Anda di halaman 1dari 8

PERSPEKTIF SIYASAH SYAR’IYYAH DALAM PENERAPAN SISTEM E-COURT

DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PONOROGO


Ahmad Najib Nashrullah
Fakultas………………, Institut Agama Islam Negeri Ponorogo
……………@gmail.com/@iain.ac.id

ABSTRAK
Mahkamah Agung sudah berupaya laksanakan inovasi melalui digitalisasi pelayanan
administrasi perkara dengan sistem electronic court (e-court), yang secara regulatif diatur
melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019. Penelitian ini mempunyai tujuan
untuk memahami bagaimana penerapan sistem e-court terlebih di Pengadilan Tata Usaha
(PTUN) Ponorogo dan implikasinya pada penerapan asas peradilan cepat, sederhana dan
ongkos ringan perspektif Siyasah Syar’iyyah. Jenis penelitian ini merupakan penelitian
lapangan dengan pendekatan yuridis normatif, data bersifat data primer dan data sekunder
yang diperoleh melalui observasi, wawancara dan pustaka, data yang terkumpul dianalisis
secara kualitatif. Adapun kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1) PTUN
Ponorogo secara efektif telah menerapkan sistem e-court sebagai implikasi berlakunya
Perma Nomor 1 Tahun 2019, meskipun penerapannya masih terbatas pada tahap jawab-
menjawab (gugatan, jawaban, replik, dan duplik), kesimpulan dan putusan. 2) sistem e-court
berdampak pada proses berperkara yang lebih efisien dan efektif serta lebih murah dari segi
biaya, para pihak tidak perlu datang dan mengantre diloket pelayanan, melainkan cukup
mengakses aplikasi e-court. 3) Pada prinsipnya, Islam tidak alergi ataupun menolak
modernisasi, sehingga sepanjang tujuan dari penerapan e-court adalah untuk memudahkan
pencari keadilan, maka keberadaan dan pelaksanaannya harus diapresiasi.
Kata Kunci: E-Court, PTUN Ponorogo, Siyasah Syar’iyyah, Administrasi Peradilan
ABSTRACT
The Supreme Court has attempted to carry out innovation through digitizing case
administration services with an electronic court (e-court) system, which is regulated by the
Supreme Court Regulation No.1 of 2019. This research aims to understand how to implement
the e-court system, especially in the Administrative Court. The Ponorogo business (PTUN)
and its implications for the application of the principles of fast, simple, and low-cost justice
from the perspective of Siyasah Syar'iyyah. This type of research is field research with a
normative juridical approach, primary data, and secondary data obtained through observation,
interviews, and literature, the data collected is analyzed qualitatively. The conclusions
obtained from this study are: 1) PTUN Ponorogo has effectively implemented the e-court
system as an implication of the enactment of Perma No.1 of 2019, although its application is
still limited to the answer-answer stage (lawsuit, answers, replications, and duplicates),
conclusions and verdicts. 2) the e-court system has an impact on a more efficient and
effective litigation process and is cheaper in terms of costs, parties do not need to come and
queue at the service counter but simply access the e-court application. 3) In principle, Islam is
not allergic or rejects modernization, so as long as the aim of implementing e-court is to
facilitate justice seekers, its existence and implementation must be appreciated.
Keyword: E-Court, PTUN Ponorogo, Siyasah Syar’iyyah, Judicial Administration

PENDAHULUAN
Penyelenggaraan peradilan di Indonesia didasarkan pada prinsip pengadilan yang cepat,
sederhana, dan murah. Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 tentang Kekuasaan Kehakiman tahun 2009
secara jelas mengatur asas ini. Kesederhanaan berarti meninjau dan menyelesaikan kasus
dengan cara yang efektif. Prinsip kecepatan adalah prinsip umum, berkaitan dengan waktu
penyelesaian, dan waktu penyelesaian tidak lama. Prinsip kecepatan adalah motto yang
terkenal, penundaan peradilan yang adil menunda penyangkalan yudisial, yang berarti bahwa
prosedur peradilan yang lambat tidak akan memungkinkan para pihak untuk memperoleh
keadilan.1
Oleh karena itu, dengan menggunakan prinsip ini, prosedur peradilan dapat
memberikan kepastian hukum dan yuridis secepat mungkin. Pasalnya, masalah penanganan
perkara telah menjadi masalah yang dihadapi oleh hampir semua lembaga peradilan di dunia.
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa pengadilan harus mampu menjadi
institusi yang mendukung mereka yang mencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan untuk mencapai prinsip peradilan yang cepat, sederhana, dan murah. Pasalnya,
sebagian besar masyarakat kesulitan untuk melakukan litigasi di pengadilan karena proses
litigasi yang sangat rumit dan memakan waktu yang lama. Tapi sebelum putusan dibuat, itu
adalah bagian penting dari proses peradilan Saat hakim meninjau dan memutuskan kasus
tersebut.2
Meskipun penilaian tersebut masih terlalu dini, pada akhirnya akan merusak eksistensi
hukum dan keadilan itu sendiri, dan tampaknya masyarakat sulit memperoleh keadilan.
Sayangnya, masyarakat terkadang menggunakan situasi ini untuk menyelesaikan masalah
hukum dengan cepat seperti kewaspadaan, pembangkangan sipil, atau penganiayaan.
Kekerasan adalah solusi dari masalah tersebut. Jika salah satu pihak meyakini hipotesis ini,
maka akan sangat berbahaya, karena beberapa hal berkembang dari dalam diri seseorang, dan
terkadang akan berkembang menjadi sebuah konsep yang dapat memahami fenomena
lingkungan sosial sekitarnya.3
Untuk itu, Mahkamah Agung diharapkan tidak menutup mata ketika melihat
permasalahan dan fenomena yang terjadi, sehingga menuntutnya untuk terus melakukan
inovasi dan penyederhanaan akses untuk para pencari keadilan tanpa sekat strata sosial. Guna
1
Muhammad Yasin, “Peradilan yang Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a7682eb7e074/peradilan-yang-sederhana-cepat-
danbiayaringan/, diakses tanggal 11 Agustus 2020.
2
Syamsuddin, Rahman “Penerapan Sanksi Pidana Terhadap anak dibawah Umur Pengemudi Kendaraan
Bermotor Yang Menyebabkan Kematian”, Alauddin Law Development, Volume 2, Nomor 1, (Maret 2020), hlm.
17-28.
3
Kurniati, “Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Diskursus HAM dalam Karya Nawal Sa’dawi”, Al-
Daulah, Volume 8, Nomor 1, (Januari 2019), hlm. 52-61.
mewujudkan harapan tersebut, Mahkamah Agung Republik Indonesia menyelenggarakan
Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Peradilan pada tahun 2015. Ini merupakan bentuk
dorongan yang bertujuan untuk mendorong budaya inovasi lembaga peradilan demi
terciptanya pelayanan yang prima dan berpihak pada pengguna layanan.
Saat ini, semua pengadilan di Indonesia sudah mulai meluncurkan dan melakukan
inovasi layanan, seperti pendaftaran perkara online, pendampingan delegasi online, hotline
pengaduan, dll. Baru pada tahun 2018 lalu, melalui pemanfaatan teknologi informasi untuk
menciptakan ide dan terobosan, dan melalui sistem pengadilan elektronik (e-court) 5 untuk
mendigitalkan perkara, proses administrasi peradilan secara bertahap diubah dari sistem
analog menjadi sistem digital.
E-Court adalah layanan bagi pengguna terdaftar untuk mendaftarkan kasus secara
online, memperoleh perkiraan biaya pengadilan online, melakukan pembayaran online,
melakukan panggilan melalui saluran elektronik, dan mendengarkan persidangan yang
dilakukan secara elektronik. Penerapan sistem peradilan elektronik dilakukan sesuai dengan
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tentang perkara elektronik dan pengelolaan persidangan
tahun 2019. Dalam pandangan Islam, modernisasi dalam lembaga peradilan sebagai tuntutan
zaman yang sah dilakukan, sepanjang kebijakan itu memberi manfaat bagi masyarakat. Jika
implementasi sistem e-court yang telah menjadi kebijakan Mahkamah Agung dapat
memberikan kepada para pencari keadilan, kebijakan tersebut tidak dapat dianggap sebagai
kebijakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam, sebab Allah SWT tidak pernah
mempersulit hamba-Nya.4
Sehingga keberadaan sistem e-court yang sudah menjadi kebijakan Mahkamah Agung
dan yang sudah diatur lewat Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 th.
2018 sebagaimana sudah diubah bersama Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 th. 2019
perihal Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik harus dapat
dukungan di dalam pelaksanaannya. Tetapi, sebagai kebijakan yang relatif masih baru, maka
tentu masih butuh penyesuaian dan penyempurnaan, dan juga mengidentifikasi
permasalahan-permasalahan yang dihadapi di dalam pengaplikasiannya. Seperti ketersediaan
perangkat teknologi, kesiapan sumber energi manusia sampai pengaturan hukum acara yang
masih memilih penanganan perkara secara manual.5
Berangkat dari pernyataan diatas, peneliti menganggap perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui bagaimana penerapan sistem e-court dan implikasinya terhadap asas peradilan
cepat, sederhana, dan biaya ringan dari perspektif Siyasah Syar’iyyah, khususnya di
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ponorogo.

4
E-Court Mahkamah Agung Republik Indonesia,
https://indonesia.go.id/layanan/kependudukan/ekonomi/ecourt-mahkamah-agung-ri, diakses tanggal 24 April
2021.
5
Muhammad Adiguna Bimasakti, dkk., “ Hukum Acara Peradilan Elektronik Pada Peradilan Tata Usaha
Negara”, (Makassar: Spasi Media Publishing, 2020), hlm. 183.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan pendekatan yuridis normatif, data
berupa data primer dan data sekunder yang diperoleh melalui observasi, wawancara dan
pustaka, data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Penerapan Sistem e-court di Pengadilan Tata Usaha Negara Ponorogo
Sistem ketatangeraan Indonesia, memosisikan Mahkamah Agung Republik Indonesia
sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, yang kewenangannya
dalam bidang judicial diatur langsung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Menurut Ridwan HR, sebagaimana dikutip oleh Kusnadi Umar
bahwa kewenangan organ pemerintahan yang diperoleh secara langsung dari redaksi pasal
tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan disebut sebagai kewenangan atribusi.6
Selain berwenang mengadili terhadap tingkat kasasi, menguji keputusan perundang-
undangan dibawah undang-undang, didalam menjalankan tugas dan fungsinya, Mahkamah
Agung termasuk diberikan kewenangan untuk membentuk peraturan, yaitu Peraturan
Mahkamah Agung (Perma). Keberadaan Perma sangat menunjang pelaksanaan tugas dan
fungsi Mahkamah Agung, termasuk untuk menutupi kekosongan hukum, layaknya
keputusan beracara sebagai hukum formil. Perma bagi dunia hukum dan peradilan
memiliki fungsi dan peran yang terlalu besar, didalam penyelesaian-penyelesaian perkara
sebagai bentuk public service, hal ini menandakan begitu pentingnya kehadiran Perma
didalam penataan peradilan di Indonesia7, dikarenakan tidak seluruh kasus tekhnis
beracara diatur didalam undang-undang.
Tahun 2019, Mahkamah Agung menerbitkan Perma Nomor 1 Tahun 2019 Tentang
Administrasi Perkara dan Persidangan Secara Elektronik di Pengadilan, yang pada intinya
memiliki tujuan untuk menanggulangi segala hambatan dan kendala didalam upaya
mewujudkan sistem peradilan yang sederhana, cepat dan cost ringan 8. Perma selanjutnya
merasa diberlakukan pada tanggal 19 Agustus 2019, dan berlaku untuk seluruh peradilan
dilingkup Mahkamah Agung, merasa Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan
Militer dan juga Pengadilan Tata Usaha Negara, termasuk Pengadilan Tata Usaha Negara
Ponorogo.
Pasca diterbitkannya Perma tersebut, Pengadilan Tata Usaha Negara Ponorogo telah
mengupayakan menerapkan sistem persidangan secara elektronik (e-litigasi). E-litigasi
adalah serangkaian sistem memeriksa dan mengadili perkara oleh pengadilan yang
dijalankan dengan bantuan teknologi Info dan komunikasi 9. Untuk langkah pertama,
penyelesaian perkara yang dijalankan secara elektronik (e-court) meliputi, sistem

6
Kusnadi Umar, "Pasal Imunitas Undang-Undang ‘Corona’dan Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan Dalam
Menetapkan Kerugian Negara", El-Iqthisadi: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum,
Volume 2, Nomor 1, (Juni 2020), hlm. 111-125.
7
Jimly Asshiddiqie, “Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia”, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi RI, 2004), hlm. 273-276.
8
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan Di Pengadilan
Secara Elektronik.
9
Ibid. Pasal 1 angka 7…
pendaftaran akun pengguna terdaftar untuk pendaftaran gugatan (e-filing), pembayaran
panjar cost online (e-payment), dan pemanggilan elektronik (e-summons).
Sebagai kebijakan yang masih cukup baru, PTUN Ponorogo masih terus melakukan
sosialiasi kepada masyarakat, salah satu tahapan persidangan yang dimanfaatkan untuk
mensosialisasikan penerapan e-court adalah pada tahap pemeriksaan persiapan. Tahap
pemeriksaan merupakan tahapan pendahuluan sebelum pemeriksaan pokok sengketa
dalam Peradilan Tata Usaha Negara atau suatu tahapan untuk mematangkan perkara
(pemeriksaan persiapan menjadi salah satu karakteristik PTUN). Kaitannya dengan
penerapan sistem e-court adalah dalam pemeriksaan persiapan, majelis hakim akan
menjelaskan mengenai persidangan secara elektronik kepada penggugat dan pihak lainnya.
Oleh karena tahap pemeriksaan persiapan dijadikan sebagai salah satu media atau tahap
untuk memberikan penjelasan kepada para pihak mengenai e-court, maka pada tahap
tersebut, belum diterapkan sistem e-court. Majelis hakim akan memanfaatkan tahapan
pemeriksaan persiapan untuk memberikan penjelasan perihal hak dan kewajiban para
pihak dalam persidangan secara elektronik, yang mencakup hak para pihak untuk
mengakses sistem informasi pengadilan, termasuk juga untuk mengunduh dokumen
elektronik yang berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani.
Selain itu, majelis hakim juga akan menyampaikan kewajiban para pihak untuk
mengunggah dokumen jawab-menjawab (gugatan, jawaban, replik, duplik, kesimpulan)
pada sistem informasi sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Para pihak juga akan
diberikan kesempaan untuk bertanya seputar persidangan secara elektronik.10
…………………………………………..
(Interview hakim)
(Interview pengacara)
2. Sistem e-court dan Implikasinya Terhadap Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan
Biaya Ringan
Peradilan wajib diselenggarakan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan, sebagaimana
amanat Pasal 2 Ayat (4) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Asas sederhana merupakan pemeriksaan dan penyelesaian perkara yang harus
dilakukan secara efisien dan efektif. Meskipun asas cepat tidak dijabarkan baik
dalam Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman maupun pada bagian
penjelasan, akan tetapi prinsip cepat mengacu pada waktu penyelesaian perkara, dimana
pemeriksaan harus dilakukan dengan cepat, artinya pemeriksaan perkara di pengadilan
tidak dilakukan dalam waktu yang lama dan berlarut-larut. Sedangkan yang dimaksud
dengan biaya ringan adalah biaya perkara dapat dijangkau dan tidak memberatkan
masyarakat, serta berkepastian.
Perma Nomor 1 Tahun 2019 merupakan tuntutan perkembangan zaman, yang
mengharuskan pelayanan administrasi perkara dan persidangan di pengadilan yang lebih
efektif dan efisien, termasuk untuk menangani kendala-kendala teknis adminitrasi
persidangan pada instansi peradilan. Penerapan proses e-court diharapkan bisa
meminimalisir praktik-praktik negatif yang sering terjadi didunia peradilan, baik yang
perihal mekanisme dan prosedur pelayanan, maupun yang disebabkan oleh perilaku
10
Ibid. Muhammad Adiguna Bimasakti, dkk.,, hlm. 56.
oknum-oknum tertentu. Pergeseran sistem pelayanan administrasi perkara dari proses
manual menjadi e-court akan berimplikasi pada meningkatnya mutu pelayanan, yang
secara perlahan akan mningkatkan citra positif instansi peradilan.
Selain menambah mutu pelayanan, proses e-court tentu akan berimplikasi pada proses
berpekara yang lebih cepat, gara-gara para pihak hanya memanfaatkan proses Info dan
teknologi. Penggunaan teknologi akan menjadikan pelayanan administrasi lebih efektif
dan efisien serta lebih murah. E-court bisa menekan biaya yang perlu dikeluarkan oleh
para pihak, termasuk biaya transportasi.
Sistem e-court juga dapat meminimalisir praktik suap-menyuap, yang salah satunya dapat
disebabkan oleh interaksi antara pengguna dan petugas layanan yang intens. Dengan
demikian, maka penerapan e-court akan memberikan pelbagai kemudahan bagi para
pencari keadilan. Manfaat dan kemudahan sistem e-court akan semakin terasa pada masa
pandemi Covid-19 seperti saat sekarang ini. Penyelesaian perkara tetap dapat dilakukan,
bahkan keberadaannya dapat mengurangi dan memutus mata rantai penyebaran virus
Corona
Secara umum, penerapan e-court sebagai sistem penyelesaian perkara di PTUN Ponorogo
telah terlaksana dengan baik, dan keberadaannya sangat ideal untuk mewujudkan
asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Dengan penerapan e-court para pihak
tidak perlu datang dan mengantre diloket pelayanan, melainkan cukup mengakses aplikasi
e-court. Meskipun masih terdapat kendala dalam penerapannya, seperti kendala jaringan,
otentifikasi dokumen, sumber daya manusia dan penerapannya yang masih terbatas pada
tahap pendaftaran dan jawab-menjawab, tetapi secara riil, e-court harus diakui telah
memberikan pelbagai kemudahan. Sehingga kedepannya, Mahkamah Agung diharapkan
dapat melakukan penguatan dan pengembangan sistem, sehingga e-court dapat
mengakomodir seluruh tahapan, mulai dari pendaftaran dan seluruh tahapan persidangan.
3. Perspektif Siyasah Syar’iyyah mengenai sistem e-court
Dalam konsep hukum ketatanegaraan Islam, sistem peradilan untuk menyesaikan
persoalan telah ada pada masa Nabi Adam as., di mana Nabi Adam as pernah menjadi
hakim untuk merampungkan pertikaian pada ke-2 anaknya yang bernama Qabil dan Habil.
Hanya saja, wujud peradilan pada masa itu tidak seperti lembaga peradilan yang dikenal
saat ini ini, tapi secara substansi memiliki kesamaan yaitu untuk merampungkan
permasalahan.
Pada era kejayaan Islam, seperti terhadap era Bani Ummayyah, waktu Umar bin Abdul
Aziz diangkat jadi khalifah, terdapat indikasi kesamaan pada PTUN dengan instansi
wilayatul mahzalim, khususnya jika dicermati dari fungsi pokoknya, yaitu untuk
mengadili sengketa yang diakibatkan oleh keputusan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh
penguasa atau pejabat yang merugikan rakyat. Pada era pemerintahan Umar bin Khattab
terasa diatur tata laksana peradilan, pada lain bersama dengan mengadakan penjara dan
pengangkatan sejumlah hakim, dan atas nama Khalifah, merampungkan sengketa pada
anggota masyarakat, bersendikan al-Quran, Sunnah, dan Qiyas.11
Jika dicermati dari konsep maslahah mursalah, penerapan sistem e-court dan
keterkaitannya bersama dengan Siyasah Syar’iyyah serta berasal dari bagian dan aspek
11
Munawir Sjadzali, “Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran”, (Ed. 5; Jakarta: UI-Press, 1990),
hlm. 38-39.
tingkatannya, maka elitigasi atau sidang online termasuk kategori al-Hijayat, bahkan jika
merujuk terhadap definisi maslahah yaitu segala kelakuan dan tindakan demi
mendatangkan kelancaran, kemudahan, serta kesuksesan bagi manusia secara utuh dan
menyeluruh.12
Penerapan e-court sebagai proses yang diinginkan dapat mewujudkan peradilan yang
sederhana, cepat, dan murah sangat sejalan dengan ajaran Islam. Praktik peradilan yang
sederhana, cepat, dan murah terhadap prinispnya sudah diimplementasikan terhadap jaman
Nabi Muhammad saw, di mana jaman Nabi, tidak tersedia sama sekali biaya yang
dipungut oleh negara atau pengadilan untuk menyelesaikan masalah yang berlangsung
pada para pihak.
Kebijakan penerapan biaya perkara yang terjadi selama ini, merupakan efek dari sistem
peradilan yang diterapkan oleh Belanda. Tetapi didalam sistem e-court
melalui fitur e-payment tetap membayar biaya perkara, dalam hal ini setidaknya telah
tersedia pemangkasan biaya operasional dibandingkan dengan sistem sebelumnya. Pada
prinsipnya, Islam tidak alergi ataupun menampik modernisasi, selama tujuannya untuk
kemaslahatan, apalagi jika substansi dari penerapan sistem e-court dilembaga peradilan
adalah untuk memberikan kemudahan bagi para pencari keadilan.
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1) PTUN Ponorogo secara efektif telah menerapkan sistem e-court sebagai implikasi
berlakunya Perma Nomor 1 Tahun 2019, meskipun penerapannya masih terbatas pada tahap
jawab-menjawab (gugatan, jawaban, replik, dan duplik), kesimpulan dan putusan.
2) sistem e-court berdampak pada proses berperkara yang lebih efisien dan efektif serta lebih
murah dari segi biaya, para pihak tidak perlu datang dan mengantre diloket pelayanan,
melainkan cukup mengakses aplikasi e-court.
3) Pada prinsipnya, Islam tidak alergi ataupun menolak modernisasi, sehingga sepanjang
tujuan dari penerapan e-court adalah untuk memudahkan pencari keadilan, maka keberadaan
dan pelaksanaannya harus diapresiasi.

12
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, “Kamus Ilmu Ushul Fiqh”, (Jakarta: Amzah), hlm. 205.
Daftar Pustaka
Buku
Asshiddiqie, Jimly., “Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia”, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2004).
Bimasakti, Muhammad Adiguna, dkk., “Hukum Acara Peradilan Elektronik Pada Peradilan
Tata Usaha Negara”, (Makassar: Spasi Media Publishing, 2020).
Internet
Muhammad Yasin, “Peradilan yang Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a7682eb7e074/peradilan-yang-sederhana-
cepat--dan-biayaringan/ , diakses tanggal 24 April 2021.
E-Court Mahkamah Agung Republik Indonesia,
https://indonesia.go.id/layanan/kependudukan/ekonomi/e-court-mahkamah-agung-ri , diakses
tanggal 24 April 2021.
E-Court Mahkamah Agung Ponorogo
https://www.pa-ponorogo.go.id/layanan-hukum/e-court , diakses tanggal 25 April 2021
Jurnal
Umar, Kusnadi., "Pasal Imunitas Undang-Undang ‘Corona’dan Kewenangan Badan
Pemeriksa Keuangan Dalam Menetapkan Kerugian Negara", El-Iqthisadi: Jurnal Hukum
Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum, Volume 2, Nomor 1, (Juni 2020).
Atikah, Ika. "Implementasi E-Court dan Dampaknya Terhadap Advokat Dalam Proses
Penyelesaian Perkara di Indonesia." Proceeding, Open Society Conference, (2018).
Peraturan
Republik Indonesia, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi
Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik.
Wawancara
..................
...............

Anda mungkin juga menyukai