Vol.03, No 01 : 2018), 58

7
Islam seperti keadilan dan partisipasi, menunjukkan evolusi pemahaman dan
peran Islam dalam politik Indonesia. 8
Interaksi antara Islam dan dunia politik di Indonesia telah menjadi
fenomena yang berlangsung selama bertahun-tahun. Seperti cerita besar
dalam sejarah, Islam hadir dalam berbagai bentuk yang beragam dan
pluralistik. Keterlibatan Islam dalam politik bisa berbeda-beda tergantung
pada kecenderungan individu atau kelompok tertentu. Ini mencerminkan
keragaman dalam pandangan dan praktik Islam dalam konteks sejarah.
dalam konteks politik, Islam dapat berperan sebagai pencerah yang
memperkaya sejarah dan peradaban, namun juga bisa menjadi penyebab
kegelapan. Sebagai agama besar, Islam memiliki potensi untuk menjadi
kekuatan positif yang merawat dan memperkaya kehidupan, tetapi juga
dapat menjadi sumber konflik dan destruksi. Paham politik Islam bisa
menjadi penggerak demokratisasi, tetapi juga bisa menjadi penghambatnya,
tergantung pada implementasinya.
Meskipun wacana politik Islam sudah hadir sejak abad ke-17,
terutama karena interaksi dengan dunia luar, pemikiran politik Islam dengan
beragam corak baru mulai muncul secara lebih konkret pada awal abad ke-
20. Hal ini menunjukkan dinamika evolusi pemikiran politik Islam di
Indonesia, yang terus berubah seiring waktu dan perubahan sosial-politik
yang terjadi.9
=>Interaksi antara Islam dan dunia politik di Indonesia
mencerminkan keragaman dalam pandangan dan praktik Islam dalam
konteks sejarah. Islam bisa berperan sebagai pencerah yang memperkaya
sejarah dan peradaban, tetapi juga bisa menjadi penyebab konflik dan
destruksi. Pemikiran politik Islam di Indonesia telah mengalami evolusi
seiring waktu, menunjukkan dinamika dalam pemahaman dan peran Islam
dalam politik.
C. Pengaruh adanya NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah
dalam Pembaruan Pemikiran Politik Islam
1. Muhammadiyah
sebuah gerakan pembaharuan Islam yang didirikan oleh Ahmad
Dahlan pada tahun 1912. Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi Islam
yang moderat, berupaya menggabungkan purifikasi dengan dinamisasi dalam
praktik keislaman, serta berpegang pada prinsip wasatiyah atau tengah.
Dalam perbandingan dengan gerakan Islam lainnya yang cenderung ekstrem,
baik secara radikal-fundamentalis maupun radikal-liberal, Muhammadiyah
menunjukkan pendekatan yang berbeda. Gerakan Muhammadiyah yang
moderat dipimpin oleh Kiai Dahlan tidak menafikan eksistensinya sebagai
organisasi formal di dalam sebuah negara. Meskipun didirikan pada masa
pemerintahan Belanda, Muhammadiyah tetap mematuhi persyaratan

8 Bahtiar Effendy, “Islam dan Negara di Indonesia : Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, (Jakarta, PT Temprin,h), 361
9 Zaphulkhan, “Dinamika Pemikiran Politik Islam di Indonesia”, (Jurnal Review Politik, Vol 3,

No 2, 2014), 154

8
administratif yang ditetapkan oleh pemerintah, baik di Indonesia maupun
negara lain.10
Muhammadiyah dianggap sebagai gerakan tajdid atau reformasi Islam
yang disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia.
Gerakan ini berkembang pesat, terutama dalam bidang pendidikan yang
menjadi asas pergerakannya, serta berkembang ke bidang sosial lainnya
seiring dengan pertumbuhan dan ekspansi organisasi.
Lahirnya Muhammadiyah dipicu oleh refleksi Kiai Dahlan, yang
bertekad untuk memperkuat dan membesarkan Islam dengan tujuan
menyelamatkan dunia dan membela yang tertindas. Sebagai wadah bagi
gagasan mulia tersebut, Muhammadiyah didirikan, dengan sistem organisasi
yang merujuk pada ajaran Allah dalam Alquran, yang menyerukan kepada
kebaikan, mengajak kepada yang baik, dan mencegah dari yang buruk. (Al-
Imran: 104) Yang artinya Firman Allah, “Dan hendaklah ada diantara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang
beruntung”. Ayat ini dianggap sebagai pijakan moral bagi pendiri
Muhammadiyah dan sering dianggap sebagai "ayat Muhammadiyah" oleh
para aktivis gerakan tersebut. 11
Tujuan utama pendirian Muhammadiyah, yaitu untuk menegakkan
dan memuliakan Agama Islam, serta mewujudkan masyarakat Islam yang
sesuai dengan ajaran Islam sejati. Ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah
didirikan dengan tujuan untuk mengembangkan dan memperkuat nilai-nilai
Islam dalam kehidupan masyarakat, serta membawa perubahan positif
dalam masyarakat yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan
kata lain, Muhammadiyah bertujuan untuk membentuk masyarakat yang taat
beragama, berakhlak mulia, dan berdasarkan pada prinsip-prinsip keadilan,
kesetaraan, dan kebenaran Islam. Gerakan ini lebih memfokuskan
pergerakannya pada bidang pendidikan dan pengajaran Islam, baik di
institusi formal maupun dalam masyarakat, sebagai upaya mencerdaskan
umat dan memperkuat pemahaman agama. Muhammadiyah juga tidak
mencampuri urusan pemerintahan atau politik, dan anggotanya yang terlibat
dalam partai politik dianggap sebagai individu yang tidak mewakili
Muhammadiyah secara keseluruhan.12
2. NU (Nahdlatul Ulama)
latar belakang dan tujuan berdirinya Nahdlatul Ulama (NU),
organisasi Islam yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya.
NU didirikan sebagai respons terhadap gerakan modernisme Islam yang
mengusung gagasan purifikasi puritanisme, yang dianggap telah mengancam
tradisi keagamaan yang sudah ada sebelumnya. Pendirian NU bertujuan

10 T. Suharto, “Gagasan Pendidikan Muhammadiyah dan NU), (Islamica,h : 2014, 1


11 RI, T. P. K. A., “Moderasi Beragama”. (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama RI.)
12 N. Anshory, “Matahari Pembaharuan (Muhammadiyah)” (Yogyakarta, Jogja Bangkit :

2010). h

9
untuk menampung gagasan keagamaan para ulama tradisional dan
mengorganisasikan peran mereka dalam masyarakat. NU juga bertujuan
untuk mengembangkan peran pesantren dan wilayah kerja keulamaan, serta
memperluas jangkauannya. Meskipun demikian, NU tidak menolak secara
mentah-mentah tradisi-tradisi yang sudah ada, karena dianggap bahwa tidak
semua tradisi tersebut buruk atau usang. Bahkan, NU meyakini bahwa
beberapa tradisi dapat memberikan inspirasi bagi munculnya modernisasi
Islam.13
Nahdlatul Ulama (NU) didirikan dengan tujuan utama untuk
melindungi paham Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dari upaya sabotase yang
dilakukan oleh kaum pembaharu yang berhaluan Wahabi. Kyai Hasyim, salah
satu tokoh penting dalam pendirian NU, merumuskan prinsip dasar
organisasi ini dalam kitab "al-Qanun al-Asasi li Jam'iyati Nahhdlatul Ulama"
dan "Risalah Ahlusunnah wal Jama'ah," yang kemudian menjadi dasar atau
landasan dari Khittah NU. Wahid Hasyim, salah satu pemimpin NU,
menggambarkan organisasi ini sebagai perhimpunan yang bergerak lambat,
tidak radikal, dan kurang memiliki kaum terpelajar. Meskipun NU dikenal
sebagai organisasi yang konservatif dan mengedepankan disiplin dalam hal
agama dan moral, namun hal ini kadang menjadi hambatan bagi pemuda
untuk bergabung. Beberapa pemuda mungkin merasa bahwa NU terlalu kaku
atau konservatif, sehingga kurang menarik bagi mereka.14
Dalam Nahdlatul Ulama (NU) sering terlibat dalam situasi politik yang
berkaitan dengan agenda politik praktis. Para tokoh NU terlihat memiliki
keinginan untuk terlibat dalam politik praktis dengan alasan-alasan yang
pragmatis. Mereka menyadari bahwa basis massa politik NU memiliki
pengaruh besar secara kuantitatif, sehingga dianggap sebagai kekuatan yang
signifikan dalam arena politik. tokoh NU bahkan berpikir bahwa lebih baik
menggunakan basis massa tersebut untuk kepentingan politik dan ekonomi
internal NU daripada membiarkan basis massa tersebut dimanfaatkan oleh
pihak lain di luar NU. Sebagai hasilnya, perjalanan dan keterlibatan politik NU
tidak bisa dilepaskan dari kepentingan dan dinamika internal organisasi.
Keterlibatan politik NU cenderung melayani kepentingan elite internal NU
sendiri.15
transformasi Nahdlatul Ulama (NU) dari organisasi sosial keagamaan
menjadi organisasi politik telah memiliki dampak yang signifikan pada pola
kepemimpinan politik umat Islam di Indonesia. Sebelum transformasi ini,
kepemimpinan politik umat Islam Indonesia didominasi oleh kelompok
modernis, yang cenderung lebih condong kepada gagasan-gagasan
modernisme dalam Islam. Namun, dengan transformasi NU menjadi
organisasi politik, terjadi pergeseran dalam pola kepemimpinan politik umat

13 Nur Alhidayatillah dan Sabiruddin, “Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah : Dua
wajah Organisasi Dakwah di Indonesia, (Al-Imam, Jurnal Manajemen Dakwah, th), 12
14 A. Sunarto, “Paradigma Nahdathul Ulama terhadap Modernisasi”, (Jurnal

Sosiologi Islam : 2013), 2


15 N. Huda, “Islam Nusantara (Nahdlatul Ulama)”, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media : 2013), h

10
Islam. NU, yang merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia,
memainkan peran yang semakin signifikan dalam politik Indonesia.
Kepemimpinan politik NU, yang sebelumnya mungkin tidak terlalu dominan,
menjadi lebih kuat dan berpengaruh dalam menentukan arah politik umat
Islam di Indonesia.Keterlibatan politik yang intens dan kurangnya integritas
personal menyebabkan NU mengalihkan perhatiannya dari aktivitas sosial
dan dakwah, bahkan menimbulkan kasus korupsi di dalam organisasi.
Rentang tahun 1952 hingga 1976 menandai periode di mana NU sangat aktif
secara politik. Selama masa ini, NU sangat terlibat dalam kegiatan politik
untuk mencapai tujuan agama, sosial, dan ekonominya. Bahkan, pada tahun
1952, NU menjadi salah satu partai politik terbesar di Indonesia. Wahid
Hasyim adalah salah satu tokoh pertama yang memperkenalkan kesadaran
politik di kalangan para Kyai NU. Pada pemilu 1971, NU menjadi organisasi
terbesar dan paling berpengaruh, dengan memberikan kontribusi sebanyak
64% dari total suara yang diperoleh partai-partai Islam.16
Kedua gerakan ini juga merupakan bagian dari Ahlus Sunnah wal
Jamaah. Persatuan antara Muhammadiyah dan NU membantu Indonesia
tetap bersatu di tengah guncangan perang dunia yang digerakkan oleh
paham-paham yang berbeda. Meskipun fiqih mereka berbeda, pemurnian
tauhid tetap menjadi fokus utama mereka, karena mereka menyadari
pentingnya ukhuwah. Kedua gerakan ini mendukung proklamasi
kemerdekaan 1945 oleh Soekarno-Hatta, meskipun Indonesia menghadapi
tantangan dari pihak-pihak yang tidak setuju dengan kemerdekaan pada
tahun-tahun awal kemerdekaannya. Namun, dalam perjalanan sejarahnya,
hubungan antara NU dan Masyumi merenggang, terutama setelah NU keluar
dari Masyumi pada tahun 1952. Hal ini disebabkan oleh perbedaan
pandangan politik dan keputusan yang diambil oleh masing-masing
organisasi. (Shodiqin, M. A. (2013). Muhammadiya itu NU. Jakarta: Noura
Books).
=>Kedua gerakan ini juga mewakili bagian dari Ahlus Sunnah wal
Jamaah dan mendukung proklamasi kemerdekaan Indonesia. Meskipun
mengalami perubahan dan tantangan dalam sejarahnya, keduanya tetap
berperan penting dalam memajukan Islam di Indonesia. Dengan demikian,
keduanya memiliki peran yang signifikan dalam pembentukan identitas
Islam Indonesia, dengan fokus pada pendidikan, pembaharuan, dan
pengembangan masyarakat.

D. Peran Pemikiran Politik Islam dalam Hal Demokrasi di


Indonesia
Respons ulama dan tokoh Islam terhadap demokrasi sangat
dipengaruhi oleh pandangan mereka tentang hubungan antara Islam dan

16Jarman Arroisi, Martin Putra Perdana, Achmad Reza Utama Al Faruqi, “Pembaharuan
Pemikiran Islam Model Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama”, (Jurnal Islam Nusantara, Vol
4 No 2 : 2014), 174-185, dikutip pada artikel => Bashri, Y., dan Suffathni, “Sejarah Tokoh
Bangsa”, (Yogyakarta: Kelompok Penerbit Lkis), h

11
negara. Kelompok konservatif cenderung menolak demokrasi karena
melihatnya sebagai penafian terhadap kedaulatan Tuhan, mengingat
demokrasi mengandalkan pada kedaulatan rakyat. Sebaliknya, kelompok
modernis dan sekuler cenderung menerima demokrasi. Kelompok
konservatif, seperti Abul A'la al-Maududi, mencoba menyampaikan konsep
"theo-democracy", di mana kekuasaan Tuhan dan kekuasaan rakyat diakui
dalam negara yang menerapkan syariat Islam. Kelompok sekuler tidak
memiliki masalah dengan demokrasi, baik secara filosofis maupun
institusional, sementara kelompok modernis, meskipun menerima secara
institusional, masih memiliki pertimbangan filosofis karena demokrasi
didasarkan pada prinsip sekularisme yang bertentangan dengan nilai-nilai
Ketuhanan dalam Islam.17
peran penting partai politik dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat di Indonesia, terutama dalam konteks sistem demokrasi.
Fungsi utama partai politik yang disebutkan adalah:
a. Memberikan pendidikan politik kepada anggota dan masyarakat luas
agar mereka menjadi warga negara yang sadar akan hak dan
kewajibannya. Artinya, partai politik bertanggung jawab untuk
memberikan pemahaman tentang politik dan tugas-tugas
kewarganegaraan kepada anggotanya dan masyarakat secara umum.
b. Menciptakan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini menunjukkan
bahwa partai politik harus berperan dalam menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa serta mempromosikan kesejahteraan masyarakat
secara keseluruhan.
c. Menyerap, menghimpun, dan menyalurkan aspirasi politik
masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.
Artinya, partai politik berperan sebagai perantara antara masyarakat
dengan pemerintah dalam menyampaikan aspirasi dan kebutuhan
masyarakat untuk dijadikan kebijakan negara.
d. Mendorong partisipasi politik warga negara serta menyediakan
mekanisme rekrutmen politik yang adil dan setara. Ini menunjukkan
bahwa partai politik harus memfasilitasi partisipasi politik
masyarakat secara aktif dan menyediakan kesempatan yang sama
bagi semua individu untuk terlibat dalam proses politik.
Dengan demikian, terpilihnya pemimpin yang mewakili aspirasi
rakyat sangat penting karena pemimpin tersebut berperan sebagai
penyambung lidah rakyat. Tanpa pemimpin yang efektif, tatanan kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara tidak akan berjalan optimal.
sejak masa lalu, tokoh-tokoh Islam di Indonesia telah mendirikan
partai politik untuk mengusung aspirasi umat Islam. Pada tahun 1935,
Federasi Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) didirikan, dan pada tahun 1939,
didirikan Gabungan Politik Indonesia (GAPI), yang termasuk di dalamnya

17Muhammad Hasbi, “Wacana Demokrasi dalam Pemikiran Politik Islam”, (Jurnal Asy-
Syir’ah, Vol 45, No 1, 2012), 1151

12
adalah Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII). Selama masa penjajahan Jepang,
MIAI kemudian didirikan kembali pada tahun 1942 dan kemudian diubah
namanya menjadi Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada tahun
1945. Masyumi mewakili berbagai organisasi Islam di Indonesia, termasuk
Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Perserikatan Umat Islam (PUI), Al-
Irsyad, Persarikatan Islam (PI), dan Al-Ittihadiyah.18
=>Sejak masa lalu, tokoh-tokoh Islam di Indonesia juga mendirikan
partai politik untuk mengusung aspirasi umat Islam. Sejumlah partai politik
Islam, seperti Federasi Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan Majelis Syura
Muslimin Indonesia (Masyumi), didirikan dengan melibatkan berbagai
organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa partisipasi politik umat Islam telah berlangsung sejak
lama dalam upaya menyuarakan aspirasi dan kepentingan umat Islam di
Indonesia.

18 Moh. Rasyid, “Konsep Demokrasi Politik dalam Islam”, (ADDIN, Vol 9 No 1, : 2015), 2-3

13
BAB”III
PENUTUP
A. Kesimpulan
=>Pemikiran politik Islam tentang hubungan antara agama dan negara di
Indonesia mencerminkan kompleksitas yang terus berkembang seiring waktu.
Diskusi yang intens tentang hubungan ini menyoroti dinamika yang rumit antara
Islam dan negara, dari perdebatan mengenai identitas negara hingga pertarungan
ideologis antara berbagai aliran pemikiran. Sejarah yang dipenuhi dengan kisah
antagonis dan kecurigaan antara keduanya menjadi latar belakang bagi berbagai
corak pemikiran yang dipengaruhi oleh ide-ide pembaharuan rasional-liberal dan
tradisionalis skriptural-formal. Dialektika antara modernis dan tradisionalis
melahirkan pemikiran neo-modernisme Islam, yang tercermin dalam kontribusi
tokoh-tokoh seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha.
Meskipun terjadi antagonisme politik, harapan untuk transformasi intelektual
memberikan celah bagi hubungan yang lebih dinamis dan bermanfaat bagi kedua
belah pihak, menandai evolusi pemikiran politik Islam di Indonesia.
=>Interaksi antara Islam dan dunia politik di Indonesia mencerminkan
keragaman dalam pandangan dan praktik Islam dalam konteks sejarah. Islam bisa
berperan sebagai pencerah yang memperkaya sejarah dan peradaban, tetapi juga
bisa menjadi penyebab konflik dan destruksi. Pemikiran politik Islam di Indonesia
telah mengalami evolusi seiring waktu, menunjukkan dinamika dalam pemahaman
dan peran Islam dalam politik.
=>Kedua gerakan, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), yang lahir
pada awal abad ke-20, memainkan peran penting dalam sejarah Islam di Indonesia.
Muhammadiyah, didirikan oleh Ahmad Dahlan pada tahun 1912, menekankan pada
moderasi, pendidikan, dan pengembangan sosial. Sementara itu, NU, yang muncul
pada tahun 1926, membela paham Ahlus Sunnah wal Jamaah dan berperan dalam
politik praktis. Meskipun mengalami transformasi dan tantangan dalam sejarahnya,
keduanya tetap menjadi pilar utama dalam memajukan Islam di Indonesia. Dengan
fokus pada pendidikan, pembaharuan, dan pengembangan masyarakat, kedua
gerakan ini membantu membentuk identitas Islam Indonesia yang kuat dan
berpengaruh.
=>Pandangan ulama dan tokoh Islam terhadap demokrasi dipengaruhi oleh
persepsi mereka tentang hubungan antara Islam dan negara. Kelompok konservatif
cenderung menolak demokrasi karena dianggap bertentangan dengan kedaulatan
Tuhan, sementara kelompok modernis dan sekuler cenderung menerima demokrasi.
Meskipun demikian, terpilihnya pemimpin yang mewakili aspirasi rakyat dianggap
penting dalam sistem demokrasi. Di Indonesia, sejak masa lalu, tokoh-tokoh Islam
telah mendirikan partai politik untuk mengusung aspirasi umat Islam, seperti MIAI
dan Masyumi, yang melibatkan berbagai organisasi Islam seperti NU dan
Muhammadiyah. Hal ini mencerminkan partisipasi politik umat Islam dalam
menyuarakan aspirasi dan kepentingan mereka di Indonesia.

14
B. Rekomendasi

Harapan Kepada Para Pembaca Bahwa Artikel Ini dapat Bermanfaat


bagi Kita semua, semoga ilmu yang di dapatkan akan menjadi Barokah
Kehidupan, Kami Menyadari Bahwa Artikel ini memiliki banyak Kekurangan
dari yang semestinya dari kurangnya Sub Bab yang kurang, dan Keterbatasan
Akses Buku dan Jurnal Berakreditasi Tinggi yang memang Sulit untuk di
dapatkan, dikarenakan Artikel Penelitian ini Hanya di kerjakan selama 1
minggu Maka dari itu kami Mohon maaf apabila ada kesalahan Kepenulisan
dan ada kesalahpahaman, Wassalamualaikum Wr.Wb

15
DAFTAR PUSTAKA

Said Amirul Kamar dan Eka Januar, “Politik dan Pemerintahan Islam”, (Zahir
Publishing, IKAPI Yogyakarta, 2020.
Arbi Mulya Sirait, “Jamaluddin Al-Afghani dan Karir Politiknya”, (Jurnal Intelektual,
Vol 10, No 2 Agustus : 2020.
Alhilal Yusril Hawari, Utang Suwaryo, Dede Sri Kartini, Perbandingan Peran
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam Politik di Indonesia”, (Jurnal
Pemerintahan dan Kebijakan, Vol 5 No 1, Bandung : 2023.
Abd Wahid, “Pemikiran Politik Islam”, (Banjarmasin, Ilmu Ushuluddin, Vol 9 No 1 :
2010.
Ach. Khoiri, “Pemikiran Politik Islam di Indonesia (Study Pemikiran KH.
Abdurrahman Wahid tentang Hubungan Islam dan Negara)”, (Pamekasan,
Jurnal Hukum dan Keadilan, Vol 3 No 1, 2019.
Muhammad Zulifan, “Politik Islam di Indonesia, Ideologi Transformasi dan Prospek
dalam Proses Politik Terkini”, (Jurnal UNNES, Vol 1 No 2 2016.
Rachmat Panca Putera, “Pemikiran Politik Islam di Indonesia : dari Formalistik
Menuju Substantif” (RI’ AYAH, Vol.03, No 01 : 2018.
Bahtiar Effendy, “Islam dan Negara di Indonesia : Gagasan dan Praktik Politik Islam
di Indonesia, (Jakarta, PT Temprin,h.
Zaphulkhan, “Dinamika Pemikiran Politik Islam di Indonesia”, (Jurnal Review Politik,
Vol 3, No 2, 2014.
T. Suharto, “Gagasan Pendidikan Muhammadiyah dan NU), (Islamica,h : 2014.
RI, T. P. K. A., “Moderasi Beragama”. (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama RI.
N. Anshory, “Matahari Pembaharuan (Muhammadiyah)” (Yogyakarta, Jogja Bangkit :
2010.
Nur Alhidayatillah dan Sabiruddin, “Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah :
Dua wajah Organisasi Dakwah di Indonesia, (Al-Imam, Jurnal Manajemen Dakwah,
th.
A. Sunarto, “Paradigma Nahdathul Ulama terhadap Modernisasi”, (Jurnal
Sosiologi Islam : 2013.
N. Huda, “Islam Nusantara (Nahdlatul Ulama)”, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media : 2013), h
Jarman Arroisi, Martin Putra Perdana, Achmad Reza Utama Al Faruqi,
“Pembaharuan Pemikiran Islam Model Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama”, (Jurnal Islam Nusantara, Vol 4 No 2 : 2014.
Bashri, Y., dan Suffathni, “Sejarah Tokoh Bangsa”, (Yogyakarta: Kelompok Penerbit
Lkis), h
Muhammad Hasbi, “Wacana Demokrasi dalam Pemikiran Politik Islam”, (Jurnal Asy-
Syir’ah, Vol 45, No 1, 2012), 1151
Moh. Rasyid, “Konsep Demokrasi Politik dalam Islam”, (ADDIN, Vol 9 No 1, : 2015.

16
17

Anda mungkin juga menyukai