Anda di halaman 1dari 11

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pemerintah Indonesia melihat bahwa perlunya suatu perubahan yang dapat meningkatkan
pembangunan ekonomi yang menuju pada masyarakat yang adil dan makmur, oleh karena itu
pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU
Ciptaker”) dengan menggunakan metode omnibus yang diharapkan dapat menciptakan iklim
investasi yang lebih baik, penciptaan lapangan pekerjaan yang semakin banyak serta
mensejahterakan masyarakat Indonesia. Merujuk pada putusan MKRI terhadap UU Ciptaker
yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan
perubahan dalam jangka waktu 2 tahun, maka DPR dan Presiden kemudian merubah Undang-
Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU
12/2011”) melalui Undang-Undang nomor 13 tahun 2022 (“UU 13/2022”) untuk selanjutnya
UU 12/2011 dan UU 13/2022 secara bersama-sama akan disebut “UU P3”, yang memasukan
metode Omnibus Law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan serta merubah
penjelasan pasal 5 huruf (g) ketentuan asas UU 12/2011 yang menurut penulis telah membatasi
asas keterbukaan dalam pembentukan suatu undang-undang khususnya kepada seluruh
masyarakat Indonesia, dimana jika merujuk pada UU 11/2011, seluruh lapisan masyarakat
dapat memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sedangkan
pada UU 13/2022 dibatasi hanya pada publik yang mempunyai kepentingan dan/atau terdampak
langsung .
Dengan demikian Penulis dalam makalah ini akan membuat suatu penulisan dengan judul
“Tinjauan Yuridis Terhadap Asas Keterbukaan Pada Undang-Undang nomor 13 tahun 2022
Ditinjau Dari Nilai-Nilai Pancasila”

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut maka yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana seharusnya asas keterbukaan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022
yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila?

1
C. METODE PENELITIAN
Menurut Muhaimin, “penelitian hukum adalah “suatu proses untuk mencari
kebenaran ilmiah tentang hukum dengan menggunakan metode (cara) ilmiah secara
metodis, sistematis dan logis untuk menyelesaikan masalah hukum atau menemukan
kebenaran (jawaban) atas peristiwa hukum yang terjadi baik secara teoritis maupun secara
praktis1. Dalam melaksanakan penelitian ini, jika melihat pada latar belakang
permasalahan dan rumusan masalah, maka penelitian ini akan lebih menekankan pada
asas-asas hukum, teori-teori hukum untuk menemukan jawaban pada rumusan masalah,
maka metode penelitian yang dipilih oleh penulis sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian penulisan hukum ini menggunakan metode penelitian hukum normatif.
Metode penelitian hukum normatif merupakan studi penulisan dokumen baik itu
kajian terhadap norma dan asas yang ada di dalam penelitian tersebut. Metode
penelitian hukum ini mengkaji hukum normatif, yaitu difokuskan pada asas
keterbukaan dalam Pasal 5 UU 11/2022.
2. Jenis Data
Penelitian ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan, dimana sumber data
Sekunder yang berasal dari bahan-bahan hukum antara lain:
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang berasal dari aturan hukum
mengikat seperti Peraturan Perundang-Undangan maupun putusan pengadilan.
Dalam penulisan hukum ini meliputi:
i. Undang-Undang Dasar Repbulik Indonesia Tahun 1945;
ii. Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan;
iii. Undang-Undang nomor 13 tahun 2022 tentang perubahan kedua atas
Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan;
iv. Putusan MKRI nomor 91/PUU-XVIII/2020

1
Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, Mataram University Press, 2020., hlm.21

2
b. Bahan hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang diperoleh dari berbagai
kepustakaan seperti buku, jurnal ilmiah, hasil penelitian, makalah dalam
seminar maupun internet yang berkaitan dengan penelitian ini.
c. Bahan hukum Tersier yaitu data yang diambil dari kamus besar bahasa
indonesia, ensiklopedia, dan yearbook untuk membantu menjelaskan bahan
hukum primer dan sekunder dalam penelitian hukum ini, dalam penelitian ini
yang dipakai adalah kamus hukum.
3. Teknik Pengumpulan Data
Oleh karena penelitian ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan, maka
pengumpulan data dilakukan melalui kepustakaan atau memanfaatkan indeks-indeks
hukum
4. Analisa Data
Dalam melakukan penelitian ini, penulis akan melakukan penganalisaan data yang
dilakukan secara kualitatif berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang nomor 13 tahun
2022 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Putusan MKRI nomor 91/PUU-
XVIII/2020, Pendapat para ahli dan pengetahuan dari penulis sendiri untuk menarik
kesimpulan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

3
PEMBAHASAN
Menurut Roscou Pound, perubahan hukum yang dapat mempengaruhi perubahan sosial
sejalan dengan salah satu fungsi hukum, yakni fungsi hukum sebagai sarana perubahan sosial,
atau sarana merekayasa masyarakat (social engineering). Jadi, hukum merupakan sarana
rekayasa masyarakat (a tool of social engineering)2 oleh karena itu perubahan hukum dapat
dilakukan oleh pemerintah dalam mencapai tujuan negara dimana hukum menjadi alat sebagai
sarana rekayasa masyarakat dalam pembangunan ekonomi nasional.
Sebagaimana kita ketahui bahwa produk-produk hukum di Indonesia merupakan produk
politik, dimana DPR sebagai legislator memiliki kekuasaan merancang dan membentuk
undang-undang dengan pembahasan bersama Presiden sebagaimana Presiden juga berhak
merancang dan membentuk undang-undang dengan pembahasan bersama DPR, yang artinya
pembentukan undang-undang di Indonesia dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara
DPR dan Presiden. Melihat dari beberapa produk undang-undang yang telah diundangkan oleh
pemegang kekuasaan dari waktu ke waktu, terlihat cukup jelas bahwa terdapat beberapa
undang-undang yang dibuat untuk kepentingan politik pada masa itu, dengan agenda untuk
menguntungkan siapa, dan untuk mendukung program siapa, sehingga pembentukan hukum
nasional di Indonesia dapatlah dikatakan pembentukan hukum sesuai rezim politik yang
berkuasa saat itu. Sunaryati Hartono pernah mengemukakan tentang “hukum sebagai alat”
sehingga secara praktis politik hukum juga merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat
digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita-cita
bangsa dan tujuan negara3.
Merujuk dari pasal 2 UU 12/2011 Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum,
maka setiap pembentukan undang-undang haruslah mencerminkan Pancasila pada setiap
tahapannya. TAP MPRSNo.XX/MPRS/1966 menyebut Pancasila sebagia sumber dari tertib
atau tata hukum RI. Pancasila dalam posisinya sebagai sumber semua sumber hukum, atau
sebagai sumber hukum dasar nasional, berada di atas konstitusi, artinya Pancasila berada di atas
UUD 1945. Jika UUD 1945 merupakan konstitusi negara, maka Pancasila adalah Kaidah Pokok
Negara yang Fundamental (staatsfundamental norm)4. Menurut Achmad Ali, stufenbau theorie
Hans Kelsen merupakan peraturan hukum keseluruhannya dari norma dasar yang berada di

2
Munir Fuadi, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Jakarta, Kencana Prennamdeia Group, 2013, hal
248
3
Mohammad Mahfud MD, idem, hal 2
4
Suparman Usman, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Serang, Suhud Sentrautama, 2010, hlm.164

4
puncak piramida, dan semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas
adalah bersifat abstrak dan semakin ke bawah semakin konkrit. Dalam proses itu, apa yang
semula berupa sesuatu yang “seharusnya”, berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan5
Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm akan menjadi nilai-nilai dalam setiap norma-
norma dibawahnya, menurut Hans Nawiasky dalam theorie von stufenbau der rechtsordnung,
di mana norma-norma tersusun atas 6:
1. norma fundamental negara (staats fundamental norm);
2. aturan dasar negara (staats grund gesetz);
3. undang-undang formal (formell gesetz); dan
4. peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verodnung en autonome satzung).
Dari susunan norma menurut Nawiasky tersebut, UU P3 terletak pada undang-undang formal
(formell gesetz) yang pada pelaksanaannya turut mengatur pembentukan undang-undang formal
lainnya, dimana UU P3 hadir bukan hanya sebagai undang-undang formal namun juga sebagai
aturan main dalam pembentukan suatu undang-undang formal, hal ini disebabkan karena dalam
aturan dasar negara (staats grund gesetz) yaitu UUD 1945 tidak dapat mengatur secara rinci
bagaimana seharusnya pembentukan suatu undang-undang formal, karena semakin tinggi
normanya, maka semakin abstrak lah pula norma tersebut, dengan demikian undang-undang
formal lah yang dapat membuat suatu aturan baku terhadap pembentukan undang-undang
formal lainnya.
Menurut van Apeldorn hukum adalah kekuasaan, kalau tidak demikian, bagaimanakah
hukum dapat melakukan tugasnya dalam masyarakat?7 Menurut para penganut aliran positivis,
bahwa kepatuhan kepada hukum itu tak lain daripada tunduknya orang-orang yang lebih lemah
pada kehendak orang-orang yang lebih kuat. Jadi hukum adalah hak orang yang terkuat8
Merujuk dari tulisan Apeldorn tersebut, hukum yang adalah kekuasaan digambarkan dalam
aliran positivis merupakan hak atas kekuasaan dari orang yang terkuat. Apeldorn selanjutnya
menggambarkan tentang bagaimana hukum itu sangat dipengaruhi oleh kekuasaan-kekuasaan
militer, bangsawan, dan sedikit kekuasaan buruh (pada masa revolusi buruh). Hukum adalah

5
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan, Vol. 1 Pemahaman Awal, Jakarta, Kencana Premedia
Group, 2009, hlm. 62
6
Jazim Hamidi. Revolusi Hukum Indonesia: Makna, Kedudukan dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17
Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Jakarta: Konstitusi Press, 2006; hal 154
7
Mr.L.J.van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Balai Pustaka, 2015, hal 56
8
Idem, hal 59

5
kekuasaan, namun kekuasaan tidaklah selamanya hukum9. Sebagaimana kita ketahui hukum
adalah produk politik, jika demikian maka hal ini sejalan yang dikemukakan oleh Apeldorn
diatas tadi dan dapat disimpulkan bahwa hukum tertulis diciptakan oleh dan merupakan hak
badan legislatif dan/atau oleh pemerintah (eksekutif) (sebagai orang yang berkuasa atau yang
terkuat) di Indonesia.
Mochtar Kusumaatmaja berpendapat:
“Pendayagunaan hukum sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat untuk menuju
skenario kebijakan pemerintah (eksekutif) amatlah terasa diperlukan oleh negara
berkembang seperti Indonesia, jauh melebihi kebutuhan negara maju yang telah mapan,
karena negara-negara mapan telah memiliki mekanisme hukum yang telah “jalan” untuk
mengakomodasi perubahan-peubahan di dalam masyarakat, sedangkan negara
berkembang tidaklah demikian”.10
Di era demokrasi seperti sekarang ini, pembentukan hukum atau undang-undang haruslah
semaki terjaga, dilakukan melalui mekanisme kekuasaan politik dalam lembaga legislative
dimana kepentingan kelompok-kelompok masyarakat yang saling bertentangan diupayakan
untuk dikompromikan guna menghasilkanaturan dan norma hukum yang dapat diterima semua
pihak11. Dalam pandangan negara hukum demokrasi yang berasaskan Pancasila hukum tidak
boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan
belaka (machtsstaat), hukum haruslah mengutamakan rakyat sebagaimana Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945 “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang
Dasar” dengan demikian Indonesia sebagai negara hukum harus membatasi kesewenang-
wenangan negara, dan melindungi seluruh warga negara Indonesia. Dengan dasar pemikiran
tersebut, keberadaan UU 11/2022 seharusnya berlandaskan dan berasaskan Pancasila,
terkhususnya UU P3 merupakan suatu undang-undang formal yang mengatur terhadap
pembentukan undang-undang formal lainnya. Kecirian Pancasila seharunya paling banyak
tercermin dalam UU P3 tersebut.
Berdasarkan pendapat tersebut, dalam konteks tujuan hukum Indoensia, secara praktis
pelaksanaan demi mewujudkan polikitk hukum Indonesia sangat diperlukan fungsi hukum

9
Idem, hal 57
10
Mochtar Kusumaatmadja, dalam Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional :
Dinamika Sosial Politik dan Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press, 1994, hal 231
11
Bertrand Russell, Kekuasaan Sebuah Analisis Sosial dan Politik, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
2019, hal xvii

6
untuk merekayasa kehidupan sosial masyarakat. Rekayasa dilakukan untuk mempengaruhi
sikap perilaku/sikap masyarakat Indonesia untuk turut mengambil bagian dalam mencapai
tujuan nasional. Menurut Black, hukum adalah kontrol sosial pemerintah, dengan kata lain
hukum adalah kehidupan normatif suatu negara dan warganya, seperti legislasi, litigasi dan
ajudikasi12. Selain itu, keberadaan hukum sebagai alat rekayasa sosial juga dimaksudkan agar
perubahan-perubahan terjadi dalam masyarakat dapat dikontrol agar dapat berjalan dengan
tertib dan teratur. Di sisi lain, hubungan erat antara fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial
dengan tujuan politik hukum terlihat dari dari setiap peraturan perundang-undangan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah dan DPR secara faktual didasarkan pada konsep law as tool of
social engineering.
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya “[3.20.3] Bahwa dengan
pertimbangan hukum tersebut di atas, dengan ini Mahkamah memerintahkan agar segera
dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan
undang-undang dengan menggunakan metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan
tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan landasan hukum yang telah dibentuk tersebut UU
11/2020 a quo dilakukan perbaikan guna memenuhi cara atau metode yang pasti, baku dan
standar, serta keterpenuhan asas-asas pembentukan undang-undang, sebagaimana amanat
UU 12/2011, khususnya berkenaan dengan asas keterbukaan harus menyertakan partisipasi
masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna, yang merupakan pengejawantahan perintah
konstitusi pada Pasal 22A UUD 1945. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan tersebut
Mahkamah memandang perlu memberi batas waktu bagi pembentuk UU melakukan perbaikan
tata cara dalam pembentukan UU 11/2020 selama 2 (dua) tahun sejak putusan ini
diucapkan. Apabila dalam waktu 2 (dua) tahun, UU 11/2020 tidak dilakukan perbaikan, maka
Mahkamah menyatakan terhadap UU 11/2020 berakibat hukum menjadi inkonstitusional
secara permanen.” Dan dalam Amar Putusannya pada poin :
3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan
dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”; dan pada poin

12
Donald Black, The Behavior Of Law, Perilaku Hukum, Jakarta, Pelangi Cendekia & PDIH UKI, 2020, hal 2

7
5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan
dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan
apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa perbaikan UU Cipta Kerja dalam amar putusan
tersebut adalah perbaikan terhadap tata cara pembentukan perundang-undangan secara formil
menurut UU 12/2011 dalam jangka waktu 2 (dua) tahun. Lebih lanjut Pemerintah dalam hal ini
DPR dan Presiden dengan segera melakukan perubahan terhadap UU 11/2011 yang memasukan
poin penting yang menurut penulis cukup krusial demi memenuhi amanat Putusan MKRI
tersebut sebagai berikut :
Merubah penjelasan pasal 5 huruf (g) tentang asas keterbukaan dari sebelumnya :
Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh
lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan
masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menjadi :
“Yang dimaksud dengan "asas keterbukaan" adalah bahwa Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan, termasuk Pemanthuan dan Peninjauan memberikan akses
kepada publik yang mempunyai kepentingan dan terdampak langsung untuk mendapatkan
informasi dan/atau memberikan masukan pada setiap tahapan dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang dilakukan secara lisan dan/ atau tertulis dengan cara
daring (dalam jaringan) dan/atau luring (luar jaringan).”
Dilihat dari ketentuan tersebut diatas yang menurut penulis cukup krusial untuk mendukung
berlakunya UU Cipta Kerja sebagaimana putusan MK, terlihat bagaimana usaha pemerintah
untuk “melegalkan” UU Cipta Kerja agar dalam proses revisi UU Cipta Kerja sehubungan
putusan MKRI tersebut “tidak dapat dijegal” di kemudian hari. Kewenangan membentuk dan
merubah undang-undang yang dimiliki oleh DPR dan Presiden adalah kewenangan atributif
yang diberikan oleh UUD 1945, dimana kewenangan membentuk dan menyetujui undang-
undang dimiliki oleh DPR dan Presiden, kewenangan tersebut merujuk pada pendapat Apeldorn

8
merupakan “hak yang berkuasa” sedangkan perubahan UU P3 tersebut apabila dihubungkan
dengan teori Roscou merupakan hukum yang digunakan sebagai sarana/alat untuk merekayasa
perilaku si pembuat undang-undang tersebut, dan masyarakat. Kata masyarakat tersebut oleh si
yang berkuasa dirubah (melalui kekuasaaanya) membatasi kata masyarakat hanya sebatas yang
mempunyai kepentingan dan terdampak langsung, sedangkan masyarakat belum tentu
mengetahui apakah dia : (i) memiliki kepentingan, atau (ii) terdampak langsung? Hal ini tentu
menimbulkan pertanyaan bahwa dengan dibatasinya asas keterbukaan terhadap rancangan
undang-undang dalam revisi UU P3 tersebut, apa tujuan politik hukum yang dimaksud oleh si
pembuat undang-undang? Bahwa yang tadinya dibuka seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mendapatkan informasi dan memberikan pendapat, sekarang malah dibatasi hanya yang
memiliki kepentingan dan/atau terdampak langsung, dengan demikian dalam hal ini hukum
dikatakan adalah produk politik dan merupakan alat/sarana yang digunakan oleh elit politik
(yang berkuasa) untuk mencapai tujuan politiknya yang tidak lain adalah membuat UU Cipta
Kerja berlaku secara konstitusional tanpa hambatan tertentu di masa yang akan datang.
Lebih lanjut pembatasan akses masyarakat umum terhadap rancangan pembentukan
peraturan perundang-undangan tidak bersesuaian dengan nilai dalam Pancasila khususnya sila
ke-5 yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, keadilan sosial merupakan
keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan, baik materil maupun
spiritual. Seluruh Rakyat Indonesia berhak mendapatkan perlakuan adil dalam berbagai bidang
antara lain bidang ekonomi, hukum, politik, pendidikan, kebudayaan dan sosial. Pembatasan
aksesibilitas seluruh masyarakat Indonesia terhadap rancangan pembentukan perundang-
undangan sesunguhnya bertentangan dengan nilai Pancasila dan telah merobek Negara
Indonesia yang berdasarkan hukum dengan berasaskan Pancasila.

9
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan :
1. Pembatasan pada asas keterbukaan dalam revisi UU P3 telah menghalangi akses
masyarakat luas terhadap seluruh rancangan undang-undang yang akan dibentuk oleh
Pemerintah dan dengan demikian bertentangan dengan sila kelima Pancasila Yaitu
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
B. Saran :
1. Penyesuaian UU P3 khususnya dalam perubahan terhadap asas keterbukaan perlu
dikembalikan pada ketentuan sebelumnya, dimana seluruh masyarakat berhak untuk
memberikan pendapat, dan berhak untuk menerima informasi terhadap rancangan
undang-undang tersebut.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Achmad Ali, Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan, Vol. 1 Pemahaman Awal,
Jakarta, Kencana Premedia Group, 2009,
2. Bertrand Russell, Kekuasaan Sebuah Analisis Sosial dan Politik, Jakarta, Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2019
3. Donald Black, The Behavior Of Law, Perilaku Hukum, Jakarta, Pelangi Cendekia &
PDIH UKI, 2020, hal 2
4. Jazim Hamidi. Revolusi Hukum Indonesia: Makna, Kedudukan dan Implikasi Hukum
Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Jakarta:
Konstitusi Press, 2006
5. Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, Mataram University Press, 2020;
6. Mr.L.J.van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Balai Pustaka, 2015;
7. Mohammad Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2014
8. Mochtar Kusumaatmadja, dalam Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke
Hukum Nasional : Dinamika Sosial Politik dan Perkembangan Hukum di Indonesia,
Jakarta, Rajawali Press, 1994
9. Munir Fuadi, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Jakarta, Kencana
Prennamdeia Group, 2013;
10. Suparman Usman, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Serang, Suhud Sentrautama, 2010,
hlm.164
11. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
12. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan sebagaimana terakhir diubah melalui Undang-Undang nomor 13 tahun 2022;
13. Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020

11

Anda mungkin juga menyukai