Anda di halaman 1dari 13

Asas-asas Berlakunya

Undang-Undang Pidana
Oleh : I Wayan Puspa

Asas Legalitas
Pasal 1 ayat (1) KUHP : Tiada suatu
perbuatan dapat dipidana kecuali atas
kekuatan
aturan
pidana
dalam
perundang-undangan yang telah ada,
sebelum perbuatan dilakukan (terhadap
tindak
pidana
yang
terjadinya
sebelum
ketentuan pidana dalam uu diberlakukan, maka
ketentuan pidana itu tidak dapat diterapkan
terhadap tindak pidana yang terjadi itu,
ketentuan pidana dalam uu itu hanya berlaku
untuk waktu ke depan). Dalam ilmu pengetahuan
hukum pidana disebut sebagai asas legalitas.
Pendapat Tongat : ketentuan Pasal 1 ayat (1)
disebut asas legalitas formal.

Hrs pula
didasark
an

Dalam konteks masyarakat Indonesia,


pandangan yang menyatakan bahwa
dasar untuk melihat patut tidaknya suatu
perbuatan dianggap bersifat melawan
hukum atau perbuatan pidana hanyalah
ketentuan undang-undang
yg harus
sudah ada sebelum perbuatan dilakukan,
merupakan pandangan yang kurang
memuaskan.

Living law (hukum tdk


tertulis, nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat

Jadi ada 2 (dua) prinsip atau asas dasar


yaitu asas legalitas formal dan asas
legalitas material.

Beberapa pengertian asas


legalitas :
Moeljatno,
asas
legalitas
formal
mengandung 3 (tiga) pengertian :
a. Tidak ada perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana kalau hal
itu terlebih dahulu belum dinyatakan
dalam suatu aturan undang-undang.
b. Untuk menentukan adanya perbuatan
pidana tidak boleh digunakan analogi.
c. Aturan-aturan hukum pidana tidak
boleh berlaku surut.

Beberapa pengertian asas


legalitas :

a.
b.
c.
d.

Chaffmeister,
Keijzer,
dan
Sutorius,
beberapa pengertian yang terkandung
dalam asas legalitas.
Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan
kebiasaan
Tidak boleh ada perumusan delik yang
kurang jelas
Tidak ada pidana lain kecuali yang
ditentukan undang-undang
Penuntutan pidana hanya menurut cara
yang ditentukan undang-undang

Pengertian analogi.
Secara
harafiah
analogi
:
persamaan
atau
penyesuaian antara dua benda atau dua hal yang
berlainan; kesamaan sebagian ciri antara dua
benda atau hal yang dapat dipakai untuk dasar
perbandingan.
Terminologi hukum pidana, analogi :
1. Penerapan suatu ketentuan atas suatu kasus
yang tidak temasuk di dalamnya
2. Memperluas berlakunya suatu peraturan dengan
mengabstraksikannya menjadi aturan hukum
yang menjadi dasar dari perbuatan itu (ratzio
logis) dan kemudian menerapkan aturan yang
bersifat umum ini kepada perbuatan konkrit yang
tidak diatur dalam undang-undang.

Pandangan penggunaan analogi


dalam hukum pidana :
Pandangan yang menolak :
Pelarangan analogi sdh ada sejak semula berdasarkan
sejarah pembentukan KIHP.
Asas yang terkandung dlm KUHP
melarang setiap
penerapan hukum secara analogis dlm hukum pidana,
karena penerapan hukum semacam itu dapat membuat
suatu perbuatan yang semula tidak dinyatakan secara
tegas sebagai suatu tindak pidana kemudian menjadi
suatu tindak pidana.
Pasal 1 ayat (1) KUHP berfungsi mencegah tindakan
sewenang-wenang dari pengadilan atau dari penguasa.
Dengana membolehkan pemakaian analogi
maka
kemungkinan tindakan sewenang-wenang diperbesar.
Sarjana yang berpandangan ini : Simons, Van Hattum,
Sudarto, dll.

Pandangan penggunaan analogi


dalam hukum pidana :
Pandangan yang membolehkan :
Meskipun dengan syarat-syarat yang sangat
ketat, penggunaan analogi dalam hukum
pidana dapat dibenarkan, yaitu manakala
benar-benar terdapat suatu perbuatan
tertentu atau tidak menyadari kemungkinan
terjadinya beberapa peristiwa di kemudian
hari dan merumuskan ketentuan-ketentuan
pidana yang ada secara demikian sempit
sehingga perbuatan atau peristiwa-peristiwa
tersebut tidak dapat dimasukkan ke dalam
ketentuan-ketentuan pidana ybs.
Sarjana dengan pandangan ini : Pompe,
Taverne dan Yonkers.

Pandangan penggunaan analogi


dalam hukum pidana :
Scholten membolehkan penggunaan analogi :
atas alasan tidak ada perbedaan antara analogi
dan penafsiran ekstensif yang nyata-nyata
dibolehkan dalam hukum pidana. Baik dalam
penafsiran ekstensif maupun dalam analogi
dasarnya sama, yaitu dicoba untuk menemukan
norma-norma yang lebih tinggi (lebih umum
atau lebih abstrak) dari norma-norma yang ada,
dan dari sini lalu didedusir menjadi aturan yang
baru (yang sesungguhnya meluaskan aturan
yang sudah ada).
Menurut
Scholten,
antara
analogi
dan
penafsiran ekstensif
hanya ada perbedaan
graduil saja.

Pandangan penggunaan analogi


dalam hukum pidana :
Moeljatno, meskipun tafsiran ekstensif itu sama sifatnya
dengan analogi dan perbedaannya hanya soal gradasi saja,
namun ada batas-batasnya yang jelas pula, sampai di mana
yang masih dinamakan interpretasi dan manakah
yang
sudah meningkat ke analogi, sehingga tidak diperbolehkan.
Menurut Moeljatno, dalam penafsiran ekstensif, berpegang
kepada aturan yang ada. Di situ ada perkataan yang diberi
arti menurut makna yang hidup dalam masyarakat
sekarang, tidak menurut maknanya pada waktu undangundang dibentuk. Dalam menggunakan analogi, pangkal
pendirian bahwa perbuatan yang menjadi soal itu tidak bisa
dimasukkan dalam aturan yang ada, tetapi perbuatan itu,
menurut pandangan hakim seharusnya dijadikan perbuatan
pidana pula, karena termasuk intinya aturan yang ada, yang
mengenai perbuatan yang mirip dengan perbuatan itu,
maka perbuatan tadi lalu dapat dikenai aturan yang ada itu
dengan menggunakan analogi.

Pandangan penggunaan analogi


dalam hukum pidana :
Jadi sesungguhnya jika digunakan analogi, yang dibuat
untuk menjadikan perbuatan pidana terhadap suatu
perbuatan tertentu adalah bukan lagi aturan yang ada,
tetapi ratio, maksud, inti dari aturan yang ada.
Jadi menurut Moeljatno, terdapat perbedaan
yang
besar antara penafsiran ekstensif dan analogi. Dalam
penafsiran ekstensif yang dipegang tetap bunyi
aturan, semua kata-kata dalam aturan itu masih
diturut, hanya saja ada perkataan yang tidak lagi
diberi makna seperti waktu aturan itu dibuat, tetapi
maknanya
disesuaikan
dengan
perkembangan
masyarakat saat aturan itu digunakan. Oleh karena
masih dinamakan interpretasi. Dalam analogi yang
dipegang tidak lagi bunyi aturan yang ada, melainkan
pada inti, rasio dari aturan itu.

Pandangan penggunaan analogi


dalam hukum pidana :
Tongat, perdebatan konseptual seputar
penggunaan
analogi
dalam
hukum
pidana tidak perlu menjadi kendala
dalam proses
penegakkan hukum di
Indonesia. Larangan penggunaan analogi
dalam hukum pidana dapat ditolerasni,
sepanjang terkait dengan sumber hukum
pidana tertulis. Larangan penggunaan
analogi
jangan
sampai
menutup
kemungkinan penggunaan hukum tidak
tertulis.

Anda mungkin juga menyukai