Anda di halaman 1dari 8

Soal Responsi Asas-Asas Hukum Pidana Kelas E

Senin, 6 Juni 2022

Kerjakan soal-soal berikut dengan benar dan jelas disertai argumentasi hukum yang
relevan dan sumber referensi yang ada! Dikumpulkan pada hari Senin, 6 Juni 2022 pada
pukul 23.59 WIB dan turn in di Assignment.
1. Apakah yang dimaksud dengan ilmu hukum, hukum pidana dan pidana itu?
2. Apakah yang dimaksud dengan Bagian Umum dan Bagian Khusus dalam hukum
pidana?
3. Apakah ketentuan Buku I KUHP berlaku untuk ketentuan hukum pidana di luar KUHP?
Jelaskan dan sebutkan dasar hukumnya serta berikan contohnya!
4. Mengapa ketentuan Hukum Pidana Khusus (Hukum Pidana di luar KUHP) dapat
menyimpangi ketentuan Buku I KUHP? Jelaskan dan berikan contohnya!
5. Sebut dan jelaskan ruang berlakunya hukum pidana menurut waktu dan tempat menurut
KUHP kita!
6. Meskipun Pasal 1 ayat (1) KUHP secara tegas mengatur ketentuan asas legalitas, apakah
mungkin peraturan hukum pidana berlaku surut? Jika bisa, adakah syarat-syarat yang
harus dipenuhi? Jelaskan dan berikan contohnya!
7. Apakah perbedaan antara aliran monistis dengan dualistis dalam hukum pidana?
8. Apakah yang dimaksud dengan tindak pidana dalam pengertian yuridis?
9. Sebut dan jelaskan pembagian (jenis-jenis) tindak pidana menurut kualifikasi yuridis dan
ilmu pengetahuan atau ilmiah!
10. Dalam hukum pidana dikenal adanya delik aduan (klacht delicten), dalam delik aduan
dibedakan antara delik aduan absolut dan delik aduan relatif. Apakah yang dimaksud
dengan hal tersebut? Jelaskan jawaban Saudara dan berikan contohnya!
11. Sebut dan jelasakan unsur-unsur kesalahan dalam arti luas!
12. Sebut dan jelaskan corak atau tingkatan kesengajaan! Jawaban disertai dengan contoh!
13. Sebut dan jelaskan disertai dengan memberikan contoh perbedaan atau batasan antara
kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis) dengan culpa yang disadari!
14. Apakah perbedaan antara alasan pemaaf dengan alasan pembenar? Sebut, jelaskan dan
berikan contoh kedua hal tersebut!
15. Sebut dan jelaskan dalam keadaan yang bagaimana Pasal 51 ayat (2) KUHP dapat
digunakan sebagai alasan penghapus pidana bagi pelakunya!

Selamat mengerjakan!
Nama : Khalid Irsyad Januarsyah

Kelas : E Asas asas hukum pidana

NIM : 11000121130346

1. Ilmu hukum adalah suatu cakupan ilmu yang membahas terkait hukum itu sendiri yang mana
di dalamnya mencakup secara luas tentang apa yang seyogyanya dan apa yang tidak seyogyanya
dilakukan oleh masyarakat. Atau dalam kata lain, ilmu hukum yakni suatu ilmu yang secara
khusus mengkaji terkait keberadaan nilai , norma , dan kesusilaan yang ada di masyarakat, dan
bagaimana masyarakat tersebut dapat mentaati adanya nilai nilai dan norma tersebut melalui
adanya pemberlakuan suatu UU secara formal. Sedangkan hukum pidana sendiri menurut Prof.
Soedarto, berarti adalah aturan aturan hukum yang mengikat perbuatan yang memenuhi
persyaratan tertentu yang dapat memenuhi unsur unsur sehingga dapat dijatuhi pidana. Berbeda
lagi dengan adanya terminologi pidana, yang mana keberadaanya meruapakan salah satu dari
ketiga unsur penting dalam hukum pidana. Pidana atau pemidanaan sejatinya dapat kita artikan
sebagai penestapaan yang diberikan kepada pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana,
dengan pemberian sanksi yang telah diatur di dalam UU, serta telah memiliki kekuatan hukum
mengikat yang diberikan oleh hakim.

2. Hukum pidana dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis, yakni hukum pidana umum dan khusus.
Ketentuan mengenai hukum pidana umum, biasanya dapat kita temukan di dalam KUHP, yang
mana poin pembeda diantara keduanya terletak kapabilitas dari masing masing masyarakat
dalam melakukan suatu tindak pidana tersebut. Apabila yang ditentukan mengenai hukum pidana
umum, maka norma yang dimuat pun terkait larangan untuk melakukan perbuatan yang secara
umum diakui sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai , norma , dan kesusilaan yang
ada di masyarakat. Atau dapat pula dikatakan bahwa hukum pidana umum memuat ketentuan
terkait perbuatan jahat yang dapat dilakukan oleh semua golongan di masyarakat, seperti
misalnya mencuri, berzina, membunuh, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk hukum pidana
khusus, dapat diartikan sebagai konstelasi suatu hukum yang menitikberatkan pada pelaksanaan
suatu perbuatan atau tindakan yang sejatinya hanya dapat dilakukan oleh orang atau badan
tertentu, yang mana implikasinya dapat berdampak besar terhadap hajat hidup masyarakat.
Seperti misalnya terorisme dan korupsi.

3. Secara garis besar , menurut ketentuan yang dimaktub dalam pasal 103 KUHP, bahwa
penerapan atas bab I – VIII KUHP akan berlaku terhadap tindak pidana lainnya, kecuali
peraturan hukum menghendaki lain. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa selama belum ada
suatu perundang undangan atau produk hukum baru yang mengatur secara khusus terkait suatu
tindak pidana, maka tindak pidana tersebut masih berhaluan kepada KUHP.

4. Mengingat bahwa sifatnya yang khusus dan pentingnya penerapan asas Lex Specialis derogat
legi generalis , yang mana juga dapat dikatakan sebagai tindak pidana yang memerlukan upaya
pencegahan, penanganan dan penanggulangan yang berbeda dari tindak pidana pada umumnya,
maka sejatinya perlu adanya UU khusus yang mengatur terkait adanya hal tersebut. Terlebih,
banyak atau bahkan mungkin semua tindak pidana khusus dapat diklasifikasikan sebagai tindak
kejahatan luar biasa, maka penanganan terhadapnya pun mesti dilakukan secara luar biasa pula.
Termasuk dalam sisi yuridisnya, yang sangat dimungkinkan terjadinya pengkhususan dengan
mengenyampingkan adanya ketentuan yang ada di dalam KUHP, dengan kemudian
menormakannya ke dalam suatu produk hukum baru diluar KUHP. Contohnya ialah terkait UU
terkait narkotika, UU ITE, UU Tipikor, dan UU Terorisme.

5. Ruang berlakunya hukum pidana menurut tempat dapat kita kenal dengan istilah Locus Delicti
, yang mana berartikan bahwa penting bagi hukum untuk melihat ruang dari keberlakuan dirinya
atau keterikatan dirinya terhadap masyarakat yang ada di suatu tempat. Selain itu, pengkajian
keberlakuan hukum pidana Indonesia menurut tempatnya juga penting yakni untuk mengetahui
kompetensi pengadilan negara mana yang berwenang mengadili dan menangani suatu perkara,
serta untuk mengetahui hukum negara mana yang berwenang mengadili perkara. Di dalam
KUHP hal ini dapat kita temukan pada pasal 2 dan 3 KUHP terkait penerapan asas teritorial yang
menyatakan bahwa peraturan pidana dalam per undang undangan Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia sejauh 12 mil. Lalu juga ada di pasal
5 KUHP terkait adanya asas nasional aktif, yang mana menyebutkan bahwa peraturan pidana
Indoneisa berlaku bagi setiap WNI yang ada di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah
Indonesia yang melakukan tindak pidana di dalam maupun di luar Indonesia.Sedangkan jika
dikaji pada aspek keberlakuan menurut waktu, hukum pidana Indonesia kembali telah
mengaturnya melalui pasal 1 ayat 1 KUHP yakni terkait adanya asas legalitas yang mana
menyatakan secara implisit terkait peraturan perundang undangan pidana yang tidak boleh
berlaku surut, lalu pada pasal 78 dan 79 KUHP terkait berlakunya daluarsa, dan juga pada pasal
45 KUHP terkait subjek hukum yang baru boleh dikenakan hukum pidana yakni yang telah
berusia lebih dari 15 tahun. Pentingya pengkajian menurut waktu ini, didasari untuk mengetahui
waktu terjadinya tindak pidana, serta peraturan hukum mana yang akan dipakai untuk mengadili
apabila sedang ada pergantian hukum ( hukum transitoir) .

6. Walaupun pasal 1 ayat 1 KUHP telah menjelaskan secara implisit terkait adanya asas non
retrokatif, namun dalam penerapannya, masih dapat dimungkinkan terhadap beberapa bentuk
tindak pidana diterapkan adanya pengecualian atas adanya asas non retrokatif tersebut, yakni
menggunakan adanya asas retrokatif. Penerapan dari asas retrokaktif ini juga kemudian
diakomodir oleh regulasi hukum internasional seperti pasal 28 Konvensi Wina 1969, pasal 28
Konvensi Wina 1986, pasal 103 piagam PBB dan pasal 15 ayat 2 ICCPR. Di dalam peraturan
perundang undangan nasional pun telahlah diatur keberadaanya melalui angka 124 lampiran UU
12/2011 yang menyatakan bahwa jika suatu peraturan perundang undangan yang memuat
ketentuan pidana akan diberlakusurutkan, ketentuan pidananya harus dikecualikan, mengingat
adanya asas umum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang menyatakan bahwa ketentuan pidana tidak
boleh berlaku surut. Pun, Prof. Wirjono Prodjodikoro juga berpendapat bahwa perlu adanya
pemenuhan syarat syarat yang secara komprehensif dibutuhkan bagi suatu tindak pidana agar
dapat menerapkan adanya asas retrokatif. Yakni seperti misalnya tindak pidana tersebut
merupakan kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan
destruksinya setara dengannya, lalu peradilannya bersifat internasional, bukan peradilan
nasional, peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen, dan keadaan hukum nasional
negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana, aparat atau ketentuan hukumnya tidak
sanggup menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman
dan destruksinya setara dengannya.

7. Perbedaan aliran monistis dan dualistis terletak pada cara pandangnya melihat
keberlangsungan hukum pidana. Yang mana aliran monistis berpandangan bahwa tidak perlu
adanya pemisahan antara perbuatan atau tindak pidana dengan petanggungjawaban pidana,
sedangkan aliran dualistis berpendangan bahwa perlu dipisahkannya perbuatan atau tindak
pidana dengan pertanggungjawaban pidana.

8. Tindak pidana dalam pengertian yuridis berarti perbuatan yang secara terang terangan
melanggar daripada ketentuan perundang undangan yang memuat adanya unsur pidana.

9. Dari aspek yuridis ( KUHP ) , tindak pidana dibagi menjadi 2 jenis, yakni :

 Kejahatan ( recht delict ) = melanggar dan bertentangan dengan hukum ( hukum


lebih dari sekedar UU ) , dijelaskan di dalam Buku II KUHP, sanksi lebih berat
dari pelanggaran
 Pelanggaran ( Wetdelict ) = melanggar dan bertentangan dengan UU , dijelaskan
di dalam buku III KUHP
Dari aspek ilmu pengetahuan , dikenal beberapa jenis tindak pidana :

 Delik Formill, adalah delik yang menitikberatkan pada perbuatan, contohnya


pencurianm ujaran kebenciann dan penghasutan
 Delik Materiil, adalah delik yang menitikberatkan pada akibat yang timbul,
contohnya pembunuhan, penipuan.
 Delik Comissionis, adalah delik berupa tindakan yang melanggar suatu larangan.
Contohnya mencuri, menipu, dan menggelapkan.
 Delik Ommisionis, adalah delik berupa pelanggaran terhadap perintah. Contohnya
Pasal 522 dan 351 KUHP.
 Delik comissionis per omissionis commisa, adalah delik berupa tindakan
melanggar larangan dan perintah. Contohnya ibu membunuh anak dengan tidak
memberi asi.
 Delik dolus dan culpa adalah delik yang menitikberatkan pada adanya unsur
kesengajaan dan kelalaian. Contohnya kesengajaan dijelaskan di dalam pasal 338
KUHP, kelalaian dijelaskan di dalam pasal 359 dan 360 KUHP.
 Delik tunggal, adalah delik yang dilakukan dengan hanya sekali perbuatan.
 Delik berganda , adalah delik yang diselesaikan dengan membutuhkan beberapa
tindakan.
 Delik yang berlangsung terus, adalah delik berupa satu atau beberapa perbuatan
yang melangsungkan suatu keadaan yang dilarang. Contohnya pasal 221, 261 dan
333 KUHP.
 Delik selesai, adalah delik berupa tindak pidana atau beberapa tindak pidana yang
selesai dalam satu waktu dilakukannya perbuatan tersebut. Contohnya : pasal 362
dan 338 KUHP.
 Delik aduan , adalah delik berupa perbuatan yang baru dapat dikualifikasikan
sebagai suatu tindak pidana, apabila telah memenuhi unsur tindak pidana menurut
UU dan yang bersangkutan dalam hal ini korban, telah melaporkan adanya tindak
pidana.
 Delik bukan aduan, adalah delik berupa perbuatan pidana yang tidak
memperlukan adanya aduan dari korban, melainkan sudah cukup dengan
terpenuhinya rumusan delik yang ada di UU.

10. Delik aduan sendiri dalam hukum pidana, dapat diklasifikasikan secara lebih luas ke dalam
2 jenis , yakni delik aduan absolut dan relatif.

 Delik aduan absolut adalah delik aduan yang menempatkan seorang korban untuk
secara leluasa mengadukan terkait telah terjadinya suatu tindak pidana yang
merugikan dirinya, dengan kemudian menuntut secara keseluruhan peristiwa
tindak pidana tersebut termasuk dengan segala pihak yang terlibat di dalam
terjadinya peristiwa tindak pidana tersebut. Sehingga delik aduan absolut ini
bersifat tidak dapat dipecah. Contohnya dapat kita temukan di dalam pasal 284,
287, 293, 310 dan 369 KUHP.
 Delik aduan relatif adalah delik yang tidak dapat sepenuhnya diklasifikasikan
sebagai suatu delik aduan, namun dalam beberapa situasi dapat menjadi delik
aduan. Biasanya hal ini terjadi jika melibatkan adanya pelaku tindak pidana yakni
sanak keluarganya sendiri, dan dalam delik aduan relatif ini, menempatkan si
korban untuk kemudian menuntut tindak pidananya, dan bukan peristiwanya.
Sehingga, apabila tindak pidananya yang dituntut, adanya pihak pihak yang
terlibat dalam tindak pidana tersebut, kemudian dapat dituntut secara terpisah.
Misalnya apabila terjadi suatu tindak pidana pencurian yang melibatkan A dan B
sebagai pelaku. Dengan delik aduan relatif , si C dapat kemudian menuntut salah
seorang dari A dan B. Contohnya dapat kita temukan di dalam pasal 367, 370,
376 ,394, 404, dan 411 KUHP.
11. Unsur unsur kesalahan dalam arti luas , yakni mencakup adanya :

 Dapatnya pembuat bertanggung jawab.


 Kaitan secara psikis antara perbuatan yang dilakukan dengan pelaku itu sendiri,
yakni adanya unsur kesengajaan maupun kealpaan
 Tidak adanya unsur penghapusan pidana berupa alasan pemaaf.
12. Jenis kesengajaan dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian , yakni :

 Kesengajaan bersifat maksud, yang mana kesengajaan jenis ini, menempatkan si


pelaku ketika bertindak melakukan suatu perbuatan pidana tersebut, telah secara
terang terangan memiliki maksud dan tujuan yang sesuai dengan akibat yang
timbul daripada dilakukannya suatu perbuatan tersebut. Atau dalam kata lain, si
pelaku telah secara sengaja menyebabkan akibat yang timbul tersebut.
Contohnya seorang pemuda menembak kepala temannya dengan maksud ingin
membunuhnya.
 Kesengajaan sebagai kepastian, adalah kesengajaan yang memiliki makna bahwa
kesadaran pelaku tentang suatu akibat yang pasti terjadi, walaupun hal tersebut
bukan tujuan utamanya. Contohnya seseorang yang hendak mencuri uang di
dalam rumah, pelaku tersebut harus memecahkan kaca terlebih dahulu sebelum
dapat masuk. Perbuatan memecahkan kaca mengakibatkan kaca di rumah pecah,
namun itu bukan akibat yang hendak ia capai tapi dia mengetahui kaca tersebut
akan pecah.
 Kesengajaan sebagai kemungkinan, kesengajaan ini berarti pelaku menyadari
bahwa ada akibat lain yang timbul dari perbuatan pidana yang ia lakukan.
Contohnya ada seseorang yang hendak mengirimkan minuman beracun ke
rumah temannya, walaupun ia mengetahui bahwa di dalam rumah tersebut juga
dihuni oleh keluarga si temannya tersebut, sehingga akan timbul suatu
kemungkinan bahwa si keluarga juga akan meminum minuman beracun tersebut,
ia tetap melancarkan perbuatannya tersebut.
13. Menurut Satochid Kartanegara , perbedaan antara kesengajaan dengan dasar kemungkinan
dengan kelalaian yang disadari ialah terletak pada ;
 Kelalaian yang disadari atau culpa lata yang disadari, hal ini dapat terjadi ketika
seseorang tersebut dalam melakukan perbuatannya telah dapat membayangkan
terkait akan timbulnya suatu akibat. Dan meskipun si pelaku tersebut telah
mencegah dan berupaya untuk mengantisipasi timbulnya akibat tersebut,
akibatnya pun tetap timbul.
 Berbeda dengan dolus eventualis yakni ketika seseorang melakukan suatu
perbuatan untuk mencapai maksud tertentu, namun dalam melakukan
perbuatannya tersebut, si pelaku telahlah menyadari bahwa akan timbul suatu
akibat lain, selain dariapa yang ia maksudkan, yang tentunya akibat lainnya pun
melanggar adanya ketentuan UU dan dapat diancam pidana.
Sehingga ,yang membedakan secara mendasar adanya dua hal ini ialah terkait sikap batin
yang menyertainya.

14. Perbedaan antara alasan pembenar dan pemaaf dapat kita tinjau daripada aspek ruang lingkup
pelaksanaannya. Alasan pembenar dan pemaaf sejatinya merupakan salah dua alasan
penghapusan pidana. Terhadap suatu perbuatan konkrit atau objektif, dapat saja dilakukan
adanya penghapusan pidana melalui pemberian alasan pembenar. Alasan pembenar itu sendiri
memberikan pengecualian atas tindakan yang semulanya dapat diklasifikasikan sebagai suatu
perbuatan tindak pidana, menjadi perbuatan biasa atau bukan tindak pidana. Contohnya ketika
adanya algojo diperintahkan untuk mengeksekusi mati seorang narapidana, maka apa yang
dilakukan algojo yakni membunuh narapidana tersebut tidak serta merta menjadi suatu tindak
pidana akibat adanya alasan pembenar tersebut, akibat telah terdapat aspek yuridis yang
menjamin pengecualian atas perbuatan tersebut, yakni pasal 51 KUHP.

Sedangkan untuk alasan pemaaf itu sendiri, lebih merujuk kepada kemampuan bertanggung
jawab dari orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut. Apabila yang bersangkutan dalam
hal ini ialah orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut tidak memiliki kemampuan untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka dapat diberikan alasan pemaaf sebagai alasan
penghapusan pidana. Hal tersebutpun nyatanya juga telahlah diatur di dalam pasal 44 KUHP,
yang mengisyarakatkan bahwa dapat gugur kewajiban seseorang untuk bertanggung jawab atas
tindakannya, apabila yang bersangkutan pada saat melakukan perbuatan tersebut telah berada
dalam kondisi terganggu kesehatan jiwanya.

15. Pasal 51 ayat 2 KUHP ,merupakan suatu instrumen pelaksanaan alasan pembenar sebagai
alasan penghapusan pidana. Dalam penerapannya, tentu tidak sembarang peristiwa yang
kemudian dapat secara leluasa mendapatkan alasan pembenar ini. Namun, perlu dipahami terkait
ada beberapa hal yang sejatinya dapat diklasifikan sebagai peristiwa yang layak mendapatkan
alasan pembenar seperti misalnya ketika anggota polisi, yang mendapatkan perintah dari
atasannya untuk secara bersama sama menangkap seseorang sebagai rangkaian kegiatan
penyelidikan. Namun, si atasan tersebut tidak melampirkan adanya surat penangkapan secara
resmi, sehingga kegiatan penangkapan tersebut tetap dilaksanakan tanpa adanya surat
penangkapan. Sehingga dalam hal ini, anggota polisi tersebut tidak dapat dipidana karena adanya
unsur ketidak terpenuhinya surat penangkapan sebagai dokumen sah terjadinya proses
penangkapan, karena secara langsung anggota polisi tersebut melaksanakan perintah atasannya,
dan juga menjalankan tugasnya sebagai aparat kepolisian sesuai dengan apa yang diatur di dalam
peraturan perundang undangan.

SUMBER REFERENSI

 https://www.hukumonline.com/klinik/a/adakah-delik-aduan-yang-tetap-diproses-
meski-pengaduannya-sudah-dicabut--lt4edef75d5869e
 http://repository.uhn.ac.id/bitstream/handle/123456789/3015/Vernanda%20O..pdf
?sequence=1#:~:text=Dalam%20pengertian%20hukum%20pidana%20dapat,peni
adaan%20pidana%20yang%20menghapus%20dapatnya
 http://eprints.umm.ac.id/58131/3/BAB%20II.pdf
 https://blog.justika.com/pidana-dan-laporan-polisi/contoh-kasus-kesengajaan-
dalam-hukum-pidana/#:~:text=dalam%20hukum%20pidananya%3A-
,Kesengajaan%20Sebagai%20Maksud,dapat%20dikatakan%20sebagai%20dolus
%20directus.
 https://www.erisamdyprayatna.com/2021/01/perbedaan-dolus-eventualis-dengan-
culpa.html
 https://media.neliti.com/media/publications/3212-ID-perintah-jabatan-dan-
perintah-jabatan-tanpa-wewenang-dalam-pasal-51-kuh-pidana.pdf
 https://fjp-law.com/id/asas-retroaktif-di-indonesia/

Anda mungkin juga menyukai