Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS KONSEP REKODIFIKASI PENGATURAN TINDAK PIDANA

KHUSUS DALAM DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB

UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

ILHAM AGUNG SATRIO

18410068
I. PENDAHULUAN

Negara Indonesia merupakan negara hukum, artinya bahwa Negara Republik

Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechstaat) bukan semata-mata

atas kekuasaan (machstaat).1 Maka atas dasar tersebut segala hal tindakan atau

perbuatan masyarakat diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. Indonesia

sebagai negara hukum memerlukan sistem hukum nasional yang harmonis, sinergi,

komperehensif dan dinamis seusai dengan perkembangan jaman.

Negara Indonesia sejak kemerdekaan hingga saat ini masih menggunakan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan produk peninggalan

pemerintah Hindia Belanda.2 Pemerintah telah melakukan upaya pembangunan

hukum khususnya terhadap kodifikasi KUHP yang telah disusun selama lebih dari 50

tahun dan telah melibatkan ahli-ahli hukum pidana dalam perjalanannya. Rancangan

Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) ditargetkan

akan disahkan pemerintah pada Juli 2022, namun kembali batal disahkan pemerintah

karena masih menimbulkan gelombang penolakan dari masyarakat.

Pembentukan RUU KUHP yang terkesan tertutup. Keterbukaan yang kurang

massif menimbulkan kekecewaan masyarakat. Jadwal pembahasan lanjutan terkait

RKUHP pun tidak jelas. Dan juga terdapat 23 isu krusial dalam RUU KUHP

mengakibatkan kontroversi hingga penolakan tersebut, sebagai contoh Pasal 218

1
Rocky Marbun, Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana di Indonesia, Setara Press,
Malang, 2019, hlm. 3
2
Rusli Muhammad, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2019, hlm. 3
RUU KUHP tentang Penghinaan Presiden, Pasal 240 RUU KUHP tentang

Penghinaan terhadap pemerintah, Pasal 353 RUU KUHP tentang penghinaan

terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, yang Pasal 354 nya jika penghinaan

tersebut dilakukan melalui media elektronik, dan Pasal 273 RUU KUHP tentang

Demonstrasi tanpa adanya pemberitahuan, kemudian, bagaimana pembaharuan teori

hukum pidana yang terjadi dalam RUU KUHP, serta bagaimana kesesuaian aspek

pemidanaan dalam RUU KUHP terhadap nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat

Indonesia.

Dalam bab XXXV buku ke II RUU KUHP mengatur terkait tindak pidana

khusus. Sebagaimana yang kita tahu bahwa tindak pidana khusus ialah tindak pidana

yang diatur diluar ketentuan KUHP karena kekhususannyam maksudnya ditinjau dari

peraturan yang menurut undang-undang bersifat khusus baik jenis tindak pidananya,

penyelesaianya, sanksinya bahkan hukum acaranya sebagian diatur secara khusus

dalam undang-undang tersebut.3 seperti Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana

Pencucian Uang, Tindak Pidana Kejahatan Hak Asasi Manusia, Tindak Pidana

Narkotika dan Psikotropika, dan lain sebagainya.

Terdapat asas prefensi yang dikenal dalam ilmu hukum yaitu asas lex

specialis derogate legi generali (hukum khusus mengenyampuingkan hukum umum).

Asas prefensi adalah asas hukum yang menunjuk hukum mana yang didahulukan

(untuk diberlakukan), jika dalam suatu peristiwa (hukum) terkait atau terlanggar

3
Renggong Ruslan. Hukum Pidana Khusus Memahami DelikDelik di Luar KUHP, Prenadamedia Group,
Jakarta, 2016, hlm. 31-32
beberapa peraturan.4 Dilihat dari perspektif politik hukum pidana (penal policy),

eksistensi asas asas lex specialis derogate legi generali sebenarnya merupakan asas

hukum yang menentukan tahap aplikasi. Tahap ini menentukan penerapan peraturan

perundang-undangan pidana yang telah dilanggar terhadap peristiwa konkrit (us

operatum) melalui proses penegakan hukum. Oleh karena itu, asas lex specialis

derogate legi generali ini menjadi penting bagi aparat penegak hukum ketika akan

menerapkan peraturan perundang-undangan pidana terhadap perkara pidana yang

ditandatanganinya.

Pengaturan tindak pidana khusus dalam bab tindak pidana khusus RUU

KUHP menimbulkan pertanyaan dikalangan akademisi dan praktisi hukum. Secara

terminologis dan konseptual istilah tindak pidana khusus tidak sama dengan istilah

tindak pidana diluar KUHP. Sehingga hal tersebut menimbulkan contradictio in

terminis. Berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini penulis meniliti terkait

“ANALISIS KONSEP REKODIFIKASI PENGATURAN TINDAK PIDANA

KHUSUS DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-

UNDANG HUKUM PIDANA”.

II. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan

masalah dari penelitian adalah sebagai berikut:

4
Shinta Agustina, 2010, Persepsi Aparat Penegak Hukum Tentang Pelaksanaan Asas Lex Specialis
Derogat Legi Generali Dalam Sistem Peradilan Pidana, Padang, LPPM-Unand, hlm. 42
1. Apakah urgensi rekodifikasi pengaturan tindak pidana khusus dalam RUU

KUHP?

2. Bagaimana konsep rekodifikasi pengaturan pidana tindak khusus dalam

RUU KUHP?

III. BAHAN HUKUM

Objek penelitian ini adalah Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana khususnya adalah buku ke II Bab IIIV tentang pidana khusus.

Penulis menggunakan penelitian secara normative (normative law reaserch)

menggunakan studi kasus normative berupa produk hukum. Pokok kajiannya adalah

hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang belaku dalam masyarakat

dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Sehingga penelitian hukum normatif

berfokus pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan

hukum dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan

hukum dan sejarah hukum.5 Berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini penulis

menggunakan bahan hukum sebagai berikut:

1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan

mengikat secara yuridis, antara lain UUD NRI 1945, KUHP, UU No.

12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan RUU

KUHP.

5
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. hlm.
52
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang tidak mempunyai

kekuatan mengikat secara yuridis. Bahan hukum sekunder bersifat

menjelaskan atau membahas bahan hukum primer, yang terdiri dari

literature, jurnal, naskah akademik, hasil wawancara dengan pakar serta

hasil penelitian terdahulu.

3. Bahan hukum tersier yaitu yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

yang terdiri dari; kamus besar bahasa Indonesia, kamus istilah hukum dan

ensiklopedia.

IV. PEMBAHASAN

A. Urgensi Rekodifikasi Pengaturan Tindak Pidana Khusus Dalam

RUU KUHP

Menurut Sadjipto Rahardjo tujuan kodifikasi ialah membuat kumpulan

perundang-undangan menjadi sederhana dan mudah dikuasai, disusun secara logis,

serasi, dan pasti. Kebijakan kodifikasi diharapkan dapat mencegah diterbitkannya

norma hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan pidana di luar KUHP

yang menyimpang dari prinsip-prinsip umum hukum pidana yang diatur dalam

KUHP. Pada intinya tujuan rekodifikasi konsolidasi yakni proses untuk

mempersatukan kembali berbagai perbedaan, pertumbuhan hukum pidana yang

berkembang secara luas melalui berbagai peraturan hukum pidana diluar KUHP yang

berkaitan dengan permasalahan pokok hukum pidana.


Kebijakan legislasi hukum pidana yang terkesan cenderung di luar kendali

asas-asas hukum pidana Buku I KUHP, melalui undang-undang yang secara khusus

mengatur tentang hukum pidana dan undang-undang di bidang hukum administrasi

(administrative penal law) atau cabang hukum lain yang memuat ketentuan pidana.

Perkembangan hukum pidana di luar KUHP tersebut semakin banyak dan ada

kecenderungan untuk meninggalkan kaedah atau prinsip-prinsip hukum pidana yang

dimuat dalam Ketentuan Umum Hukum Pidana (Buku I KUHP). Kencenderungan ini

mengarah pada upaya kriminalisasi norma.

Perkembangan pengaturan aspek kriminalisasi baru ini diakibatkan oleh: (1)

adanya tuntutan masyarakat terhadap kepentingan hukum baru yang harus dilindungi

hukum pidana, (2) kebutuhan bidang hukum lain (hukum perdata dan hukum

administrasi/hukum tata usaha negara) yang membutuhkan sanksi hukum pidana

untuk memperkuat norma-norma dan nilai-nilainya, (3) adaptasi terhadap

kemerdekaan dan proses demokratisasi, dan harmonisasi terhadap perkembangan

internasional dalam bentuk konvensi baik yang sudah atau belum diratifikasi.

Sebaliknya ada pula yang berupa dekriminalisasi atau depenalisasi.6

Undang-undang yang memuat ketentuan hukum pidana baik berupa

penghapusan norma hukum pidana, mengubah norma hukum pidana, maupun

menambah norma hukum pidana baru dalam KUHP, serta undang-undang yang

mengatur norma hukum pidana di luar KUHP baik yang mengatur kaedah hukum

6
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
yang menyimpang dari aturan umum KUHP maupun yang tidak, dalam

perkembangannya dapat dicontohkan sebagai berikut;7

1. UU yang memuat ketentuan yang mencabut/menyatakan tidak berlaku

bagi beberapa perumusan delik di dalam KUHP:

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum

Pidana: mencabut/menghapus Pasal 130, Pasal 132, Pasal 133, Pasal

135, Pasal 138, Pasal 139, (1), Pasal 153 bis, Pasal 153 ter, Pasal 161

bis, Pasal 171, dan Pasal 230 KUHP;

b. Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana

Imigrasi: menghapus Pasal 241 sub 1 dan Pasal 527 KUHP;

c. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi: menyatakan penghapusan Pasal 209, Pasal

210, Pasal 387, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419,

Pasal 429, Pasal 423, dan Pasal 435 KUHP (yang berkaitan dengan

korupsi).

2. UU yang memuat ketentuan yang menambah/memasukkan delik baru ke

dalam KUHP, antara lain:

a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan

Pemberian Surat Idzin Kepada Dokter dan Dokter Gigi: menambahkan

pasal baru yaitu Pasal 512 a (larangan praktek dokter tanpa surat izin);

7
Ibid.
b. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan

Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia

Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik

Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum:

memasukkan delik ”penodaan terhadap bendera kebangsaan” ke dalam

Pasal 154 a;

c. Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama:

menambahkan/memasukkan delik ”penodaam agama” ke dalam Pasal

156a;

d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan

Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab UndangUndang Hukum

Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-

undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan Terhadap

Sarana/prasarana Penerbangan: menambahkan delik penerbangan dan

sarana/prasarana penerbangan ke dalam Bab XXIX A (Pasal 479 a s/d

Pasal 479r);

Berdasarkan pencermatan terhadap perkembangan hukum pidana tersebut,

menunjukkan bahwa KUHP baik pada bagian Ketentuan Umum (“general

rules”/algemmene deel) yang dimuat dalam Buku I KUHP maupun bagian rumusan

Kejahatan (misdrijven) yang dimuat dalam Buku II KUHP, dan rumusan Pelanggaran
(overtredingen) yang dimuat dalam Buku III KUHP, tidak lagi dijadikan rujukan

utama dalam merumuskan kebijakan legislasi dalam bidang hukum pidana.

Dalam konteks inilah seakan-akan terjadi dualism, sistem hukum pidana

‟,yaitu sistem hukum pidana yang dibangun berdasarkan KUHP, dan sistem hukum

pidana yang dibangun berdasarkan undang-undang yang tersebar di luar KUHP.

Keadaan yang sama juga terjadi dalam lapangan hukum acara pidana, yaitu

perkembangan hukum acara pidana dalam undang-undang di luar KUHAP telah

menyimpang dari norma hukum acara pidana sesuai standar menurut KUHAP.

Perkembangan hukum pidana tersebut secara perlahan-lahan telah menimbulkan

problem yang serius dalam penegakan hukum pidana yaitu;8

1. terdapat dua sistem perumusan norma hukum pidana, yaitu sistem norma

hukum pidana nasional dalam KUHP dan dalam undang-undang di luar

KUHP;

2. terdapat dua sistem pemidanaan yaitu sistem pemidanaan dalam KUHP

dan sistem pemidanaan dalam undang-undang di luar KUHP;

3. harmonisasi norma hukum pidana mengalami kesulitan karena banyaknya

norma hukum pidana yang mengatur, yang berakibat terjadinya

penggandaan norma hukum pidana;

4. dalam penegakan hukum pidana dihadapkan kepada problem, yaitu pilihan

norma hukum pidana (karena terdapat lebih dari satu norma) dan norma

hukum pidana yang mana yang dipilih (sangat berat, berat, dan biasa atau

8
Melihat Rencana Kodifikasi dalam RKUHP: Tantangan Upaya Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia,
Institute for Criminal Justice Reform, 2015, hlm 17
ringan), sehingga Hak dasar bagi tersangka/terdakwa/terpidana cenderung

dilanggar, karena tidak ada kepastian hukum mengenai norma hukum

pidana;

5. adanya lembaga penegak hukum yang diberi wewenang penyelidikan,

penyidikan dan penuntutan, serta pembentukan pengadilan yang masing-

masing memiliki wewenang dalam memproses perkara pelanggaran

hukum pidana yang berbeda-beda, padahal norma hukum pidana materiil

yang dilanggar adalah sama.

Kondisi ini dapat tidak terjadi apabila pembuat undangundang mentaati asas-

asas hukum pengendali kodifikasi dalam ketentuan umum Buku I KUHP. Ketentuan

Buku I seyogyanya berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut

peraturan perundang-undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut peraturan

perundang-undangan tersebut. Keadaan hukum pidana tersebut telah menggugah

kesadaran masyarakat Indonesia akan arti pentingnya pembaruan hukum pidana

secara komprehensif, yang di dalamnya mengandung misi “konsolidasi” untuk

mentaati asas-asas yang tersurat dan tersirat dalam buku I KUHP guna membangun

sistem hukum pidana nasional Indonesia yang solid, di samping misi dekolonialisasi,

harmonisasi, demokratisasi dan aktualisasi.

B. Model Konsep Rekodifikasi Pengaturan Tindak Pidana Khusus

Dalam RUU KUHP

Terdapat dua model kodifikasi hukum yaitu model kodifikasi total dan model

kodifikasi terbuka. Model kodifikasi mana yang paling cocok untuk diterapkan,
bergantung pada keinginan politik pembentuk RUU KUHP. Tiap model memiliki

kelebihan dan kekurangan tersendiri dan pengaturannya sangat berbeda.9

Konsep kodifikasi total berupaya untuk mencegah munculnya pengaturan

asas-asas hukum pidana baru dalam undang-undang di luar KUHP, terutama yang

tidak terintegrasi dalam Ketentuan Umum Buku Kesatu KUHP. Selain itu, kodifikasi

total dapat mencegah kriminalisasi yang terbentuk dalam undang–undang di luar

KUHP, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang menyebabkan terjadinya

duplikasi norma hukum pidana. Di satu sisi, kodifikasi total sangat baik untuk

mengharmoniskan peraturan hukum pidana. Di sisi lain, model kodifikasi total

mengharuskan semua ketentuan pidana di luar KUHP dimasukkan dalam KUHP yang

kemudian dapat memicu timbulnya dualisme, ketidakjelasan serta konflik antara

KUHP dengan instrumen hukum yang memuat ketentuan pidana di luar KUHP.

Pada konsep kodifikasi secara terbuka, pintu pembentukan dan pengembangan

hukum pidana dalam undang-undang di luar kodifikasi (KUHP) terbuka lebar.

Artinya, hukum pidana dapat diperbarui secara fleksibel untuk menyesuaikan dengan

perkembangan kejahatan dalam kehidupan masyarakat, namun di sisi lain kodifikasi

terbuka dapat memperlemah kedudukan hukum pidana dan keberlakuan hukum

pidana terkodifikasi itu sendiri.

Pada seminar nasional dengan tema Polemik RKUHP yang diselenggarakan

Fakultas Hukum Univesitas Islam Indonesia pada hari Jumat Tanggal 29 Juli 2022,

pihak sosialisasi RUU KUHP dari pemerintah menjelaskan bahwa konsep kodifikasi
9
Prianter Jaya Hairi, Model Kodifikasi Dalam RUU KUHP, Majalah Info Singkat Hukum, Vol. VIII, No.
18/II/P3DI/September/2016, hlm. 2
RUU KUHP adalah terbuka terbatas. Jika kita lihat pada Pasal 187 RUU KUHP

menyatakan bahwa ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab V Buku Kesatu

berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-

undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang. Artinya pemilihan

kodifikasi terbuka terbatas membawa konsekuensi terbukanya kemungkinan

penggunaan dan perkembangan hukum pidana di luar KUHP (Mala Prohibita,

Dependent Crime/Specific Crimes). Dr. Albert Aries, S.H., M.H., menjelaskan bahwa

RUU KUHP masih mengatur secara terbatas norma tindak pidana yang bersifat

khusus, Tindak pidana khusus dalam RUU KUHP hanya mengatur “core crimes”-nya

saja, Artinya mengatur norma tindak pidana yang bersifat tindak pidana murni,

sementara pengaturan lainnya terkait extraordinary crimes dapat tetap diatur di luar

KUHP. Pengaturan “core crimes” tindak pidana khusus dalam RUU KUHP sehingga

dapat mengeksekusi buku ke I RUU KUHP, disisi lain juga menjaga agar hukum

pidana Indonesia di dalam dan di luar kodifikasi tetap merupakan suatu kesatuan

sistem (purposive behaviour, wholism, interrelatedness, opennes, value

transformation and control mechanism). Sehingga tidak ada aturan diluar RUU

KUHP lagi yang menyimpang dari buku ke I RUU KUHP.

V. PENUTUP

Kodifikasi RUU KUHP pada hakikatnya merupakan upaya mengharmonisasi

secara masif peraturan hukum pidana. Namun demikian, dapat dipahami bahwa

kompleksitas dan perkembangan hukum pidana nasional yang selama ini sudah

terbagi menjadi hukum pidana di dalam dan di luar kodifikasi akan menyulitkan tim
penyusun RUU KUHP untuk melakukan kodifikasi secara total. Oleh sebab itulah,

pilihan kodifikasi dengan model terbuka terbatas menjadi pilihan yang realistis. Sikap

perumus RUU KUHP melalui tim Pemerintah yang membuka kemungkinan

pengaturan tindak pidana khusus di luar KUHP akan tetapi Pengaturan “core crimes”

dari tindak pidana khusus di dalam RUU KUHP.

Anda mungkin juga menyukai