Mau tanya, tindakan menuduh orang melakukan tindak pidana tanpa bukti itu
ada di pasal berapa?
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu kami sampaikan bahwa dalam hukum, pembuktian
merupakan hal penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan karena melalui pembuktian
akan ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang
ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat
dibuktikan dengan alat-alat bukti maka terdakwa dinyatakan bersalah.[1]
Yahya juga menegaskan bahwa pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam
sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi pedoman tentang cara-
cara yang dibenarkan undang-undang umembuktikan untuk kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa.[2]
Dengan demikian, untuk agar tuduhan atas suatu tindak pidana berdasarkan hukum, harus
mempunyai alat bukti yang cukup sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan. Selengkapnya tentang alat bukti dapat Anda baca dalam artikel Perbedaan Alat Bukti
dan Barang Bukti dalam Hukum Pidana dan Arti “Bukti Permulaan yang Cukup” dalam Hukum
Acara Pidana.
Ketentuan mengenai fitnah diatur dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini
diterbitkan dan UU 1/2023 tentang KUHP yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal
diundangkan,[3] yakni pada tahun 2026 yaitu:
Jika setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 433 diberi kesempatan membuktikan
kebenaran hal yang dituduhkan tetapi tidak dapat membuktikannya, dan tuduhan tersebut
bertentangan dengan yang diketahuinya, dipidana karena fitnah, dengan pidana penjara paling
lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV yaitu Rp200 juta.[4]
Pembuktian kebenaran tuduhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dapat dilakukan
dalam hal:
Pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilakukan jika hal yang dituduhkan
tersebut hanya dapat dituntut atas pengaduan, sedangkan pengaduan tidak diajukan.
Unsur-unsur Pasal 311 ayat (1) KUHP ini harus merujuk pada ketentuan menista pada Pasal 310
ayat (1) KUHP yaitu barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan
jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya
tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara paling lama 9 bulan atau denda
paling banyak Rp4,5 juta.[5]
Begitu pula dalam Pasal 434 UU 1/2023 tersebut berkaitan dengan pasal 433 UU 1/2023 tentang
pencemaran yaitu setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang
lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum,
dipidana karena pencemaran dengan pidana paling lama 9 bulan atau pidana denda paling
banyak kategori II yaitu Rp10 juta.[6]
Jika perbuatan tersebut dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan,
atau ditempelkan di tempat umum dipidana karena pencemaran tertulis, dengan pidana penjara
paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda maksimal kategori III Rp50 juta.[7]
Dengan demikian, hukum menuduh orang tanpa bukti atau fitnah dapat dikenakan bagi setiap
orang yang menuduhkan suatu hal dengan maksud agar tuduhannya diketahui umum, namun
tidak bisa membuktikan tuduhannya.
Lebih jelasnya, unsur-unsur pasal menuduh orang tanpa bukti atau pasal fitnah Pasal 311 ayat (1)
KUHP adalah:
1. Seseorang;
2. Menista orang lain baik secara lisan maupun tulisan;
3. Orang yang menuduh tidak dapat membuktikan tuduhannya dan jika tuduhan tersebut
diketahuinya tidak benar.
Dalam buku berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal (hal.227), R. Soesilo mengatakan bahwa kejahatan pada pasal ini
dinamakan memfitnah. Atas pasal ini, R. Soesilo merujuk kepada catatannya pada Pasal 310
KUHP yang menjelaskan tentang apa itu menista.
Untuk dikatakan sebagai menista, penghinaan itu harus dilakukan dengan cara menuduh
seseorang telah melakukan perbuatan tertentu dengan maksud tuduhan itu akan tersiar atau
diketahui orang banyak. Salah satu bentuk penghinaan adalah memfitnah (hal. 225-226).
Adapun, penghinaan adalah delik aduan, yang artinya, hanya dapat dituntut apabila ada
pengaduan dari orang yang menderita. Orang yang melakukan tuduhan tanpa alat bukti
(bukan fakta yang sesungguhnya), dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur Pasal 311 ayat
(1) KUHP, karena telah melakukan fitnah (hal. 225-226).
Jadi menjawab pertanyaan Anda, menuduh orang lain tanpa bukti dapat dikatakan sebagai fitnah
dan dapat dipidana sepanjang tuduhan tersebut tersiar atau diketahui orang banyak.
Contoh Kasus
Sebagai contoh dapat kita lihat pada Putusan PN Bondowoso No. 2/Pid.B/2019/PN Bdw.
Terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“memfitnah” berdasarkan Pasal 311 ayat (1) KUHP, dan majelis hakim menjatuhkan pidana
penjara selama satu tahun dan enam bulan (hal. 12).
Perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara menuduh korban telah melakukan perzinaan
sebagaimana yang termuat di dalam surat tertanggal 12 Maret 2018 dan tuduhan tersebut
telah dilaporkan ke Polres Bondowoso pada tanggal 20 Maret 2018 namun laporan tersebut
dihentikan pada tahap penyidikan karena tidak cukup bukti (hal. 2 – 3).
Putusan:
Referensi:
1. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991;
2. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
1) Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 273
2) Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 273
3) Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (“UU 1/2023”)
4) Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023
5) Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana jo. Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda
Dalam KUHP
6) Pasal 433 ayat (1) jo. Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023
7) Pasal 433 ayat (2) jo. Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023
Pertanyaan
Ulasan Lengkap
A. Alat Bukti
Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan
bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel
negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat
dipergunakan untuk pembuktian (Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat
Bukti, hal. 19). Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan
sebagai alat bukti yang sah.
B. Barang Bukti
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa
yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan
mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu:
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh
dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkannya;
c. benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan,
Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39
ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses
Pidana, hal. 14).
Selain itu di dalam Hetterziene in Landcsh Regerment (”HIR”) juga terdapat perihal barang bukti.
Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang
diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas
barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang
didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang
perlu di-beslag di antaranya:
Selain dari pengertian-pengertian yang disebutkan oleh kitab undang-undang di atas, pengertian
mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan doktrin oleh beberapa Sarjana Hukum. Prof.
Andi Hamzah mengatakan, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai
mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang
dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik
(Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hal. 254). Ciri-ciri benda yang dapat menjadi
barang bukti :
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti
kejahatan. Dalam Pasal 181 KUHAP majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala
barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang bukti terebut. Jika
dianggap perlu, hakim sidang memperlihatkan barang bukti tersebut. Ansori Hasibuan
berpendapat barang bukti ialah barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu
delik atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti
pengadilan.
a. Jadi, dari pendapat beberapa Sarjana Hukum di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut
dengan barang bukti adalah :
a. Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana
b. Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan suatu tindak pidana
c. Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana
d. Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana
e. Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi penyelidikan tindak pidana
tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman suara
f. Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat
penting dalam suatu perkara pidana. Tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak
dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses
pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara
lisan (Pasal 310 ayat [1] KUHP) (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti, hal.19).
Bila kita bandingkan dengan sistem Common Law seperti di Amerika Serikat, alat-alat bukti
tersebut sangat berbeda. Dalam Criminal Procedure Law Amerika Serikat, yang disebut forms of
evidence atau alat bukti adalah: real evidence, documentary evidence, testimonial evidence dan
judicial notice (Andi Hamzah). Dalam sistem Common Law ini, real evidence (barang bukti)
merupakan alat bukti yang paling bernilai. Padahal real evidence atau barang bukti ini tidak
termasuk alat bukti menurut hukum acara pidana kita.
Bila memperhatikan keterangan di atas, tidak terlihat adanya hubungan antara barang bukti
dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada
terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; dan
atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim
memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.
Jadi, dapat kita simpulkan bahwa fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan adalah sebagai
berikut:
1. Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat [1] KUHAP);
2. Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang ditangani;
3. Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang bukti tersebut
dapat menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan JPU.
Dasar hukum:
1. Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S.
1848 No. 16, S.1941 No. 44)
2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Ulasan Lengkap
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Perselingkuhan Tanpa
Persetubuhan, Dapatkah Dipidana? yang dibuat oleh Togar S.M. Sijabat, S.H., M.H. dan pertama
kali dipublikasikan pada Kamis, 30 April 2020.
Sebelum membahas hukum pidana selingkuh bagi istri sebagaimana ditanyakan, kami akan
menerangkan konsep perkawinan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.[1] Dengan perkawinan, dua orang yang berlainan jenis diikat secara lahir, batin,
dan hukum dalam suatu ikatan.
Ikatan lahir terkait dengan hubungan biologis, ikatan badaniah. Artinya, dalam perkawinan,
suami dan istri hanya dapat melakukan hubungan biologis di antara mereka berdua saja.
Sedangkan ikatan batin adalah suatu ikatan yang datang dari lubuk hati seseorang, lubuk hati
yang suci sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Baik suami dan istri bertekad membentuk
mahligai rumah tangga, dalam keadaan suka maupun duka. Karena diatur secara agama, timbul
tanggung jawab moral berupa kejujuran, kesetiaan, ketulusan, dan pengorbanan, yang mutlak
diperlukan dalam suatu perkawinan.
Adapun ikatan hukum adalah adanya hak dan kewajiban yang secara hukum melekat kepada
pria dengan wanita, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Karena perkawinan itu sifatnya ikatan lahir dan batin, perbuatan dusta, pengkhianatan, mau
menang sendiri, dan kemunafikan harus dihindari dan bahkan amat pantang untuk dilakukan.
Jika Istri Selingkuh
Dikaitkan dengan perkawinan, pihak istri yang mengakui telah berselingkuh dengan pria lain,
walau belum berhubungan badan. Menurut hemat kami, ini merupakan perbuatan yang
mengingkari prinsip perkawinan.
Padahal suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.[2] Suami istri juga wajib saling cinta mencintai,
hormat menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.[3]
Dalam Pasal 83 ayat (1) KHI, diterangkan pula kewajiban bagi seorang istri untuk berbakti lahir
dan batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. Istri dapat
dianggap nusyuz (durhaka) jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut,
kecuali dengan alasan yang sah.[4]
Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
pengadilan.[5]
Gugatan yang dimaksud adalah gugatan perceraian. Untuk melakukan perceraian harus ada
cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.[6]
Adanya salah satu pihak yang berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan sendiri dapat menjadi salah satu alasan perceraian.[7]
1. a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan mukah (overspel) padahal diketahui bahwa
pasal 27 BW berlaku baginya;
b. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan mukah.
2. a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa
yang turut bersalah telah kawin.
b. Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku
baginya.
Namun mengenai pasal ini, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 209), menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau
perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau
suaminya.
Menurut hemat kami, untuk dapat dijerat dengan pidana selingkuh sebagaimana diatur dalam
pasal ini, pasangan selingkuh tersebut harus sudah bersetubuh atau berhubungan badan
(telah terjadi penetrasi alat kelamin). Jika hanya berciuman dan meremas payudara, keduanya
tidak dapat dijatuhi pidana selingkuh.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa belum ada pidana selingkuh yang dapat dijatuhkan
kepada pasangan yang dalam perselingkuhannya tidak melakukan hubungan badan atau zina.
Demikian jawaban dari kami terkait pidana selingkuh bagi istri sebagaimana ditanyakan, semoga
bermanfaat.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan;
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
[1] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)
[2] Pasal 30 UU Perkawinan
[3] Pasal 33 UU Perkawinan
[4] Pasal 84 ayat (1) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi
Hukum Islam (“KHI”)
[5] Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan
[6] Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan
[7] Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf a UU Perkawina
MUKAH adalah perbuatan sanggama secara tidak sah antara laki-laki atau perempuan yang telah
menikah dengan seseorang yang berlainan jenis yang belum menikah; ZINA;Bergendak ( KBBI )
Perselingkuhan dapat menjadi pemicu retaknya rumah tangga, jika perselingkuhan telah
mengarah ke perbuatan zina, maka suami/istri yang melakukan zina serta selingkuhannya dapat
dilaporkan oleh pasangan sahnya ke polisi atas dasar perbuatan perzinaan yang diatur dalam
ketentuan KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 yang
mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, yakni pada tahun 2026,[1] yaitu:
Menjawab pertanyaan Anda, apabila dalam suatu perbuatan selingkuh telah terjadi perbuatan
zina dapat dikenakan Pasal 284 KUHP atau Pasal 411 UU 1/2023. Namun, untuk dikenai pasal
tersebut, persetubuhan itu harus dilakukan atas dasar suka sama suka, tidak boleh ada paksaan
dari salah satu pihak.
R. Soesilo lebih lanjut dalam halaman yang sama pun menambahkan bahwa pengaduan ini tidak
boleh dibelah. Artinya apabila Anda mengadukan bahwa suami Anda telah berzina dengan
perempuan lain, maka suami Anda maupun perempuan tersebut yang turut melakukan
perzinaan, kedua-duanya harus dituntut.
Masih dari buku yang sama, R. Soesilo menegaskan tindak pidana perzinaan merupakan suatu
delik aduan yang absolut, artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak
suami atau istri yang dirugikan.
Jerat Pidana Bagi Orang yang Mengirim Foto Telanjang
Perbuatan perempuan yang mengirimkan foto bugil (telanjang) kepada suami Anda dapat
dikatakan merupakan perbuatan yang menimbulkan kerugian (imateriel) yakni menimbulkan
keretakan dalam rumah tangga Anda.
Selain dijerat dengan ketentuan UU ITE, pelaku pengirim foto telanjang juga dapat dijerat Pasal
4 ayat (1) UU Pornografi yang mengatur larangan memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
Jadi, selingkuhan suami Anda yang mengirimkan foto telanjangnya menurut hemat kami dapat
dikenakan jeratan Pasal 27 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 45 ayat (1) UU 19/2016 dan/atau Pasal 4 ayat
(1) jo. Pasal 29 UU Pornografi.
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
4. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi;
5. Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informasitka Republik Indonesia, Jaksa Agung
Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 229, 154,
KB/2/VI/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
Referensi:
1. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991;
2. Selingkuh, yang diakses pada Rabu, 26 April 2023, pukul 11.00 WIB.
[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(“UU 1/2023”)
[2] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023
[3] Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”)
[4] Penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU 19/2016
[5] Lampiran Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informasitka Republik Indonesia, Jaksa
Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 229, 154,
KB/2/VI/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah
Diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, hal. 7
Ulasan Lengkap
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Hukumnya Menyebarkan Aib
Orang Lain di Media Elektronik yang dibuat oleh Dimas Hutomo, S.H. dan pertama kali
dipublikasikan pada Rabu, 19 Desember 2018.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk
tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk
mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.
KUHP UU 1/2023
Pasal 310 Pasal 433
Jika yang melakukan kejahatan pencemaran Jika setiap orang sebagaimana dimaksud
atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk dalam Pasal 433 diberi kesempatan
membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, membuktikan kebenaran hal yang dituduhkan
tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan tetapi tidak dapat membuktikannya, dan
bertentangan dengan apa yang diketahui, tuduhan tersebut bertentangan dengan yang
maka dia diancam melakukan fitnah dengan diketahuinya, dipidana karena fitnah, dengan
pidana penjara paling lama 4 tahun. pidana penjara paling lama 3 tahun atau
pidana denda paling banyak kategori IV yaitu
Rp200 juta.[5]
Mengenai Pasal 310 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 226), berpendapat bahwa
untuk dapat dipidana dengan pasal tersebut, penghinaan itu harus dilakukan dengan cara
menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu dengan maksud tuduhan itu akan
tersiar (diketahui oleh orang banyak).
Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri,
menggelapkan, berzinah, dan sebagainya, cukup dengan perbuatan biasa, sudah tentu suatu
perbuatan yang memalukan, misalnya menuduh bahwa seseorang pada suatu waktu tertentu
telah masuk melacur di rumah persundalan; ini bukan perbuatan yang boleh dihukum, akan
tetapi cukup memalukan bagi yang berkepentingan bila diumumkan. Lebih lanjut R. Soesilo
menjelaskan (hal. 225), perbuatan ini hanya dapat dituntut, apabila ada pengaduan dari orang
yang menderita (delik aduan).
Mengenai perbuatan yang dituduhkan itu dalam Pasal 310 KUHP, S.R. Sianturi dalam bukunya
Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya (hal. 560) berpendapat bahwa yang dituduhkan itu
dapat berupa berita yang benar-benar terjadi dan dapat juga “isapan jempol” belaka.
Maka, menjawab pertanyaan Anda, ini berarti walaupun aib yang disebarluaskan itu adalah benar
adanya, akan tetapi, jika hal tersebut mempermalukan Anda, dapat diadukan.
Pencemaran Aib Melalui Media Sosial
Menjawab pertanyaan kedua Anda, berkaitan dengan pencemaran nama baik yang dilakukan di
media sosial, perbuatan ini dapat dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang berbunyi:
Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Pelakunya dikenai sanksi berdasarkan Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 yakni dipidana penjara paling
lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.
Ketentuan ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur
dalam KUHP yaitu Pasal 310 dan Pasal 311 ayat (1) KUHP atau Pasal 433 dan Pasal 434 ayat (1)
UU 1/2023.[6] Jadi orang yang menyebarkan aib melalui media sosial dapat dipidana berdasarkan
Pasal 27 ayat (3) UU ITE jo. Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 jika ada pengaduan dari korban yang
merasa dipermalukan karena aibnya sudah disebarkan.
Contoh Kasus
Sebagai contoh kasus pencemaran nama baik di media sosial dapat dilihat dalam
Putusan PN Selayar Nomor 6/Pid.Sus/2017/PN Slr di mana terdakwa telah terbukti secara sah
dan menyakinkan bersalah melakukan pencemaran nama baik yang dilakukan dengan cara
menuduh seorang perempuan sakit jiwa melalui facebook (hal. 15).
Akibat perbuatannya, terdakwa dijatuhi hukuman berdasarkan Pasal 45 ayat (3) UU
19/2016 yaitu pidana penjara selama 3 bulan. Namun, pidana tersebut tidak usah dijalani
kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena
terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 6 bulan berakhir
(hal. 19).
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
4. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak
Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.
Putusan:
Putusan Pengadilan Negeri Selayar Nomor 6/Pid.Sus/2017/PN Slr.
Referensi:
1. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991;
2. S.R. Sianturi. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya. Jakarta: Alumni AHM-PTHM,
1983;
3. KBBI, yang diakses pada Jumat, 28 April 2023, pukul 13.24 WIB.
[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(“UU 1/2023”)
[2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan
Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP
[3] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023
[4] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023
[5] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023
[6] Penjelasan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Pasal Perselingkuhan
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami akan membahas terlebih dahulu mengenai makna
perselingkuhan. Menurut KBBI, selingkuh adalah menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan
sendiri; tidak berterus terang; tidak jujur; serong. Selingkuh juga dapat diartikan sebagai
menyeleweng.
Dalam konteks hubungan perkawinan, selingkuh identik dengan tindakan serong salah satu
pasangan yang melanggar janji perkawinannya. Dalam pertanyaan yang Anda sampaikan, Anda
tidak menyebutkan bagaimana perselingkuhan yang dilakukan oleh istri Anda.
Kami asumsikan perselingkuhan yang Anda maksud adalah suatu persetubuhan di luar
perkawinan oleh seorang laki-laki atau perempuan yang kawin, sebagai pelanggaran dari janji
setia perkawinan. Artinya, Anda dengan cara tertentu memergoki istri Anda telah melakukan
persetubuhan dengan laki-laki lain.
Terhadap tindakan perselingkuhan tersebut, maka muncul pertanyaan apakah perselingkuhan
bisa dipidanakan? Dalam KUHP, tidak diatur secara tegas tentang istilah perselingkuhan.
Namun demikian, di dalam KUHP yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU
1/2023 tentang KUHP baru yang baru berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun
2026, perselingkuhan yang dilakukan dengan persetubuhan dapat dikenakan pasal perzinaan
(overspel).
KUHP UU 1/2023
Pasal 284 ayat (1) Pasal 411 ayat (1)
Contoh Kasus
Contoh kasus perselingkuhan yang dipidana dengan Pasal 284 ayat (1) ke-1a KUHP dapat
disimak dalam Putusan PN Dataran Hunipopu No. 31/Pid.B/2019/PN Drh.
Terdakwa bersama saksi (yang juga menjadi terdakwa pada berkas terpisah) terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan zina dan
dijatuhi pidana penjara selama 1 bulan (hal. 12–13).
Terdakwa dan saksi korban (istri sah) masih memiliki hubungan pernikahan namun tidak
harmonis karena saksi korban sering dipukul dan pergi ke Jakarta untuk menenangkan diri. Ketika
ditinggal saksi korban (istri sah) ke Jakarta, terdakwa dan saksi melakukan gendak (overspel) di
rumah terdakwa hingga tinggal bersama di rumah terdakwa dan berhubungan layaknya suami
istri. Terdakwa dan saksi kemudian memiliki seorang anak perempuan berumur 1 tahun 7 bulan
(hal. 2–3).
Dalam kasus tersebut, bukti yang digunakan adalah saksi-saksi dan 1 lembar kutipan akta
perkawinan.
Demikian jawaban dari kami tentang pasal perselingkuhan, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Putusan:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016;
2. Putusan Pengadilan Negeri Dataran Hunipopu Nomor 31/Pid.B/2019/PN Drh.
Referensi:
KBBI, yang diakses pada Selasa, 21 Maret 2023 pukul 08.54 WIB.
[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(“UU 1/2023”)
[2] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023
[3] Pasal 284 ayat (3) dan (4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan Pasal 411 ayat
(3) dan (4) UU 1/2023
[4] Pasal 284 ayat (2) KUHP