Anda di halaman 1dari 19

ALAT BUKTI ELEKTORIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Hukum Acara Pidana

Oleh Dosen Pengampu Ibu Yuklayushi, SH.MH

Disusun Oleh:
Kelompok 5
Aska Diana Maulidia (21382072002)
Nurul Iman Adianta (21382071068)
Toiburrahman (21382071069)

Zeinal 'Abidin (21382071072)


Ahmad Dhaifullah Al-Arifin (21382071073)
Sahrul Riski Darusman (21382071074)
Husni (21382071075)

PRODI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur senentiasa kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
atas segala limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul “ Alat Bukti Elektronik Dalam
Hukum Acara Pidana”.

Sholawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi


Muhammad SAW yang telah mengubah tatanan kehidupan kita dari kehidupa
jahiliyah menuju kehidupan yang penuh dengan tarbiyah, addiniyah dan insaniyah.

Semoga makalah ini dapat memberikan konstribusi positif dan bermakna


dalam proses belajar dan pembelajaran. Dengan segala kerendahan hati, saran dan
kritik yang konstruktif sangat kami harapkan dari para pembaca guna peningkatan
pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.

Pamekasan, 30 September 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul …………………………………………………………………….. i

Kata Pengantar ……………………………………………………………………. ii

Daftar Isi …………………………………………………………………………...iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah …………………………………………………... 1

B. Rumusan Masalah …………………………………………...……………. 2

C. Tujuan Masalah ……………………………………………...……………. 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Alat Bukti Elektronik.....................................................................3-7


B. Kedudukan Alat Bukti Elektronik Pada Hukum Acara Pidana...................7-9
C. Prosedur Autentik Alat Bukti Elektronik Pada Hukum Acara Pidana......9-11
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ………………………………………………...……..……12-13

B. Saran..............................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………...…...…...14-15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dengan kemajuan pesat di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi, kita


juga menyaksikan perkembangan teori dan praktik penggunaan alat bukti di luar
kerangka yang telah ditetapkan dalam hukum acara di Indonesia. Hal ini menciptakan
suatu masalah, yaitu ketika alat bukti baru yang sedang berkembang belum diakui
oleh pengadilan sebagai bukti yang sah. Sementara itu, peraturan yang sudah ada
tidak segera diperbarui untuk mengakomodasi perkembangan ini.

Penggunaan alat bukti elektronik seperti email, pemeriksaan saksi melalui


telekonferensi, rekaman tersembunyi, dan data elektronik lainnya semakin umum
digunakan oleh masyarakat. Indonesia sangat memerlukan pembaharuan dalam
hukum acara atau hukum formil untuk menerapkan hukum materiil dalam situasi-
situasi konkret yang terjadi di masyarakat. Ini perlu dipertimbangkan mengingat
perubahan cepat dan peningkatan dalam hukum materiil, dengan banyak peraturan
hukum yang dibuat secara parsial sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Peraturan
baru juga harus mengatur hukum acara dengan baik, meskipun dasarnya adalah
KUHAP sebagai hukum positif. Ini menunjukkan bahwa hukum mengenai alat bukti
elektronik hanya diatur sebagian dalam peraturan hukum dan tidak memiliki
kerangka yang cukup, sehingga diperlukan peraturan yang lebih komprehensif yang
berlaku secara nasional.

Pembuktian memiliki peranan kunci dalam proses pengadilan. Hasil dari proses
pembuktian ini menentukan apakah seseorang dinyatakan bersalah atau tidak dalam
pengadilan. Jika alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang tidak cukup untuk
membuktikan kesalahan seseorang, maka orang tersebut akan dibebaskan dari
hukuman. Sebaliknya, jika kesalahan dapat dibuktikan, maka orang tersebut akan
dianggap bersalah dan dikenai hukuman. Oleh karena itu, penting untuk

1
mempertimbangkan secara cermat masalah pembuktian ini, terutama dalam kasus
tindak pidana korupsi yang memerlukan dasar hukum yang kuat untuk mengakui alat
bukti yang sah.1

B. Rumusan Masalah

1. Definisi Alat Bukti Elektronik.?


2. Apa Kedudukan Alat Bukti Elektronik Pada Hukum Acara Pidana?
3. Bagaimana Prosedur Autentik Alat Bukti Elektronik Pada Hukum Acara
Pidana ?

C. Tujuan Masalah

1. Memahami Definisi Alat Bukti Elektronik..


2. Mengetahui Kedudukan Alat Bukti Elektronik Pada Hukum Acara Pidana.
3. Mengetahui Prosedur Autentik Alat Bukti Elektronik Pada Hukum Acara
Pidana.

1
Rivan Nelson, Maarthen Y. Tampanguma, Reymen M. rewah, “Analisis yuridis mengenai pembuktian
informasi electronic (digital Evidence) Sebagai Alat Bukti Yang Sah dalam Hukum Acara Pidana”.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Alat Bukti Elektronik

Di dalam kamus bahasa Indonesia, pembuktian diartikan sebagai suatu proses,


cara, perbuatan membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa
dalam sidang pengadilan. Menurut M. Yahya Harahap, secara yuridis pembuktian
adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara
yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang
dibenarkan undang-undang dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan
hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa. Pengadilan tidak boleh sesuka hati
dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.2

Terobosan terbaru dari perkembangan alat bukti berupa alat bukti elektronik dapat
dilihat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 perubahan atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang itu
merupakan jawaban dari permasalahan utama dalam perkembangan kejahatan yang
berbasis teknologi informasi (cybercrime) dan mampu mengakomodasi alat bukti yang
paling diperlukan dalam kejahatan itu, yaitu alat bukti elektronik berupa informasi
elektronik dan dokumen elektronik.3

Peraturan hukum selalu mengalami perkembangan di tengah-tengah masyarakat,


seiring dengan permasalahan yang juga selalu mengalami transisi di tengah masyarakat.
Demikian juga dengan hukum harus melakukan respon terhadap tumbuhnya modus

2
M. Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali)” (Jakarta: Sinar Grafika, 2012). Hlm.273.

3
Alcadini Wijayanti, Pujiono & Bambang Dwi Baskoro. “Perkembangan Alat Bukti Dalam Pembuktian
Tindak Pidana Berdasarkan Undang-Undang Khusus Dan Implikasi Yuridis Terhadap KUHAP”
Diponegoro Law Review, (Online). (Vol. I, No. 4. 2012) Hal. 3

3
kejahatan suatu tindak pidana yang dilaksanakan lewat media elektronik. Respon tanggap
yang cukup baik sejak tahun 2008 dengan melakukan pengaturan perundang-undangan UU
ITE. Tujuannya untuk penggunaan kemajuan teknologi yang dapat digunakan secara sinkron
pada ketetapan yang ada di undang-undang.4 Undang-undang tersebut dibuat untuk
mencegah kejahatan terhadap kasus/perkara siber (cybercrime) dan sampai sekarang masih
sangat diperlukan (urgent) sebagai dasar untuk mengambil sebuah keputusan (decision
maker) dalam menanggulangi kejahatan siber agar dapat mengetahui modus dan
karakteristik pelaku serta modus yang dipergunakan. Terobosan UU ITE ini membawa
perubahan yang signifikan dalam dunia peradilan, yakni terobosan baru dalam alat bukti
elektronik, walaupun didalam KUHAP belum mengatur tetapi UU ITE memperbolehkan dan
mensyahkan alat bukti elektronik di muka persidangan.

Hakim dalam menerima atau menolak suatu pembuktian membutuhkan


sumber sumber hukum, baik itu undang-undang, doktrin atau ajaran, serta yurisprudensi.5
Alat bukti merupakan bukti perbuatan seseorang yang dapat dijadikan sebagai pembuktian
untuk meyakinkan Hakim akan suatu perbuatan yang diperbuat oleh terdakwa. Dalam kitab
UU ITE, yang dimana UU ITE ini membuat kemajuan dari alat bukti secara sah pada
peraturan yang aktif di Indonesia. Perluasaan ini adalah pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP.8
Seperti contoh, KUHAP menyebutkan contoh alat bukti yang memiliki keabsahan adalah
surat, baik surat yang ditulis oleh tangan maupun mesin pengetik, tetapi dengan
perkembangan teknologi maka seseorang dengan mudah hanya mengirim pesan melalui
komputer atau telepon genggam (handphone). Begitu pula perkembangan yang terus secara

4
Sujamawardi, Lalu Heru. "Analisis Yuridis Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik." Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi 9, no. 2 (2018): 86.

5
Tumiwa, Natalia Maria. "Tinjauan Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana” LEX PRIVATUM
9, No. 4 (2021): 256.

4
signifikan yang dapat membuat seseorang bisa bertukar komunikasi melalui sosial media
seperti Facebook, Twitter, Instagram, maupun alat komunikasi canggih lainnya.6

Pembuktian alat bukti elektronik memiliki kekuatan serta kedudukannya dimuka


persidangan sesudah ada ketetapan (putusan MK 2016) yang menetapkan alat petunjuk
elektronik dalam pasal 26 UU Tipikor bertolak belakang dengan UUD 1945. Yakni tak
mempunyai intensitas dan kedudukan hukum tetap, hanya atas permintaan orang-orang
yang mempunyai kepentingan khusus di dalamnya seperti para lembaga penegak hukum
yang diputuskan sesuai yang dibuat pada pasal 31 ayat (3) UU ITE.7 Banyak perdebatan dan
saat terjadinya amar putusan Hakim MK, tetapi setelah menilik lebih jauh lagi serta
membaca dan meneliti pendapat para ahli yang didatangkan, dan ketika dilihat lagi amar
putusan Hakim MK berpendapat alat bukti elektronik kini terbatas, harus melihat kembali
rupa alat bukti yang dihadirkan. Karena pada alat bukti elektronik masih banyak hal-hal
rentan yang bisa terjadi, seperti penyadapan informasi sehingga itu yang dapat menjadikan
alat petunjuk elektronik tidak boleh sembarangan untuk dijadikan alat bukti di pengadilan.
Jika didalam UU ITE sebelumnya dinyatakan yakni:

1. Alat bukti petunjuk berupa elektronik dan hasil cetak menerangkan hasil bukti
hukum yang sah pada proses peradilan.

2. Alat bukti serta hasil cetak elektronik sebagai halnya yang dimaksud pada ayat
(1) sah dijadikan selaku bukti tepat dengan KUHAP yang sah di Indonesia.

Mengenai ini, sesuai adanya putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016, adanya perubahan


pada posisi informasi serta surat-surat elektronik dan demi tegaknya hukum pidana yang
mengakibatkan segala informasi alat bukti petunjuk serta dokumen elektronik bisa dijadikan
sebagai petunjuk wajib sesuai dengan aturan yang ada dalam pasal 31 ayat (3) UU ITE, alat

6
Suhariyanto, Budi. "Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime): Urgensi Pengaturan dan Celah
Hukumnya." (2012), 1

7
Hanafi, Hanafi, and Muhammad Syahrial Fitri. "Implikasi Yuridis Kedudukan Alat Bukti Elektronik
Dalam Perkara Pidana Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU XIV/2016." Al-Adl: Jurnal
Hukum 12, no. 1 (2020): 109.

5
petunjuk bukti elektronik tak bisa dihadirkan jadi alat petunjuk dimuka pada saat proses
diperadilan.8

Alat bukti elektronik adalah perangkat atau sistem yang digunakan dalam
proses hukum untuk mengumpulkan, menyimpan, atau menghasilkan bukti elektronik
dalam suatu perkara hukum. Alat bukti elektronik sering digunakan dalam kasus-
kasus yang melibatkan bukti digital, seperti pesan teks, email, dokumen elektronik,
rekaman suara, atau data elektronik lainnya. Tujuan utama alat bukti elektronik
adalah untuk memastikan bahwa bukti elektronik yang digunakan dalam pengadilan
dapat diandalkan, otentik, dan dapat diterima secara hukum.

Alat bukti elektronik dapat mencakup perangkat keras (seperti komputer,


server, perangkat penyimpanan data, dan perangkat penyadap telepon) serta
perangkat lunak (seperti perangkat lunak forensik komputer yang digunakan untuk
mengumpulkan bukti digital). Penggunaan alat bukti elektronik harus mematuhi
ketentuan hukum yang berlaku, termasuk aturan tentang keotentikan, rantai bukti, dan
privasi data.9

Perkembangan dalam peraturan hukum selalu mencerminkan perubahan


dalam masyarakat, terutama seiring dengan evolusi permasalahan yang muncul. Ini
juga berlaku untuk hukum yang harus selalu merespons tren kejahatan yang
berkembang, terutama yang terkait dengan penggunaan media elektronik. Sejak tahun
2008, ada upaya yang cukup baik untuk mengatasi masalah ini melalui pembentukan
undang-undang UU ITE. Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk mengatur
penggunaan teknologi dengan cara yang sesuai dengan ketentuan undang-undang
yang ada. UU ITE diciptakan untuk mengatasi kejahatan siber dan masih sangat
penting hingga saat ini sebagai dasar bagi pengambilan keputusan dalam

8
Hanafi, Hanafi, and Muhammad Syahrial Fitri. Lanjutan, Hal 111

9
Sumber Chat GPT “Pengertian Alat Bukti Elektronik dalam Pandangan Hukum Acara Pidana”
(Diakses pd tgl 6 Okt 2023)

6
penanggulangan kejahatan siber. Hal ini memungkinkan kita untuk memahami modus
operandi dan karakteristik pelaku kejahatan.10

B. Kedudukan Alat Bukti Elektronik Pada Hukum Acara Pidana

seiringnya berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, alat bukti mengalami


perubahan yang cukup baik dengan munculnya alat bukti dalam bentuk informasi
elektronik. Dengan perkembangan zaman sekarang ini, sangat dibutuhkan aturan mengenai
alat bukti elektronik. KUHAP mengikuti asas legalitas, yakni setiap perilaku juga perbuatan
yang dianggap sebagai tindakan pidana harus lebih dulu diatur kedalam aturan perundang-
undangan agar menjadi suatu rumusan yang jelas.” Namun berbeda dengan peraturan
undang-undang secara spesifik/khusus dapat menyisihkan aturan hukum secara umum,
tujuannya ialah bilamana terbit peraturan hukum yang bersifat khusus yang mewujudkan
alat elektronik bisa dipergunakan menjadi alat bukti valid, KUHAP bisa dikesampingkan
supaya tidak terjadinya norma yang kosong. Indonesia sendiri dalam sistem pembuktian
serta menggunakan alat bukti elektronik belum jelas diatur diatur tetapi setelah adanya UU
ITE, yang mengatur alat bukti elektronik berlaku seperti alat informasi juga yang
memberikan sebuah titik terang menjadikan bukti elektronik mempunyai kekuatan hukum
yang sah di persidangan. Jadi bukti yang bisa dipakai pada tindak pidana informasi dan alat
elektronik bisa dijadikan bukti yang absah sebagaimana yang dimaksud dengan ketentuan
undang undang yaitu KUHAP, serta menerima alat bukti elektronik sebagai bentuk bahan
beserta salinan, termasuk juga dengan surat elektronik.11

Bagi dunia peradilan alat bukti elektronik memang sudah menjadi kebutuhan yang sangat
penting apalagi secara zaman telah mengalami pergeseran kearah yang lebih modern dan
serba elektronik, baik itu informasi,dokumen atau hasil cetak yang melahirkan
pengembangan dari hukum acara di Indonesia. Alat bukti elektronik ini secara absah/valid

10
Ramiyanto. "Bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana." Jurnal Hukum
dan Peradilan 6, no. 3 (2017): 469.

11
Manope, Indra Janli. "Kekuatan Alat Bukti Surat Elektronik Dalam Pemeriksaan Perkara Pidana." Lex
Crimen 6, no. 2 (2017): 111.

7
untuk menjadi alat bukti yang kuat selama proses persidangan pidana. Penggunaan secara
elektronik merupakan ketentuan yang telah diatur kedalam UU ITE. Bukti elektronik
pertama kali diatur pada Tahun 1997 yaitu pada ketentuan undang-undang No. 8 Tahun
1997 tentang Dokumen Perusahaan. Tetapi pada pengaturan perundang-undangan ini tidak
menyebutkan secara tegas kata bukti elektronik, namun didalam pasal 15 disebutkan bahwa
data yang disimpan dalam microfilm atau media lainnya dianggap dalam bukti yang sah.
microfilm memiliki fungsi sama dengan surat. Hal ini juga kembali ditegaskan pada saat
disahkannya undang-undang ITE dalam Pasal 5 menerangkan alat bukti petunjuk elektronik
diakui selaku bukti yang tidak dapat didatangkan di pengadilan. Pada pelaksanaan acara
pidana segala petunjuk alat bukti mempunyai kemampuan untuk melakukan pembuktian
setara, tak ada bukti yang lebih kuat semua dianggap sama, dan di dalam alat bukti pidana
tidak mengenal istilah hierarki.12
Apabila dilihat dari UU ITE yang tidak mengatur secara jelas perihal syarat formil untuk
mengajukan alat bukti elektronik itu sendiri, seperti contohnya alat bukti seperti surat
elektronik. Jika surat elektronik ini diajukan sebagai salah satu alat bukti dimuka
persidangan apakah ada upaya kepastian bahwa surat elektronik memang untuk melindungi
keutuhan, keaslian, keotentikan, serta kerahasian surat secara elektronik sangat rentan
dapat diubah, di retas, serta terjadinya pemalsuan. Penetapan bukti elektronik selaku bukti
yang sah serta dapat diterima dipengadilan yang sudah diatur kedalam ketentuan UU ITE,
saat ini belum bisa dikatakan mampu untuk menjalankan keperluan praktik diperadilan,
sebab masih menyesuaikan pengaturan yang ada dalam tataran hukum materiil. Melihat
pelaksanaan peradilan didasari oleh hukum yang secara resmi mengikat, bahwa penyusunan
bukti elektronik (selaku alat bukti yang bersifat valid dan mengikat ketika dihadirkan ke

12
Isma, Nur Laili, and Arima Koyimatun. "Kekuatan pembuktian alat bukti informasi elektronik pada
dokumen elektronik serta hasil cetaknya dalam pembuktian tindak pidana." Jurnal Penelitian Hukum
Gadjah Mada 1, no. 2 (2014): 112.

8
pengadilan) pada hukum formal/hukum acara masih begitu dibutuhkan untuk mencapai
terjadinya kepastian hukum.13
C. Prosedur Autentik Alat Bukti Elektronik Pada Hukum Acara Pidana
Dalam perkara Tindak Pidana Umum, ketentuan mengenai alat bukti informasi
elektronik belum diatur secara khusus dalam KUHAP, sehingga Hakim harus melakukan
penemuan hukum untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum. Hakim sebagai aparat
penegak hukum yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tidak boleh menolak
perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan Undang undangnya tidak lengkap atau
tidak jelas, sehingga Hakim dapat menggunakan metode argumentasi karena KUHAP belum
mengatur secara khusus mengenai ketentuan bukti elektronik. Dalam hukum pembuktian
pidana di Indonesia, secara yuridis belum mengakomodasikan dokumen atau informasi
dalam bentuk elektronik sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa melalui Pengadilan.
Di masa lalu alat bukti yang dapat diterima di pengadilan terbatas pada alat-alat bukti yang
bersifat materiil, yaitu alat bukti yang dapat dilihat dan diraba dan sesuai Pasal 184 KUHAP,
alat bukti yang diperkenankan dalam Hukum Acara Pidana yaitu Keterangan Saksi,
Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, dan Keterangan Terdakwa. Secara tertulis seluruh alat
bukti yang disebutkan dalam KUHAP tersebut tidak mengakomodir alat bukti informasi
elektronik. 14
Untuk memudahkan dalam proses pembuktian di persidangan, alat bukti informasi
elektronik tidak diperlukan bentuk aslinya (soft copy), yang diperlukan hanya hasil
cetakannya (print out). Namun tidak menutup kemungkinan juga bentuk aslinya ditampilkan
dalam persidangan. Hal ini mengacu kepada Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun
2008. Mengenai aspek keaslian dari hasil cetakan (printout) informasi elektronik, hakim
akan menanyakan kepada terdakwa atau korban mengenai informasi elektronik tersebut

13
Ardwiansyah, Bayu. "Keabsahan Penggunaan Tanda Tangan Elektronik Sebagai Alat Bukti Menurut
Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik." Lex Privatum 5,
no. 7 (2017): 89

14
Kekuatan Nilai Pembuktian Terhadap Alat bukti informasi elektronik Dalam Penanganan Tindak
Pidana,” Kejaksaan Republik Indonesia : https://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=28
&idsu=35&id=4183. 06 Okt 2023.

9
apakah terdapat perbedaan dari bentuk aslinya, jika terdakwa atau korban mengakui bahwa
surat elektronik tersebut sama dengan aslinya atau tidak terdapat perbedaan maka
informasi elektronik tersebut telah memenuhi aspek keaslian sebagai alat bukti dan menjadi
alat bukti yang sah. Apabila salah satu pihak tidak mengakuinya, maka diperlukan
keterangan ahli untuk menentukan sah atau tidaknya hasil cetak dari surat elektronik
tersebut, dan keterangan ahli tersebut akan menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
menentukan sah atau tidaknya hasil cetak (printout) surat elektronik sebagai alat bukti
dalam persidangan. Keterangan ahli mengenai alat bukti informasi elektronik ini dapat
dibagi menjadi 2 (dua), yaitu ahli digital forensik dan ahli hukum. Keduanya memiliki tugas
yang berbeda, diamana ahli digital forensik lebih fokus pada memeriksa keabsahan dari alat
bukti sedangkan ahli hukum lebih fokus pada tindak pidana maupun pasal apa yang
dilanggar oleh pelaku yang terdapat dalam alat bukti tersebut.
Pada hakekatnya, dalam hukum acara pidana, kekuatan semua alat bukti dalam
pembuktian itu sama, tidak ada satu melebihi yang lain seperti kedudukan alat bukti dalam
pemeriksaan tindak pidana. Alat bukti dalam hukum acara pidana tidak mengenal hierarki.
Hanya saja ada ketentuan-ketentuan yang mensyaratkan keterkaitan antara bukti yang satu
dengan bukti yang lain. Oleh karena itu dalam hukum acara pidana terdapat bukti yang
bersifat pelengkap. Alat bukti informasi elektronik dan dokumen elektronik seperti yang
terdapat dalam Pasal 108 huruf (b) UU Keimigrasian sangat rentan untuk dimanipulasi,
sehingga keaslian alat bukti informasi elektronik dan dokumen elektronik serta autentifikasi
digital forensik sangat penting dalam pembuktian. File asli dari sebuah hasil cetak haruslah
dijamin keasliannya untuk menghindari adanya perubahan (editing) karena pada dasarnya
sebuah data digital itu rentan oleh perubahan dari apapun maupun siapapun. Oleh karena
itu dalam pembuktian ini perlu ketelitian dan kecermatan khusus baik dari pihak penyidik
dan ahli dalam membuktikan suatu alat bukti informasi elektronik.15
Dapat disimpulkan bahwa dalam hal kekuatan pembuktian, hakim memiliki peranan
penting dalam menilai kekuatan dari alat bukti informasi elektronik. Meskipun telah

15
Budy Mulyawan, “KEKUATAN ALAT BUKTI INFORMASI ELEKTRONIK DALAM PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA KEIMIGRASIAN” Jurnal Politeknik (JIKH Vol. 12 No.1 Maret 2018), 107 - 118

10
dijelaskan sebelumnya bahwa dalam pembuktian pidana tidak mengenal hierarki alat bukti
atau pembuktian bebas. Hakim memiliki hak untuk menilai alat bukti yang dihadirkan dalam
persidangan. Hakim terikat dengan minimum pembuktian yaitu dalam menjatuhkan
putusan hakim harus berdasarkan 2 alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 183
KUHAP. Dalam Pasal 5 Ayat 3 UU ITE sendiri menyebutkan bahwa keabsahan alat bukti
informasi elektronik ini diakui oleh hakim apabila menggunakan Sistem Elektronik yang
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU ITE, yaitu yang memenuhi
persyaratan minimum sebagai berikut:
a. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan
Perundang-undangan;
b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan
keteraksesan Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik
tersebut;
c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraan
Sistem Elektronik tersebut;
d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa,
informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan
dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan
e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan,
dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.16

16
, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal. 16
Indonesia. 116

11
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan


Transaksi Elektronik mengakomodasi alat bukti elektronik sebagai respons
terhadap perkembangan kejahatan berbasis teknologi informasi (cybercrime).
Hal ini merupakan langkah signifikan dalam peradilan. Perubahan hukum dan
peraturan selalu mencerminkan perkembangan dalam masyarakat, terutama
seiring dengan perubahan permasalahan yang muncul. Undang-undang ITE
diciptakan untuk mengatasi kejahatan siber dan tetap relevan sebagai dasar
bagi pengambilan keputusan dalam penanggulangan kejahatan siber. Alat
bukti elektronik adalah perangkat atau sistem yang digunakan dalam proses
hukum untuk mengumpulkan, menyimpan, atau menghasilkan bukti
elektronik dalam suatu perkara hukum. Penting untuk mematuhi ketentuan
hukum yang berlaku terkait dengan keotentikan, rantai bukti, dan privasi data.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki dampak signifikan terhadap
posisi alat bukti elektronik dalam persidangan, yang mengatur bahwa alat
bukti elektronik hanya dapat dijadikan petunjuk wajib sesuai dengan aturan
yang ada dalam pasal 31 ayat (3) UU ITE. Perkembangan hukum selalu
beradaptasi dengan perubahan dalam masyarakat dan teknologi, dan hukum
harus responsif terhadap tren kejahatan yang berkembang.

Indonesia mengikuti asas legalitas dalam hukum pidana, yang


mengharuskan setiap tindakan pidana diatur dalam aturan perundang-
undangan. Namun, undang-undang khusus, seperti UU ITE, dapat
memberikan ketentuan yang lebih spesifik tentang penggunaan alat bukti
elektronik. Undang-undang ITE memberikan dasar hukum yang jelas untuk
mengakui alat bukti elektronik, termasuk informasi elektronik dan dokumen
elektronik, sebagai bukti yang sah di persidangan pidana. Alat bukti elektronik
12
memiliki peran penting dalam proses peradilan modern, terutama dengan
pergeseran menuju penggunaan teknologi elektronik. Hal ini mencakup
penggunaan surat elektronik sebagai bukti dalam sidang. Meskipun UU ITE
mengakui bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah, masih ada
kekhawatiran terkait dengan keaslian, keotentikan, dan kerahasian surat
elektronik. Pengaturan yang lebih rinci dan syarat formil mungkin diperlukan
untuk memastikan kepastian hukum dalam penggunaan bukti elektronik.

Alat bukti informasi elektronik dapat disajikan dalam bentuk hasil


cetakan (printout) atau bentuk aslinya. Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang
No.11 Tahun 2008 mengenai alat bukti informasi elektronik mengacu kepada
hasil cetakan sebagai bentuk yang sah. Keterangan ahli, baik ahli digital
forensik maupun ahli hukum, dapat digunakan untuk menentukan keaslian dan
sahnya bukti elektronik. Keterangan ahli ini menjadi dasar pertimbangan
Hakim dalam menilai bukti elektronik. Dalam hukum acara pidana, kekuatan
semua alat bukti adalah sama, dan tidak ada hierarki dalam pembuktian.
Namun, ada ketentuan yang mensyaratkan keterkaitan antara bukti yang satu
dengan bukti yang lain, dan terdapat alat bukti pelengkap. Keaslian dan
autentikasi dari bukti elektronik sangat penting dalam pembuktian, terutama
karena informasi elektronik rentan terhadap perubahan dan pemalsuan. Hakim
memiliki wewenang untuk menilai kekuatan bukti elektronik berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi
Elektronik) dan ketentuan lainnya.

B. SARAN

Semoga makalah ini bisa menambah wawasan pembaca tentang Alat


Bukti Elektronik

13
DAFTAR PUSTAKA

Alcadini Wijayanti, Pujiono & Bambang Dwi Baskoro. “Perkembangan Alat Bukti Dalam
Pembuktian Tindak Pidana Berdasarkan Undang-Undang Khusus Dan Implikasi
Yuridis Terhadap KUHAP” Diponegoro Law Review, (Online). (Vol. I, No. 4. 2012)

Ardwiansyah, Bayu. "Keabsahan Penggunaan Tanda Tangan Elektronik Sebagai Alat Bukti
Menurut Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik." Lex Privatum 5, no. 7 (2017).

Budy Mulyawan, “KEKUATAN ALAT BUKTI INFORMASI ELEKTRONIK DALAM


PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KEIMIGRASIAN” Jurnal Politeknik (JIKH Vol.
12 No.1 Maret 2018).

Hanafi, Hanafi, and Muhammad Syahrial Fitri. "Implikasi Yuridis Kedudukan Alat Bukti
Elektronik Dalam Perkara Pidana Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
20/PUU XIV/2016." Al-Adl: Jurnal Hukum 12, no. 1 (2020).

Isma, Nur Laili, and Arima Koyimatun. "Kekuatan pembuktian alat bukti informasi
elektronik pada dokumen elektronik serta hasil cetaknya dalam pembuktian tindak
pidana." Jurnal Penelitian Hukum Gadjah Mada 1, no. 2 (2014).

Kekuatan Nilai Pembuktian Terhadap Alat bukti informasi elektronik Dalam Penanganan
Tindak Pidana,” Kejaksaan Republik Indonesia :
https://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=28 &idsu=35&id=4183. 06
Okt 2023.

Manope, Indra Janli. "Kekuatan Alat Bukti Surat Elektronik Dalam Pemeriksaan Perkara
Pidana." Lex Crimen 6, no. 2 (2017).

M. Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan


Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali)” (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012).

Rivan Nelson, Maarthen Y. Tampanguma, Reymen M. rewah, “Analisis yuridis mengenai


pembuktian informasi electronic (digital Evidence) Sebagai Alat Bukti Yang Sah
dalam Hukum Acara Pidana”.

Ramiyanto. "Bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana." Jurnal
Hukum dan Peradilan 6, no. 3 (2017).

Sujamawardi, Lalu Heru. "Analisis Yuridis Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik." Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan
Investasi 9, no. 2 (2018).

14
Suhariyanto, Budi. "Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime): Urgensi Pengaturan
dan Celah Hukumnya." (2012).

Sumber Chat GPT “Pengertian Alat Bukti Elektronik dalam Pandangan Hukum Acara
Pidana” (Diakses pd tgl 6 Okt 2023)

Tumiwa, Natalia Maria. "Tinjauan Hukum Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana” LEX
PRIVATUM 9, No. 4 (2021).

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal. 16
Indonesia.

Pertanyaan dan Jawaban dari Hasil Diskusi


1. pertanyaan dari Lutfa : Bagaimana pengaturan mengenai Alat Bukti
Elektronik dalam KUHAP dan Undang-Undang ITE?

Jawaban dari Azka : Dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana),
alat bukti elektronik diatur dalam Pasal 184B hingga Pasal 184I. Sedangkan terkait
Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), ketentuan mengenai alat
bukti elektronik terdapat dalam beberapa pasal, antara lain Pasal 5 dan Pasal 10.
Dalam prakteknya, pemanfaatan alat bukti elektronik harus memenuhi standar
keabsahan, integritas, otentik, dan reliabilitas sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Penggunaan teknologi informasi dan elektronik diatur untuk mendukung
keberlanjutan proses hukum.

2. Pertanyaan dari Basori : Apa peran utama alat bukti elektronik dalam hukum
acara pidana?

Jawaban dari Zainal Abidin : Alat bukti elektronik memiliki peran utama dalam
hukum acara pidana sebagai bukti yang digunakan untuk mendukung atau
menyanggah suatu tuntutan hukum. Alat bukti elektronik dapat berupa pesan teks,
email, rekaman video, atau data elektronik lainnya yang digunakan untuk
membuktikan keberadaan fakta atau kejadian dalam suatu perkara pidana.
Penggunaan alat bukti elektronik memerlukan ketentuan dan prosedur khusus guna
memastikan keabsahan dan keandalannya di pengadilan.

Jawaban kedua dari Sahrul Riski Darusman : Alat bukti elektronik memiliki peran
utama dalam hukum acara pidana untuk mendukung penyelidikan dan pembuktian
tindak pidana. Bukti elektronik, seperti data digital atau rekaman elektronik, dapat
digunakan sebagai bukti yang kuat dalam persidangan untuk menentukan kesalahan
atau keabsahan klaim. Penggunaan alat bukti elektronik memainkan peran penting
dalam memastikan keadilan dan ketertiban hukum dalam penegakan pidana.
15
3. Pertanyaan dari Mohammad Romli : Berbicara alat bukti elektronik, di
Indonesia adalah negara hukum dan jika ada suatu benda atau alat elektronik
yg dilarang penggunaannya di Indonesia atau dilarang oleh hukum. Apakah
ketika ada kasus tindak pidana yg melibatkan hal tersebut boleh digunakan di
Indonqesia semisal judi online ?

Jawaban dari Nurul Iman Adianta : Penggunaan alat bukti elektronik dalam suatu
kasus tindak pidana, seperti judi online, dapat diakui di Indonesia asalkan memenuhi
ketentuan hukum yang berlaku. Namun, keberlakuan alat bukti tersebut juga dapat
dipengaruhi oleh prosedur perundang-undangan dan keabsahan bukti tersebut di mata
hukum. Jadi, keabsahan penggunaan alat bukti elektronik dalam suatu kasus dapat
ditentukan oleh peraturan hukum yang berlaku.

16

Anda mungkin juga menyukai