Anda di halaman 1dari 5

NAMA : DAHLIA

NIM : 041036471

TUGAS 2

Setelah mahasiswa/i mempelajari materi pada Sesi 4 dan Sesi 5, mahasiswa/i diminta
menjawab atau memberikan penjelasan atas pertanyaan pada Tugas 2 ini yaitu:

1. Jelaskan perkembangan  asas legalitas dalam hukum pidana dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, berikan contoh kasus dan berikan pula analisis atas kasus tersebut!
Jawab :
Asas Legalitas diwujudkan dalam aturan hukum Pasal 1 ayat 1 KUHP menyatakan
dengan jelas “(1) Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-perundangan pidana yang telah ada”. Asas ini terbagi dalam tiga
hal, yaitu Nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan
undangundang),Nulla poena sine crimine (tidak adapidana tanpa kejahatan) dan
Nullum crimensine poena legali (tidak ada perbuatan pidanatanpa pidana menurut
undangundang)(Raharjo, 2008).Tiga makna asas legalitas tersebut mengakibatkan
adanya dua implikasi, yaitu: larangan menggunakan analogi (prinsip non analogi);
dan keharusan menggunakan undang-undang pidana yang berlaku pada saat perbuatan
dilakukan. Artinya, dilarang memberlakukan undang-undang pidana secara retroaktif
(prinsip nonretroaktif)(Khasan, 2017).
Penerapan asas legalitas memiliki variasi yang beragam antar satu negaradengan
negara lainnya, tergantung apakah sistem pemerintahan yang berlaku di negara
bersangkutan bersifat demokratis atau tiranis. Variasi juga tergantung pada keluarga
hukum yang dianutnya. Sistem Eropa Kontinental cenderung menerapkan asas
legalitas lebih kaku daripada penerapannya di negara-negara yang menganut sistem
Common law, karena di negara-negara Eropa Kontinental asas legalitas menjadi alat
untuk membatasi kekuasaan negara. Di negara-negara yang menggunakan sistem
Common Law asas legalitas tidak begitu menonjol, karena prinsip-prinsip rule of law
telah tercapai dengan berkembangnya konsep due proses of law yang didukung oleh
hukum acara yang baik. Dalam hal ini analogi tidak dijinkan tetapi bahkan menjadi
basis pembaharuan Common Law. Amerika Serikat lebih ketat dalam membatasi
analogi dan berlakunya asas retroaktif hanya dalam hukum acara, khususnya hukum
pembuktian(Muladi, 2002).
Jadi dapat disimpukan Perkembangan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia tidak
lagi kaku. Dalam penerapannya asas legalitas dapat dikecualikan terutama dalam terjadinya
kejahatan terhadap hak asasi manusia. Pelaku dapat dihukum dengan ketentuan hukum
yang dibuat kemudian untuk menjamin keadilan, meskipun dengan mengenyampingkan
kepastian hukum. Meskipun dibuat kemudian tetap harus dibuat tertulis karena dalam
hukum pidana positif di Indonesia harus ada ketentuan tertulis yang menjadi dasar dan tidak
dapat menghukum orang dengan menggunakan hukum kebiasaan.Penerapan asas legalitas
dalam Hukum Pidana Internasional lebih fleksibel, mengingat bahwa salah satu sumber
hukum internasional adalah kebiasaan internasional. Kejahatan terhadap hak asasi manusia
merupakan jus cogens yang dianggap kejahatan internasional yang mengakibatkan semua
negara berhak melakukan penuntutan terhadap para pelaku. Pengecualian terhadap asas ini
dalam hukum pidana internasional untuk memastikan pelaku kejahatan dihukum dan
keadilan dapat ditegakkan.
Contoh Kasus pada Bom Bali pada Tahun 2002

Peristiwa bom Bali terjadi pada 12 Oktober 2002 sedangkan Perpu 1/2002 ditetapkan
pada 18 Oktober 2002. Secara singkat dapat dikatakan bahwa penerapan Perpu 1/2002
telah diberlakukan surut dan bertentangan dengan asas non-retroaktif.

Berdasarkan ketentuan Pasal 46 Perpu 1/2002 dapat diketahui bahwa aturan


pemberantasan tindak pidana terorisme dapat diberlakukan terhadap kasus yang
terjadi sebelum berlakunya Perpu 1/2002 melalui UU atau Perpu tersendiri.

Penerapan ketentuan Perpu 1/2002 terhadap kasus bom Bali tanggal 12 Oktober 2002
ditetapkan melalui Perpu No. 2 Tahun 2002 yang disahkan dengan UU No. 16 Tahun
2003. UU 16/2003 ini kemudian oleh Makhamah Konstitusi melalui Putusan MK No.
013/PUU-I/2003 tanggal 23 Juli 2004 dinyatakan bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan MK ini
tidak didapat tidak dengan suara bulat, karena 4 hakim memiliki pendapat berbeda
(dissenting opinion). Menurut hemat kami, undang-undang yang Anda maksud telah
dibatalkan MK adalah UU 16/2003.
2. Jelaskan perkembangan pembatasaan asas legalitas di Indonesia sesuai dengan RUU
KUHP!
Jawab :
Selama ini asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yang menentukan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana,
kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.2
Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP draft tahun 2010 masih mempertahankan
asas legalitas sebagai asas fundamental. Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP menentukan
bahwa tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan
yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan. Selanjutnya ayat (2) dari
Pasal tersebut menentukan bahwa dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang
menggunakan analogi. Namun asas legalitas tersebut mengalami perluasan dalam
ketentuan selanjutnya. Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP menentukan konsep yang berbeda
dari adagium nullum delictum nulla poena sine praevia lege. Ayat (3) menentukan
bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya
hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut
dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Selanjutnya Ayat (4) menentukan bahwa berlakunya hukum yang hidup
dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh
masyarakat bangsa-bangsa.
Dengan adanya ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) RUU KUHP tersebut maka
seseorang dapat dituntut dan dipidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat
meskipun perbuatan tersebut tidak dilarang dalam perundang-undangan. Penjelasan
Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP menyebutkan: suatu kenyataan bahwa dalam beberapa
daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang
hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang
demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya disebut
dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai
berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini. Ketentuan pada ayat ini merupakan
pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan
yang hidup di dalam masyarakat tertentu.
Perluasan asas legalitas tersebut menggambarkan adanya pertentangan antara
ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) dengan ayat (3) dan ayat (4) RUU KUHP.
Pertentangan tersebut terjadi karena Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP menghendaki
adanya peraturan sebelum tindakan yang dianggap melanggar hukum itu terjadi.
Dengan demikian ketentuan ini menghendaki adanya kepastian hukum. Sedangkan
ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP mengesampingkan kepastian hukum dengan
mengedepankan keadilan (untuk memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam
masyarakat tertentu). Di satu sisi, melalui asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) RUU
KUHP, hukum pidana menghendaki aturan yang tertulis dan cermat. Sementara
hukum yang hidup dalam masyarakat tidak tertulis (untuk menunjuk hukum selain
hukum yang dibentuk oleh negara).
3. Apakah sifat melawan hukum dalam hukum perdata sama dengan melawan hukum
dalam hukum pidana, cantumkan dasar hukumnya, buat contoh kasus dan berikan
pula analisia atas kasus perbuatan melawan hukum yang saudara buat!
Jawab :
Sifat melawan hukum perdata dan Pidana Tidak sama. sifat perbuatan melawan
hukum dalam hukum pidana bersifat publik artinya ada kepentingan umum yang
dilanggar (disamping juga kepentingan individu), sedangkan perbuatan hukum dalam
konteks perdata bersiffat privat yang dilanggar hanya kepentingan pribadi saja.
Contoh kasus Melawan Hukum

Penggugat NA dan Tergugat Ay adalah sepasang kekasih yang telah terjalin sejak Juni
2005. Penggugat sendiri bukanlah pacar pertama untuk Tergugat Ay, karena
sebelumnya Tergugat sudah pernah pacaran dengan laki-laki lain. Selama berpacaran,
Penggugat melakukan dua kali hubungan seks dengan Tergugat, yang menurut
Penggugat keduanya dimulai oleh Tergugat.

Hubungan suami istri pra nikah tersebut diketahui oleh kedua orang tua Penggugat
sehingga pada Juli 2007, Tergugat datang kerumah Penggugat guna menemui orang
tua kedua orang tua Penggugat dan meminta maaf. Dan sehari setelahnya, Penggugat
bersama orang tua menemui orang tua Tergugat untuk meminta maaf dan
menyelesaikan persoalan tersebut secara kekeluargaan dengan cara menikahkan
Penggugat dan Tergugat.

Namun demikian, setelah persoalan itu mendapat jalan keluar secara kekuluargaan,
Tergugat pada akhir Juli dan awal Agustus 2007 beberapa kali menilis di akun
Tergugat di situs Friendster yang mengandung arti dan penilaian negatif terhadap
Penggugat. Atas perbuatan Tergugat itu, Penggugat merasa dicemarkan nama baiknya
karena pesan-pesan itu disampaikan secara terbuka dan diketahui orang banyak serta
menimbulkan kerugian bagi Penggugat, baik dari sisi materil maupun immateril.

Dasar Gugatan

Pasal 1365 KUHPerdata

Pertimbangan MA, Putusan No. 2142 K/Pdt /2009

Bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat berupa pesan-pesan melalui website,
masih dapat dikategorikan untuk memberi peringatan kepada orang lain atas
perbuatan Penggugat.

Bahwa sesungguhnya yang paling dirugikan dalam hubungan Penggugat dengan


Tergugat adalah Tergugat karena sesungguhnya Penggugatlah yang harus
bertanggung jawab atas perlakuan Penggugat terhadap Tergugat yang masih di bawah
umur.

Anda mungkin juga menyukai