Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

SISTEM PEMBUKTIAN PERSPEKTIF HUKUM TELEMATIKA

OLEH :

T. Rahmat Rezeki
191010487

Matkul Hukum Telematika


Kelas K

Dosen Pengampu : Anggraini Dwi Milandry S.H.,M.H

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Di Indonesia kehadiran teknologi informasi telah diundangkan UU No. 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU No. 19 Tahun

2016 sebagaimana diubah dengan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (selanjutnya disingkat UU ITE). UU ITE merupakan payung

hukum pertama untuk mengatur adanya aktifitas transaksi elektronik di Indonesia,

dan memberikan pembaruan hukum dengan tujuan menjamin kepentingan

masyarakat akan jaminan kepastian hukum untuk bertransaksi dengan

memanfaatkan media elektronik.

Pada tahapan perkembangannya, modus operasi kejahatan bergerak maju

seiring perkembangan peradaban manusia . Sejalan dengan perkembangan

masyarakat dan teknologi, manusia semakin tinggi memanfaatkan fasilitas

teknologi digital, untuk berinteraksi antara individu yang satu dengan individu yang

lain . Hampir semua aktivitas perekonomian di dunia memanfaatkan media internet

dengan menggunakan sarana sistem elektronik. Salah satu segi aktivitas ekonomi

yaitu transaksi dengan memanfaatkan dunia internet yang populer dikenal dengan

perdagangan melalui media internet (e-commerce). Kemajuan dunia internet

melahirkan suatu dunia modern yang populer dikenal dengan dunia internet, di

mana dalam dunia internet individu yang satu dengan individu yang lain bisa

2
berinteraksi tanpa batas wilayah dan dilakukan tanpa bertemu muka secara

langsung tetapi dilakukan melalui transaksi elektronik

Bukti dalam hal ini adalah bukti digital merupakan hal yang sangat penting

dalam menunjang penyelidikan suatu kasus. Namun, bukti digital khususnya harus

dianggap skeptis karena hanya ada dalam representasi biner. Tanpa mekanisme

perlindungan yang memadai, data tersebut dapat dengan mudah dimanipulasi tanpa

meninggalkan jejak. Pengumpulan, penanganan, penyimpanan dan penyajian bukti

digital telah menemui beberapa masalah di masa lalu (Richter, Kuntze, & Rudolph,

2010). Richter et al. (2010) sendiri melakukan penelitian membuat sistem

pengukuran dalam mengumpulkan barang bukti digital dalam hal ini adalah

pelanggaran lalu lintas. Richter et al. menekankan bahwa dalam membuat sistem

pengukuran dalam mengumpulkan barang bukti digital, forensik data digital harus

digunakan selama proses rekayasa sistem. Selain itu, dalam perencanaan sistem

diperlukan konsep pengambilan keputusan yang matang agar sistem memiliki

tingkat reliabitas dan keamanan yang tinggi. Namun, mengenai penyimpanan bukti

digital belum banyak penelitian yang membahas mengenai tempat penyimpanan

barang bukti digital yang memadai.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana sistem pembuktian perspektif hukum telematika?

2. Apa saja kekuatan pembuktian dokumen elektronik dan bagaimana proses

digital forensik?

3
BAB II

ISI

Salah satu tonggak penting dalam dunia peradilan Indonesia dikaitkan dengan

kemajuan teknologi adalah dengan dikeluarkannya peraturan mengenai peradilan

elektronik atau e-Court pada Maret 2018 yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor

3 Tahun 2018 (PERMA No 3 Tahun 2018) tentang Administrasi Perkara di

Pengadilan Secara Elektronik. Pada peluncuran secara resmi aplikasi e-Court pada

tanggal 13 Juli 2018 di Balikpapan, Ketua Mahkamah Agung pada saat itu,

Muhammad Hatta Ali menyatakan dengan peluncuran aplikasi e-Court ini berarti

Mahkamah Agung telah menuju peradilan elektronik yang secara fundamental akan

mengubah praktek pelayanan keperkaraan di pengadilan dan membawa peradilan

Indonesia satu langkah lagi mendekati praktek peradilan di negara maju.44

Dikatakan bahwa perkembangan hukum di Indonesia siap atau tidak harus

mengikuti “gelombang online.”

Pada Agustus 2019, hanya dalam jangka waktu kurang dari dua tahun

Mahkamah Agung menyempurnakan PERMA Nomor 3 tahun 2018 tersebut

terutama yang peraturan yang berkaitan dengan tata cara persidangan secara

elektronik dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun

2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara

Elektronik (PERMA No 1 Tahun 2019), menambah ruang lingkup dari e-Court

dengan e-Litigation, semula ruang lingkup dalam PERMA No 3 tahun 2018 hanya

terdiri dari : (1) e-Filling, (2) e-Payment, (3) e-Summons dengan PERMA No 1

4
Tahun 2019 menjadi : (1) e-Filling, (2) e-Payment, (3) e-Summons dan (4) e-

Litigation. Untuk melengkapi ketentuan mengenai persidangan elektronik perdata

ini, pada Mei 2022 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 3 Tahun 2022 tentang Mediasi di Pengadilan secara Elektronik.

Ketentuan yang berhubungan dengan dokumen elektronik dalam PERMA No 1

Tahun 2019 diatur dalam Pasal 1 Angka 10 bahwa dokumen elektronik adalah

dokumen terkait persidangan yang diterima, disimpan dan dikelola di Sistem

Informasi Pengadilan dan pada Pasal 26 yaitu adanya putusan/penetapan elektronik

yang dituangkan dalam bentuk salinan putusan/penetapan elektronik yang dibubuhi

tanda tangan elektronik menurut peraturan perundang-undangan mengenai

informasi dan transaksi elektronik.

Karakteristik Barang Bukti Digital Menurut Richter, Kuntze, & Rudolph,

(2010) untuk dapat diterima di persidangan barang bukti digital harus memenuhi

karakteristik bukti digital yaitu Admissible (layak), Authentic (asli), Complete

(lengkap), Reliable (dapat dipercaya) dan Believable (terpercaya).

1. Admissible

Barang bukti digital harus sesuai dengan fakta dan masalah yang terjadi dan

dapat diterima serta digunakan secara hukum mulai dari proses penyidikan sampai

ke pengadilan.

2. Authentic

Bahwa barang bukti harus mempunyai hubungan keterkaitan yang jelas secara

hukum dengan kasus yang diselidiki dan barang bukti bukan hasil rekayasa. Selain

5
itu, barang bukti digital harus dapat dibuktikan dalam pengadilan bahwa barang

bukti tersebut masih asli dan tidak pernah diubah-ubah..

3. Complete

Barang bukti harus lengkap dan dapat membuktikan tindakan jahat yang

dilakukan pelaku kejahatan. Barang bukti yang dikumpulkan, tidak cukup hanya

berdasarkan satu perspektif dari sebuah kejadian yang berlangsung. - Reliable

Barang bukti yang dikumpulkan harus dapat dipercayai. Pengumpulan barang bukti

dan analisis yang dilakukan harus sesuai prosedur dan dilakukan dengan jujur.

Selain itu barang bukti tidak boleh meragukan dan benar benar harus dapat

dipercayai serta sesuai dengan prosedur yang SOP yang berlaku.

4. Believable

Barang bukti dan presentasi yang dilakukan di pengadilan harus dapat

dimengerti oleh hakim dan dapat dipercayai. Penyampaian barang bukti di

pengadilan harus menggunakan bahasa awam yang dapat dimengerti oleh hakim.

Mengenai informasi dan transaksi elektronik. Ketentuan yang mengatur

mengenai dokumen/informasi elektronik juga dapat ditemukan dalam peraturan

perundang-undangan lain sebelum diundangkannya PERMA mengenai

persidangan elektronik ini, seperti dalam (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 jo Undang-Undang No 2 Tahun 2014 mengenai Jabatan Notaris (UUJN),

dalam Pasal 15 UUJN tentang kewenangan notaris diatur bahwa Notaris

mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan

yaitu kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber

6
notary); (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan (UUAP), dalam Pasal 1 Angka 11, Pasal 38 Ayat (1) UUAP diatur

bahwa Pejabat dan/atau Badan Pemerintahan dapat membuat keputusan berbentuk

elektronis, yaitu keputusan yang dibuat atau disampaikan dengan menggunakan

atau memanfaatkan media elektronik bahkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang

(ATR/BPN) sudah berencana untuk menerbitkan sertifikat tanah elektronik dengan

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertipikat Elektronik. Akan terjadi ketidakpastian

hukum di masyarakat apabila sertipikat elektronik sudah diberlakukan secara

nasional namun masih ada perdebatan mengenai kedudukan, keabsahan dan

kekuatan pembuktian alat bukti elektronik.

Berkaitan dengan tahap pembuktian, Pasal 25 PERMA No 1 Tahun 2019

mengatur bahwa pembuktian dilaksanakan sesuai dengan hukum acara yang

berlaku ini berarti untuk hukum pembuktian masih mendasarkan pada hukum acara

perdata yang selama ini berlaku, tidak ada pengaturan baru untuk pembuktian

elektronik maupun alat bukti elektronik selain pada Pasal 24 PERMA No 1 Tahun

2019 yang menegaskan bahwa untuk pengambilan kesaksian alat bukti saksi dapat

dilaksanakan secara jarak jauh melalui media komunikasi audio visual yang

memungkinkan semua pihak dapat berpartisipasi dalam persidangan dan

pelaksanaannya dilaksanakan dengan infratruktur pada pengadilan, masih

diperlukan peraturan pelaksanaan yang lebih lanjut mengenai prosedur untuk

mengambil kesaksian jarak jauh ini. Pada dasarnya untuk pengambilan kesaksian

jarak jauh dapat dilakukan dengan beberapa kemungkinan seperti: Hakim yang

7
mengambil kesaksian dan saksi yang memberikan kesaksian sama-sama berada di

pengadilan tapi bukan pada pada pengadilan yang sama; hakim yang mengambil

kesaksian berada di pengadilan sedangkan saksi yang memberikan kesaksian tidak

berada di pengadilan; atau hakim yang mengambil kesaksian dan saksi yang

memberikan kesaksian samasama tidak berada di pengadilan.

Contoh kasus untuk pengambilan kesaksian jarak jauh dilakukan pada sidang

perdata tanggal 19 Maret 2021 untuk permohonan perubahan nama dan status jenis

kelamin atas Pemohon Aprilia Manganang. Sidang dilaksanakan di Pengadilan

Negeri Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara sedangkan Pemohon dan sebagian

saksi-saksi berada di Jakarta tepatnya di Markas Besar TNI Angkatan Darat.46

Kasus Manganang ini cukup menarik perhatian publik dan ada media yang

menyiarkan proses sidang untuk mendengarkan keterangan saksi ini secara lansung.

Berdasarkan kasus Manganang ternyata kesaksian jarak jauh tidak harus dilakukan

di pengadilan, tentunya fakta ini akan dijadikan preseden namun juga perlu

diperhatikan bentuk kasus Manganang adalah permohonan bukan gugatan. Dalam

permohonan hanya ada satu pihak saja yaitu pemohon dan tidak ada sengketa atau

perselisihan disitu sedangkan dalam gugatan ada lebih dari satu pihak yaitu

penggugat-tergugat dan ada sengketa.

Jadi dalam kasus Manganang pihaknya hanya Manganang saja tidak ada pihak

lain/lawan yang akan mempertanyakan keabsahan kesaksian jarak jauh tersebut.

Apabila bentuknya gugatan tentunya banyak hal yang harus dipertimbangkan oleh

hakim untuk mengabulkan permohonan kesaksian jarak jauh yang tidak dilakukan

di pengadilan seperti memastikan identitas saksi yang memberikan keterangan,

8
memastikan keterangan saksi yang diberikan bebas dari paksaan, Apabila kesaksian

diberikan di pengadilan tentunya Ketua Pengadilan tersebut akan bertanggung

jawab secara ex oficio, sehingga keabsahan kesaksian jarak jauh yang dilakukan di

pengadilan tidak akan dipermasalahkan. Tanpa adanya tata cara yang tegas,

kesaksian jarak jauh akan rentan untuk diprotes oleh pihak pihak yang bersengketa,

hakim dapat dituduh tidak partial, berpihak ke salah satu pihak atau dapat

mengakibatkan sidang dianggap cacat formil karena ada kesalahan pada prosedur

pemeriksaan saksi.

Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Elektronik

Menurut Edmon Makarim kekuatan pembuktian suatu informasi elektronik

dapat dibedakan menjadi tiga yaitu lemah, sedang dan kuat, (1) Lemah, validitas

tidak terjamin dalam menjelaskan suatu peristiwa hukum yang direkamnya dan

tidak mampu menjelaskan atau memastikan subyek hukum yang bertanggung

jawab (2) Sedang, validitas terjamin dapat menjelaskan suatu peristiwa hukum yang

direkamnya dan mampu menjelaskan atau memastikan subyek hukum yang

bertanggung jawab namun akuntabillitas/ reabilitas sistem elektronik yang

digunakan tidak berjalan dengan baik (tidak terakreditasi), dapat dengan mudah

disangkal dan (3) Kuat, validitas terjamin dapat menjelaskan suatu peristiwa hukum

yang direkamnya dan mampu menjelaskan atau memastikan subyek hukum yang

bertanggung jawab disini akuntabillitas/ reabilitas sistem elektronik yang

digunakan juga berjalan dengan baik (terakreditasi), sehingga sepanjang tidak dapat

dibuktikan lain apa yang dinyatakan oleh sistem dapat dianggap valid secara teknis

dan hukum.47 Alat bukti elektronik dengan kekuatan pembuktian kuat inilah yang

9
kekuatannya pembuktiannya selayaknya secara materiil dapat disamakan dengan

akta otentik yaitu mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Informasi/

dokumen elektronik memenuhi kriteria menjadi alat bukti hukum yang sah

sepanjang tidak dikecualikan dan dapat memenuhi syarat functional equivalent

approach atau kesetaraan fungsional dan berasal dari sistem elektronik yang

memenuhi persyaratan perundang-undangan.

Dalam UU ITE, suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik

dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, yaitu

data digital yang ditemukan dapat diakses oleh sistem elektronik; dapat

ditampilkan, yaitu data digital tersebut dapat ditampilkan oleh sistem elektronik;

dijamin keutuhannya, yaitu bukti di

gital yang dihasilkan proses pemeriksaan dan analisis harus utuh isinya; dapat

dipertanggungjawabkan, yaitu apa yang dihasilkan mulai dari proses pembuatan

dokumen sampai dengan pengiriman dapat dijamin keasliannya.

Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen yang

tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakikatnya informasi dan/atau

dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik.

Suatu informasi elektronik adalah bernilai secara hukum karena secara fungsional

keberadaanya adalah sepadan dengan atau setara dengan suatu informasi yang

tertulis di atas kertas, sebagaimana telah diamanatkan dalam UNCITRAL tentang

nilai hukum dari suatu rekaman elektronik karena memenuhi unsur tertulis,

bertanda tangan dan asli.

10
Dalam lingkup sistem elektronik, informasi yang asli dengan salinannya tidak

relevan lagi untuk dibedakan sebab sistem elektronik pada dasarnya beroperasi

dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat

dibedakan lagi dari salinannya sebagai alat bukti,52 suatu akta otentik memiliki

kekuatan pembuktian lahiriah, formal dan materiil apabila dihubungkan dengan

dokumen elektronik maka harus dapat dijamin keutuhan isinya dan secara formal

dapat dipertanggungjawabkan.

Alat bukti elektronik adalah alat bukti yang sah dan merupakan perluasan dari

dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia,

sebenarnya bagaimanakah penafsiran dari perluasan alat bukti yang sah tersebut?

Apakah itu berarti alat bukti elektronik mempunyai kekuatan yang sama dengan

lima alat bukti yang diatur dalam Pasal 164 HIR/ 284 Masih terdapat perbedaan

penafsiran disini, ada putusan hakim yang belum mengakui alat bukti elektronik,

dokumen elektronik serta hasil cetaknya tidak mempunyai kekuatan pembuktian

yang kuat atau sempurna bahkan hasil cetak dari dokumen elektronik masih

dianggap sebagai alat bukti berupa fotokopi, alat bukti elektronik merupakan alat

bukti bebas yang untuk kekuatan pembuktiannya masih memerlukan alat bukti

pendukung seperti ahli digital forensic. Begitupun dalam hal pemeriksaan di

persidangan sebagai bagian dari hukum pembuktian, belum ada pengaturan yang

tegas untuk dapat dijadikan pedoman bagaimana alat bukti elektronik dibawa untuk

kemudian diserahkan ke persidangan serta bagaimana tata cara memperlihatkannya

kepada hakim dan pihak lawan. Permasalahan-permasalahan dalam alat bukti

11
elektronik tersebut pada akhirnya akan menimbulkan ketidakadilan bagi

masyarakat.

Dalam permasalahan apakah alat bukti elektronik merupakan alat bukti yang

dapat berdiri sendiri atau hanyalah merupakan perluasan saja dari alat bukti Edmon

Makarim menjelaskan bahwa memang ada perbedaan pendapat diantara ahli hukum

menyikapi permasalahan tersebut. Untuk ahli hukum yang positifistik akan

menyatakan bahwa UU ITE secara jelas menyatakan bahwa suatu informasi

elektronik/dokumen elektronik hanyalah merupakan perluasan dari alat bukti saja

padahal informasi elektronik/dokumen elektronik sepatutnya juga dapat menjadi

alat bukti tersendiri bukan hanya sebagai perluasan dari alat bukti saja yang

merupakan konsekuensi dari perumusan Pasal 5 ayat (1) UU ITE yang mengakui

informasi elektronik atau dokumen elektronik dalam bentuk originalnya yang

elektronik tersebut selain itu pada ayat (3) pasal yang sama diatur bahwa

keberadaan alat bukti elektronik baru dapat dianggap sah jika memenuhi ketentuan

yang diatur dalam UU ITE.

Ketika undang-undang belum mampu menjawab semua permasalahan hukum

yang ada di masyarakat karena perkembangan masyarakat belum mampu

diakomodir oleh undang-undang atau dalam hal apa yang diatur dalam

undangundang tidak selalu jelas dan ternyata tidak memberi pemecahan terhadap

setiap permasalahan yang muncul di masyarakat, termasuk mengenai alat bukti

elektronik ini maka jawaban atas permasalahan hukum tersebut hanya bisa

diberikan oleh hakim di persidangan. Hakim harus dapat menemukan hukum/

rechtvinding dengan menggali nilai-nilai yang ada dalam masyarakat/ living law,

12
seperti diatur dalam undang-undang bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk

memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa

hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan

mengadilinya.

Dalam membuat putusan, seorang hakim harus berpedoman pada

undangundang. Sepanjang ada aturan dalam undang-undang, hakim terikat atas

ketentuan dalam undang-undang namun diatur pula bahwa hakim tidak semata-

mata corong undang-undang. Oleh karenanya kebebasan hakim dalam

melaksanakan kekuasaan kehakiman tidaklah bersifat mutlak, hakim harus

membuat pertimbangan hukum dalam putusannya yang harus memuat alasan dan

dasar putusan, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Putusan adalah mahkota bagi seorang hakim, dalam putusannya terlihat bagaimana

kualitas seorang hakim dan tentunya harus dapat dipertanggungjawabkan.

Sebagaimana kaidah hukum maka hakim dalam membuat suatu putusan akan

menggunakan metode analisis yuridis komprehensif untuk memecahkan persoalan

secara hukum dari suatu perkara yang sedang ditanganinya dengan mementingkan

beberapa aspek: (1) aspek yuridis yaitu sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku sebagai pendekatan pertama dan utama; (2)

aspek sosiologis yaitu sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku dalam

masyarakat dan (3) aspek filosofis yaitu berintikan pada kebenaran dan rasa

keadilan. Seperti pendapat Soerjono Soekanto bahwa apabila hanya mementingkan

aspek yuridis maka suatu putusan menjadi tidak hidup, apabila hanya

13
mementingkan aspek sosiologis maka putusan hanya akan menjadi sarana pemaksa

dan apabila hanya mementingkan aspek filosofis maka putusan akan menjadi tidak

realistik. Oleh karena itu pertimbangan hukum seorang hakim dalam putusannya

selalu mencakup tiga hal yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Selain

untuk kepentingan para pihak, putusan pengadilan juga mempunyai fungsi publik.

Pada putusan Mahkamah Agung, putusan memiliki fungsi panutan dan prediktif

dimana isi dari putusan harus bisa memberi tahu masyarakat luas bagaimana

Mahkamah Agung dalam menerapkan hukum dan menjadi panutan jika mungkin

timbul adanya perkara yang serupa. Putusan hakim terdiri dari beberapa bagian,

bagaimanakah kekuatan mengikat dari dari masing-masing bagian tersebut?

Kekuatan mengikat dari putusan itu pada umumnya tidak terbatas pada diktum saja

tetapi meliputi juga bagian dari putusan yang merupakan dasar putusan pada

dasarnya meneliti mengenai pertimbangan hakim pada semua putusan hakim tidak

terbatas hanya putusan hakim pada Mahkamah Agung saja tapi termasuk juga

dalam tingkat pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi, ini menjadi penting

karena suatu putusan hakim dapat menimbulkan atau meniadakan hubungan

hukum, membuat kaidah hukum baru dengan penemuan hukum dan terutama akan

mengikat pihak yang bersengketa dan menjadi hukum. Ilmu pengetahuan hukum

selalu mengikuti peradilan untuk mengetahui bagaimana peraturan-peraturan

hukum itu diciptakan dalam praktek peradilan dan peraturan-peraturan baru

manakah yang diciptakan oleh peradilan. Hal ini menyebabkan pentingnya suatu

putusan hakim, dalam permasalahan ini adalah bagaimana hakim menanggapi suatu

alat bukti elektronik.

14
Umumnya yang dimaksud digital forensic dalam konteks proses pembuktian di

pengadilan adalah keseluruhan proses dalam mengambil, memulihkan,

menyimpan, memeriksa informasi atau dokumen elektronik yang terdapat dalam

sistem elektronik atau media penyimpanan, berdasarkan cara dan dengan alat yang

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah untuk kepentingan pembuktian.62

Sehingga dengan dilakukannya uji digital forensic terhadap suatu alat bukti

elektronik maka dapat diketahui apakah persyaratan Pasal 6 UU ITE telah dipenuhi,

proses uji digital forensic ini dilakukan oleh ahli digital forensic. Pada persidangan

ahli digital forensic akan memberikan keterangan sesuai dengan keahliannya

tersebut tentang keabsahan suatu alat bukti elektronik yang diajukan. Sehingga

dengan dilakukannya uji digital forensic terhadap suatu alat bukti elektronik maka

dapat diketahui apakah persyaratan Pasal 6 UU ITE telah dipenuhi, proses uji digital

forensic ini dilakukan oleh ahli digital forensic. Pada persidangan ahli digital

forensic akan memberikan keterangan sesuai dengan keahliannya tersebut tentang

keabsahan suatu alat bukti elektronik yang diajukan.

Dalam suatu model forensik digital melibatkan tiga komponen terangkai yang

dikelola sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah tujuan akhir dengan segala

kelayakan serta hasil yang berkualitas. Ketiga komponen tersebut adalah:

1. Manusia (People), diperlukan kualifikasi untuk mencapai manusia yang

berkualitas. Memang mudah untuk belajar komputer forensik, tetapi untuk menjadi

ahlinya, dibutuhkan lebih dari sekadar pengetahuan dan pengalaman.

15
2. Peralatan (Equipment), diperlukan sejumlah perangkat atau alat yang tepat

untuk mendapatkan sejumlah bukti yang dapat dipercaya dan bukan sekadar bukti

palsu.

3. Aturan (Protocol), diperlukan dalam menggali, mendapatkan, menganalisis,

dan akhirnya menyajikan dalam bentuk laporan yang akurat. Dalam komponen

aturan, diperlukan pemahaman yang baik dalam segi hukum dan etika, kalau perlu

dalam menyelesaikan sebuah kasus perlu melibatkan peran konsultasi yang

mencakup pengetahuan akan teknologi informasi dan ilmu hukum.

Menurut Kavrestad, Bukti digital adalah data-data yang dikumpulkan dari

semua jenis penyimpanan digital yang menjadi subjek pemeriksaan forensic

komputer. Dengan demikian segala sesuatu yang membawa informasi digital dapat

menjadi subjek penyelidikan, dan setiap pembawa informasi yang ditargetkan

untuk pemeriksaan harus diperlakukan sebagai bukti. Menurut Zuhri, Evidence

yang dimaksud dalam kasus forensik pada umumnya tidak lain adalah informasi

dan Evidence.Menurut salah satu ahli forensik Indonesia Muhammad Nuh,

beberapa klasifikasi barang bukti digital forensic yaitu:

1. Barang Bukti Elektronik

Barang bukti ini bersifat fisik dan dapat dikenali secara visual, sehingga

data. Cara pandangnya sama saja, tetapi dalam kasus komputer forensik, kita

mengenal subjek tersebut sebagai Digital investigator dan analis forensic harus

sudah memahami barang bukti tersebut ketika sedang melakukan proses pencarian

barang bukti di TKP.

Contoh dari barang bukti elektronik fisik adalah seperti:

16
1. Komputer pc, laptop, netbook, tablet

2. Handphone, smartphone

3. Flashdisk/thumb drive

4. Floppydisk

5. Harddisk

6. Cd/dvd

7. Router, switch, hub

8. Kamera video, cctv

9. Kamera digital

10. Digital recorder

11. Music/video player, dan lain-lain

2. Barang Bukti Digital

Barang bukti digital bersifat digital yang diekstrak dari barang bukti elektronik.

Di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik dikenal dengan istilah informasi elektronik dan dokumen

elektronik.

Berikut contoh barang bukti digital (informasi/dokumen elektronik) :

1. Logical file

2. Deleted file

3. Lost file

4. File slack

5. Log file

6. Encrypted file

17
10

a. Steganography file

b. Office file

c. Audio file

d. Video file

e. Image file

f. Email

g. User id dan password

h. Sms (short message service)

i. Mms (multimedia message service)

j. Call logs : incoming, outgoing & missed

Rules of evidence merupakan sebuah pengaturan barang bukti dimana

barang bukti harus memiliki keterkaitan dengan kasus yang diinvestigasi dan

memiliki kriteria sebagai berikut:

1. Layak dan dapat diterima (Admissible)

Artinya barang bukti yang diajukan harus dapat diterima dan digunakan demi

hukum, mulai dari kepentingan penyidikan sampai ke pengadilan.

2. Asli (Authentic)

Barang bukti harus mempunyai hubungan keterkaitan yang jelas secara hukum

dengan kasus yang diselidiki dan bukan rekayasa.

3. Akurat (Accurate)

Barang bukti harus akurat dan dapat dipercaya.

4. Lengkap (Complete)

18
Barang bukti dapat dikatakan lengkap jika didalamnya terdapat petunjuk-petunjuk

yang lengkap dan terperinci dalam membantu proses investigasi.

Prosedur Penanganan Awal Di TKP

1. Persiapan (Preparations)

Hal-hal yang harus dipersiapkan dan dimiliki oleh analisis forensic dan investigator

sebelum melakukan proses penggeledahan di TKP diantaranya:

a. Administrasi penyidikan : seperti surat perintah penggeledahan dan surat perintah

penyitaan.

b. Kamera digital : digunakan untuk memotrek TKP dan barang bukti secara

fotografi forensic (foto umum, foto menengah dan foto close up).

c. Peralatan tulis : untuk mencatat antara lain spesifikasi teknis computer dan

keterangan para saksi.

d. Nomor, skala ukur, label lembaga, serta sticker label kosong : untuk menandai

masing-masing barang bukti eletronik yg ditemukan di TKP.

e. Formulir penerimaan barang bukti : digunakan untuk kepentingan chain of

custody yaitu metodologi untuk menjaga keutuhan barang bukti dimulai dari tkp.

f. Triage tools : digunakan untuk kegiatan triage forensik terhadap barang bukti

komputer yang ditemukan dalam keadaan hidup (on).

2. Identifikasi bukti digital (Identification / Collecting Digital Evidence)

Merupakan tahapan yang dilakukan untuk identifikasi dimana bukti itu berada,

dimana bukti itu disimpan, bagaimana penyimpanannya dan mengumpulkan data

sebanyak mungkin untuk mempermudah penyelidikan.

19
3. Penyimpanan bukti digital (Preserving Digital Evidence)

Bentuk dan isi bukti digital hendaknya disimpan dalam tempat yang steril.

Untuk benar-benar memastikan tidak ada perubahanperubahan, hal ini vital untuk

diperhatikan. Karena sedikit perubahan saja dalam bukti digital, akan merubah juga

hasil penyelidikan. Bukti digital secara alami bersifat sementara (volatile), sehingga

keberadaannya jika tidak teliti akan sangat mudah sekali rusak, hilang, berubah,

atau mengalami kecelakaan.

4. Menetapkan Data (Confirming)

Merupakan tahapan kegiatan untuk menetapkan data-data yang berhubungan

dengan kasus yang terjadi

5. Mengenali Data (Identifying)

Merupakan serangkaian kegiatan untuk melakukan proses identifikasi terhadap

data-data yang sudah ada agar memastikan bahwa data tersebut memang unik dan

asli sesuai dengan yang terdapat pada tempat kejadian perkara. Untuk data digital,

misalnya melakukan identifikasi dengan teknik hashing (sidik jari digital terhadap

barang bukti).

B. Prosedur Penanganan Di Laboratorium

1. Administrasi Penerimaan

Pada tahapan ini, barang bukti komputer yang masuk dan diterima petugas

laboratorium, yang dalam hal ini analisis forensic harus dicatat secara detail di

dalam log book, disamping di formulir penerimaan.

Berikut data yang harus dicatat:

a. Nama lembaga pengirim barang bukti eletronik

20
b. Nama petugas pengirim barang bukti eletronik, termasuk identitasnya secara

lengkap.

c. Tanggal penerimaan.

d. Jumlah barang bukti eletronik yang diterima, dilengkapi dengan spesifikasi

teknisnya seperti merek, model, dan serial/product number serta ukuran (size).

e. system hashing, yaitu suatu sistem pengecekan otentikasi isi dari

suatu file (baik image/evidence file maupun file logical) dengan

menggunakan algoritma matematika seperti MD5, SHA1, dan lainlain.

2. Akuisisi Bukti Digital

Pada tahapan ini, dilakukan proses forensic imaging yaitu menggandakan

isi dari barang bukti elektronik contoh imaging pada harddisk secara physical

sehingga hasil imaging akan sama persis dengan barang bukti secara physical.

Derajat kesamaan ini dapat dipastikan melalui proses hashing yang diterapkan pada

keduanya.

3. Pemeriksaan (Investigation)

Pada tahapan ini, terhadap image file dilakukan pemeriksaan secara

komprehensif dengan maksud untuk mendapatkan data digital yang sesuai dengan

investigasi, ini artinya analisis forensik harus mendapatkan gambaran fakta kasus

yang lengkap dari investigator, sehingga apa yang dicari dan akhirnya ditemukan

oleh analisis forensic adalah sama (matching) seperti yang diharapkan oleh

investigator untuk pengembangan investigasinya. Setelah mendapatkan gambaran

fakta kasusnya, kemudian analisis forensic melakukan pencarian (searching)

terhadap image file untuk mendapatkan file atau data yang diinginkan.

21
4. Analisis Data (Analyzing)

Setelah mendapatkan file atau data digital yang diinginkan dari proses

pemeriksaan diatas, selanjutnya data tersebut dianalisis secara detail dan

komprehensit untuk dapat membuktikan kejahatan apa yang terjadi dan kaitannya

pelaku dengan kejahatan tersebut. Hasil analisis terhadap data digital tadi

selanjutnya disebut sebagai barang bukti digital yang harus dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan hukum di Pengadilan.

5. Mencatat Data (Recording)

Melakukan pencatatan terhadap data-data hasil temuan dan hasil analisis

sehingga nantinya data tersebut dapat dipertanggungjawabkan atau dapat

direkonstruksi ulang (jika diperlukan) atas temuan barang bukti tersebut.

C. Prosedur Penanganan Laporan

1. Laporan

Tahapan pembuatan laporan terhadap hasil proses pemeriksaan dan analisis

yang diperoleh dari barang bukti digital, selanjutnya data tersebut dimasukkan ke

dalam laporan teknis.

2. Pembungkusan dan penyegelan

Pembungkusan dan penyegelan barang bukti : memuat proses

pembungkusan dan penyegelan barang bukti yang telah dianalisis secara digital

forensic untuk diserahkan kepada pihak lembaga yang telah mengirimnya.

3. Administrasi Penyerahan Laporan

Selanjutnya laporan hasil pemeriksaan secara digital forensic berikut barang

bukti eletroniknya diserahkan kembali kepada investigator atau lembaga

22
pengirimnya.

D. Presentasi Data (Presenting)

Kegiatan dimana bukti digital akan dipersidangkan, diuji otentifikasi dan

dikorelasikan dengan kasus yang ada. Pada tahapan ini menjadi penting, karena

disinilah proses-proses yang telah dilakukan sebelumnya akan diurai kebenarannya

serta dibuktikan kepada hakim untuk mengungkap data dan informasi kejadian.

23
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Barang Bukti Digital berperan penting dalam pengungkapan kasus tindak

kejahatan cyber atau digital. Dalam pengungkapan kasus tersebut, barang bukti

harus memiliki 4 kriteria yakni admissibile, authentic, accurate dan complete.

Selain itu harus ditangani oleh pihak yang telah terkualifikasi dalam hal ini

bersertifikasi dalam bidang digital forensic agar penaganan barang bukti digital

dilakukan sesuai prosedur sehingga kasus dapat terungkap kebenarannya.

24
Referensi

Fadhil, Muhammad. "KEOTENTIKAN DAN KEPASTIAN HUKUM

PENYELENGGARAAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK DALAM

PERJANJIAN PADA PENYELENGGARA TANDA TANGAN

ELEKTRONIK BERINDUK DI INDONESIA DITINJAU DARI

PERSPEKTIF HUKUM TELEMATIKA." PhD diss., Universitas Gadjah

Mada, 2020.

Fatma, Mawarni, and Syahidin Syahidin. "Jual Beli Online: Pada Penipuan

Perspektif Hukum Telematika." Gajah Putih Journal of Economics

Review 4, no. 2 (2022): 01-09.

Is, Muhamad Sadi, and MH SHI. Aspek Hukum Informasi Indonesia. Prenada

Media, 2021.

Makarim, Edmon. "Himpunan peraturan perundang-undangan telematika." (2005).

Prasetyo, Teguh. "Pengantar Hukum Indonesia." (2021).

Putra, A. S. (2019). Penting Nya Kesadaran Hukum Rakyat Indonesia Di Bidang

Teknologi Informasi Di Tinjau Dari Keberadaan Cybercrime. SNIT

2012, 1(1), 10-14.

Soeparna, Intan Innayatun. "Kejahatan Telematika sebgai Kejahatan

Transnasional." In Seminar Nasional Hukum Telematika. Universitas

Airlangga. 2008.

Sugeng, S. P., and MH SH. Hukum Telematika Indonesia. Prenada Media, 2020.

25
Sugiswati, Besse. "Aspek Hukum Pidana Telematika Terhadap Kemajuan

Teknologi Di Era Informasi." Perspektif 16, no. 1 (2011): 59-72.

Suisno, Ayu Dian Ningtias. "Urgensi Hukum Telematika Dalam Perlindungan Data

Pribadi." Jurnal Independent 8, no. 1 (2020): 265-272.

26

Anda mungkin juga menyukai