Anda di halaman 1dari 8

Syarat dan Kekuatan Hukum Alat Bukti

Elektronik
Pertanyaan
Saya ingin menambah pengetahuan saya. Bagaimanakah kekuatan hukum atas bukti-bukti
elektronik di Indonesia? Apakah korespondensi melalui email, file rekaman atas chatting dll
dapat digunakan sebagai bukti pendukung dalam sebuah kasus? Apakah sudah ada preseden
yang bisa digunakan? Terima kasih.

Ulasan Lengkap
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Josua
Sitompul, S.H., IMM yang dipublikasikan pertama kali pada 6 November 2013.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”)
memberikan dasar hukum mengenai kekuatan hukum alat bukti elektronik dan syarat formil
dan materil alat bukti elektronik agar dapat diterima di persidangan.
Apakah alat bukti elektronik itu? Alat bukti elektronik ialah informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik yang memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materil yang diatur
dalam UU ITE.
Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat
bukti hukum yang sah.[1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (“UU 19/2016”) menjelaskan yang dimaksud dengan informasi elektronik adalah:
Satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic
mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
Sedangkan dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau
sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto
atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna
atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[2]
Pada prinsipnya informasi elektronik dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dengan
dokumen elektronik. Informasi elektronik ialah data atau kumpulan data dalam berbagai
bentuk, sedangkan dokumen elektronik ialah wadah atau ‘bungkus’ dari informasi elektronik.
Sebagai contoh apabila kita berbicara mengenai file musik dalam bentuk mp3 maka semua
informasi atau musik yang keluar dari file tersebut ialah informasi elektronik, sedangkan
dokumen elektronik dari file tersebut ialah mp3.
Pasal 5 ayat (1) UU ITE dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik. Kedua, hasil cetak dari informasi elektronik dan/atau hasil cetak
dari dokumen elektronik.[3] Informasi elektronik dan dokumen elektronik tersebut yang akan
menjadi Alat Bukti Elektronik (Digital Evidence). Sedangkan hasil cetak dari informasi elektronik
dan dokumen elektronik akan menjadi alat bukti surat.
Pasal 5 ayat (2) UU ITE mengatur bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan
hukum acara yang berlaku di Indonesia.
Yang dimaksud dengan perluasan di sini harus dihubungkan dengan jenis alat bukti yang diatur
dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE. Perluasan di sini maksudnya: (Sitompul, 2012)

Menambah alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, misalnya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai Alat Bukti Elektronik menambah jenis alat
bukti yang diatur dalam KUHAP;
Memperluas cakupan dari alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia,
misalnya dalam KUHAP. Hasil cetak dari informasi atau dokumen elektronik merupakan alat
bukti surat yang diatur dalam KUHAP.
Perluasan alat bukti yang diatur dalam KUHAP sebenarnya sudah diatur dalam berbagai
perundang-undangan secara tersebar. Misalnya UU Dokumen Perusahaan, UU Terorisme, UU
Pemberantasan Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang. UU ITE menegaskan bahwa dalam
seluruh hukum acara yang berlaku di Indonesia, informasi dan dokumen elektronik serta hasil
cetaknya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah.[4]
Namun, perlu diperhatikan bahwa terkait Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE ini, Mahkamah
Konstitusi melalui Putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016 (“Putusan MK 20/2016”) menyatakan
bahwa frasa “Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik” bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan Dokumen
Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan
kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan
undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE (hal. 97 - 98).
Sedangkan Pasal 31 ayat (3) UU 19/2016 sendiri berbunyi:
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku terhadap intersepsi atau
penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan,
atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.

Apabila dilihat dari pertimbangan hukumnya, pada dasarnya tujuan Putusan MK 20/2016 di atas adalah
untuk menegaskan bahwa setiap intersepsi harus dilakukan secara sah, terlebih lagi dalam rangka
penegakan hukum (hal. 96).

Bagaimana agar informasi dan dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah? UU ITE
mengatur bahwa adanya syarat formil dan syarat materil yang harus terpenuhi.

Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa informasi atau dokumen elektronik
bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis. Selain
itu, informasi dan/atau dokumen tersebut harus diperoleh dengan cara yang sah. Ketika alat bukti
diperoleh dengan cara yang tidak sah, maka alat bukti tersebut dikesampingkan oleh hakim atau
dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan.[5]

Sedangkan syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya
informasi dan dokumen elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan
ketersediaanya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam banyak hal
dibutuhkan digital forensik.[6]

Dengan demikian, email, file rekaman atas chatting, dan berbagai dokumen elektronik lainnya dapat
digunakan sebagai alat bukti yang sah. Dalam beberapa putusan pengadilan, terdapat putusan-putusan
yang membahas mengenai kedudukan dan pengakuan atas alat bukti elektronik yang disajikan dalam
persidangan.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan
pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan
nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan;
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
Menjadi Undang-Undang;
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang.

Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016.

Referensi:
Josua Sitompul. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Jakarta: Tatanusa,
2012.

[1] Pasal 5 ayat (1) UU ITE


[2] Pasal 1 angka 4 UU 19/2016
[3] Josua Sitompul. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Jakarta:
Tatanusa, 2012
[4] Josua Sitompul. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Jakarta:
Tatanusa, 2012
[5] Putusan MK 20/2016, hal. 96
[6] Josua Sitompul. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Jakarta:
Tatanusa, 2012

ARTIKEL TERKAIT :
1. Kekuatan Pembuktian Screenshot Laman Konten Pornografi
2. E-mail Sebagai Alat Bukti Perkara Perdata
3. Legalitas Hasil Cetak Tweet Sebagai Alat Bukti Penghinaan
4. Bolehkah Slip Gaji Melalui SMS?
Langkah Hukum Jika Dicemarkan Lewat
Facebook
Pertanyaan
Langkah apa yang harus saya lakukan jika Facebook teman saya diduplikat dan namanya
dicemarkan dengan menulis status FB yang tidak patut serta mencemarkan nama sekolah?
Bagaimanakah cara pembuktiannya jika saya tidak tahu siapa yang melakukan itu? Mohon
bantuannya, status yang dia tulis dengan mengatasnamakan teman saya sungguh sangat
keterlaluan. Mohon bantuannya, terima kasih.

Ulasan Lengkap
Pencemaran Nama Baik Berdasarkan UU ITE
Pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang
telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”).

Berikut bunyi Pasal 27 ayat (3) UU ITE:


Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik

Ancaman pidana jika melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut diatur dalam
Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016, yakni:
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama
4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah).
Sehingga, dari ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut di atas, pencemaran nama baik
dengan cara menduplikat account (akun) Facebook memenuhi unsur “membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik”, sehingga termasuk perbuatan
pidana.
Ketentuan mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dijelaskan di
atas merupakan delik aduan.[1] Delik aduan sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel
Adakah Delik Aduan yang Tetap Diproses Meski Pengaduannya Sudah Dicabut?, adalah delik
yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban
tindak pidana. Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan
penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan
(korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak
yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian.

Itu artinya orang yang melakukan pencemaran nama baik dengan cara menduplikat account
(akun) Facebook dapat dipidana apabila adanya aduan dari korban.

Penghinaan Berdasarkan KUHP


Jika UU ITE mengatur mengenai pencemaran nama baik, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(“KUHP”) mengatur tentang pasal penghinaan.

Penghinaan tersebut diatur dalam Pasal 310 KUHP, yang berbunyi:


Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan
menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam
karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Sehingga dari ketentuan Pasal 310 KUHP tersebut, harus dibuktikan unsur-unsur sebagai
berikut:
1. Unsur kesengajaan;
2. Unsur menyerang kehormatan dan nama baik;
3. Unsur di muka umum.

Cara Pembuktian
Untuk membuktikan kedua dugaan tersebut, adalah tidak mudah untuk mengajukan bukti-bukti
mengingat kejahatan yang demikian bersifat maya (cyber crime). Namun demikian, bukti
permulaan dapat disajikan dengan bukti hasil cetakan (print-out) yang menunjukkan
pencemaran nama sekolah tersebut, sehingga penyidik dapat melakukan olah data dan
informasi lebih lanjut. Untuk lebih meyakinkan, sangat diperlukan kehadiran ahli di bidang
informasi dan teknologi yang dapat membantu menterjemahkan fakta dalam dunia maya
tersebut menjadi fakta hukum.
Dari sisi hukum perdata, dengan bukti adanya putusan yang berkuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde) mengenai pidana dimaksud, sehingga dapat diajukan gugatan perbuatan
melawan hukum yang didasarkan pada ketentuan Pasal 1372 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, yang dikutip sebagai berikut:
“Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian
serta pemulihan kehormatan dan nama baik.”
Seperti yang sering dijelaskan dalam beberapa artikel sebelumnya, salah satunya dalam artikel
Merasa Dirugikan Tetangga yang Menyetel Musik Keras-keras, dikatakan antara lain Mariam
Darus Badrulzaman dalam bukunya “KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan
Penjelasan”, seperti dikutip Rosa Agustina dalam buku Perbuatan Melawan Hukum (hal. 36)
yang menjabarkan unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagai berikut:
1. Harus ada perbuatan (positif maupun negatif);
2. Perbuatan itu harus melawan hukum;
3. Ada kerugian;
4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian;
5. Ada kesalahan.
Menurut Rosa Agustina (hal. 117), dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir
sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
3. Bertentangan dengan kesusilaan
4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.

Langkah Hukum
Menurut kami, ada 2 (dua) langkah awal yang dapat diambil yaitu;
Mengirimkan laporan langsung yang ditujukan ke bagian Privacy and Safety Facebook dengan
menginformasikan adanya pihak lain yang membuat duplikat dengan account (akun) atas nama
teman Anda dengan serangkaian maksud dari si pembuat untuk mencemarkan nama sekolah,
serta meminta agar menutup account (akun) tersebut, sehingga si pelaku tidak lagi dapat
mengulangi perbuatannya, dan
Dapat diadukan melalui laman Aduan Konten dari Kementerian Komunikasi dan Informatika
Republik Indonesia. Anda harus mendaftarkan diri sebagai pelapor terlebih dahulu dengan
mengisi beberapa kolom isian. Aduan yang dikirim harus ada URL/link, screenshot ttampilan
serta alasannya. Semua laporan yang masuk dan memenuhi syarat (terdapat link/url,
screenshotdan alasannya) akan diproses/ditindaklanjuti.
Adapun prosedur untuk menuntut secara pidana terhadap perbuatan pencemaran nama baik
dengan cara menduplikat account (akun) Facebook, secara sederhana dapat dijelaskan sebagai
berikut:[2]
Anda sebagai Pemilik akun yang merasa haknya dilanggar atau melalui kuasa hukum, datang
langsung membuat laporan kejadian kepada penyidik POLRI pada unit/bagian Cybercrime atau
kepada penyidik PPNS (Pejabat Pegawai Negeri Sipil) pada Sub Direktorat Penyidikan dan
Penindakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selanjutnya, penyidik akan melakukan
penyelidikan yang dapat dilanjutkan dengan proses penyidikan atas kasus bersangkutan Hukum
Acara Pidana dan ketentuan dalam UU ITE.
Setelah proses penyidikan selesai, maka berkas perkara oleh penyidik akan dilimpahkan kepada
penuntut umum untuk dilakukan penuntutan di muka pengadilan. Apabila yang melakukan
penyidikan adalah PPNS, maka hasil penyidikannya disampaikan kepada penuntut umum
melalui penyidik POLRI.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3. Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.

[1] Pasal 45 ayat (5) U 19/2016


[2] Pasal 42 UU ITE jo. Pasal 43 UU 19/2016 dan Pasal 102 s.d. Pasal 143 Undang -Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

1. Jerat Pidana Jika Merekam lalu Mempertontonkan Video Orang Mandi


2. Kumpulan Hukum Pidana ( Hukum Online )

Anda mungkin juga menyukai