Rahadi Wasi Bintoro1, Antonius Sidik Maryono1 dan Lidang Sinta Mutiara1
1
Fakultas Hukum, Universitas Jenderal Soedirman
ABSTRAK
E-court pada satu sisi akan memberikan kemudahan pada masyarakat dalam mengakses keadilan
melalui pengadilan, namun pada sisi yang lain e-court dihadapkan pada prinsip pemeriksaaan secara
langsung yang dianut dalam hukum acara saat ini. Namun pada sisi lain, masyarakat membutuhkan
mekanisme penyelesaian yang sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman. Hal ini lah yang menjadi ketertarikan peneliti untuk
mengangkat isu hukum tentang penerapan e-court dalam pemeriksaan perkara perdata di pengadilan.
Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan, pendekatan
konseptual. Berdasar analisis terdapat banyak efisiensi melalui e-court, mulai dari administrasi
pendaftaran, sampai perluasan makna audi et alteram partem. Namun demikian perlu dicermati,
bahwa tidak semua lapisan masyarakat memahami tentang teknologi informasi dan seandainya e
court benar-benar diterapkan, maka perlu kerja keras bagi pemerintah untuk menjamin ketersediaan
infrastruktur jaringan internet, agar semua lapisan masyarakat dapat memanfaatkan e-court dengan
baik, serta sosialisasi tentang e-court.
ABSTRACT
E-court makes it easy for the public to access justice through the courts, but on the other hand, e-
court is prone to conflicts with the principle of direct examination adhered to in current procedural
law. However, the community needs a simple, fast and low cost settlement mechanism as mandated
in the Law on Judicial Power. This is what interests researchers to raise legal issues regarding the
application of e-court in the examination of civil cases in court. This study uses two approaches,
namely a statutory approach, a conceptual approach. Based on the analysis, there are many
efficiencies through e-court, starting from registration administration, to broadening the meaning of
audi et alteram partem. However, it should be noted that not all levels of society understand
information technology and if e court is actually implemented, it will take hard work for the
government to ensure the availability of internet network infrastructure, so that all levels of society
can make good use of e-court, as well as socialization.
340
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers
”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X”
6-7 Oktober 2020
Purwokerto
ISBN 978-602-1643-65-5
PENDAHULUAN
Eksistensi peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sebenarnya telah menjadi
amanah bagi kekuasaan kehakiman, sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (4) Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya
disingkat Undang-undang Nomor 48 tahun 2009) yang didalamnya terkandung prinsip peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan. Penjelasan Pasal 2 ayat (4) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009
menyebutkan bahwa sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara
efesien dan efektif, sedangkan yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang
dapat dijangkau oleh masyarakat.
Ketiga aspek, meliputi sederhana, cepat dan biaya ringan, sebagai suatu prinsip hukum
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam hukum acara, yang dalam
penerapannya ditegakkan dalam aturan hukum yang berbeda-beda, karena masing-masing
mempunyai tolok ukur yang berbeda pula, namun bertujuan satu yaitu tegaknya prinsip peradilan
sederhana cepat dan biaya ringan. Pembenahan terhadap salah satu aspek, pada gilirannya akan
mempengaruhi aspek yang lain pula.
Pada tahun 2018, Mahkamah Agung mengeluarkan gagasan untuk menerapkan suatu
digitalisasi perkara dengan menggunakan sebuah aplikasi, yaitu e-Court. Aplikasi tersebut
diharapkan dapat lebih memudahkan pihak-pihak yang berperkara pada lembaga peradilan. E-court
merupakan proses pemeriksaan di pengadilan secara elektronik. Bahkan pada Tahun 2020
Mahkamah Agung berencana untuk menerapkan e-litigasi pada semua Lembaga peradilan.
Berdasarkan hal tersebut tulisan ini membahas tentang perbandingan pemeriksaan e-court dan
konvensional.
METODE PENELITIAN
Dalam rangka menjawab isu hukum, maka akan dilakukan penelitian hukum, dengan
menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (Marzuki, 2005), pendekatan
konseptual (Marzuki, 2005) dan pendekatan kasus (Marzuki, 2005), dengan obyek berupa peraturan
perundang-undangan, teori hukum, yang kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan
metode interpretasi.
Mencermati kebutuhan teknologi dalam dunia peradilan, Mahkamah Agung sebagai salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia pada tahun 2010 mengeluarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Elektronik. Surat edaran ini mewajibkan
untuk menyertakan dokumen elektronik bagi permohonan kasasi dan peninjauan kembali.
Mahkamah Agung kemudian pada tahun 2018 mengintrodusir penerapan teknologi dalam peradilan
melalui Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi
Perkara di Pengadilan. (Hanif, 2019) Paska diterbitkannya PerMA Nomor 3 Tahun 2018 tentang
Administrasi Perkara Di Pengadilan Secara Elektronik Direktur Jenderal Badan Peradilan Militer
dan Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI telah menindaklanjutinya dengan
mengeluarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara Mahkamah Agung RI Nomor 307/Djmt/Kep/5/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan
341
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers
”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X”
6-7 Oktober 2020
Purwokerto
ISBN 978-602-1643-65-5
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara
Elektronik.
PerMA No. 3 Tahun 2018 kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi dengan Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan
Persidangan di Pengadilan secara Elektronik adalah bentuk nyata pengembangan teknologi di
Pengadilan. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) adalah suatu peraturan yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Agung sebagai bagian dari kekuasaan administrai negara, untuk mengatur dan
menjalankan tugas pemerintahan di bidang peradilan. (Fauzan, 2015)
Sistem e-court Mahkamah Agung E-court ini mengatur mulai dari pengguna layanan
administrasi perkara, pendaftaran administrasi perkara, pemanggilan para pihak, penerbitan salinan
putusan, dan tata kelola administrasi, pembayaran biaya perkara yang seluruhnya dilakukan secara
elektronik/online saat mengajukan permohonan/gugatan perkara perdata, agama, tata usaha negara
yang berlaku di masing-masing lingkungan peradilan tanpa perlu datang langsung ke gedung
pengadilan.
Pembayaran perkara juga menjadi semakin ringkas (PTUN Yogyakarta, 2015). Hal
disebabkan penggugat tinggal memanfaatkan sistem e-payment yang memungkinkan pembayaran
dilakukan dari bank apapun, seperti penggunaan internet banking, sms banking, transfer ATM mitra
pembayaran yang dimiliki pengadilan tersebut. Digunakannya system e payment dapat mengurangi
pungutan liar di pengadilan. Ini merupakan salah satu buruknya system administrasi di pengadilan,
karena diduga pada tahap ini marak terjadi Praktik pungutan liar.
Setelah melakukan verifikasi, maka proses selanjutnya adalah pemanggilan. Pemanggilan
pada e-court dilakukan dengan system summons. System ini mempermudah proses dan menghemat
biaya, karena pemanggilan dilakukan langsung ke domisili elektronik termasuk meniadakan
kebutuhan prosedur delegasi dalam hal para pihak bertempat tinggal di wilayah yurisdiksi yang
berbeda. System summons akan menekan biaya yang dikeluarkan oleh penggugat.
Penggunaan teknologi untuk keadilan dalam persidangan, dipercaya dapat mencegah praktik
korupsi di lingkungan peradilan. Keterbukaan terhadap sains dan teknologi bagi kalangan hukum
adalah suatu keniscayaan. Oleh karenanya, saint dan teknologi merupakan bagian dari kebutuhan
program reformasi hukum. Penggunaan teknologi informasi akan mendukung dan memastikan tata
kelola administrasi dan proses peradilan yang baik.
Penggunaan teknologi dalam proses persidangan merupakan suatu harapan untuk menjawab
permasalahan klasik dalam persidangan, yaitu prosedur yang rumit, waktu yang lama dan biaya yang
mahal. Penggunaan teknologi ini juga berguna bagi peningkatan kinerja pemerintah menjadi lebih
bersih, akurat dan akuntabeln sebagaimana digariskan dalam konsep good governace.
Prosedur peradilan secara elektronik inilah yang kemudian dikenal sebagai e-court yang
diharapkan dapat mencapai tujuan dalam penyelenggaraan peradilan yang tentunya sesuai dengan
asas peradilan yang sederahana, cepat dan biaya ringan. E-Court diperuntukan untuk perkara Perdata,
Perdata Agama, Tata Usaha Militer dan Tata Usaha Negara pada tingkat pertama, banding, kasasi dan
peninjauan kembali (Pasal 3 ayat (1) dan (2) PerMA No. 1 Tahun 2019. E-Court adalah proses
administrasi perkara dan persidangan dengan menggunakan sistem elektronik yang dimulai dari
penerimaan gugatan/permohonan/ keberatan/ bantahan/ perlawanan/ intervensi, penerimaan
pembayaran, penyampaian panggilan/pemberitahuan, jawaban, replik, duplik, kesimpulan,
penerimaan upaya hukum dan penyampaian dokumen perkara secara elektronik.
E-Court dapat diakses oleh pengguna terdaftar (Advokat) dan pengguna lainnya (Jaksa
342
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers
”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X”
6-7 Oktober 2020
Purwokerto
ISBN 978-602-1643-65-5
343
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers
”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X”
6-7 Oktober 2020
Purwokerto
ISBN 978-602-1643-65-5
diambil dari nomor pendaftaran yang diberikan oleh pemegang kas. Petugas Meja Kedua menyerahkan
kembali 1 (satu) rangkap surat gugatan atau permohonan yang telah diberi nomor register kepada pihak
berperkara. Pihak/pihak-pihak berperkara akan dipanggil oleh jurusita/jurusita pengganti untuk
menghadap ke persidangan setelah ditetapkan Susunan Majelis Hakim (PMH) dan hari sidang
pemeriksaan perkaranya (PHS).
Dalam rangka mengakomodir Bagi yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara
prodeo (cuma-cuma). Ketidakmampuan tersebut dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan
dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisasi oleh Camat. Bagi yang tidak mampu maka
panjar biaya perkara ditaksir Rp. 0,00 dan ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM),
didasarkan pasal 237 - 245 HIR.
Dalam tingkat pertama, para pihak yang tidak mampu dapat berperkara secara prodeo atau
cuma-cuma. Perkara secara prodeo ini ditulis dalam surat gugatan atau permohonan bersama-sama
(menjadi satu) dengan gugatan perkara. Dalam posita surat gugatan atau permohonan disebutkan
alasan penggugat atau pemohon untuk berperkara secara prodeo dan dalam petitumnya.
Proses pertama yang harus dilaksanakan oleh para pihak (penggugat dan tergugat) dalam
persidangan adalah mediasi, sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Pada dasarnya Pasal 130 HIR, 154 Rbg telah
menyediakan sarana untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak melalui perdamaian. Upaya
penyelesaian melalui perdamaian jauh lebih efektif dan efesien, antara lain disebabkan penyelesaian
dilakukan secara informal, diselesaikan oleh para pihak sendiri, jangka waktu penyelesaian pendek,
biaya ringan, tidak terikat pada aturan pembuktian, proses penyelesaian bersifat konfidensial,
hubungan para pihak bersifat kooperatif, hasil yang dituju adalah sama-sama menang serta bebas dari
emosi dan dendam. Namun demikian, dalam praktiknya, Pasal 130 HIR, 154 Rbg ini hanya
dilaksanakan sekedar memenuhi formalitas saja (Bintoro, 2014), bahwa hakim pada awal sidang
selalu menanyakan apakah para pihak telah mencapai kesepakatan/ perdamaian atau belum? dan
apabila belum, maka proses persidangan dilanjutkan, serta diakhir sidang hakim kemudian
menyarankan agar para pihak menempuh upaya perdamaian. Pelaksanaan Pasal 130 HIR yang
terkesan formalistik saja, mengakibatkan proses persidangan perkara perdata berlanjut sampai tingkat
Mahkamah Agung (MA), sehingga mengakibatkan penumpukan perkara di MA.
Berdasarkan ketentuan Pasal 136 HIR, pemeriksaan dan penjatuhan putusan terhadap eksepsi
berkaitan dengan kompetensi harus diperiksa dan diputus terlebih dahulu sebelum pokok perkara,
bahkan secara ex officio, hakim dapat menyatakan dirinya tidak berwenang memeriksa perkara
tersebut (Pasal 134 HIR/ Pasal 132 Rbg). Acontrario, eksepsi diluar kompetensi harus diperiksa dan
diputus bersama dengan pokok perkara. Contoh eksepsi diluar kompetensi adalah penggugat tidak
dalam kualitasnya untuk mengajukan gugatan, gugatan kabur, kurangnya pihak, gugatan prematur,
ataupun gugatan daluwarsa. Atas jawaban tergugat, penggugat diberi kesempatan untuk
menyampaikan replik dan atas replik penggugat, tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan duplik.
Hakim, dalam rangka mendapatkan kepastian tentang peristiwa yang diajukan, maka dalam
mengkonstatir peristiwa perlu dilakukan proses pembuktian. Mengingat betapa pentingnya
pembuktian untuk memperoleh kebenaran suatu peristiwa, maka sudah seharusnya hakim harus
menguasai hukum pembuktian. Kurang menguasai hukum pembuktian, kecuali akan menghambat
jalannya persidangan, maka hal tersebut akan menghasilkan konstatering yang tidak tepat. Hal ini
menyebabkan peradilan tidak berfungsi sebagaimana diharapkan.
Proses sentral dalam proses peradilan perdata adalah masalah pembuktian (Mertokusumo,
344
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers
”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X”
6-7 Oktober 2020
Purwokerto
ISBN 978-602-1643-65-5
2002). Proses pembuktian akan menentukan siapa yang “berhak” atau “wenang” terhadap pokok
perkara yang disidangkan. Dalam Pasal 164 HIR/ Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
disebutkan alat bukti dalam perkara perdata terdiri dari: bukti tertulis; bukti saksi; bukti persangkaan-
persakaan; bukti pengakuan; dan bukti sumpah. Namun demikian masih terdapat bukti lain yang
berada di luar Pasal 164 HIR yaitu pemeriksaan setempat (Pasal 153 HIR) dan keterangan ahli (Pasal
154 HIR)
Setelah hakim mengkonstatir peristiwanya kemudian hakim mengkualifisir peristiwa tersebut.
Mengkualifisir berarti menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi tersebut termasuk
hubungan hukum apa atau yang mana. Dengan perkataan lain, menemukan hukum terhadap peristiwa
yang telah dikonstatir. Mengkualifisir pada umumnya berarti menemukan hukum dengan jalan
menerapkan hukum terhadap suatu peristiwa, suatu kegiatan yang pada umumnya lebih bersifat logis.
Akan tetapi, dalam kenyataan, menemukan hukum tidak sekedar menerapkan peraturan hukum
terhadap peristiwa saja. Lebih-lebih kalau peraturan hukumnya kurang atau tidak jelas. Maka dalam
hal ini, hakim tidak lagi harus menemukan hukum, tetapi hakim akan menciptakan hukum. Hakim
harus berani menciptakan hukum yang tidak bertentangan dengan keseluruhan sistem perundang-
undangan dan memenuhi pandangan serta kebutuhan masyarakat dan zaman.
Tahap terakhir setelah peristiwa dikonstatir dan dikualifisir, yaitu hakim harus mengkonstituir
atau memberi konstitusi. Hal ini berarti hakim menetapkan hukum terhadap hubungan hukum yang
terjadi antara para pihak. Dalam tahap ini, hakim mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor,
yaitu (peraturan) hukum dan premise minor, yaitu peristiwanya. Sekalipun hal ini merupakan
silogisme, tetapi bukan semata-mata hanya logika saja yang menjadi dasar kesimpulan hakim.
Keadilan yang diputuskan hakim bukanlah produk dari intelek hakim, “but of his spirit”
(Mertokusumo, 2002).
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Alasan-alasan atau argumentasi tersebut dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim atas
putusan yang dijatuhkan kepada masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum,
sehingga akan mempunyai nilai obyektif. Putusan yang tidak atau kurang cukup pertimbangannya
merupakan alasan untuk dapat diajukan kasasi dan harus dibatalkan.
Hakim, dalam kerangka mempertanggungjawabkan putusan yang dijatuhkan, dapat mencari
dukungan pada putusan pengadilan lainnya yang sejenis ataupun ilmu pengetahuan. Mencari
dukungan pada putusan pengadilan tidak berarti bahwa terikat pada putusan mengenai perkara yang
sejenis yang pernah dijatuhkan oleh Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi ataupun pengadilan pada
tingkat pertama lainnya. Prinsip “the binding force of precedent” (Mertokusumo, 2002). Hakim harus
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Hakim harus berani
pada suatu ketika meninggalkan yurisprudensi yang ada, kalau sekiranya sudah usang dan sudah tidak
sesuai lagi dengan zaman atau keadaan masyarakat, sebagai contoh adalah putusan Hoge Raad 31
Januari 1919 dalam perkara Cohen v. Lindenbaum yang dikenal sebagai drukkers arrest. Pengertian
perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas (Hasan, 1996). Perbuatan melawan hukum kemudian
diartikan tidak hanya perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis, yaitu perbuatan yang
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku dan melanggar hak subyektif orang lain.
Ilmu pengetahuan hukum merupakan sumber pula bagi hakim untuk mendapatkan bahan guna
mempertanggungjawabkan putusan hakim. Kewibawaan ilmu pengetahuan, karena didukung oleh
para pengikutnya serta sifat obyektif ilmu pengetahuan akan menyebabkan putusan hakim bernilai
obyektif pula (Hasan, 1996).
345
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers
”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X”
6-7 Oktober 2020
Purwokerto
ISBN 978-602-1643-65-5
Berdasarkan penjelasan tersebut, tampak bahwa betapa rumit dan panjangnya prosedur
beracara secara konvensional. Hal ini berbeda dengan konsep yang dibangun dengan sistem e-court,
secara konseptual, e-court memang diharapkan dapat mengatasi kerumitan beracara secara
konvensional. Penerapannya pun cenderung tidak ada pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hukum
acara. Namun merubah konsep konvensional menjadi elektronik, bukanlah pekerjaan yang mudah,
karena tidak hanya membutuhkan system tetapi juga sarana dan prasarana yang memadai penggunaan
teknologi ini.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Bintoro, RW. 2014. Implementasi mediasi Litigasi di pengadilan Negeri Purwokerto. Jurnal
Dinamika Hukum. 14 (1); 13-24
Fauzan. 2015. Peranan PERMA & SEMA Sebagai Pengisi Kekosongan Hukum Indonesia Menuju
Terwujudnya Peradilan yang Agung. Kencana, Jakarta.
Hakim, FL. 2019. Simplifikasi Prosedur Beracara dengan Pemanfaatan Teknologi dalam Rancangan
Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Jurnal Hukum Acara Perdata, 5(1); 1-18
Hanif, RNF. 2019, E-court, Berperkara Di Pengadilan Secara Elektronik,
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12840/E-court-Berperkara-Di-Pengadilan-
Secara-Elektronik.html, diakses pada 2 Januari 2020
Hasan, D. 1996. Istilah dan Pengertian Perbuatan Melawan Hukum dalam Laporan Akhir
Kompendium Bidang Perbuatan Melawan Hukum. Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman RI, Jakarta.
Marzuki, PM. 2005. Penelitian Hukum. Kencana-Prenada Media. Jakarta.
Mertokusumo, S. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
PTUN Yogyakarta. 2019. E-court dan Masa Depan Sistem Peradilan Modern di Indonesia,
https://ptun-yogyakarta.go.id/index.php/artikel/193-e-court-dan-masa-depan-sistem-
peradilan-modern-di-indonesia.html, 2 januari 2020Ammar, E, V.R. Correa, S.A. Hogenhout,
and M.G. Redinbaugh. 2014. Immunofluorescence localization and ultrastructure of Stewart’s
wilt disease bacterium Pantoea stewartii in maize leaves and in its flea beetle vector
Chaetocnema pulicaria (Coleoptera: Chrysomelidae). Journal of Microscopy and
Ultrastructure 2(2014): 28 – 33.
346