Anda di halaman 1dari 7

E.ISSN.

2614-6061
P.ISSN.2527-4295 Vol.9 No.1 Edisi Februari 2021
KONSTITUSIONALISME DELIK PENGHINAAN PRESIDEN PASCA
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 013-022/PUU-IV/2006
Oleh:
Azwar Annas1), Rodliyah2), Rina Khairani Pancaningrum3)
1,2,3
Fakultas Hukum Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat
Email:ernesannas0@gmail.com
Email:rodliyah_fhunram@unram.ac.id
Email:rina_fhunram@unram.ac.id

Abstrak
Penelitian ini membahas mengenai pertimbangan Mahkamah Konstitusi mencabut ketentuan pasal
penghinaan Presiden dalam KUHP yakni Pasal 314, 316bis dan 317. Latar belakang yang digunakan adalah
pengaturan pasal penghinaan terhadap Presiden terkait dengan pencabutan pasal penghinaan Presiden oleh
Mahkamah Konstitusi. Tentunya dengan pencabutan pasal penghinaan terhadap Presiden pada KUHP, secara
langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak juridis bagi perlindungan terhadap martabat
Presiden itu sendiri. Pencabutan pasal penghinaan terhadap Presiden ini merupakan upaya dalam
memperbaharui hukum pidana di Indonesia, namun di sisi lain pencabutan pasal penghinaan terhadap Presiden
merusak sistem di dalam KUHP itu sendiri. Pencabutan pasal penghinaan terhadap Presiden itu akan
menunjukkan bahwa perbuatan penghinaan terhadap Presiden bukan merupakan suatu perbuatan tindak pidana.
Pencabutan pasal penghinaan terhadap Presiden seolah–olah perbuatan menghina Presiden bukan lagi
merupakan tindak pidana, selain itu masih terdapatnya pengaturan pasal penghinaan terhadap masyarakat biasa,
pasal penghinaan terhadap bendera dan lambang negara serta pasal penghinaan terhadap raja, kepala negara dan
perwakilan negara lain menunjukkan betapa pencabutan pasal penghinaan terhadap Presiden itu merusak gradasi
nilai di dalam KUHP.

Kata Kunci : Pertimbangan, Tindak Pidana Terhadap Presiden, Perlindungan, Martabat Presiden

1. PENDAHULUAN strategis nasional maupun internasional. Isu ini


Visi jangka panjang bangsa Indonesia ini harus secara cepat diantisipasi agar penegakan
dijabarkan melalui Peraturan Presiden tentang hukum dan kepastian hukum tetap berjalan secara
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional berkesinambungan yang diharapkan akan
tersebut ditetapkan suatu landasan politik dihasilkan kebijakan hukum yang sesuai dengan
perundang–undangan nasional yang menetapkan aspirasi masyarakat serta mempunyai daya yang
kebijakan untuk memperbaiki substansi hukum efektif dalam masyarakat dan dapat menjadi sarana
melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan untuk mewujudkan perubahan – perubahan di
perundang–undangan dengan memperhatikan asas bidang sosial kemasyarakatan.
umum dan hierarki peraturan perundang–undangan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Peninjauan dan penataan kembali peraturan Nasional ini dijabarkan pada Program Legislasi
perundang–undangan tersebut adalah merupakan Nasional (Prolegnas). Program Legislasi Nasional
kegiatan pengharmonisasian berbagai rancangan adalah bagian dari manajemen dan politik
peraturan perundang–undangan termasuk di pembentukan peraturan perundang–undangan yang
dalamnya melakukan kegiatan pengharmonisasian merupakan instrumen perencanaan program
berbagai rancangan peraturan perundang – pembentukan ataupun perbaikan undang–undang
undangan dengan peraturan perundang–undangan yang disusun secara terpadu dan sistematis. Salah
yang lain maupun terhadap peraturan perundang– satu upaya konkrit dalam mewujudkan program
undangan yang telah ada, juga melakukan legislasi nasional ini adalah melakukan
pengharmonisasian peraturan perundang–undangan pembaharuan atau rekonstruksi terhadap hukum.
yang sudah ada dengan peraturan perundang– Rekonstruksi mengandung makna membangun
undangan yang lain. Hal ini dimaksudkan agar kembali.Dalam kaitannya dengan hukum pidana
peraturan perundang–undangan yang tumpang nasional, maka rekonstruksi hukum pidana nasional
tindih, inkonsistensi, bertentangan dengan adalah menata ulang bangunan sistem hukum
peraturan perundang–undangan yang lebih tinggi pidana Indonesia. Rekonstruksi hukum pidana
dapat ditinjau kembali untuk dilakukan perubahan. nasional pada hakekatnya sangat berkaitan dengan
Politik perundang–undangan yang tertuang dalam masalah pembaharuan hukum pidana, atau lebih
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional sering disebut dengan penal reform. Pembaharuan
ditujukan untuk menciptakan persamaan persepsi Hukum Pidana dapat dilakukan meliputi
dari seluruh pelaku pembangunan khususnya di pembaharuan terhadap substansi hukum pidana,
bidang hukum dalam menghadapi berbagai isu pembaharuan terhadap struktur hukum pidana,

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan Hal. 481
E.ISSN.2614-6061
P.ISSN.2527-4295 Vol.9 No.1 Edisi Februari 2021
pembaharuan terhadap budaya hukum pidana. 2. Bahwa KUHP yang berasal Wetboek van
Berdasarkan sistem pemidanaan dalam arti sempit, Strafrecht tersebut antara lain Pasal 134 (dan
pembaharuan hukum pidana meliputi hukum juga Pasal 135 telah dihapus, pasal 136Bis, dan
pidana substantif, yaitu aturan khusus dan aturan Pasal 137) tersebut, kata ”Presiden dan Wakil
umum. Aturan umum meliputi buku I KUHP, Presiden” dibuat untuk menggantikan pengusa
sedangkan aturan khusus meliputi buku II atau Belanda, yaitu ”Ratu” dan ”Gubernur Jendral”.
buku III KUHP dan undang-undang di luar KUHP. Oleh sebab itu pasal–pasal tersebut pada
Banyak alasan mengapa perlu adanya hakekatnya adalah produk penjajah dan sudah
pembaharuan hukum pidana karena pada tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang,
perkembangannya KUHP dipandang tidak mampu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945
menampung berbagai masalah dan dimensi 3. Bahwa Pasal 134 KUHP konon tidak
perkembangan bentuk–bentuk tindak pidana baru. merupakan delik aduan pada masa penjajahan
Selain itu KUHP dianggap kurang sesuai dengan Belanda pun sudah pernah diperbaiki, dimana
perkembangan pemikiran atau ide dan aspirasi meskipun perkara sudah diberkas tetapi
tuntutan atau kebutuhan masyarakat baik nasional tuntutan secara resmi belum dilayangkan jaksa
maupun internasional. Namun sayangnya upaya penuntut umum diwajibkan menayakan terlebih
untuk melakukan pembaharuan hukum pidana pada dahulu kepada pengusa Belanda yang pada saat
saat ini masih terbatas dan terkesan tambal sulam. itu dijadikan sasaran ”hinaan”. Selama ini,
Seolah–olah KUHP dipreteli dimana banyak pasal upaya menghadirkan Presiden atau Wakil
yang seenaknya ditambahkan di dalam KUHP Presiden RI di Pengadilan untuk ditanya apakah
maupun dicabut dari KUHP tanpa memperhatikan yang bersangkutan merasa terhina oleh
KUHP sebagai satu kesatuan sistem hukum pidana perbuatan tersangka, tidak pernah berhasil.
yang utuh. Salah satu bentuk konkrit dari upaya Setelah melalui persidangan, Mahkamah
pembaharuan hukum pidana adalah pencabutan Konstitusi memutuskan bahwa mengabulkan
Pasal 134, 136Bis, 137 KUHP tentang penghinaan permohonan Eggi Sudjana untuk mencabut Pasal
terhadap Presiden oleh Mahkamah Konstitusi. 134, 136Bis dan 137 KUHP dan tidak memiliki
Judicial Review terhadap Pasal 134, 136Bis, 137 kekuatan hukum mengikat lagi karena dianggap
KUHP diajukan oleh Eggi Sudjana setelah dia bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
dianggap melakukan tindak pidana penghinaan Sebagaimana dikemukakan oleh Barda
terhadap Presiden. Nawawi Arief bahwaPembaharuan hukum pidana
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa pada sebagai bagian dari upaya
saat itu Eggi Sudjana sedang berada di KPK untuk pembaharuan/pembangunan sistem hukum
menayakan informasi atau memberikan informasi nasional, merupakan salah satu “masalah besar”
mengenai beberapa hal, antara lain klarifikasi yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia.
rumor yang berkembang mengenai pemberian Masalah besar yang dihadapi ialah masalah
mobil dengan merk Jaguar oleh Tanosoedibyo memperbaharui dan mengganti produk-produk
kepada orang–orang di lingkungan Istana, termasuk kolonial di bidang hukum pidana. Upaya
Presiden. Tidak bermaksud menyebarkan kepada melakukan pembaharuan pidana warisan zaman
publik, atas desakan wartawan yang menunggunya penjajahan itu jelas merupakan tuntutan dan
di kantor KPK, Eggi Sudjana menjelaskan tujuan amanat proklamasi, sekaligus juga merupakan
kedatangannya ke KPK untuk mengklarifikasi tuntutan nasionalisme dan tuntutan kemandirian
rumor tersebut. Atas dasar kejadian ini, Eggi sebagai bangsa yang merdeka.
Sudjana dianggap melakukan penghinaan terhadap
Presiden. Terhadap kasus yang menimpanya, Eggi 2. METODE PENELITIAN
Sudjana mengajukan Judicial Review kepada Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan
Mahkamah Konstitusi terkait dengan eksistensi penelitian maka metode penelitian yang penulis
Pasal 134, 136Bis dan 137 KUHP yang dianggap akan gunakan adalah metode penelitian hukum
bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Eggi normatif. Penelitian tentang pencabutan pasal
Sudjana, Pasal 134, 136Bis dan 137 KUHP penghinaan presiden sebagai upaya pembaharuan
bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 hukum pidana merupakan penelitian hukum
karena: normatif yang menggunakan pendekatan yuridis-
1. Bahwa pasal–pasal tentang Penghinaan normatif. Pendekatan yuridis-normatif merupakan
terhadap Presiden dan Wakil Presiden tersebut pendekatan utama dalam penelitian ini, karena
bersifat karet tidak secara pasti menyebutkan pusat perhatian dalam penelitian ini adalah masalah
perbuatan apa yang diklarifikasi sebagai pencabutan pasal penghinaan presiden sebagai
penghinaan, juga telah mengakibatkan upaya pembaharuan hukum pidana, yaitu Kitab
diskriminasi terhadap para tersangkanya oleh Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan
aparat penegak hukum. Perbuatan diskriminasi Keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai
itu sendiri juga pelanggaran terhadap hak–hak pencabutan pasal penghinaan terhadap
asasi manusia Presiden.Mengingat penelitian ini merupakan jenis

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan Hal. 482
E.ISSN.2614-6061
P.ISSN.2527-4295 Vol.9 No.1 Edisi Februari 2021
penelitian hukum normatif, maka menitik beratkan mengeluarkan pendapat”. Secara lebih ekplisit
pada bahan hukum sekunder yang diperoleh Pasal 28 F menyatakan bahwa”
melalui bahan-bahan kepustakaan. Bahan hukum “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi
sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
sumber bahan hukum primer, bahan hukum pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
primer merupakan bahan hukum yang mempunyai mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
kekuatan mengikat, antara lain Undang-Undang menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Dasar Negara Republik Indonesia 1945, KUHP, Berdasarkan Pasal 28 UUD 1945 khususnya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Perubahan Pasal 28E ayat 2 dan 28F UUD 1945, pasal
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 mengenai penghinaan terhadap Presiden atau Wakil
tentang Mahkamah Konstitusi dan Keputusan Presiden dicabut. Pasal 134, Pasal 136 bis, dan
Mahkamah Konstitusi mengenai pencabutan pasal Pasal 137 KUHP dianggap bertentangan dengan
penghinaan terhadap Presiden.Bahan hukum Pasal 28F UUD 1945. Pasal 134, Pasal 136 bis, dan
sekunder adalah bahan-bahan yang erat Pasal 137 KUHP berpeluang pula menghambat hak
hubungannya dengan bahan hukum primer dan atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan,
dapat membantu menganalisis dan memahami tulisan dan ekspresi sikap tatkala ketiga pasal
bahan hukum primer, antara lain meliputi konsep pidana dimaksud selalu digunakan aparat hukum
Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana terhadap momentum-momentum unjuk rasa di
(RKUHP), instrumen-instrumen hukum lapangan. Hal dimaksud secara konstitusional
internasional, hasil penelitian dan kegiatan ilmiah bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28E Ayat (2),
serta pendapat para ahli hukum.Bahan hukum dan Ayat (3) UUD 1945.Pemberlakuan pasal-pasal
tersier adalah bahan-bahan yang memberikan KUHP tersebut di atas dalam alam demokrasi
informasi terhadap bahan hukum primer dan bahan seperti saat ini sudah tidak sesuai karena telah
hukum sekunder. Bahan hukum tersier ini sering membungkam rakyat secara paksa dalam rangka
dikenal sebagai bahan acuan bidang hukum atau menyampaikan pikiran dan pendapat kepada
bahan rujukan bidang hukum, antara lain meliputi pemerintah yang merupakan hak asasi setiap warga
kamus hukum dan ensiklopedia hukum. negara yang dijamin oleh konstitusi. Sehingga
Analisis bahan hukum yang digunakan secara nyata-nyata pasal-pasal mengenai
dalam penelitian ini adalah analisis normatif- penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden
kualitatif. Adapun analisis dilakukan dengan cara tersebut telah bertentangan dengan Undang-
penguraian sistematis terhadap gejala atau data Undang Dasar 1945 khususnya, Pasal 28 , Pasal
yang diperoleh dalam penelitian ini, mula–mula 28E Ayat (2), Pasal 28E Ayat (3), Pasal 28 UUD
dengan menyajikan bahan hukum yang sejauh 1945 menyatakan, bahwa: “Kemerdekaan
mungkin disajikan secara kuantitatif. Bahan hukum berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
yang diperoleh itu kemudian dianalisis dengan dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
kualitatif dengan penguraian secara deskriptif dengan undang-undang.
analitis dan preskriptif. Hal ini dilakukan karena Pasal 28 UUD 1945 merupakan induk dari
penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan segala pasal tentang hak-hak asasi manusia yang
bahan yang ada dan bermaksud untuk melukiskan sebagaimana diketahui pasal ini telah dilahirkan
realitas pengaturan sebagaimana yang diharapkan. oleh para pemimpin bangsa Indonesia sebelum
Universal Declaration of Human Rights dilahirkan
3. HASIL DAN PEMBAHASAN pada tanggal 10 Desember. Pasal 28 UUD 1945 ini
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi Mencabut pulalah yang kemudian melahirkan pasal-pasal
KetentuanPasal 314, 316BIS, Dan 317 Dalam baru tentang hak-hak asasi manusia sebagaimana
KUHP disebutkan dalam Pasal 28A sampai dengan 28J
Hak atas kemerdekaan (kebebasan) UUD 1945 hasil amandemen. Ternyata, dalam
menyatakan pendapat (freedom of opinion and praktek kehidupan berbangsa dan bernegara hak-
expression) merupakan hak asasi yang sangat hak ini telah dilanggar, dikurangi, dicederai bahkan
penting. Secara konstitusional Pasal 28 UUD 1945, dihilangkan dan dihapus melalui Pasal 134, 136
mengakui adanya kemerdekaan berserikat dan bis, dan 137 KUHP, karena hampir semua korban
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan dari pasal penghinaan ini yang telah didakwa
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang- menghina presiden dan wakil presiden adalah
undang. Kebebasan hak asasi manusia berkaitan berkaitan dengan kegiatan mereka dalam
dengan kemerdekaan ini, merupakan pintu masuk mengeluarkan pikiran baik secara lisan maupun
(entry point) terhadap pengakuan adanya hak asasi tulisan yang oleh konstitusi dijamin dan merupakan
manusia. Terkait dengan kebebasan hak asasi hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu,
manusia, Pasal 28 E ayat (2) menyatakan: “Setiap maka pasal-pasal KUHP mengenai penghinaan
orang berhak atas kebebasan berkumpul dan kepada presiden dan wakil presiden tersebut secara
nyata telah bertentangan dengan konstitusi.

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan Hal. 483
E.ISSN.2614-6061
P.ISSN.2527-4295 Vol.9 No.1 Edisi Februari 2021
Kebebasan Secara Konstekstualitas terhadap satu ketegasan antara hak–hak yang bersifat
Pencabutan Pasal Penghinaan Terhadap individual dengan hak–hak yang bersifat sosial.
Presiden Dan Wakil Presiden Sampai seberapa jauh hak–hak asasi manusia
Melihat alasan dari pencabutan pasal tersebut dapat diseimbangkan akan bergantung
mengenai penghinaan terhadap Presiden atau Wakil pada pengaturan masing–masing negara. Hal ini
Presiden ini, arti kebebasan itu sendiri sebenarnya merupakan satu fundamental rights yang dalam
bersifat anomali atau mendua. Dalam hal ini bentuk formal yang dituangkan dalam Konstitusi
dimaksudkan sebagai istilah untuk menyatakan atau UUD. Dari konstitusi atau UUD ini secara
ketidakterikatan untuk berbuat sesuatu yang sesuai lebih operasional dituangkan dalam undang–
dengan kehendak dan hati nuraninya maka makna undang. Sumber dari hak asasi manusia itu berasal
ilmiah yang dikandung oleh kebebasan secara dari karunai Tuhan, Fundamental rights yang
universal. Kebebasan termasuk suatu yang bersifat tertuang dalam konstitusi atau UUD dan
asasi. Pada umumnya para pemikir mempunyai selanjutnya dijabarkan dalam undang–undang
persepsi yang sama tentang apa saja kebebasan bukan merupakan sumber hak.Ketentuan perihal
yang harus ada pada setiap insan. Hanya rincian kebebasan mengeluarkan pendapat dengan tulisan
selanjutnya yang seringkali menimbulkan itu diatur dalam Pasal 28 UUD 1945 yang
permasalahan tentang batas kebebasan yang bisa menyatakan bahwa kebebasan mengeluarkan
dinikmati setiap orang. Secara deskriptif, pendapat dengan tulisan atau dengan lisan dan
kebebasan tidak akan mungkin diartikan sebebas– lain–lain diatur oleh undang–undang. Penjelasan
bebasnya. Akan senantiasa ada pembatasan baik pasal 28 tersebut menyatakan bahwa pasal yang
oleh kelemahan yang bersifat internal (psikis, dimaksud mengenai kedudukan penduduk.
moral) maupun oleh batasan yang bersifat eksternal Mencermati ketentuan Pasal 28 UUD 1945 sebagai
seperti paksaan atau sebagainya. refleksi dari penghargaan terhadap hak–hak
Di dalam konteks yang lebih seimbang, penduduk sekaligus sebagai komitmen menjunjung
kebebasan itu harus senantiasa sejalan dengan tinggi HAM dapat diperinci sebagai berikut Hak
tanggung jawab. Apalagi jika dihadapkan kepada untuk berserikat dan berkumpul, Hak untuk
kebebasan dalam arti sosial. Kebebasan dalam arti mengeluarkan pikiran dengan tulisan, Hak untuk
ini mengharuskan seseorang untuk melakukan mengeluarkan pikiran dengan lisan, Hak dan
tindakan dengan memperhatikan kebebasan orang sebagainya.
lain yang juga memiliki hal yang sama. Pada Pasal 28 UUD 1945 berusaha memberikan
dasarnya kebebasan itu harus dimaknai secara legalitas berbagai aktivitas, misalnya hak untuk
konstekstualitas dan ada batas tertentu khususnya demonstrasi atau berunjuk rasa yang merupakan
dalam hidup bermasyarakat. Batas–batas tersebut refleksi dari hak untuk berbicara dalam forum–
bukannya untuk mengurangi atau menghilangkan forum tertentu seperti dalam pertemuan ilmiah,
kebebasan itu sendiri melainkan justru menata yang kesemuanya itu memerlukan pengaturan
kehidupan dalam bermasyarakat agar masing– undang–undang. Namun sudah selayaknya
masing pihak dapat mengenyam haknya. Sebab berbagai keinginan itu diimbangi dengan
pada hakekatnya kebebasan bukan berarti berbuat pemenuhan kewajiban warga negara secara lebih
sekehendak hati melainkan untuk mengakui dan seimbang. Dalam arti juga disertai dengan
menghormati adanya hak serta kewajiban setiap tanggung jawab akan kesejahteraan bersama
manusia pada umumnya.Menilik dari sejarahnya, dengan tidak membuat kesengsaraan dan kesulitan
secara universal permasalahan tentang HAM itu bagi pihak lain.Berbagai refleksi hak tersebut
telah dilembagakan pada saat berkobarnya perang khususnya oleh pemerintah Indonesia terkadang
dunia kedua. Yaitu dengan ditandatanganinya masih dipandang dari sudut stabilitas sehingga
dokumen paling penting yang kemudian dipandang lebih menyerupai sebuah ekspresi ketidakpuasan
sebagai cikal bakal penghargaan secara formal yang merawankan. Oleh karena itu semangat
terhadap hak asasi manusia. Dokumen yang nasionalisme kepada bangsa dan negara harus
dimaksud adalah Atlantic Charter yang intinya dijadikan sebagai penyeimbang sehingga tidak
adalah tentang kebebasan, yaitukebebasan untuk berakibat senantiasa lebih besar tuntutan dari pada
berbicara dan melahirkan pikiran, kebebasan untuk pemenuhan haknya.Di dalam perkembangannya
memilih agama sesuai dengan keyakinan dan memang banyak kecenderungan untuk tidak
kepercayaannya,kebebasan dari rasa bersikap represif terhadap berbagai kritik yang
takut,kebebasan dari kekurangan dan kelaparan. dilontarkan. Hal ini kiranya dapat dijadikan sebagai
Hakekat dari kebebasan itu sebenarnya momentum yang dipertahankan dengan catatan
adalah sebagai suatu institusi untuk menjaga bahwa hendaknya dilakukan dengan rasa tanggung
adanya keseimbangan dalam kaitan dengan jawab. Untuk itulah pada era demokrasi yang
keinginan untuk menciptakan ketentraman hidup menuntut lebih banyak keterbukaan, kritik,
bersama, antara kepentingan seseorang dengan sumbang saran atau apapun namanya itu sangat
orang lain dalam kelompok tidak saling diperlukan adanya pembatasan terhadap kebebasan
berbenturan. Oleh karena itu dibutuhkan adanya yang berlebihan.

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan Hal. 484
E.ISSN.2614-6061
P.ISSN.2527-4295 Vol.9 No.1 Edisi Februari 2021
Di negara seperti Amerika sekalipun, kritik untuk mengemukakan pendapat. Ketika ada hak
terhadap pemerintahan bukan tanpa batas, rambu- kebebasan berpendapat, termasuk di dalamnya
rambu selalu ada dan setiap kesalahan yang kebebasan untuk mengkritik Presiden atau Wakil
dilakukan oleh seseorang juga bermuara pada Presiden, maka di situ juga akan muncul batasan
proses hukum, apakah perdata atau pidana. Hal ini terhadap hak kebebasan berpendapat. Batasan ini
menunjukkan bahwa di negara–negara yang biasa dapat berupa batasan yang bersifat eksternal seperti
disebut sudah mapan seperti AS dan Inggris justru paksaan. Paksaan untuk tetap menghormati
kebebasan untuk mengeluarkan pendapat terkait pemerintah walaupun dalam upaya mengkritisi
dengan kritikan terhadap pemerintahan dilandasi kebijakan atau perilaku Presiden atau Wakil
dengan konsep check and balances. Jadi tidak Presiden. Atas dasar pemerintah harus menjaga dan
semata–mata merupakan refleksi dari hak untuk membatasi pelaksaan hak untuk berpendapat dalam
mengeluarkan pendapat yang tidak berdasar dan hal ini mengkrritik Presiden atau Wakil Presiden,
seolah-olah hanya mengedepankan kesalahan maka pemerintah mengeluarkan atau
pemerintah tanpa suatu solusi. Antara hak untuk mengakomodasi pasal–pasal mengenai penghinaan
mengeluarkan pendapat pada satu sisi dengan terhadap Presiden atau Wakil Presiden (pasal 134
kewajiban untuk menghargai pemerintahan pada KUHP, pasal 136Bis dan pasal 137 KUHP) sebagai
sisi lain terus mencari keseimbangan. Oleh sebab landasan hukum dalam mengatur batasan kritikan
itu upaya ini akan melahirkan prinsip terhadap pemerintah.
mengedepankan kebebasan yang berbudi luhur Pertimbangan Mahkamah Konstitusi Mencabut
sebagai suatu idealisme tanpa ada upaya PASAL 314, 316BIS, dan 317 dalam KUHP
menjatuhkan pemerintahan dengan tindakan yang Reasoning pencabutan pasal mengenai
merusak citra pemerintahan itu sendiri, antara lain penghinaan terhadap Presiden tidak hanya sebatas
melalui tindakan penghinaan.Perlu ditanamkan dianggap bertentangan dengan pasal 28 UUD 1945.
bahwa kebebasan bukan berarti berbuat sekehendak Lebih daripada itu, dikemukakan bahwa Pasal 134
hati melainkan untuk mengakui dan menghormati KUHP, Pasal 136Bis KUHP dianggap sudah tidak
adanya hak serta kewajiban setiap manusia. lagi relevan untuk diberlakukan karena KUHP
Tatanan masyarakat yang demokratis, senantiasa sendiri merupakan produk perundang-undangan
memperhatikan kepentingan individu pada satu sisi peninggalan Belanda yang sudah telah berusia
dengan penghormatan yang layak terhadap lebih dari 90 tahun.Dalam pertimbangannya, MK
kebebasan yang diwujudkan dalam bentuk berpendapat, Indonesia sebagai suatu negara
perilaku, yang juga merupakan penghargaan hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan
tertinggi terhadap kebebasan nurani secara berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak
seimbang. Hal ini merupakan refleksi mendasar asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam
dari pelaksanaan hak asasi yang harus senantiasa UUD NRI Tahun 1945, tidak relevan lagi jika
ditegaskan selaras dengan prinsip–prinsip hidup dalam KUHP-nya masih memuat pasal-pasal
manusia beradab. Prinsip keseimbangan itu dapat seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137
terwujud dengan menyerasikan hak dan kewajiban yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum,
serta tanggung jawab. mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran
Roh dari seluruh ketentuan UUD 1945 dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan
sebagai satu kesatuan sistem adalah semangat prinsip kepastian hukum. Dengan demikian, dalam
untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara RUU KUHP juga harus tidak lagi memuat pasal-
hukum yang demokratis dan negara demokrasi pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal
yang berdasar atas hukum. Negara hukum dan 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP. Terlebih
demokrasi menghormati, melindungi, dan lagi, ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal
menjamin pemenuhan kebebasan atau 134 paling lama enam tahun penjara dapat
kemerdekaan untuk menyampaikan pendapat di dipergunakan untuk menghambat proses
dalamnya termasuk kemerdekaan untuk demokrasi, khususnya akses bagi jabatan-jabatan
menyampaikan kritik terhadap Presiden. Negara publik yang mensyaratkan seseorang tidak pernah
hukum dan demokrasi tidak melindungi pelaku dihukum karena melakukan tindak pidana yang
penghinaan, terhadap siapa pun hal itu ditujukan. diancam dengan pidana penjara lima tahun atau
Pelaku penghinaan tidak dapat berlindung di balik lebih.
kemerdekaan menyampaikan pendapat. Konstitusi Menurut MK, pasal penghinaan presiden
menghormati, melindungi, dan menjamin setiap akan dapat menjadi hambatan bagi kemungkinan
orang yang bermaksud menyampaikan untuk mengklarifikasi apakah presiden atau wakil
pendapatnya, tetapi tidak untuk pelaku presiden telah melakukan pelanggaran
penghinaan.Bukan merupakan hal yang bijaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUD NRI
ketika harus memperhadapkan secara diametral Tahun 1945. karena upaya-upaya melakukan
bahwa pengaturan pasal–pasal mengenai klarifikasi tersebut dapat ditafsirkan sebagai
penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden penghinaan terhadap presiden atau wakil
dianggap sebagai upaya menghamabat kebebasan presiden.MK dalam pertimbangannya juga

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan Hal. 485
E.ISSN.2614-6061
P.ISSN.2527-4295 Vol.9 No.1 Edisi Februari 2021
menegaskan bahwa tindak pidana penghinaan atau penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil
terhadap presiden atau wakil presiden seharusnya Presiden.
diberlakukan Pasal 310-Pasal 321 KUHP manakala d. Yeni Rosa Damayanti, Andrianto, S.IP., dan
penghinaan (beleediging) ditujukan dalam kualitas Bambang Beathor Suryadi
pribadinya, dan Pasal 207 KUHP dalam hal Ketiganya menerangkan pengalamannya
penghinaan ditujukan kepada presiden atau wakil sebagai korban Pasal 134 dan Pasal 136 bis KUHP
presiden selaku pejabat (als ambtsdrager). yang dirasakan telah merugikan kebebasan mereka
Pendapat Ahli Terkait Pencabutan Pasal untuk mengekspresikan pendapat dan melakukan
Penghinaan Terhadap Presiden Dan Wakil kritik terhadap Pemerintah. Hal ini akan
Presiden. menghambat bagi kemungkinan untuk
a. Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H., M.A, mengklarifikasi apakah Presiden dan/atau Wakil
Bertalian dengan itu menurut Ahli Prof. Dr. Presiden telah melakukan pelanggaran
J.E. Sahetapy, S.H., M.A, maka perlu diingat Pasal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUD 1945
5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 yang yang berbunyi:
merupakan toets steen (batu penguji) tentang ”Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
relevansi dan raison d‟etre pasal-pasal KUHP. diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan
dimaksud menyatakan: Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah
“Peraturan hukum pidana yang seluruhnya atau melakukan pelanggaran hukum berupa
sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
bertentangan dengan kedudukan Republik penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak
mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
atau sebagian sementara tidak berlaku”. Wakil Presiden”.
Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Upaya-upaya melakukan klarifikasi tersebut dapat
KUHP dalam era demokrasi reformasi tidak lagi ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap Presiden
relevan dan hilang raison d‟etre-nya. Dikatakan dan Wakil Presiden.
beliau bahwa dewasa ini harus diingatkan kembali
dan di implementasikan Pasal 28E Ayat (3) UUD 4. KESIMPULAN
1945. Selanjutnya beliau menyatakan, “Perlu Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi
dibedakan antara kritik dan pencemaran nama baik, mencabut ketentuan Pasal 314, 316bis dan 317
fitnah serta penghinaan. Demokrasi bisa berfungsi dalam KUHP, Kebebasan Berekspresi merupakan
manakala diimbangi reformasi. Tanpa reformasi, hak asasi yang dilindungi dan dijamin oleh
demokrasi akan menjadi „huruf mati”. Sejalan Konstitusi begitu pula dengan perlindungan
dengan hal tersebut, reputasi dan kehormatan, namun pengaturan
b.Mardjono Reksodiputro keduanya jangan sampai menganulir satu dan
Mardjono menyatakan:perlu lainnya. Putusan Mahkamah Konstitusi
mempertimbangkan perkembangan nilai-nilai memberikan dampak juridis yang cukup besar di
sosial dasar (fundamental social values) dalam dalam KUHP, pencabutan pasal penghinaan
masyarakat demokratik yang modern, maka delik terhadap Presiden ini membuat segala bentuk
penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk penghinaan terhadap Presiden dianggap bukan
menghambat kritik dan protes terhadap kebijakan sebagai tindak pidana. Tidak ada lagi perlindungan
pemerintah (pusat dan daerah), maupun pejabat terhadap martabat Presiden terkait dengan jabatan
pejabat pemerintah (pusat dan daerah). Menurut yang di milikinya. Sedangkan di sisi lain,
Ahli, tidak perlu lagi ada delik penghinaan khusus penghinaan terhadap masyarakat biasa merupakan
terhadap Presiden dan Wakil Presiden, dan cukup delik. Begitu juga penghinaan terhadap raja, kepala
dengan adanya Pasal 310-321 KUHP. negara lain atau perwakilan negara lain juga masih
c. Dr. Hariman Siregar di akomodasi di dalam KUHP. Tindak pidana
Alasan lain dari pencabutan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden
penghinaan Presiden atau Wakil Presiden adalah sebelumnya diatur dalam Pasal 134, 136bis dan
Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 137 KUHP merupakan delik biasa dan di tujukan
KUHPidana tidak merupakan delik aduan (klacht bagi penguasa Belanda yakni Ratu dan Gubernur
delict) dan ahli dr. Hariman Siregar yang Jenderal sehingga ketiga pasal tersebut tidak
menyatakan bahwa: berlaku melalui Putusan Mahkamah Konstitusi
dinilai penafsiran Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 karena tidak sesuai
Pasal 137 KUHP bersifat lentur (pasal karet) dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum
karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, 5. DAFTAR PUSTAKA
pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik Aliamsyah, Politik Peraturan Perundang –
Undangan, Artikel Legalitas, 2007, diambil

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan Hal. 486
E.ISSN.2614-6061
P.ISSN.2527-4295 Vol.9 No.1 Edisi Februari 2021
dari http://www.legalitas.org/?q=node/75 Globalisasi Terhadap Hukum Pidana dan
diakses pada tanggal 5 Januari 2020 Kriminologi menghadapi Kejahatan
Barda Nawawi Arief, RUU KUHP Baru Sebuah Transnasional, Bandung, 2008
Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-
Pidana Indonesia, Badan Penerbit 022/PUU-IV/2006 tentang Pencabutan
Universitas Diponegoro, Semarang, 2008 Pasal Penghinaan Terhadap Presiden
________, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Resume Permohonan Perkara Nomor 022/PUU-
dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra IV/2006, diakses dari
Aditya, Bandung, 1998 http://www.mahkamahkonstitusi.com
________, Kebijakan Legislatif Dalam Ronny Hanitijo Soemitro, Perbandingan Antara
Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penelitian Hukum Normatif dengan
Penjara, Badan Penerbit Universitas Penelitian Hukum Empiris, Lembaran
Diponegoro, Semarang, 2000 Hukum dan Masyarakat, Masalah-masalah
Laica Marzuki, Kekuatan Mengikat Putusan Hukum No. 9 Tahun 1991, Fakultas Hukum
Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang– Universitas Diponegoro, Semarang
Undang, Jurnal Legislasi Vol 3 No 1, Maret _______, Metodologi Penelitian Hukum dan
2006 Jurimetri, Ghalia Indonesia,Jakarta, 1994
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Soedjono Dirdjosisworo, Pengadilan Hak Asasi
Perkembangan Hukum dalam Manusia Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,
Pembangunan Nasional, Jilid III No 4, Bandung, 2002
Universitas Padjajaran, Bandung, 1970 Syamsul Wahidin, Hukum Pers, Pustaka Pelajar,
Paska Suzetta, Pengaruh Globalisasi Terhadap Jogjakarta, 2006
Hukum Pidana dan Kriminologi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
menghadapi Kejahatan Transnasional, Tahun 1945
Hasil Seminar ASPEHUPIKI - Pengaruh

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan Hal. 487

Anda mungkin juga menyukai