Anda di halaman 1dari 5

KEKUATAN PEMBUKTIAN DOKUMEN ELEKTRONIK PASCA PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI NOMOR 20/PUU-XIV/2016 DALAM KASUS PEMBUNUHAN WAYAN


MIRNA SALIHIN OLEH JESSICA KUMALA WONGSO.

UJIAN AKHIR SEMESTER MATA KULIAH CYBER LAW

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS AKHIR MATA KULIAH CYBER LAW

OLEH:
RANI VIRDHALIANA
110110150036

DOSEN:
DR. AMIRULLOH, S.H., M.H
HELITHA MUCHTAR, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2018
Di dalam hukum acara baik hukum acara pidana maupun hukum acara perdata,
ketika seseorang akan membuktikan suatu dalil baik itu Jaksa Penuntut Umum yang akan
membuktikan dalil dakwaannya, maupun Terdakwa yang akan membantah dalil dakwaan
dari Jaksa Penuntut Umum atau Penggugat yang akan membuktikan dalil gugatannya
maupun Tergugat yang akan membantah dalil gugatan dari Penggugat, akan berusaha
melakukannya dengan cara pembuktian di persidangan. Yahya Harahap mengatakan
bahwa, “Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang
pengadilan.”1 Penggunaan alat bukti elektronik dalam sistem pembuktian harus didasarkan
atas asas kepastian hukum2, asas manfaat, asas kehati-hatian, dan asas itikad baik, serta,
asas kebebasan memilih teknologi. Penggunaan alat bukti elektronik menitikberatkan
kepada sejumlah asas sebagai rangkaian dalam tahapan proses pembuktian. Kedudukan
asas kepastian hukum dalam proses pembuktian perkara yang menggunakan alat bukti
elektronik menurut penulis merupakan suatu hal yang sangat penting, karena aspek
kepastian hukum adalah salah satu dari tujuan hukum selain keadilan dan kemanfaatan
hukum.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
khusus mengatur mengenai pelaksanaan informasi dan dokumen secara elektronik,
termasuk di dalamnya mengatur mengenai pengelolaan alat bukti yang bersifat elektronik.
Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan,
diterima atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau
sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem
Eletktronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto
atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki
makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. 3
Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang menyebutkan:
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan
alat bukti yang sah. Menurut Pasal 6 UU No. 11 Tahun 2008, dalam hal terdapat ketentuan
lain selain yang diatur Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus
berbentuk tertulis atau asli, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah
sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin
keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Merujuk pada prinsip kesetaraan fungsional atau padanan fungsional (functional equivalent

1
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhap: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding Kasasi Dan
Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika, , 2000, hlm. 273
2
Munir Fuadi. Teori Hukum Pembuktian : Pidana dan Perdata. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 2012. Hlm. 160
3
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
approach)4, maka informasi dan/atau dokumen elektronik disamakan dengan bukti tulisan
atau surat. Melalui sistem keamanan informasi yang certified, maka integritas konten dalam
suatu bukti elektronik (informasi dan/atau dokumen elektronik) menjadi terjamin
keautentikannya5; kedua, alat bukti harus relevan (dapat membuktikan fakta dari suatu
kasus); dan ketiga, alat bukti harus material (memperkuat persoalan yang dipertanyakan
dalam suatu kasus.6
Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya yang dibacakan pada tanggal 07
September 20167 ialah bahwa seluruh pasal 5 ayat (1) dan (2) dan pasal 44 huruf b UU ITE
dan pasal 26A UU Tipikor ialah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik” sebagai alat Alat bukti dalam rangka penegakan hukum atas permintaan
kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan
berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam pasal 31 ayat (3) Undang-
Undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Putusan ini
menjadi masalah serius jika dikaitkan dengan penegakan hukum kasus-kasus pidana yang
berkaitan dengan alat bukti elektronik baik berupa informasi elektronik ataupun dokumen
elektronik. Seiring dengan berkembangnya teknologi, maka mulai bermunculan alat-alat
yang dapat membantu kepolisian/kejaksaan dalam melakukan pembuktian di pengadilan.
Salah satu contoh ialah Closed-Circuit Television atau lazim disebut CCTV yang biasa
digunakan oleh masyarakat dalam memantau kondisi keamanan sekitar. Tujuan
dipasangnya CCTV ialah agar terpantaunya keamanan di sekitar tempat, dan apabila ada
tindak pidana yang terjadi, maka bukti rekaman dalam CCTV tadi dapat dijadikan bukti
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, sehingga memudahkan penyidik dalam
membuktikan tindak pidana yang terjadi, walaupun tidak ada saksi yang melihat,
mendengar dan merasakan secara langsung.
Jika melihat kembali pada amar putusan MK tadi bahwa semua “Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik tidak dapat dijadikan alat bukti jika tidak dilakukan dalam
rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi
penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang”, maka CCTV
sebagai alat bukti dalam persidangan menjadi tidak sah, jika pemasangan dan perekaman
yang dilakukan oleh CCTV tadi tidak dilakukan atas permintaan kepolisian, kejaksaan
dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang.
4
Ramiyanto, Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Hukum Acara Pidana, Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 6 Nomor
3, 2017, hlm. 474
5
Edmon Makarim, Keautentikan Dokumen Publik Elektronik Dalam Administrasi Pemerintahan Dan Pemerintahan Publik, Jurnal Hukum
dan Pembangunan, no. 4, 2015, hlm. 532
6
Sigid Suseno. Yurisdiksi Tindak Pidana Siber. Bandung: Refika Aditama, 2012, hlm. 228
7
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016
Padahal hampir setiap rumah di kota-kota besar, fasilitas publik, maupun tempat-tempat
umum lainnya telah dipasang CCTV agar mempermudah pemantauan keamanan kondisi
setempat. Dengan kata lain, maka CCTV tidak lagi menjadi berguna sebagaimana tujuan
awalnya, yakni sebagai pemantau kondisi kemanan dan sebagai alat bukti yang dapat
diajukan dalam persidangan jika terjadi suatu tindak pidana. 8
Salah satu kasus yang menggunakan CCTV sebagai alat bukti dalam
pembuktiannya ialah kasus kopi sianida atau pembunuhan Wayan Mirna Salihin oleh
Jessica Kumala Wongso yang terjadi pada hari Rabu, tanggal 6 Januari 2016. Di dalam
putusannya pada tanggal 27 Oktober 2016 ialah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
menyatakan bahwa Jessica terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
pembunuhan berencana dan menjatuhkan pidana selama 20 tahun penjara. Jika dianalisa
kembali, bahwa CCTV sebagai alat bukti elektronik dan dipergunakan oleh JPU dalam
pembuktian kasus kopi sianida. Adapun dalam perkara kopi sianida tersebut, alat bukti
CCTV tidak dipasang dan direkam, serta tidak digunakan dalam rangka penegakan hukum
atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang
ditetapkan berdasarkan undang-undang. Artinya CCTV tersebut tidak bisa dijadikan alat
bukti yang sah di depan persidangan dan harus ditolak oleh hakim karena Mahkamah
Konstitusi telah mengeluarkan putusannya terlebih dahulu.
Dasar pertimbangan mengapa hakim harus menolak ialah karena berlaku asas
transitoir dalam hukum pidana Indonesia, dimana jika terjadi perubahan dalam suatu aturan
pidana, maka yang dipergunakan ialah aturan yang paling menguntungkan bagi terdakwa.
Dalam konteks ini putusan MK ialah setara dengan undang-undang, sehingga dengan
keluarnya putusan MK mengenai alat bukti elektronik tadi telah merubah aturan hukum
pidana yang berlaku di Indonesia, jika pada awalnya alat bukti elektronik dapat dijadikan
alat bukti tanpa perlu digunakan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan
kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya, pasca putusan MK maka
alat bukti elektronik harus digunakan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan
kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya. Namun faktanya majelis
hakim dalam perkara kopi sianida tetap menggunakan CCTV sebagai alat bukti yang sah,
walaupun MK telah menyatakan CCTV tersebut tidak sah dan tidak dapat dipergunakan
sebagai alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana di Indonesia.

8
Septian Dwi Riadi, Eksistensi Alat Bukti Elektronik Pasca PUTUSAN MK Nomor 20/PUU-XIV/2016 dalam Penegakan Hukum Pidana,
diterbitkan 24 Maret 2017, diaksesl 06 Desember 2018.
DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal


Harahap Yahya. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhap: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan. Banding Kasasi Dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika. 2000.
Fuadi Munir. Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata. Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti. 2012.
Ramiyanto. Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Hukum Acara Pidana.
Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 6 Nomor 3. 2017.
Makarim.Edmon. Keautentikan Dokumen Publik Elektronik Dalam Administrasi
Pemerintahan Dan Pemerintahan Publik. Jurnal Hukum dan Pembangunan. no. 4.
2015.
Suseno. Sigid. Yurisdiksi Tindak Pidana Siber. Bandung: Refika Aditama. 2012.

Artikel
Septian Dwi Riadi. Eksistensi Alat Bukti Elektronik Pasca PUTUSAN MK Nomor 20/PUU-
XIV/2016 dalam Penegakan Hukum Pidana. diterbitkan 24 Maret 2017.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perihal Pengujian Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Anda mungkin juga menyukai