Anda di halaman 1dari 10

ARTIKEL ILMIAH

ARISMAN TAFONAO
ABSTRAK

Bukti-bukti dari suatu persidangan memegang peranan penting dalam menentukan dapat
atau tidaknya seorang terdakwa dihukum karena suatu tindak pidana. Pembuktian di pengadilan
pidana diatur dalam pasal 183 dan 184 KUHAP. Seiring berjalannya waktu, hal tersebut tidak
lepas dari perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, dan juga didukung
oleh perkembangan ilmu pengetahuan sehingga melahirkan peraturan baru yaitu UU No. 19
Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur tentang kegiatan
elektronik, termasuk media elektronik. Closed Circuit Television (CCTV) merupakan salah satu
alat bukti yang banyak diatur dalam UU ITE.

Tujuan pasal ini adalah untuk mengetahui status rekaman CCTV sebagai alat bukti tindak
pidana korupsi pasca putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016 dan mengetahui dasar pendapat hakim
terhadap tindak pidana korupsi. dalam putusan nomor 20/PUU-XIV/2016, sehingga perkara
korupsi dapat diselesaikan di pengadilan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum
normatif yang menitikberatkan pada sinkronisitas hukum, sedangkan penelitian ini bersifat
deskriptif yaitu memberikan informasi sebanyak-banyaknya mengenai orang, tempat atau gejala-
gejala lain untuk menguatkan hipotesis. sehingga mereka dapat membantu meningkatkan hasil
teori baru.
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Korupsi merupakan kejahatan yang termasuk dalam kategori kejahatan luar biasa.
Kejahatan ini telah menggerogoti hampir seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, oleh
karena itu upaya penanggulangan bentuk kejahatan ini sangatlah penting, karena korupsi
dipandang dapat mengganggu dan menghambat pembangunan negara, menghambat tercapainya
tujuan nasional, dan kejahatan ini sangat serius. mengancam keseluruhan sosial. . , merusak citra
perangkat yang bersih dan bergengsi, yang pada akhirnya merusak kualitas manusia dan
lingkungan.
Banyaknya terdakwa perkara korupsi yang dibebaskan oleh Pengadilan Umum atau
Pengadilan Negeri didasarkan pada beberapa alasan, salah satunya adalah terdakwa tidak
melakukan tindak pidana korupsi. Sebenarnya korupsi merupakan tindak pidana yang bisa
dikatakan sangat sulit dibuktikan. Untuk benar-benar membuktikan bahwa terdakwa melakukan
tindak pidana korupsi, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan.
Pembuktian tindak pidana korupsi dinilai lebih sulit dibandingkan dengan tindak pidana
lainnya. Oleh karena itu, diperlukan upaya luar biasa untuk membuktikannya. Salah satunya bisa
menggunakan alat bukti berupa televisi sirkuit tertutup (CCTV). Pada prinsipnya, semua bukti
mempunyai kekuatan yang sama, tidak ada yang lebih baik dari yang lain. Kekuatan pembuktian
tidak didasarkan pada ketentuan yang disebutkan dalam § 184 KUHAP. Bukti acara pidana tidak
mengenal hierarki. Yang ada hanya ketentuan yang mengharuskan adanya hubungan antara alat
bukti yang satu dengan alat bukti yang lain.
Sertifikat elektronik masih perlu diverifikasi terhadap bukti dokumen elektronik dan
sertifikat. Dalam hal ini ada tiga hal yang harus diperhatikan sebagai alat bukti rekaman CCTV,
yaitu keaslian dan keaslian rekaman CCTV, relevansinya dengan perkara yang akan dibuktikan,
dan adanya bukti-bukti lain yang menguatkan rekaman CCTV tersebut. sebagai barang bukti.2
CCTV bisa dijadikan barang bukti. alat bukti yang sah karena Pasal 5 Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 juncto Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 19 Tahun
2016 menyatakan bahwa data elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya
merupakan alat bukti yang sah.
UU ITE juga mengatur syarat penggunaan data atau dokumen elektronik sebagai alat
bukti, jika syarat formil dan syarat materiil terpenuhi. Persyaratan formal tercantum dalam Pasal
5(4) UU ITES, dan persyaratan substantif tercantum dalam Pasal 6, 15, dan 16 UU ITES.
Dengan demikian, jumlah bukti perdata dan pidana meningkat. Kemudian putusan Mahkamah
Konstitusi no. Undang-Undang 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016 tentang Penafsiran
Alat Bukti Elektronik merupakan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Dengan demikian, jumlah pembuktian
baik dalam hukum perdata maupun pidana semakin bertambah. Kemudian putusan Mahkamah
Konstitusi no. Undang-Undang 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016 tentang Penafsiran
Alat Bukti Elektronik merupakan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Keputusan ini bertujuan untuk memperluas peraturan mengenai mendengarkan atau
mendengarkan melalui jarak jauh, yang tidak diatur secara khusus oleh undang-undang. Dalam
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 mengatur pembatasan CCTV sebagai
alat bukti, tidak semua rekaman CCTV dapat dijadikan alat bukti, hanya pihak kepolisian,
kejaksaan, dan lembaga penegak hukum lainnya, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, agar
materi CCTV bisa dijadikan alat bukti dalam perkara pidana.

B. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN


1. Tujuan Penelitian
a. Menyelidiki Penggunaan CCTV dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan
Putusan Beberapa Pengadilan Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
20/PUU-XIV/2016.
b. Klarifikasi penggunaan CCTV dalam tindak pidana korupsi berdasarkan
putusan beberapa pengadilan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
20/PUU-XIV/2016.
2. Penggunaan Penelitian
a. Tujuan penggunaan teoritis adalah untuk mengembangkan informasi dan topik
teoritis dan penelitian yang relevan untuk memperkaya literatur hukum dan,
jika mungkin, mengembangkan doktrin hukum terkait dengan alat bukti
elektronik.
b. Penerapan praktisnya, selama ini hasil penelitian dapat bermanfaat bagi para
praktisi hukum untuk dijadikan bahan masukan dalam menyelesaikan
permasalahan penggunaan CCTV dalam tindak pidana korupsi menurut
berbagai putusan pengadilan. pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
20/PUU-XIV/2016...
3. KERANGKA TEORI
1. Teori pembuktian
Bagian terpenting dalam persidangan terdakwa atas dakwaan tersebut. Beberapa
sistem atau teori pembuktian diketahui ketika mengevaluasi nilai pembuktian dari bukti
yang ada. Menurut D. Simons, dalam sistem atau teori pembuktian berdasarkan hukum
negatif (negatief wettelijk), pemidanaan didasarkan pada beberapa pembuktian (dubbel
en gesundt), yaitu ketentuan undang-undang dan keyakinan hakim serta menurut hukum
dasar keyakinan hakim bersumber dari ketentuan undang-undang.

2. Teori Kepastian Hukum


Kepastian hukum menurut Utrecht mempunyai dua makna, yaitu pertama, adanya
aturan-aturan umum yang memberi informasi kepada individu mengenai tindakan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukannya, dan kedua, berupa kepastian hukum bagi
individu terhadap kesewenang-wenangan pemerintah. karena aturan-aturan umum
memungkinkan individu mengetahui segala sesuatu yang dapat diperintahkan atau
dilakukan oleh negara bagi seseorang. Kepastian hukum ini bersumber dari doktrin-
doktrin hukum dogmatis yang berlandaskan pada pemikiran positivis dunia hukum, yang
cenderung memandang hukum sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan mandiri, karena
bagi para pendukung aliran pemikiran ini, tujuan hukum tidak lain adalah untuk
memastikan implementasinya hukum umum. Sifat umum ketentuan hukum menunjukkan
bahwa tujuan hukum bukanlah untuk memaksakan suatu hak atau keuntungan, melainkan
hanya untuk kepastian..

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Mengingat meningkatnya kejahatan korupsi, banyak perusahaan dan institusi yang mulai
menggunakan CCTV untuk pemantauan dan pengawasan. Juga dapat menjadi sumber informasi
bagi pihak berwenang ketika menangani tindak pidana korupsi, menjadikan rekaman video
pengawasan sebagai dasar atau bukti dalam penyelesaian tindak pidana korupsi.
Selain untuk pengawasan, kamera juga dapat digunakan sebagai alat bukti yang dapat
mengungkap kejahatan atau pelanggaran, termasuk korupsi. CCTV dapat dijadikan sebagai alat
bukti elektronik yang dapat digunakan di pengadilan. Rekaman CCTV menjadi alat bukti dan
menjadi bahan pertimbangan hakim dalam memutus perkara korupsi. Salah satu media yang
dapat digunakan untuk merekam informasi apapun adalah CCTV, yang digunakan tidak hanya
untuk pengawasan tetapi juga sebagai alat bukti.
Penggunaan alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 KUHAP yaitu :
(1) Alat bukti yang sah adalah :
a. Saksi :
b. Sertifikasi profesional;
c. Surat:hal. Memandu;
e. Keterangan Terdakwa
(2) Tidak perlu dibuktikan hal-hal yang sudah diketahui secara umum.
Berdasarkan penjelasan pasal 184 KUHAP diketahui bahwa KUHAP hanya mengatur 5
(lima) alat bukti yang sah. Selain alat bukti tersebut, tidak boleh digunakan untuk membuktikan
bersalahnya suatu tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi. Meskipun penggunaan CCTV
dalam hukum acara pidana tidak dapat digolongkan sebagai alat bukti yang sah dan diakui oleh
KUHAP, namun tetap dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan apabila rekaman CCTV
tersebut dapat disinkronkan dengan keterangan ahli.
Penggunaan barang bukti digital seperti rekaman CCTV merupakan bagian dari proses
kepolisian. Pemanfaatan rekaman CCTV dapat membantu aparat penegak hukum membuktikan
telah terjadi tindak pidana korupsi. KUHAP yang menjadi landasan hukum acara pidana tidak
menyebut alat bukti digital sebagai alat bukti yang sah. Pasal 184 KUHAP hanya menyebutkan
alat bukti yang sah adalah saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. alat
bukti yang terdapat dalam KUHAP. Namun, gambar CCTV tindak pidana korupsi tidak bisa
berdiri sendiri. Rekaman CCTV berperan dalam mengumpulkan bukti tidak langsung. Rekaman
CCTV harus dikaitkan dengan alat bukti seperti saksi, surat, dan keterangan terdakwa untuk
menunjukkan kesinambungan antara kasus yang satu dengan kasus yang lain. Agar rekaman
CCTV mempunyai nilai pembuktian yang kuat, maka harus menunjukkan keterkaitan dengan
tindak pidana korupsi yang harus dibuktikan..
1. Data elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat
bukti yang sah dan sah.
2. Informasi elektronik dan/atau dokumen dan/atau cetakan elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 merupakan perpanjangan dari alat bukti yang sah menurut hukum
acara yang berlaku di Indonesia.
3. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah apabila sistem elektronik
digunakan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengenai informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik tidak berlaku:.
a. Surat yang diwajibkan oleh undang-undang harus dibuat secara tertulis; dan
b. Surat-surat beserta surat-suratnya, yang menurut undang-undang harus
diformalkan menjadi suatu akta yang dibuat oleh notaris atau notaris.

Keahlian rekaman CCTV dalam tahap pembuktian tindak pidana korupsi sebagai alat
bukti dalam proses persidangan sah secara hukum dalam mengungkap peristiwa yang sebenarnya
terjadi di tempat kejadian perkara. Rekaman CCTV berperan penting dalam mengungkap apa
yang sebenarnya terjadi dan mengakui kebenaran. Bukti-bukti dari rekaman CCTV berperan
penting dalam penyelesaian tindak pidana korupsi. Penggunaan rekaman CCTV sebagai alat
bukti diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 19 Tahun 2016
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.
Undang-Undang Nomor 31 Republik Indonesia tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor -ro 20 Tahun Pemberantasan tahun 2001. Tindak Pidana Korupsi Pasal 26 A
menyatakan: “Barang bukti yang sah adalah petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188.
2) Undang-Undang Nomor 8 KUHAP Tahun 1981, khususnya yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi, dapat juga:.

a. alat bukti lain yang disajikan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan
alat optik atau sejenisnya; dan
b. Dokumen, yaitu setiap rekaman informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar
serta disampaikan dengan atau tanpa media, baik yang ditulis di atas kertas, benda fisik
apa pun selain kertas, atau tulisan, suara, gambar, peta, pola, yang disimpan secara
elektronik, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang mempunyai arti..

Dalam Pasal 26A UU Tipikor, penafsiran tersebut berlaku meskipun tidak ditemukan
ungkapan atau kata informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Segala alat bukti
elektronik yang digunakan sebagai alat bukti tindak pidana korupsi harus memenuhi ketentuan di
atas. Oleh karena itu, tidak semua informasi atau dokumen elektronik dapat dengan sendirinya
dijadikan sebagai alat bukti dalam tindak pidana korupsi. Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat
bahwa putusan ini tidak mengubah status rekaman CCTV sebagai alat bukti lain tindak pidana
korupsi, melainkan memberikan batasan atau pengaturan terhadap keabsahannya. Rekaman
CCTV dianggap barang bukti apabila bukan merupakan hasil penyadapan atau penyadapan,
kecuali penyadapan atau penyadapan CCTV tersebut sah.
Tidak semua rekaman ilegal. Tempat umum bukanlah area privat. CCTV bukanlah alat
penyadap melainkan alat pengawasan agar CCTV tidak menjadi bagian dari pelanggaran privasi
di tempat umum. CCTV dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam proses penegakan hukum
pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi. Penerapan hukum pidana ini diatur oleh sistem
pidana yang mengatur tentang penanganan suatu perkara dalam penyidikan, penyidikan, dan
penuntutan. Tujuan proses penyidikan dan penyidikan pendahuluan adalah untuk mengungkap
tindak pidana korupsi dengan mengumpulkan seluruh bukti-bukti yang mungkin berkaitan
dengan tindak pidana korupsi tersebut. Dalam hal ini hukum pidana harus dipenuhi melalui acara
pembuktian yang ditentukan dalam § 183 KUHAP, yaitu. dengan alat bukti negatif berdasarkan
undang-undang, hakim tidak dapat memvonis bersalah seseorang atas suatu tindak pidana,
kecuali sekurang-kurangnya ada dua benda yang sah. Ia yakin kejahatan itu nyata, benar-benar
terjadi dan terdakwa yang melakukannya.

Penggunaan CCTV dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi Menurut Beberapa Putusan
Pengadilan setelah Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016
KUHAP menetapkan sistem pembuktian negatif (negatief bewiss bewijtheorie)
berdasarkan undang-undang. Menurut undang-undang, ada dua unsur pokok pembuktian,
yaitu pembuktian yang kompeten dan keyakinan hakim, yang harus dipenuhi untuk
menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa.
Pasal 184 KUHAP tidak bisa memperhitungkan perkembangan teknologi yang terus
berkembang. Agar hukum selalu mengakui perkembangan zaman dan teknologi, maka perlu
diakui secara hukum berbagai perkembangan teknologi digital yang dapat berguna sebagai
alat bukti di pengadilan. Landasan hukum penggunaan data/dokumen elektronik sebagai alat
bukti di pengadilan semakin jelas setelah Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik Nomor 19 Tahun 2016 mengubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016. Pada tanggal 7 September 2016.
UU Nomor 19 Tahun 2016 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUUXIV/2016
dinilai lebih memiliki kepastian hukum dan cakupan yang lebih luas, tidak hanya tindak
pidana korupsi.
Penggunaan alat bukti yang sah berkembang setelah Mahkamah Konstitusi (CJC)
memutuskan permohonan mantan Ketua DPR mengenai penggunaan rekaman audionya
sebagai alat bukti (yang dapat berupa pembuktian atau pembuktian) dalam sidang etik. lalu
disiarkan secara luas. Perekaman tersebut dilakukan dengan alat telepon, yang menurut
kategorinya dapat disebut informasi/dokumen elektronik dan merupakan “barang bukti
elektronik”. Mengenai penamaan, secara umum istilah "informasi/dokumen elektronik" harus
disebut "informasi/dokumen elektronik", karena elektronik mengacu pada kepentingannya,
sedangkan elektronik mengacu pada perangkatnya.
Perkara ini timbul karena adanya keberatan pemohon terhadap rekaman audio yang dijadikan
alat bukti. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi pada tanggal 7 September 2016 melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi 20/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa khusus alat bukti
elektronik (informasi/dokumen elektronik) harus dimaknai sebagai “alat bukti yang dibuat
sehubungan dengan penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau
lembaga penegak hukum lainnya”. Sebagai satu-satunya lembaga peradilan yang
menafsirkan Undang-Undang Dasar sesuai dengan legalitas undang-undang, Mahkamah
Konstitusi membuat penafsiran tersendiri agar tidak ada tindakan sewenang-wenang (ilegal),
khususnya dalam penyerahan alat bukti elektronik oleh aparat penegak hukum. Dengan
berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
Nomor: 20/PUU-XIV/2016, seluruh rekaman elektronik (CCTV) tidak dapat dijadikan alat
bukti (tidak sah sebagai alat bukti/bukti) kecuali dibuat oleh aparat penegak hukum.
Keputusan MK Nomor: 20/PUUXIV/2016.

KESIMPULAN
Penggunaan CCTV dalam perkara korupsi menurut putusan beberapa pengadilan
sebelum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 menyebutkan pasal 184
KUHAP hanya menyebutkan alat bukti yang sah adalah saksi, ahli. pernyataan, surat. , instruksi
dan pernyataan terdakwa. Kecuali alat bukti tersebut, tidak boleh digunakan sebagai alat bukti
untuk membuktikan kesalahan terdakwa berdasarkan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Namun Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 memperbolehkan penggunaan
rekaman CCTV sebagai alat bukti yang sah. Begitu pula dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Republik Indonesia tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa alat bukti sah tindak
pidana korupsi dapat pula diperoleh dari alat bukti lain seperti lisan, informasi yang dikirim,
informasi yang diterima. atau direkam secara elektronik, optik atau sejenisnya. Penafsiran ini
juga berlaku apabila tidak ditemukan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik..

1. Penggunaan CCTV dalam tindak pidana korupsi menurut beberapa putusan hakim pasca
putusan Mahkamah Konstitusi 20/PUUXIV/2016, yaitu. adanya ketentuan lex-expert
tentang penggunaan alat bukti digital berupa CCTV sudah dapat digunakan. sebagai alat
bukti yang sah dalam proses pembuktian tindak pidana korupsi, yang merupakan
perpanjangan dari alat bukti yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut, yaitu: 1)
Rekaman CCTV harus diketahui dan yang merekam harus menyetujuinya, dengan
menyatakan bahwa tempat atau ruangan tersebut dipasang. atau dilengkapi dengan
kamera CCTV. 2) Rekaman CCTV yang digunakan sebagai alat bukti harus asli, bukan
hasil editan..

SARAN
1. Sehingga pemerintah yang mempunyai kekuasaan untuk membuat peraturan perundang-
undangan dapat membuat pengaturan yang jelas mengenai lokasi rekaman CCTV, apakah
termasuk dalam bagian pembuktian KUHAP atau merupakan alat bukti tersendiri. .
2. Jabatan hukum hakim, polisi, jaksa, dan pengacara dapat menerima perkembangan ilmu
pengetahuan dan ilmu hukum yang mengikuti zaman modern dan menggunakan peralatan
elektronik yang canggih serta didukung oleh landasan hukum yang kuat sehingga teori
dan praktek dapat berjalan seiring..

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, 2012,
Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo, Jakarta. Ashofa,
Burhan, 2004,
Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.
Effendi, Tolib, 2014,
Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana Perkembangan dan Pembaharuannya di Indonesia,
Setara Press, Malang.
Hamzah, Andi, 2012,
Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Prinst, Darwan, 2009,
Hukum Acara Pidana dalam Praktik, Djambatan, Jakarta.
Poernomo, Bambang, 2003,
PokokPokok Tata Cara Peradilan Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Prodjohamidjojo, Martiman, 2001,
Komentar atas KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Sinar Grafika,
Jakarta
Syahrani, Riduan, 2009,
Rangkuman Intisari Ilmu Hukum,
Citra Aditya, Bandung.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Putusan
Mahkamah Konstitusi No.20/PUU-XIV/2016

Anda mungkin juga menyukai