Anda di halaman 1dari 3

TUGAS KELOMPOK PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

Nama kelompok 3
 Tania Novika 2010631010153
 Gheanova Amelia NR 2010631010193
 Amaanullah 2010631010177
 Anisa 2010631010004
 Habib Noor Mundhi 2010631010084
 Daniel Hiras Tambunan 2010631010065
1. Apakah dapat diartikan bahwa Perda juga bisa mengatur tentang tindak pidana?
Jawaban:
Peraturan Daerah (Perda) di Indonesia dapat mengatur tentang tindak pidana, namun ketentuan
pidana yang menjadi materi muatan Perda dibatasi. Berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, ketentuan pidana
yang dapat dimuat dalam Perda hanya berupa ancaman pidana paling lama 6 bulan atau pidana
denda paling banyak 50.000.000.
Materi muatan Perda Provinsi dan Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah
dan/atau penjabaran lebih lanjut dari Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Secara
umum, materi muatan Perda dikelompokkan menjadi ketentuan umum, materi pokok yang
diatur, ketentuan pidana (jika diperlukan), ketentuan peralihan (jika diperlukan), dan ketentuan
penutup.
Pencantuman norma sanksi pidana dalam Perda hanya diperbolehkan dengan persetujuan rakyat
melalui perwakilannya di parlemen, dalam hal ini persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk
Undang-Undang. Sementara itu, Perda dapat dihasilkan atas persetujuan dari Gubernur, Bupati,
dan/atau Walikota. Kriteria penentuan sanksi dalam Perda sudah diatur secara limitative
sebagaimana bunyi Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Peraturan Daerah (Perda) juga mengatur tentang tindak pidana dalam KUHP baru. Namun pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, setiap Undang-Undang dan Peraturan Daerah yang
memuat ketentuan pidana harus menyesuaikan dengan ketentuan Buku Kesatu Undang-Undang
ini, sebagaimana hal ini dikatakan dalam Pasal 613 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2023.
Pasal 614 huruf (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 juga mengatakan Pada saat Undang-
Undang ini mulai berlaku “Istilah kejahatan dan pelanggaran yang digunakan dalam Undang-
Undang di luar Undang-Undang ini dan Peraturan Daerah diganti menjadi tindak pidana”

2. Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


Hasil diskusi:
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
adalah undang-undang yang mengatur tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia. Undang-undang ini mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan/penetapan, dan pengundangan. Proses pembentukan undang-undang dapat
membutuhkan waktu yang cukup lama dan meliputi beberapa tahapan atau prosedur yang harus
dilalui.
Pada tahun 2019, terbit Undang-undang Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-
undang ini mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 karena
masih terdapat kekurangan dan belum menampung perkembangan kebutuhan masyarakat
sehingga perlu diubah. Terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam Undang-undang
ini, yaitu antara lain pengaturan tentang pembentukan peraturan perundang-undangan daerah.
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 diubah melalui Undang-
Undang Nomor 15 tahun 2019. Salah satu ketentuan yang diubah adalah Pasal 1, yang mengatur
tentang Pemantauan dan Peninjauan terhadap Peraturan Perundang-undangan sebagai satu
kesatuan yang tak terpisahkan dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Selain itu, penjelasan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 juga diubah, yaitu
tenggang waktu tujuh (7) hari kerja dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang
berkaitan dengan teknis penulisan Rancangan Undang-Undang ke Lembaran Resmi Presiden
sampai dengan penandatanganan, pengesahan undang-undang oleh Presiden dan
penandatanganan sekaligus pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia.

3. Undang-Undang HAM bagaimana terkait dengan pengaturan pembatasan hak asasi manusia?
Jawaban:
Undang-Undang HAM memungkinkan pembatasan Hak Asasi Manusia, tetapi pembatasan
tersebut harus didasarkan pada alasan tertentu dan mengikuti aturan tertentu, sebagaimana
tercantum dalam Pasal 29 UUD. Pembatasan tersebut tidak boleh melanggar Hak Asasi Manusia
dan harus diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk perlindungan keamanan nasional,
ketertiban umum, kesehatan masyarakat, moral masyarakat, atau hak dan kebebasan orang lain.
UU HAM juga melarang diskriminasi dan menjamin hak untuk hidup, kebebasan dari
penyiksaan, kebebasan pribadi, kebebasan pikiran dan hati nurani, kebebasan beragama,
kebebasan dari perbudakan, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak atas
kesetaraan dihadapan hukum.

Bahan Diskusi
Menetapkan atau menafsirkan
4. Analogi adalah bagian dari penafsiran hukum, apakah tepat menggunakan kata menetapkan?
Dalam Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang
menggunakan analogi.
Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak
merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku
untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan
tersebut dipandang analog satu dengan yang lain. Beberapa alasan yang menyetujui dipakainya
analogi yaitu karena perkembangan masyarakat yang sedemikian cepat sehingga hukum pidana
harus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Sementara yang menentang
mengatakan bahwa penerapan analogi dianggap berbahaya karena dapat menyebabkan
ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Di dalam asas legalitas terdapat banyak prinsip yang
mana salah satunya larangan menggunakan analogi, yaitu tidak ada pidana tanpa undang-undang,
tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana, tidak ada kejahatan tanpa pidana menurut undang-
undang. Sedangkan proses dalam analogi, yaitu :
1. Terjadi perbuatan tapi belum ada ketentuan hukum yang mengaturnya
2. Perbuatan yang ada ketentuan hukum dan mirip digali esensi dan asas-asas hukumnya
3. Menemukan esensi perbuatan asas hukum yang bersifat universal dari perbuatan yang ada
hukumnya tersebut.
4. Menerapkan hukum dari perbuatan yang ada hukumnya kepada yang belum ada hukumnya
karena kesamaan asas dan esensi perbuatannya.
Analogi merupakan suatu penafsiran yang dapat merubah suatu keadaan sedangkan dalam
hukum pidana itu tidak diperbolehkan karena dalam hukum pidana terdapat asas legalitas dan
asas praduga tak bersalah. Dengan perkembangan zaman dan masyarakat yang menimbulkan
sesuatu yang baru dan tidak mungkin undang-undang diganti pada setiap zaman menjadikan
alasan penggunaan analogi akan tetapi analogi sudah tidak berpegang pada aturan yang ada
melainkan pada inti rasio daripadanya karena itu bertentangan dengan asas legalitas sebab asas
ini mengharuskan adanya suatu aturan sebagai dasar. Alih-alih menggunakan analogi,
penggunaan tafsiran ekstensif jauh lebih memungkinkan karena penafsiran ekstensif yang masih
berpegang pada bunyi aturan dan semua kata-katanya masih diturut, hanya ada kata yang tidak
diberi makna. Dan dalam menetapkan suatu tindak pidana harus hati-hati dalam menafsirkan
hukum yang ada agar tidak terjadinya ketidakadilan terhadap penetapan yang dilakukan. Dengan
menggunaan penafsiran ekstensif sebagai metode penafsiran yang tepat dan sesuai dengan asas
legalitas sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum bagi salah satu pihak sehingga
dengan penggunaan kata menetapkan dalam pasal tersebut menurut saya sudah tepat.

Anda mungkin juga menyukai