18410068
I. PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechstaat) bukan semata-mata
atas kekuasaan (machstaat).1 Maka atas dasar tersebut segala hal tindakan atau
sebagai negara hukum memerlukan sistem hukum nasional yang harmonis, sinergi,
hukum khususnya terhadap kodifikasi KUHP yang telah disusun selama lebih dari 50
tahun dan telah melibatkan ahli-ahli hukum pidana dalam perjalanannya. Rancangan
akan disahkan pemerintah pada Juli 2022, namun kembali batal disahkan pemerintah
RKUHP pun tidak jelas. Dan juga terdapat 23 isu krusial dalam RUU KUHP
1
Rocky Marbun, Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana di Indonesia, Setara Press,
Malang, 2019, hlm. 3
2
Rusli Muhammad, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2019, hlm. 3
RUU KUHP tentang Penghinaan Presiden, Pasal 240 RUU KUHP tentang
terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, yang Pasal 354 nya jika penghinaan
tersebut dilakukan melalui media elektronik, dan Pasal 273 RUU KUHP tentang
hukum pidana yang terjadi dalam RUU KUHP, serta bagaimana kesesuaian aspek
pemidanaan dalam RUU KUHP terhadap nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat
Indonesia.
Dalam bab XXXV buku ke II RUU KUHP mengatur terkait tindak pidana
khusus. Sebagaimana yang kita tahu bahwa tindak pidana khusus ialah tindak pidana
yang diatur diluar ketentuan KUHP karena kekhususannyam maksudnya ditinjau dari
peraturan yang menurut undang-undang bersifat khusus baik jenis tindak pidananya,
Pencucian Uang, Tindak Pidana Kejahatan Hak Asasi Manusia, Tindak Pidana
Terdapat asas prefensi yang dikenal dalam ilmu hukum yaitu asas lex
Asas prefensi adalah asas hukum yang menunjuk hukum mana yang didahulukan
(untuk diberlakukan), jika dalam suatu peristiwa (hukum) terkait atau terlanggar
3
Renggong Ruslan. Hukum Pidana Khusus Memahami DelikDelik di Luar KUHP, Prenadamedia Group,
Jakarta, 2016, hlm. 31-32
beberapa peraturan.4 Dilihat dari perspektif politik hukum pidana (penal policy),
eksistensi asas asas lex specialis derogate legi generali sebenarnya merupakan asas
hukum yang menentukan tahap aplikasi. Tahap ini menentukan penerapan peraturan
operatum) melalui proses penegakan hukum. Oleh karena itu, asas lex specialis
derogate legi generali ini menjadi penting bagi aparat penegak hukum ketika akan
ditandatanganinya.
Pengaturan tindak pidana khusus dalam bab tindak pidana khusus RUU
terminologis dan konseptual istilah tindak pidana khusus tidak sama dengan istilah
terminis. Berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini penulis meniliti terkait
4
Shinta Agustina, 2010, Persepsi Aparat Penegak Hukum Tentang Pelaksanaan Asas Lex Specialis
Derogat Legi Generali Dalam Sistem Peradilan Pidana, Padang, LPPM-Unand, hlm. 42
1. Apakah urgensi rekodifikasi pengaturan tindak pidana khusus dalam RUU
KUHP?
RUU KUHP?
Undang Hukum Pidana khususnya adalah buku ke II Bab IIIV tentang pidana khusus.
menggunakan studi kasus normative berupa produk hukum. Pokok kajiannya adalah
hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang belaku dalam masyarakat
dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Sehingga penelitian hukum normatif
berfokus pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan
hukum dan sejarah hukum.5 Berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini penulis
mengikat secara yuridis, antara lain UUD NRI 1945, KUHP, UU No.
KUHP.
5
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. hlm.
52
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang tidak mempunyai
yang terdiri dari; kamus besar bahasa Indonesia, kamus istilah hukum dan
ensiklopedia.
IV. PEMBAHASAN
RUU KUHP
yang menyimpang dari prinsip-prinsip umum hukum pidana yang diatur dalam
berkembang secara luas melalui berbagai peraturan hukum pidana diluar KUHP yang
asas-asas hukum pidana Buku I KUHP, melalui undang-undang yang secara khusus
(administrative penal law) atau cabang hukum lain yang memuat ketentuan pidana.
Perkembangan hukum pidana di luar KUHP tersebut semakin banyak dan ada
dimuat dalam Ketentuan Umum Hukum Pidana (Buku I KUHP). Kencenderungan ini
adanya tuntutan masyarakat terhadap kepentingan hukum baru yang harus dilindungi
hukum pidana, (2) kebutuhan bidang hukum lain (hukum perdata dan hukum
internasional dalam bentuk konvensi baik yang sudah atau belum diratifikasi.
menambah norma hukum pidana baru dalam KUHP, serta undang-undang yang
mengatur norma hukum pidana di luar KUHP baik yang mengatur kaedah hukum
6
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
yang menyimpang dari aturan umum KUHP maupun yang tidak, dalam
135, Pasal 138, Pasal 139, (1), Pasal 153 bis, Pasal 153 ter, Pasal 161
210, Pasal 387, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419,
Pasal 429, Pasal 423, dan Pasal 435 KUHP (yang berkaitan dengan
korupsi).
pasal baru yaitu Pasal 512 a (larangan praktek dokter tanpa surat izin);
7
Ibid.
b. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan
Pasal 154 a;
156a;
Pasal 479r);
rules”/algemmene deel) yang dimuat dalam Buku I KUHP maupun bagian rumusan
Kejahatan (misdrijven) yang dimuat dalam Buku II KUHP, dan rumusan Pelanggaran
(overtredingen) yang dimuat dalam Buku III KUHP, tidak lagi dijadikan rujukan
‟,yaitu sistem hukum pidana yang dibangun berdasarkan KUHP, dan sistem hukum
Keadaan yang sama juga terjadi dalam lapangan hukum acara pidana, yaitu
menyimpang dari norma hukum acara pidana sesuai standar menurut KUHAP.
1. terdapat dua sistem perumusan norma hukum pidana, yaitu sistem norma
KUHP;
norma hukum pidana (karena terdapat lebih dari satu norma) dan norma
hukum pidana yang mana yang dipilih (sangat berat, berat, dan biasa atau
8
Melihat Rencana Kodifikasi dalam RKUHP: Tantangan Upaya Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia,
Institute for Criminal Justice Reform, 2015, hlm 17
ringan), sehingga Hak dasar bagi tersangka/terdakwa/terpidana cenderung
pidana;
Kondisi ini dapat tidak terjadi apabila pembuat undangundang mentaati asas-
asas hukum pengendali kodifikasi dalam ketentuan umum Buku I KUHP. Ketentuan
Buku I seyogyanya berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut
mentaati asas-asas yang tersurat dan tersirat dalam buku I KUHP guna membangun
sistem hukum pidana nasional Indonesia yang solid, di samping misi dekolonialisasi,
Terdapat dua model kodifikasi hukum yaitu model kodifikasi total dan model
kodifikasi terbuka. Model kodifikasi mana yang paling cocok untuk diterapkan,
bergantung pada keinginan politik pembentuk RUU KUHP. Tiap model memiliki
asas-asas hukum pidana baru dalam undang-undang di luar KUHP, terutama yang
tidak terintegrasi dalam Ketentuan Umum Buku Kesatu KUHP. Selain itu, kodifikasi
KUHP, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang menyebabkan terjadinya
duplikasi norma hukum pidana. Di satu sisi, kodifikasi total sangat baik untuk
mengharuskan semua ketentuan pidana di luar KUHP dimasukkan dalam KUHP yang
KUHP dengan instrumen hukum yang memuat ketentuan pidana di luar KUHP.
Artinya, hukum pidana dapat diperbarui secara fleksibel untuk menyesuaikan dengan
Fakultas Hukum Univesitas Islam Indonesia pada hari Jumat Tanggal 29 Juli 2022,
pihak sosialisasi RUU KUHP dari pemerintah menjelaskan bahwa konsep kodifikasi
9
Prianter Jaya Hairi, Model Kodifikasi Dalam RUU KUHP, Majalah Info Singkat Hukum, Vol. VIII, No.
18/II/P3DI/September/2016, hlm. 2
RUU KUHP adalah terbuka terbatas. Jika kita lihat pada Pasal 187 RUU KUHP
menyatakan bahwa ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab V Buku Kesatu
berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-
Dependent Crime/Specific Crimes). Dr. Albert Aries, S.H., M.H., menjelaskan bahwa
RUU KUHP masih mengatur secara terbatas norma tindak pidana yang bersifat
khusus, Tindak pidana khusus dalam RUU KUHP hanya mengatur “core crimes”-nya
saja, Artinya mengatur norma tindak pidana yang bersifat tindak pidana murni,
sementara pengaturan lainnya terkait extraordinary crimes dapat tetap diatur di luar
KUHP. Pengaturan “core crimes” tindak pidana khusus dalam RUU KUHP sehingga
dapat mengeksekusi buku ke I RUU KUHP, disisi lain juga menjaga agar hukum
pidana Indonesia di dalam dan di luar kodifikasi tetap merupakan suatu kesatuan
transformation and control mechanism). Sehingga tidak ada aturan diluar RUU
V. PENUTUP
secara masif peraturan hukum pidana. Namun demikian, dapat dipahami bahwa
kompleksitas dan perkembangan hukum pidana nasional yang selama ini sudah
terbagi menjadi hukum pidana di dalam dan di luar kodifikasi akan menyulitkan tim
penyusun RUU KUHP untuk melakukan kodifikasi secara total. Oleh sebab itulah,
pilihan kodifikasi dengan model terbuka terbatas menjadi pilihan yang realistis. Sikap
pengaturan tindak pidana khusus di luar KUHP akan tetapi Pengaturan “core crimes”