Anda di halaman 1dari 17

PERBANDINGAN KUHP & RUU KUHP INDONESIA

  I . PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di Indonesia


adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang
pada prakteknya sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang. KUHP yang
merupakan warisan KUHP Kerajaan Belanda diberlakukan di Indonesia dengan beberapa
penyesuaian, bahkan Sudarto menyatakan bahwa teks resmi KUHP hingga saat ini masih dalam
bahasa Belanda. Kenyataan inilah yang menyebabkan kebutuhan untuk melakukan pembaharuan
hukum pidana (penal reform) di Indonesia. Kebutuhan untuk melakukan pembaharuan hukum
pidana sejalan dengan hasil dari Kongres PBB tahun 1976 tentang pencegahan kejahatan dan
perlakuan kepada pelaku kejahatan. Dalam kongres tersebut dinyatakan bahwa hukum
pidana yang ada selama ini di berbagai negara yang sering berasal dari hukum asing dari zaman
kolonial yang pada umumnya tidak adil (unjustice) serta ketinggalan zaman dan tidak sesuai
dengan kenyataan (outmoded and unreal) karena tidak berakar dan pada nilai budaya dan bahkan
ada diskrepansi dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa
kini. Kondisi perubahan hukum yang adil dan sesuai dengan kenyataan yang berakar dari nilai-
nilai yang ada dalam masyarakat kemudian secara tegas juga dinyatakan dalam konsideran
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) 2012 yang menyatakan bahwa
materi hukum pidana nasional harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan
perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia. Sementara tujuan
penyusunan hukum pidana dinyatakan sebagai perwujudan upaya pembaharuan hukum
nasional Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak
asasi manusia. Penjelasan Umum RKUHP 2012 juga menyatakan bahwa Penyusunan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional untuk menggantikan KUHP peninggalan
pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan salah satu usaha dalam
rangka pembangunan hukum nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu
agar dapat mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang, sesuai dengan tuntutan
pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.

Membahas tentang reformasi hukum pidana tentu juga harus membahas Kitab Undang-
undang Hukum Pidana kita atau yang biasa disebut KUHP yang juga adalah warisan Belanda.
Sedangkan Indonesia baru bisa membuat Hukum Acaranya saja, bahkan Hukum Acara
(KUHAP) ini disebut-sebut sebagai karya agung.  Akan tetapi, perubahan zaman membuat kedua
kitab yang dikodifikasikan diatas dirasa tidak mampu menjawab tantangan terhadap perubahan
zaman, Sehingga rancangan undang-undang KUHP diperlukan untuk menghadapi zaman
sekarang dan masa mendatang.
Beranjak dari latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk menyusun makalah
tentang Perbandingan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)

II . PEMBAHASAN
Dalam hal membahas tentang perbandingan antara KUHP dengan RUU KUHP tentu
memiliki perbedaan yang sangat mendasar, bentuk-bentuk perbandingan tersebut bisa dilihat dari
berbagai macam faktor, antara lain :

1. Terhadap jumlah BAB & Pasal


Dalam RUU dibentuk tahun 2004 berisi 2 BAB dan 707 Pasal dengan ketentuan :
 BAB I tentang ketentuan umum dengan berisikan 6 BAB dan 208 Pasal
 BAB II tentang Tindak Pidana yang menggantikan ketentuan tentang KUHP pada
ketentuan kejahatan dan pelanggaran karena tindak pidana dinilai lebih bersifat umum
dan cenderung tidak membedakan antara kejahatan dan pelanggaran dan agar lebih
bersifat adil.
Sementara pada KUHP yang sudah secara universal diketahui :
 BAB I tentang ketentuan umum ( 9 BAB 103 Pasal )
 BAB II tentang kejahatan ( 31 BAB 385 Pasal )
 BAB III tentang Pelanggaran ( 9 BAB 81 Pasal )
Artinya bahwa terdapat 569 Pasal pada KUHP lebih sedikit dari RUU KUHP karena pada RUU
mencoba menambahkan ketentuan-ketentuan yang tidak ada dalam KUHP lama.

2. Unsur-unsur KUHP & RUU KUHP.


a) ASAS LEGALITAS
Berdasarkan KUHP.
Azas legalitas diatur dalam KUHP yang berlaku sekarang, Pasal 1 ayat (1) KUHP yang
menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana
dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. Bunyi Pasal 1 ayat (1)
KUHP ini, secara rinci,berisi dua hal penting, yaitu: suatu tindak pidana harus dirumuskan
terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan kemudian peraturan perundang-undangan
harus ada sebelum terjadinya tindak pidana (tidak berlaku surut).
(Artinya bila terjadi tindak pidana dan belum ada aturan tidak dapat dipidanakan)

Berdasarkan RUU KUHP.


Dalam pasal 1 ayat (1), Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan,
kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai  tindak pidana dalam
peraturan   perundang-undangan  yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
Pasal 2 ayat (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut
dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.  Pasal
2 ayat (2) berlakunya  hukum  yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan
prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
( Seseorang dapat dipidana sesuai dengan ketentuan yang sudah ada atau menurut hukum
masyarakat dan nilai-nilai pancasila ).

b) ASAS RETROAKTIF
Azas retroaktif  adalah suatu azas HUKUM  yang mengubah konsekuensi hukum terhadap
tindakan yang dilakukan atau status hukum, fakta-fakta dan hubungan  yang ada, sebelum suatu
hukum diberlakukan atau diundangkan.

Berdasarkan KUHP.
Menurut pasal 1 ayat (1) asas retroaktif tidak berlaku karena, menyatakan bahwa, “Tiada suatu
perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-
undangan  yang  telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.

Berdasarkan RUU KUHP.


Berdasarkan pasal 1 ayat (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mengurangi  berlakunya  hukum yang  hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa
seseorang  patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan dan pasal 1 ayat (4) Berlakunya  hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip
hukum umum yang diakui oleh  masyarakat bangsa-bangsa,memungkinkan untuk menggunakan
azas retroaktif.

c) ASAS TIDAK DIPIDANA TANPA ADANYA KESALAHAN


Azas tidak ada pidana tanpa kesalahan, adalah azas untuk menjatuhkan pidana kepada orang
yang telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri
orang tersebut.

Berdasarkan KUHP
Menurut KUHP, Azas tidak ada pidana tanpa kesalahan memperkuat azas legalitas,
Seseorang  harus dipidanakan bila melakukan tindak pidana sesuai dengan fakta unsur kesalahan
yang dilakukan oleh orang tersebut.

Berdasarkan RUU KUHP.


Menurut RUU KUHP, Azas tidak ada pidana tanpa kesalahan memperkuat azas  legalitas.
Seseorang harus dipidanakan bila melakukan tindak pidana sesuai dengan fakta unsur kesalahan
yang dilakukan oleh orang tersebut.
Kesimpulan artinya dalam KUHP merupakan penegasan asas legalitas dan dalam RUU KUHP
Penegasan dari asas legalitas serta asas retroaktif.

3. PIDANA MATI
Di dalam KUHP secara jelas PIDANA MATI dicantumkan dalam pidana pokok sedangkan di
RUU KUHP pidana mati tak dicantumkan dalam pidana pokok tapi bukan berarti tidak ada,
pidana mati di RUU KUHP di cantukan pada BAB II Paragraf 11 pasal87 yaitu pasal tersendiri
dan merupakan upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.

4. FILOSOFIS
perbedaan yang nampak di keduanya adalah ada pada tujuan pembentukan undang-undang
mengingat ada teorI yang dikeluarkan  oleh Prof Muladi pada KUHP dapat ditelaah bahwa
didalam KUHP lebih mengandung dan menganut teori absolute/retributif yaitu pembalasan
sedangkan pada RUU KUHP lebih menitik beratkan tujuan kegunaan dan manfaat dengan
merehabilitasi dan pengayoman yang sebenar-benarnya sebagai contoh dalam pidana pokok
dicantumkan pidana kerja social yang man disini sangsi yang diberikan pemerintah akan
memberikan dampak positif dan kegunaan baik bagi masyarakat.

5. PERTANGGUNGJAWABAN ADAT
antara KUHP dan RUU KUHP adalah adanya pertanggung jawaban yang berbeda, misalnya di
KUHP pertanggung jawabanya hantya sebatas kepada Negara tapi unsure lain yang ada di RUU
KUHP adalah bahwa pertanggung jawaban pidana bukan hanya kepada Negara tapi kepada adat
pun ada per tanggung jawabannya, jika seaandainya ada kewajiban adapt yang belum terpenuhi
maka terpidana harus dan berkewajiban untuk bertanggung jawab dan memenuhinya.

Kemudian dari perbandingan tentang KUPH dan RUU KUHP diatas terdapat poin-poin
baru yang dimasukan dalam RUU KUHP, antara lain :
1) Merumuskan dan mempertegas ASAS LEGALITAS
2) Sistem penahanan di perketat
3) Penciptaan lembaga hakim pemeriksa pendahuluan
4) Perubahan jenis alat bukti
5) Penegasan penyelesaian perkara di luar pengadilan
6) Penegasan saksi mahkota
7) Mahkamah Agung tidak boleh menjatuhkan pidana lebih berat daripada pengadilan tinggi
kecuali jika putusan pengadilan di bawah Mahkamah Agung lebih ringan daripada
minimum khusus.
8) Putusan diterima atau ditolak suatu peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung harus
melalui sidang pleno Mahkamah Agung yang dipimpin oleh ketua Mahkamah Agung.

PERBANDINGAN KUHP INDONESIA dengan RANCANGAN KUHP TAHUN 2012

BAB I : Tentang ruang lingkup berlakunya ketentuan peraturan perundang-undangan


pidana

1. Menurut waktu
Pasal 1 s/d pasal 2 RKUHP mengatur tentang asas legalitas dibandingkan dengan KUHP
sekarang, dimana KUHP menganut asas legalitas formil sedangkan RKUHP mengatur dengan
adanya keseimbangan antara legalitas materiel yang tercentum dalam pasal 2 dan legalitas formil
pasal 1 ayat (1) sedangkan dalam KUHP hanya mengatur tentang legalitas formil pada pasal 1
ayat (1). Didalam pasal 2 ayat 1 dan 2 RKUHP terdapat ketentuan :
Ketentuan  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya
hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana
walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan dan Berlakunya
hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
 Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh
masyarakat bangsa-bangsa. Ketentuan ini tidak dijelaskan/tidak terdapat didalam KUHP. Dalam
pasal 1 ayat (2) terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa dilarangnya menggunakan suatu
analogi dalam menetapkan adanya suatu tindak pidana. Mengenai retroaktif dalam RKUHP
mengatur lebih luas, yaitu dalam perubahan undang-undang setelah adanya putusan hakim
undang-undang baru dapat berlaku apabila UU baru tersebut menganggap perbuatan tersebut
bukan suatu perbuatan yang melanggar atau bukan merupakan tindak pidana lagi dan apabila
ancaman pidananya lebih ringan maka digunakan UU yang baru. Sementara dalam KUHP masih
hanya mengatur dalam hal perubahan UU pada saat belum adanya putusan hakim yang
berkekuatan hukum tetap dapat berlaku.
             
2. Menurut tempat
Pada RKUHP disebutkan dan dijelaskan secara terbuka (jelas) mengenai Tempat pada
bagian kedua yang meliputi Asas Wilayah atau Teritorial, Asas Nasional Pasif, Asas Universal
dan Asas Nasional Pasif. Terdapat pada pasal 4-8 RKUHP. Asas wilayah RKUHP
menambahkan tindak pidana di bidang teknologi informasi atau tindak pidana lainnya yang
akibatnya dirasakan atau terjadi di wilayah Indonesia atau dalam kapal atau pesawat udara
Indonesia. Dalam konsep Di dalam RKUHP dijelaskan mengenai Waktu Tindak Pidana dan
Tempat Tindak Pidana sedangkan hal ini tidak dijelaskan di dalam KUHP. Asas nasional pasif
pada RKUHP menambahkan tindak pidana korupsi, pencucian uang, perekonomian,
perdagangan, kartu kredit, keamanan peralatan komunikasi elektronik.

BAB II: Tentang tindak pidana dan Pertanggungjawaban Pidana

1. Tindak Pidana
Pada pasal 11 RKUHP dijelaskan secara rinci mengenai apa itu tindak pidana atau
pengertiannya dan kriteria mengenai suaatu perbuatan itu dapat dikatakan sebagai tindak pidana
yaitu perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-
undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, bersifat
melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, tidak ada
alasan pembenar. Serta di dalam pasal 12 RKUHP juga dijelaskan bahwa hakim dalam mengadili
suatu perkara harus mempertimbangkan dan mengutamakan keadilan baik ketika adanya
pertentangan yang tidak dapat dipertemukan dan hal ini tidak terdapat dalam KUHP, dan hanya
merupakan doktrin yang diakui dalam pelaksanaanya.
Mengenai Permufakatan Jahat di dalam KUHP sendiri sebenarnya sudah tercantum pada
pasal 88 yang berbunyi “dikatakan ada permufakatan jahat apabila ada dua orang atau lebih telah
sepakat akan melakukan suatu kejahatan” namun itu hanya sebatas pengertian. Sedangkan di
dalam pasal 13 RKUHP mengatur tentang permufakatan jahat melakukan tindak pidana
dipidana, jika ditentukan secara tegas dalam Undang-Undang. Pidananyaadalah 1/3 (satu per
tiga) dari ancaman pidana pokok untuk tindak pidana yang bersangkutan, apabila diancam
dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, dipidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
Sedangkan Pidana tambahan untuk permufakatan jahat melakukan tindak pidana sama dengan
tindak pidana yang bersangkutan. dalam pasal 14 RKUHP diatur pengecualian yaitu apabila
pelaku menarik diri dari kesepakatan itu; atau mengambil langkah-langkah yang patut untuk
mencegah terjadinya tindak pidana.
Di dalam pasal 15 RKUHP mengatur mengenai Persiapan pada Buku I, akan tetapi
sebenarnya memepersiapkan suatu tindak pidana telah diatur dalam KUHP pada Buku II pasal
110 ayat (2) sampai (4). Ini merupakan hal baru pada buku I RKUHP. Persiapan melakukan
tindak pidana terjadi jika pembuat berusaha untuk mendapatkan atau menyiapkan sarana,
mengumpulkan informasi atau menyusun perencanaan tindakan atau melakukan tindakan-
tindakan serupa yang dimaksudkan menciptakan kondisi untuk dilakukannya suatu perbuatan
yang secara langsung ditujukan bagi penyelesaian tindak pidana, termasuk jika pembuat dengan
sengaja mendapatkan, membuat, menghasilkan, mengimpor, mengangkut, mengekspor, atau
mempunyai dalam persediaan atau penyimpanan barang, uang atau alat pembayaran lainnya, alat
penghantar informasi, tempat persembunyian atau transportasi yang dimaksudkan untuk
melakukan tindak pidana. Pidana untuk persiapan melakukan tindak pidana adalah 1/3 (satu
pertiga) dari ancaman pidana pokok yang diancamkan untuk tindak pidana yang bersangkutan
apabila diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, dipidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun. Pidana tambahan sama dengan tindak pidana yang bersangkutan. Pengecualian
terhadap delik Persiapan terdapat pada pasal 16 RKUHP yang mengatakan bahwa Persiapan
melakukan tindak pidana tidak dipidana, jika yang bersangkutan menghentikan, meninggalkan,
atau mencegah kemungkinan digunakan sarana tersebut.
Percobaan/pogging di dalam KUHP sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal 53-54
mengenai syarat percobaan ( pasal 53 ) dan percobaan terhadap pelanggaran tidak dipidana
( pasal 54 ) namun di dalam RKUHP terdapat hal-hal baru yang mengatur mengenai Percobaan
yang terdapat dalam pasal 18-20 RKUHP. Dalam Pasal 18 tidak dipidana jika setelah melakukan
permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) yaitu:
a) pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela;
b) pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat
perbuatannya. Kecuali dalam hal perbuatan telah menimbulkan kerugian atau menurut
peraturan perundang-undangan telah merupakan tindak pidana tersendiri, maka pembuat
dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tersebut.
Pasal 20 RKUHP mengatur dalam hal tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak
pidana disebabkan ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek yang
dituju, maka pembuat tetap dianggap telah melakukan percobaan tindak pidana dengan ancaman
pidana tidak lebih dari 1/2 (satu perdua) maksimum pidana yang diancamkan untuk tindak
pidana yang  dituju. Pidana pembantuan tidak dipidana apabila ancaman pidana hanya berupa
pidana denda kategori I ( Rp 6.000.000,00 ), seperti yang tercantum di dalam pasal 22 ayat (3)
RKUHP.
Pengecualian terhadap delik penyertaan diatur di dalam pasal 23 RKUHP yang berbunnyi
sebagai berikut : Keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan, mengurangi, atau membe-
ratkan pidana hanya diberlakukan terhadap pembuat atau pembantu tindak pidana yang
bersangkutan.
Pengulangan diatur didalam Buku I RKUHP pasal 24 yang berbunyi : Pengulangan tindak
pidana terjadi, apabila orang yang sama melakukan tindak pidana lagi dalam waktu 5 (lima)
tahun sejak:
a. menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan;
b. pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau
c. kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan belum daluwarsa.
Di dalam KUHP sudah diatur mengenai pengulangan tindak pidana atau recidive namun diatur
dalam buku II ( tentang kejahatan ) yaitu pada pasal 137(2), 144(2), 155(2), 161(2), 163(2),
208(2), 216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis (2).
Di dalam KUHP memang mengatur tentang mengajukan dan menarik kembali suatu
pengaduan yang terdapat pada pasal 72-75, akan tetapi RKUHP menjelaskan lebih terbuka
mengenai delik aduan yang terdapat pada pasal 25. Serta pasal 30 ayat (2) RKUHP yang
mengatakan bahwa pengaduan yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi.
Di dalam KUHP pada buku I pasal 44-52a tentang Alasan penghapus pidana,
pengurangan dan pemberatan dijadikan dalam satu bab yang juga meliputi alasan pembenar dan
pemaaf. Akan tetapi dalam RKUHP alasan pembenar dan alasan pemaaf ditempatkan pada sub
bab yang berbeda, dimana alasan pembenar terdapat pada sub bab tindak pidana, sedangkan
alasan pemaaf ada pada sub bab pertanggungjawaban pidana. Hal ini menegaskan bahwa alasan
pembenar dan alasan pemaaf dijelaskan secara terpisah.
Bab tentang kesalahan sama sekali tidak terdapat/tercantum serta dijelaskan di dalam
KUHP, namun di dalam RKUHP pasal 37 ayat (1) dan (2) mengatur tentang asas kesalahan itu
sendiri dan unsur dari kesalahan (kessalahan dalam arti normatif/luas). Pasal 37 ayat (1) : tidak
seorangpun yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa kesalahan yaitu menekankan bahwa
pada prinsipnya bahwa tiada pidana tanpa adanya kesalahan. Oleh karena itu apabila bentuk-
bentuk kesalahan seperti dolus/culpa ( kesengajaan/kealpaan) tidak ada, maka seseorang tidak
dapat untuk dipertanggungjawabkan. Pasal 37 (2) : kesalahan terdiri dari kemampuan
bertanggung jawab, kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf. Dalam KUHP tidak
mengatur serta menjelaskan/mendefinisikan mengenai Strict Liability dan Vicarious Liabilty.
Strict Liability adalah dapat dipidananya seseorang tanpa harus dibuktikan unsur kesalahannya
( actus non facit reum men sit rea/mens rea), Vicarious Labilty yaitu suatu pertanggungjawaban
pengganti, dimana seseorang ada hubungan khusus, yang akan mempertanggungjawabkan tindak
pidana yang dilakukan oleh orang lain. Dan dalam RKUHP kedua hal ini diatur di dalam pasal
38 ayat (1) dan (2).
RKUHP pasal 39 ayat 1-3 mengatur tentang kesengajaan dan kealpaan sedangkan di
dalam KUHP tidak dijelaskan secara rinci mengenai kesengajaan dan kealpaan.
Di dalam KUHP tidak dijelaskan mengenai adanya suatu alasan pemaaf namun di
RKUHP mengatur tentang ketentuan tersebut yang tertuang dalam pasal 42 ayat (1) dan (2)
RKUHP, yang mengatur bahwa tidak dipidana, jika seseorang tidak mengetahui atau sesat
mengenai keadaan yang merupakan unsur tindak pidana atau berkeyakinan bahwa perbuatannya
tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali ketidaktahuan, kesesatan, atau keyakinannya itu
patut dipersalahkan kepadanya. Namun apabila patut dipersalahkan atau dipidana maka
maksimum pidananya dikurangi dan tidak melebihi 1/2 (satu perdua) dari maksimum pidana
untuk  tindak pidana yang dilakukan.
RKUHP juga menjelaskan apa saja yang termasuk dari Alasan Pemaaf yang terdapat
dalam pasal 46 RKUHP, sebgai berikut :
a. tidak ada kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1);
b. pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau
retardasi mental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40; atau
c. belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat
(1).
KUHP tidak mengatur mengatur Korporasi sebagai Subjek Tindak Pidana namun
RKUHP mengatur tentang itu yang mana tertuang di dalam pasal 47-53 RKUHP. Pasal 47
mengatur bahwa Korporasi merupakan subjek hukum pidana, Pasal 48 dan 49 mengatur siapa
yang dapat dipertanggungjawabkan atau dipersalahakan atas tindak pidana korporasi, Pasal 50
mengatur ruang lingkup perbuatan yang dapat dipidana yang dilakukan oleh korporasi, Pasal 51
mengatur tentang pembatasan pertanggungjawaban pidana oleh pengurus korporasi. Pasal 52
mengatur tentang pengesampingan hukum pidana (ultimum remidium) apabila telah ada bagian
hukum lain yang mampu memberikan perlindungan yang lebih berguna. Dan pertimbangan
tersebut harus dinyatakan oleh putusan hakim. Pasal 53 mengatur mengenai tata cara
mengajukan alasan pemaaf dan pembenar yang dapat diajukan oleh korporasi.

BAB III mengenai Pemidanaan,Pidana, dan Tindakan

KUHP tidak menjelaskan mengenai adanya suatu Tujuan Pemidanaan, akan tetapi
didalam RKUHP tujuan pemidanaan diuraikan secara jelas pada pasal 54 ayat (1) dan (2) yang
mana ini merupakan implementasi dari Ide Keseimbangan. Pemidanaan bertujuan:
a. mencegah dilakukannya  tindak  pidana  dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang
yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang  ditimbulkan  oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
e. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
RKUHP menyebutkan serta menjelaskan mengenai Pedoman Pemidanaan yang tidak
terdapat di dalam KUHP. Pedoman Pemidanaan sejatinya akan sangat membantu hakim dalam
mempertimbangkan takaran atau berat ringannya suatu hukumman atau pidana yang akan
dijatuhkan. Hal ini terdapat dalam pasal 51 ayat (1) mengenai pertimbangan dalam pemidanaan,
dan pasal 52 ayat (2) mengatur mengenai asas Rechterlijk Pardon (permaafan hakim) dengan
mempertimbangkan keadilan dan kemanusiaan terhadap terdakwa. Dalam pemidanaan wajib
dipertimbangkan sebagai berikut :
a. kesalahan pembuat tindak pidana;
b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. sikap batin pembuat tindak pidana;
d. tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan;
e. cara melakukan tindak pidana;
f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana;
h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya;  dan/atau
k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
l. Ringannya  perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan
perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak
menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan
dan kemanusiaan.
Pada pasal 56 RKUHP mengatur tentang Culpa in Causa, yaitu dimana seseorang patut
untuk dicela apabila dia dengan sengaja memasukkan diri ke dalam alasan penghapus pidana.
Mengenai Culpa in Causa, hal ini tidak  56, sebagai berikut : seseorang yang melakukan tindak
pidana tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan alasan peniadaan pidana,
jika orang tersebut telah dengan sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat menjadi
alasan peniadaan pidana. KUHP tidak mengatur secara terbuka mengenai perubahan dan
penyesuaian pidana , namun RKUHP mengatur akan hal itu yang terdapat pada pasal 57 ayat (1)-
(6) tentang perubahan dan penyesuaian pidana. Dengan memperhatikan sakah satu tujuan
pemidanaan yang berorientasi kepada usaha untuk memperbaiki perilaku terpidana, yang mana
dimungkinkan untuk adanya suatu remisi.
Di dalam KUHP tidak mengatur tentang Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan
Perumusan Tunggal dan Alternatif, sedangkan RKUHP mengatur tentang hal itu yang terdapat
dalam pasal 58 ayat (1) – (4). Pasal ini dicantumkan bertujuan untuk memberikan kemungkinan
yang diberikan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana denda sebagai pengganti pidana penjara
terhadap terdakwa, yang mana untuk mengatasi sifat kaku dari perumusan pidana yang bersifat
tunggal yang  seolah-olah mengharuskan hakim untuk hanya menjatuhkan pidana penjara. Masih
terkait dengan Penjelasan pasal 59-60 RKUHP juga mengatur tentang Pedoman Penerapan
Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal dan Alternatif.
Lain-lain ketentuan pemidaan tidak terdapat pada KUHP, akan tetapi diatur didalam pasal
61 dan 62 RKUHP yang mengatur tentang pelaksanaan putusan ( penintensier ).
RKUHP pada pasal 63 ayat (1) – (3) mengatur tentang ketentuan waktu permohonan
pengajuan grasi, yang tidak dijelaskan di dalam KUHP.
Jenis-jenis pidana sebenarnya sudah dijelaskan di dalam KUHP pada BUKU I pasal 10
huruf a yang terdiri dari pidana mati, penjara, kurungan, denda. Hal ini berbeda dengan jenis-
jenis pidana yang terdapat dalam pasal 65 ayat (1) RKUHP yang mengatur lain tentang pidana
pokok, yaitu : pidana penjara; pidana tutupan; pidana pengawasan; pidana denda; dan pidana
kerja sosial.
Dan pada pasal 65 ayat (2)  mengatur tentang hierarkhi pemidanaan menentukan berat
ringannya pidana.
Pidana mati dicantumkan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana
ini benar-benar bersifat khusus yang merupakan jenis pidana yang paling berat. Seperti yang
tercantum di dalam pasal 66 RKUHP. Ketentuan ini tidak terdapat dalam KUHP, KUHP hanya
memberikan penjalanan / pelaksanaan tentang pidana mati dan tidak menempatkannya pada
pasal yang tersendiri.
Mengenai pidana tambahan sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal 10 huruf b,
yang terdiri dari perampasan barang-barang tertentu, perampasan hak-hak tertentu dan
pengumuman putusan hakim. Akan tetapi ada tambahan atau hal baru yang mana telah diatur di
dalam pasal 67 ayat (1) RKUHP, yaitu : pembayaran ganti kerugian; danpemenuhan kewajiban
adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pasal 67 ayat (2) – (5) RKUHP mengatur tentang sifat dan ketentuan pidana tambahan,
yaitu ; dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri
atau dapat dijatuhkan bersama-sama  dengan pidana tambahan yang lain.Pidana  tambahan 
berupa  pemenuhan  kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam
masyarakat atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak
tercantum dalam perumusan tindak pidana. Pidana tambahan untuk  percobaan dan pembantuan
adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya. Anggota Tentara Nasional
Indonesia yang melakukan tindak pidana dapat dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan bagi Tentara Nasional Indonesia.
KUHP tidak menjelaskan akan Pidana Tutupan akan tetapi RKUHP menjelaskannya
lebih dalam yang tertuang di dalam pasal 76 ayat (1) – (3) yaitu: mengingat keadaan pribadi dan
perbuatannya dapat dijatuhi pidana tutupan; terdakwa yang melakukan tindak pidana karena
terdorong oleh maksud yang patut dihormati.
Begitupun dengan pidana pengawasan yang tidak dijelaskan pada KUHP akan tetapi
dijelaskan dalam RKUHP pada pasal 77-79, yaitu: tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun;mengingat keadaan
pribadi dan perbuatannya. Dengan syarat-syarat: terpidana tidak akan melakukan tindak pidana;
terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus
mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan; dan/
atau; terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa
mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.
Pengaturan mengenai pidana denda sebenarnya sudah diatur dalam di dalam KUHP pasal
30 akan tetapi adanya hal baru pada pasal 80 ayat 1-7 yang mana ada pembaharuan nominal
denda dan adanya nominal minimum dan minimum khusus. Pidana denda  merupakan pidana
berupa sejumlah uang yang  wajib  dibayar  oleh  terpidana berdasarkan putusan pengadilan. Jika
tidak ditentukan minimum khusus maka pidana denda paling sedikit  Rp100.000,00 (seratus ribu
rupiah). Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan  kategori, yaitu: a. kategori I  
Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah); b. kategori II  Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah); c.
kategori III Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah); d. kategori IV Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah); e. kategori V Rp 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah);
dan f. kategori VI Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Masih terkait dengan pidana denda ( tidak terdapat pada KUHP ) pasal 81 RKUHP
mengatur tentang kemampuan terdakwa dalam pidana denda, kemampuan terdakwa yang juga
termasuk dengan keadaan pribadinya, serta menyatakan bahwa ayat (1) dan (2) tidak mengurangi
minimum khusus pada tindak pidana tertentu. KUHP tidak mengatur tentang pidana pengganti
denda untuk korporasi, namun hal ini dijelaskan secara terbuka pada pasal 85 RKUHP, pidana
pengganti berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi.
Mengenai Pidana kerja sosial tidak terdapat pada KUHP, sedangkan hal ini terdapat di
dalam RKUHP pasal 86 ayat (1) – (7) , hal ini terkait dengan perumusan alternatif dimana pidana
penjara menjadi obat yang paling terakhir dan sebisa mungkin dihindari, sebagai contoh diganti
dengan kerja sosial seperti yang dijelaskan oleh pasal 86 ayat (1) – (7)  RKUHP.
Pidana mati yang penyusunannya secara alternatif hanya dijelaskan di dalam pasal 87
RKUHP, sedangkan pada KUHP tidak dijelaskan, Pidana mati secara alternatif dijatuhkan
sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pelaksanaan pidana mati sebenarnya
sudah diatur dan dijelaskan dalam KUHP pada pasal 11, akan tetapi hanya sebatas tata cara
terpidana dihukum mati, sedangkan pada hal yang sama yang diatur dalam pasal 88 RKUHP ada
hal-hal yanag baru yang dijelaskan terkait pelaksanaan pidana mati dengan menembak terpidana
sampai mati oleh regu tembak, tidak dilaksanakan di muka umum, terhadap wanita hamil atau
orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa
tersebut sembuh. Pidana mati  baru  dapat  dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana
ditolak Presiden.
Pada pasal berikutnya, yaitu pasal 89 RKUHP mengatur mengenai penundaan pidana
mati dan dalam KUHP hal ini tidak diatur, yaitu dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10
(sepuluh) tahun, jika reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; terpidana
menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; kedudukan terpidana dalam
penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan ada alasan yang meringankan. Jika terpidana
selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji maka pidana mati dapat
diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun
dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan
hak asasi manusia. Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang  terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki
maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Pada pasal 91 RKUHP mengatur mengenai Pidana Tambahan yang terdiri dari 2 ayat.
Dimana ayat 1 mengatur tentang Pencabutan Hak tertentu. Terkait dengan pasal 91 ayat 1
tersebut sebenarnya di KUHP sudah dijelaskan pada pasal 35 ayat 1 KUHP. Sedangkan untuk
Pasal 91 ayat 2 RKUHP, ini merupakan hal baru yang tidak diatur di dalam KUHP yang
mengatur mengenai pencabutan hak atas Korporasi.
Terkait dengan hal Perampasan, sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal 39-42 ,
akan tetapi tidak dijelaskan mengenai ketentuan penjatuhan pidana perampasan seperti yang
diatur di dalam pasal 95 RKUHP yaitu dapat dijatuhkan tanpa pidana pokok jika ancaman pidana
penjara terhadap tindak pidana yang bersangkutan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun, pidana
perampasan barang tertentu dan/atau tagihan dapat juga dijatuhkan, jika terpidana hanya
dikenakan tindakan. Pidana perampasan barang yang bukan milik terpidana tidak dapat
dijatuhkan, jika hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu.
Memang di dalam KUHP mengatur tentang perampasan dan pengumuman putusan
hakim, akan tetapi tidak mengatur tentang Pencantuman pidana tambahan berupa pembayaran
ganti kerugian kepada korban, seperti yang disebutkan dan dijelaskan pada pasal 99 ayat (1) dan
(2) RKUHP.
Pada pasal 100 RKUHP yang mengatur pemenuhan pidana pengganti kepada masyarakat
atau adat setempat. Yang mana hal ini tidak diatur di dalam KUHP.
KUHP tidak mengatur tentang Tindakan/Treatment karena tidak menganut sistem Double
Track System, berbeda dengan RKUHP yang menganut sistem ini. Double Track System yaitu di
samping pembuat tindak pidana tindak pidana dapat dijatuhi pidana,  dapat juga dikenakan
berbagai tindakan. Yang tertuang pada pasal 101-112 RKUHP, yang menjelaskan secara terbuka
mengenai tindakan dari jenis-jenis tindakan, ketentuan tindakan sampai dengan tata cara
pelaksanaannya.
Pada pasal berikutnya yaitu pada pasal 114 ayat 1 dan 2 RKUHP mengatur bahwa 
sedapat mungkin anak sebagai pembuat tindak pidana dihindarkan dari pemeriksaan di sidang
pengadilan.
Pasal 115 RKUHP, yang mengatakan bahwa pemberatan pidana pada pengulangan tindak
pidana yang dilakukan anak tidak perlu diterapkan.
Pasal 116  mengatakan bahwa Ketentuan dalam Pasal ini memuat jenis-jenis pidana bagi
anak yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Pidana pokok bagi anak terdiri atas:
a. Pidana verbal (diatur lebih lanjut pada pasal 117) : pidana peringatan; atau pidana teguran
keras;
b. Pidana dengan syarat (diatur lebih lanjut dalam pasal 118) : pidana pembinaan di luar
lembaga (diatur lebih lanjut dalam pasal 119); pidana kerja sosial (diatur lebih lanjut
dalam pasal 120); atau pidana pengawasan (diatur lebih lanjut dalam pasal 121) ;
c. Pidana denda (diatur lebih lanjut dalam pasal 122- pasal 123); atau
d. Pidana pembatasan kebebasan (diatur lebih lanjut dalam pasal 124): pidana pembinaan di
dalam lembaga (diatur lebih lanjut dalam pasal 125) ; pidana penjara (diatur lebih lanjut
dalam pasal 126) dengan maksimal 10 tahun dan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana
penjara seumur hidup atau pidana mati; atau pidana tutupan (diatur lebih lanjut dalam
pasal 127).
Pidana tambahan terdiri atas:
a. perampasan barang-barang tertentu dan/atau tagihan;
b. pembayaran ganti kerugian; atau
c. pemenuhan kewajiban adat.
Pada KUHP sebenarnya telah mengatur mengenai hal yang memperingan dan
memberatkan pengenaan pidana, yaitu tak mampu bertanggungjawab, belum umur 16 tahun,
daya paksa, pembelaan terpaksa, ketentuan undang-undang, perintah jabatan, pemberatan karena
jabatan/bendera kebangsaan dan tentang percobaan. Akan tetapi ada hal-hal baru yang ada pada
bab faktor yang memperingan dan memperberat pidana, seperti yang diatur pada pasal 132-136
RKUHP. Pasal 132-133 RKUHP mengatur tentang hal yang memperingan pidana dan hal-hal
yang meringankan pidana dengan ditetapkannya maksimum pidana yang dapat
dijatuhkan. Faktor yang memperingan pidana meliputi: 
a. percobaan  melakukan tindak pidana; 
b. pembantuan terjadinya tindak pidana;
c. penyerahan diri secara sukarela kepada yang berwajib setelah melakukan  tindak pidana; 
d. tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil; 
e. pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara sukarela sebagai
akibat tindak pidana yang dilakukan;
f. tindak pidana yang dilakukan  karena  kegoncangan jiwa yang  sangat hebat;
g. tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39; atau 
h. faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk tindak
pidana yang diancam pidana mati dan penjara seumur hidup, maksimum pidananya
penjara 15 (lima belas) tahun.
Berdasarkan pertimbangan tertentu, peringanan pidana dapat berupa perubahan jenis pidana dari
yang lebih berat ke jenis pidana yang lebih ringan.
Pasal 136 RKUHP yang terdiri dari 2 ayat, dimana ayat yang 1 mengatur tentang faktor
yang memperingan dan memperberat pidana secara bersama-sama dan ayat yang ke 2 mengatur
tentang pertimbangan hakim akan ketentuan pada ayat (1). Sebagai berikut :
1) Jika dalam suatu perkara terdapat faktor yang memperingan dan memperberat
pidana secara bersama-sama maka maksimum ancaman pidana diperberat lebih
dahulu, kemudian hasil pemberatan tersebut dikurangi 1/3 (satu per tiga).
2) Berdasarkan pertimbangan tertentu, hakim dapat tidak menerapkan ketentuan mengenai
peringanan dan pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Perihal perbarengan sebenarnya sudah diatur di KUHP yaitu pasal 63-71. Akan tetapi ada
hal baru yang terdapat pada pasal 142 ayat (2) RKUHP, yang mengatur tentang, yaitu lamanya
pidana penjara pengganti atau pidana pengawasan pengganti tidak boleh lebih dari 1 (satu) tahun.

BAB IV:  Tentang Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana


Mengenai gugurnya kewenangan penuntutan pidana sebenarnya sudah diatur di dalam
KUHP pasal 76 ( mengatur tentang nebis in idem ), pasal 77 (matinya terdakwa), pasal 78
( Daluwarsa ). Akan tetapi pada RKUHP terdapat hal baru mengenai gugurnya kewenangan
penuntutan pidana yaitu pada pasal 145:
a. telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap; ( sudah ada )
b. terdakwa meninggal dunia; ( sudah ada )
c. daluwarsa; ( sudah ada )
d. penyelesaian di luar proses;
e. maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan
hanya diancam dengan pidana denda  paling banyak  kategori II;
f. maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak
kategori III;
g. Presiden memberi amnesti atau abolisi;
h. penuntutan dihentikan karena penuntutan diserahkan kepada negara lain berdasarkan
perjanjian;
i. tindak pidana aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali; atau
j. pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung.

Kewenangan penuntutan gugur karena daluwarsa sudah diatur pada KUHP pasal 78 tapi
ada hal baru yang tecantum pada pasal 149 ayat (1) huruf b yaitu Kewenangan penuntutan gugur
karena daluwarsa yaitu sesudah  lampau  waktu  2 (dua) tahun untuk tindak pidana  yang  hanya 
diancam  dengan  pidana  denda atau semua tindak pidana  yang diancam dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun.
Kewenangan gugurnya pelaksanaan pidana diatur dalam pasal 153 RKUHP, sedangkan
di dalam KUHP hanya mengatur mengenai daluwarsa penjalanan pidana pada pasal 84 dan
85. Kewenangan pelaksanaan pidana gugur, jika: a. terpidana meninggal dunia;b. daluwarsa
eksekusi; c. terpidana mendapat grasi dan amnesti; d. rehabilitasi; atau e.penyerahan untuk
pelaksanaan pidana ke negara lain.
Pasal 154 mengatur tentang perampasan barang apabila terpidana meninggal. Hal ini
tidak diatur dalam KUHP.
KUHP sebenarnya telah mengatur mengenai daluwarsa penjalanan pidana yang
dijelaskan pada pasal 84 ayat (1)-(4). Akan tetapi terdapat hal baru yang terpapar pada pasal 155
RKUHP ayat (1) dan (4). Yaitu : Kewenangan pelaksanaan pidana penjara gugur karena
daluwarsa,  setelah berlaku tenggang waktu yang sama dengan tenggang waktu daluwarsa
kewenangan menuntut ditambah 1/3 (satu per tiga) dari tenggang waktu daluwarsa tersebut. Jika 
pidana  mati diubah  menjadi pidana  penjara seumur hidup atau pidana penjara sebagaimana
dimaksud dalam  Pasal 89 ayat (2) maka  kewenangan  pelaksanaan  pidana gugur karena
daluwarsa setelah lewat waktu yang sama dengan tenggang waktu daluwarsa kewenangan
menuntut sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 149 ayat (1) huruf e ditambah 1/3 (satu per tiga)
dari tenggang waktu daluwarsa tersebut.
Bab V : Mengatur tentang Pengertian Istilah

Dalam RKUHP lebih banyak istilah baru yang dimasukkan dibanding dengan KUHP
yang relatif sedikit pengertian istilah yang digunakan.
Pasal 158 RKUHP mengatur tentang pengertian anak kunci, sebenarnya sudah diatur
pada pasal 100 KUHP tapi hal itu mengenai penjelasannya. yaitu: “Anak kunci adalah alat yang
digunakan untuk membuka kunci, termasuk kode rahasia, kunci masuk komputer, kartu
magnetik, sinyal, atau frekuensi yang telah diprogram yang dapat digunakan untuk membuka
sesuatu oleh orang yang diberi hak untuk itu.”
Pasal 160 RKUHP mengatur tentang ancaman kekerasan, yaitu: “Ancaman kekerasan
adalah suatu hal atau keadaan yang menimbulkan  rasa takut, cemas, atau khawatir pada orang
yang diancam.”
Pasal 162 RKUHP mengatur istilah awak pesawat udara, yaitu : “Awak pesawat udara
adalah orang tertentu yang berada dalam pesawat udara sebagai perwira atau bawahan.”
Pasal 165 mengatur definisi barang : “Barang adalah benda berwujud termasuk air dan
uang giral, dan benda tidak berwujud, termasuk aliran listrik, gas, data dan program komputer,
jasa termasuk jasa telepon, jasa telekomunikasi, atau jasa komputer. “
Pasal 166 RKUHP yang mengatur tentang benda cagar budaya : Benda cagar budaya
adalah:
a.       benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang berupa kesatuan atau kelompok,
atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh)
tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50
(lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan;
b.      benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan.
Pasal 170 RKUHP mengatur tentang data komputer “Data komputer  adalah suatu
representasi fakta-fakta, informasi atau konsep-konsep dalam suatu bentuk yang sesuai untuk
prosesing di dalam suatu sistem komputer, termasuk suatu program yang sesuai untuk
memungkinkan suatu sistem komputer untuk melakukan suatu.”
Pasal 172 RKUHP mengatur tentang harta kekayaan : “Harta kekayaan adalah semua
benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.”
“Pasal 173 RKUHP mengatur tentang informasi elektronik : “Informasi elektronik adalah
satu atau sekumpulan data elektronik diantaranya meliputi teks, simbol, gambar, tanda-tanda,
isyarat, tulisan, suara, bunyi, dan bentuk-bentuk lainnya yang telah diolah sehingga mempunyai
arti.”
Pasal 174 mengatur tentang jaringan telepon, yaitu Jaringan telepon adalah termasuk
jaringan komputer atau sistem komunikasi komputer.
Pasal 175 RKUHP mengatur tentang definisi kapal yaitu kendaraan air dengan bentuk
dan jenis apapun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau ditunda, termasuk
kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung
dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.
Pasal 177 RKUHP, menjelaskan tentang kapten pilot : Kapten pilot adalah orang yang
memegang kekuasaan tertinggi dalam pesawat udara atau orang yang menggantikannya.
Pasal 178 RKUHP mengatur tentang kekerasan : Kekerasan adalah setiap perbuatan
penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum
dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, kemerdekaan, penderitaan fisik, seksual,
psikologis, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.
Pasal 180 RKUHP mengatur tentang kode akses : Kode akses adalah angka, huruf,
simbol lainnya atau kombinasi diantaranya yang merupakan kunci untuk dapat mengakses
komputer, jaringan komputer, internet, atau media elektronik lainnya.
Pasal 181 RKUHP mengatur tentang definisi komputer : Komputer adalah alat pemroses
data elektronik, magnetik, optikal, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan
penyimpanan.
Pasal 182 RKUHP mengatur mengenai korporasi : Korporasi adalah kumpulan
terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum.
Pasal 186 RKUHP mengatur tentang masuk atau log in yang
artinya masuk yaitutermasuk mengakses komputer atau masuk ke dalam sistem komputer.
Pasal 190 mengatur tentang defininisi pejabat, yang sebenarnya sudah dijelaskan oleh
KUHP pada padal 92 KUHP, akan tetapi RKUHP mengatur lebih rinci. “Pejabat adalah setiap
warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh
pejabat yang berwenang dan diserahi tugas negara, atau diserahi tugas lain oleh negara, dan
digaji berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
meliputi: pegawai negeri; pejabat negara; penyelenggara negara; pejabat publik;pejabat
daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;orang yang
menerima gaji atau upah dari korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau
daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal
atau fasilitas dari negara atau masyatakat; pejabat publik asing; ataupejabat lain yang ditentukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 192 RKUHP mengatur tentang pencemaran lingkungan hidup: Pencemaran
lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai
dengan peruntukannya.
Pasal 196 RKUHP mengatur tentang penyedia jasa keuangan yaitu: Penyedia jasa
keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang
terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan,
perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyinpanan dan
penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos.
Pasal 198 RKUHP mengatur tentang perbuatan. Perbuatan adalah termasuk juga
perbuatan yang dilakukan atau perbuatan yang tidak dilakukan yang merupakan tindak pidana
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau hukum yang berlaku.
Pasal 199 mengatur tentang permainan judi adalah : Permainan judi adalah: a.setiap
permainan yang kemungkinan untuk mendapat untung tergantung pada untung-untungan belaka;
b.setiap permainan yang kemungkinan untuk mendapatkan untung tersebut bertambah besar,
karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir; c.semua pertaruhan tentang hasil perlombaan
atau permainan lainnya yang dilakukan oleh setiap orang yang bukan turut berlomba atau turut
bermain; atau d. pertaruhan lainnya.
Pasal 200 RKUHP mengatur tentang perusakan lingkungan hidup. Perusakan lingkungan
hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat
fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam
menunjang pembangunan berkelanjutan.
Pasal 203 RKUHP mengatur tentang pornografi. Pornografi adalah substansi dalam
media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang
mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika.
Pasal 204 mengatur tentang ruang: Ruang adalah termasuk bentangan atau terminal
komputer yang dapat diakses dengan cara-cara tertentu.
Pasal 205 RKUHP mengatur tentang definisi setiap orang : Setiap orang adalah orang
perseorangan, termasuk korporasi.
Pasal 206 RKUHP mengatur tentang sistem komputer yaitu Sistem komputer adalah
suatu alat, perlengkapan, atau suatu perangkat perlengkapan yang saling berhubungan atau
terkait satu sama lain, satu atau lebih yang mengikuti suatu program, melakukan prosesing data
secara otomatik.
Pasal 207 RKUHP mengatur tentang surat yaitu Surat adalah surat yang tertulis di atas
kertas, termasuk juga surat atau data yang tertulis atau tersimpan dalam disket, pita magnetik,
atau media penyimpan komputer atau media penyimpan data elektronik lain.
Pasal 209 RKUHP mengatur tentang pengertian tindak pidana: Tindak pidana adalah
termasuk juga permufakatan jahat, persiapan, percobaan, dan pembantuan melakukan tindak
pidana, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.

III . KESIMPULAN
Dari berbagai perbedaan antara KUHP dan RUU KUHP tentu kita semua berharap dalam
perumusan untuk KUHP yang akan datang harus lebih baik dari sebelum nya, artinya bahwa
dalam penerapan hukum tersebut harus menjunjung tinggi keadilan yang di dambakan
masyarakat.
Tentu bukan hal yang mudah untuk merumuskan serta merealisasikan RUU KUHAP ini, banyak
faktor-faktor yang menghambat dalam merealisasikannya, tetapi itu bukan berati menjadi
penghalang untuk dibahas sesegera mungkin, karena  sebagaimana yang kita ketahui bersama
KUHP , dan KUHAP kita tidak memadai lagi, untuk itu kita sangat membutuhkan RUU KUHP
yang baru ini agar bisa menjadi acuan dalam menegakan hukum di masa yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai