Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
RESUME BAHAN AJAR PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

Hukum pidana merupakan bagian yg tak terpisahkan dari Ilmu Hukum Pidana dan
merupakan ranting dari cabang-cabang Ilmu Hukum yang bekerja dalam rumpun ilmu
sosial. Oleh karenanya, pembicaraan hukum pidana terus berkembang mengikuti
perkembangan sosial yang dikonstruksikan secara sistematis dan ilmiah dalam upaya
penyelarasan nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dalam masyarakat.

KUHP yang berlaku perlu dilakukan pembaruan disebabkan oleh beberapa hal, antara
lain:
 Merupakan aturan hukum pidana peninggalan Belanda (WvS NI) sudah berlaku sejak
tahun 1918 (+/- hampir 104 tahun & telah direvisi secara parsial).
 KUHP sebagai produk hukum abad 17 perlu disesuaikan dengan perkembangan
zaman & kebutuhan hukum modern karena mempertahankan kakunya penerapan
Asas Legalitas (Pasal 1 ayat 1 KUHP) yang memiliki kecenderungan menghukum
(punitive) & tidak memiliki alternatif sanksi pidana, serta belum memuat Tujuan &
Pedoman Pemidanaan.

Dalam KUHP yang baru, membawa misi pembaruan hukum, antara lain :
 Dekolonialisasi : Upaya menghilangkan nuansa kolonial dalam substansi KUHP lama,
yaitu mewujudkan Keadilan Korektif-Rehabilitatif-Restoratif, Tujuan & Pedoman
Pemidanaan (Standard of Sentencing), & memuat alternatif Sanksi Pidana.
 Demokratisasi : Pendemokrasian rumusan pasal tindak pidana dalam RKUHP sesuai
Konstitusi (Pasal 28 J UUD 1945) & Pertimbangan Hukum dari Putusan MK atas
pengujian pasal-pasal KUHP yang terkait.
 Konsolidasi : Penyusunan kembali ketentuan pidana dari KUHP lama dan sebagian
UU Pidana di luar KUHP secara menyeluruh dengan Rekodifikasi (terbuka-terbatas).
 Harmonisasi : Sebagai bentuk adaptasi & keselarasan dalam merespon
perkembangan hukum terkini, tanpa mengesampingkan hukum yang hidup (living
law)
 Modernisasi : Filosofi pembalasan klasik (Daad-strafrecht) yang berorientasi kepada
perbuatan semata-mata dengan filosofi integratif (Daad-Daderstrafrecht-Slachtoffer)
yang memperhatikan aspek perbuatan, pelaku dan korban kejahatan (pemberatan
dan peringanan pidana)

1
KUHP terdiri dari 37 Bab & 624 Pasal yang terdiri dari 2 (dua) buku, yaitu Buku
Kesatu (Aturan Umum) dan Buku Kedua (Tindak Pidana). Jumlah pasal KUHP sedikit
lebih banyak jumlahnya dari KUHP Lama (624 Pasal), karena konsekuensi dari misi
konsolidasi & harmonisasi yang ada dalam Buku I KUHP Baru sebagai operator sistem
hukum pidana modern.

KUHP juga berperan mengatasi overcrowding di Lembaga Pemasyarakatan. RKUHP


mengusung model keadilan Korektif - Rehabilitatif - Restoratif, dan mengatur tujuan &
pedoman pemidanaan yang tidak diatur dalam KUHP saat ini. Dengan diaturnya Model
Putusan Pemaafan oleh Hakim (Judicial Pardon), alternatif sanksi selain pidana penjara,
yaitu pengawasan, pidana denda, & kerja sosial, dan adanya pedoman hakim untuk tidak
menjatuhkan pidana penjara bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di
bawah 5 tahun.

Dalam KUHP baru juga diatur kebebasan dalam berpendapat. Penyusunan Tindak
Pidana dalam KUHP sudah mengacu pada Pertimbangan Putusan MK.
 Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006: Pengujian Pasal 134, 136 Bis & 137 KUHP
tentang Penghinaan Presiden: Penghinaan terhadap presiden selaku pejabat dapat
menggunakan Pasal 207 KUHP sebagai Delik Aduan.
 Putusan MK No. 6/PUU-V/2007: Pengujian Pasal 154 KUHP tentang Penghinaan
Terhadap Pemerintah: perubahan pasal 154 KUHP (setuju dengan rumusan Pasal
240 RUU KUHP yang mengubah delik formil menjadi delik materiil yang telah disusun
secara demokratis)
 Putusan MK No. 31/PUU-XIII/2015: Pengujian Pasal 319 jo. 316 KUHP tentang
Penghinaan Terhadap Pejabat sebagai Delik Biasa: menjadi jadi Delik Aduan.

KUHP juga tidak membatasi kebebasan pers & tidak ada pengaturan TP baru dalam
KUHP Baru yang secara khusus ditujukan ke Pers (Bandingkan Pasal 3, 4, dan 5 Kode Etik
Jurnalistik).

Pengaturan Tindak Pidana terkait kesusilaan dalam KUHP baru merupakan jalan
tengah yang dipilih sebagai penghormatan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat di
Indonesia. Pengaturan Tindak Pidana yang berkaitan dengan ruang privat masyarakat
misalnya Tindak Pidana Perzinaan dan Tindak Pidana Hidup Bersama Di Luar Perkawinan
diatur sebagai Delik Aduan, sehingga hanya dapat diproses secara hukum apabila ada
pengaduan dari pihak yang dirugikan langsung, yaitu suami atau istri; atau Orang Tua
atau anaknya.

2
Living Law dalam KUHP terdapat pada Pasal 2 & 597. Sebagai bentuk pengakuan &
penghormatan terhadap hukum adat (delik adat) yang masih hidup akan tetapi dibatasi
oleh Pancasila, UUD NRI 1945, HAM, dan asas-asas hukum umum. Penegasan hukum
pidana adat menjadikan ketentuan tersebut memiliki kepastian hukum. Sanksinya berupa
pemenuhan kewajiban adat (Pasal 597) yang dianggap sebanding dengan Pidana Denda
kategori II (10 juta Rupiah), dan dapat dikenakan pidana pengganti berupa ganti rugi
jika kewajiban adat setempat tidak dijalankan (Pasal 96). Sesuai pertimbangan Putusan
MK No. 35/PUU-X/2012 yang menyebutkan pengukuhan dan hapusnya masyarakat
hukum adat ditetapkan dengan Perda dan ketentuan lebih lanjut diatur dalam PP.

KUHP telah mengatur bahwa Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa
percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan mempertimbangkan rasa penyesalan
terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri, peran terdakwa dalam Tindak Pidana,
atau ada alasan yang meringankan (Pasal 100 ayat 1). Ketentuan ini sudah sesuai dengan
pertimbangan Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007, yang menyatakan bahwa
perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati dalam sistem peradilan pidana
di Indonesia hendaknya dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun
yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur
hidup atau selama 20 tahun.

Penghinaan Presiden dalam KUHP terdapat dalam Pasal 218. Pasal ini tidak
membatasi demokrasi dan kebebasan berpendapat, karena Pasal 218 ayat (2) KUHP
secara tegas telah membedakan kritik dan penghinaan, dan menegaskan bahwa kritik
dimaksudkan untuk kepentingan umum sehingga tidak bisa dipidana. Pasal ini menutup
kemungkinan “dilaporkannya” penghinaan Presiden/Wapres oleh relawan/simpatisan
Presiden/Wapres, karena hanya Presiden/Wapres yang dapat mengajukan pengaduan.

Tindak pidana menyatakan diri memiliki kekuatan ghaib untuk mecelakakan orang
memiliki kekuatan gaib yang dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan
mental atau fisik terdapat dalam Pasal 252 KUHP.

Dalam KUHP baru, terdapat penghapusan pasal tentang dokter/dokter gigi yang
menjalankan pekerjaan tanpa izin karena sudah diatur sudah diatur dalam Pasal 76 UU
No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Sosialisasi KUHP Baru, telah dilakukan penambahan frasa “yang menimbulkan


kerugian” membiarkan unggas yang merusak kebun/tanah yang telah ditaburi benih
(Pasal 277 KUHP).

3
Pasal 280 KUHP mengatur Tindak Pidana Gangguan & Penyesatan Proses Peradilan
(Contempt Of Court), pasal ini diperlukan untuk menjaga ketertiban jalannya persidangan,
untuk mencegah dilakukannya live streaming terhadap proses persidangan tanpa izin
hakim, untuk melindungi integritas dan wibawa pengadilan.

Dalam KUHP baru dihapus tindak pidana advokat curang karena berpotensi bias dan
menimbulkan diskriminasi terhadap salah satu profesi penegak hukum. Tindakan
kecurangan di peradilan dapat dilakukan oleh para penegak hukum lainnya (polisi, jaksa,
dan hakim) termasuk panitera pengadilan.

Tindak pidana penodaan terhadap agama terdapat pada Pasal 302 KUHP. Perbuatan
yang dilarang dalam pasal ini adalah menunjukkan permusuhan, kebencian, dan hasutan
untuk melakukan permusuhan, Kekerasan, atau diskriminasi terhadap agama dan
kepercayaan orang lain.

Tindak pidana penganiayaan terhadap hewan dalam KUHP terdapat pada Pasal 340
ayat (1). Ketentuan ini masih diperlukan dan telah diberikan penjelasan pasal bahwa
tujuan yang dimaksud dengan “tujuan yang tidak patut” antara lain, selain untuk
konsumsi, ilmu pengetahuan, penelitian dan medis.

Tindak pidana mempertunjukkan alat pencegah kehamilan kepada anak dalam KUHP
terdapat pada Pasal 408. Ketentuan ini ditujukan untuk melindungi anak dari perilaku
seks bebas.

Penggelandangan sebagai tindak pidana dalam KUHP terdapat pada Pasal 425.
Tujuan pengaturan Tindak Pidana ini adalah untuk menjaga ketertiban umum. Sanksi
yang dijatuhkan bukanlah pidana perampasan kemerdekaan (penjara) melainkan pidana
denda, dan dimungkinkan penjatuhan pidana alternatif (pengawasan atau kerja sosial).

Tindak pidana aborsi terdapat dalam Pasal 463 KUHP. Pengecualian adanya indikasi
kedaruratan medis atau perempuan merupakan korban perkosaan atau kekerasan seksual
yang mengakibatkan kehamilan dengan usia tidak lebih dari 12 minggu.

Tindak pidana Perzinaan terdapat dalam KUHP pada Pasal 411, Kohabitasi pada Pasal
416, dan Perkosaan dalam Perkawinan pada Pasal 477. Tujuan untuk mengejawantahkan
nilai-nilai masyarakat Indonesia & penghormatan terhadap lembaga perkawinan serta
mencegah terjadinya main hakim sendiri oleh masyarakat.

4
BAB II
ASAS LEGALITAS

Sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP, defenisi asas legalitas adalah tiada perbuatan
dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana menurut undang-undang
yang sudah ada terlebih dahulu. Kata perbuatan dapat bersifat positif dan negatif,
perbuatan positif berarti melakukan sesuatu, sedangkan perbuatan negatif mengandung
arti tidak melakukan sesuatu. Dari defenisi tersebut yang paling penting adalah perbuatan
yang dapat dipidana dan ketentuan pidana menurut undang-undang.

Berdasarkan kata perbuatan tersebut maka rumusan delik dalam hukum pidana ada
3, yaitu pertama, rumusan delik yang melarang untuk melakukan suatu perbuatan.
Contohnya adalah Pasal 362 KUHP, perbuatan yang dilarang adalah pencurian. Kedua,
rumusan delik yang mewajibkan untuk melakukan sesuatu. Contoh Pasal 224 KUHP,
artinya jika tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan maka dapat dikenakan sanksi
pidana. Ketiga, rumusan delik materiil yang disebabkan karena suatu kealpaan. Contoh
Pasal 359 KUHP, karena suatu kealpaan menyebabkan matinya orang lain.

Asas legalitas mempunyai makna tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa
undang-undang sebelumnya. Konsekuensi dari makna ini adalah ketentuan hukum pidana
tidak boleh berlaku surut.

Selanjutnya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang
tertulis. Konsekuensinya adalah semua ketentuan pidana harus tertulis. Perbuatan
dilarang maupun yang diancam terhadap perbuatan yang dilarang harus tertulis secara
eksplisit dalam undang-undang.

Berikutnya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-
undang yang jelas. Konsekuensinya adalah rumusan perbuatan pidana harus jelas
sehingga tidak multi tafsir yang dapat membahayakan bagi kepastian hukum.

Dan tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat.
Konsekuensinya adalah tidak memperbolehkan analogi, ketentuan pidana harus
ditafsirkan secara ketat sehingga tidak menimbulkan perbuatan pidana baru. Makna asas
legalitas yang demikian, dua dari yang pertama ditujukan untuk pembuat undang-undang
dan dua lainnya merupakan pedoman bagi hakim.

5
Asas legalitas dimaksudkan untuk melindungi kepentingan individu dari kesewenang-
wenangan, yang sejalan dengan tujuan hukum pidana. Asas ini menghendaki ancaman
pidana didalam perundang-undangan harus dicantumkan dengan jelas kejahatan dan
pidananya. Artinya untuk menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam suatu
undang-undang pidana, tidak hanya perbuatan tersebut dituliskan dengan jelas dalam
undang-undang pidana tetapi juga mengenai macamnya pidana yang diancamkan. Hal ini
agar orang yang akan melakukan perbuatan pidana mengetahui lebih dahulu perihal
pidana yang diancamkan.

Asas legalitas mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi melindungi dan fungsi
instrumentasi. Fungsi melindungi artinya undang-undang pidana melindungi rakyat
terhadap kekuasaan yang tanpa batas. Sementara fungsi instrumentasi artinya didalam
batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, memperbolehkan pelaksanaan
kekuasaan secara tegas oleh pemerintah.

Dalam perkembangannya, terdapat empat sifat ajaran yang terkandung asas


legalitas, yaitu pertama, asas legalitas hukum pidana yang menitikberatkan pada
perlindungan individu untuk memperoleh kepastian dan persamaan hukum. Perlindungan
individu diwujudkan dengan adanya keharusan lebih dahulu untuk menentukan perbuatan
pidana dan pemidanaan dalam undang-undang. Kedua, asas legalitas hukum pidana yang
menitikberatkan pada dasar dan tujuan pemidanaan agar dengan sanksi pidana itu
hukum pidana bermanfaat bagi masyarakat sehingga tidak ada pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh masyarakat. Ketiga, asas legalitas hukum pidana yang menitikberatkan
tidak hanya pada ketentuan tentang perbuatan pidana saja agar orang menghindari
perbuatan tersebut tetapi juga harus diatur mengenai ancaman pidananya agar penguasa
tidak sewenang-wenang dalam menjatuhkan pidana. Keempat, asas legalitas hukum
pidana yang menitikberatkan pada perlindungan hukum kepada negara dan masyarakat.
Asas legalitas disini bukan hanya kejahatan yang ditetapkan oleh undang-undang saja
akan tetapi menurut ketentuan hukum berdasarkan ukuran dapat membahayakan
masyarakat. Oleh karena itu, tidak mungkin ada perbuatan jahat yang timbul kemudian
dapat meloloskan diri dari tuntutan hukum.

Asas legalitas dalam hukum pidana biasanya dituangkan dalam undang-undang dan
kitab undang-undang hukum pidana. Di Indonesia, asas legalitas dalam konstitusi baru
dimasukkan dalam amandemen kedua UUD 1945.

6
Penulis berpendapat bahwa ukuran berlakunya asas legalitas berdasarkan hukum
tertulis dan aturan yang jelas sehingga tidak dibenarkan berlakunya asas legalitas hanya
berdasarkan hukum kebiasaan. Dalam pelaksanaannya menunjukkan adanya pembatasan
berlakunya asas legalitas dalam hal terjadinya perubahan peraturan perundang-
undangan.

Di Indonesia, dalam perkembangannya pembatasan terhadap asas legalitas tidak


hanya menyangkut perubahan peraturan perundang-undangan tetapi juga menyangkut
sumber hukum. Hal ini dapat dilihat dalam KUHP, tampaknya asas legalitas tidak berlaku
secara absolut karena adanya ketentuan yang secara implisit mengakui hukum yang tidak
tertulis dalam masyarakat.

Pembatasan terhadap asas legalitas tidak berkaitan dengan perubahan perundang-


undangan saja, tetapi juga berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan. Hukum
yang tidak tertulis tersebut tidak hanya berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat
serta kearifan lokal tertentu saja, akan tetapi juga dapat bersumber dari prinsip-prinsip
umum yang diakui oleh bangsa Indonesia. Artinya asas legalitas ini juga dapat disimpangi
oleh praktik hukum kebiasaan yang telah berlangsung dan diakui oleh masyarakat secara
umum.

Pembatasan terhadap asas legalitas, tetah sesuai dengan amandemen ketiga UUD
1945 Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”.
Menurut Mahfud MD, perumusan Pasal 1 ayat (3) seperti dalam penjelasan UUD 1945
sebelum amandemen dimaksudkan agar konsep negara hukum yang ada di Indonesia
saat ini adalah negara hukum prismatik. Artinya menggabungkan segi-segi positif antara
rechtsstaat dan the rule of law. Perumusan sebenarnya dilakukan secara sengaja dengan
maksud memberi tempat yang luas pada pemenuhan rasa keadilan (the rule of law).
Artinya demi tegaknya keadilan maka seharusnya perbuatan yang tidak wajar, tercela
atau yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat dapat dipidana meskipun
secara formal tidak ada hukum tertulis yang melarangnya.

Pembatasan terhadap asas legalitas sebagaimana termaktub dalam pasal tersebut


diatas, menunjukkan bahwa secara implisit hukum pidana di Indonesia telah mengakui
ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif. Artinya meskipun suatu
perbuatan tidak memenuhi rumusan delik dalam undang-undang tertulis, hakim dapat
menjatuhkan pidana apabila perbuatan tersebut dianggap tercela, bertentangan dengan
keadilan dan norma-norma sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat.

7
BAB III

KESIMPULAN
1. Menyusun KUHP Baru di Indonesia yang multi etnis, multi religi dan multi kultur
membutuhkan suatu upaya bersama untuk mencapai kesepakatan dan
keseimbangan di tengah kebhinnekaan/kemajemukan bangsa Indonesia. Tidak
mungkin untuk memperoleh satu rumusan yang hanya disepakati oleh satu
kelompok saja.
2. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya
merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk
masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional
(kesejahteraan masyarakat).
3. Sebagai bagian dari kebijakan nasional, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya
upaya penanggulangan kejahatan.
4. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbarui substansi hukum (legal
subtance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.
5. Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya
melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai- nilai sosio-politik, sosio-filosofi dan
sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif &
substantif hukum pidana yang dicita-citakan.
6. Menurut penulis, asas legalitas berlaku dalam hukum pidana materiil maupun hukum
pidana formil. Tidak ada pidana tanpa undang-undang, tidak ada pidana tanpa
perbuatan pidana lebih pada hukum pidana materiil yang berisi perbuatan yang
dilarang beserta ancaman pidananya, sedangkan tidak ada perbuatan pidana tanpa
pidana menurut undang-undang lebih pada hukum pidana formil. Dengan demikian
asas legalitas yang kita kenal dalam hukum acara pidana yang berarti bahwa semua
perbuatan pidana harus dituntut merupakan penjabaran lebih lanjut dari keterangan
diatas.
7. Makna asas legalitas bahwa ketentuan pidana yang berisi perbuatan pidana yang
disertai ancaman pidana harus tertulis dalam perundang-undangan. Seseorang tidak
dapat dipidana sebelum ada ketentuan pidana terlebih dahulu. Pembentuk undang-
undang tidak boleh memberlakukan surut suatu ketentuan pidana.

8
SARAN
1. Pembaharuan hukum pidana tidak boleh berdasarkan alasan sosiologis, politis, dan
praktis semata-mata. Namun harus disusun dengan mempertimbangkan nilai yang
hidup didalam masyarakat.
2. Pembaharuan hukum pidana indonesia, tidak boleh mengabaikan aspek-aspek yang
berkaitan dengan tradisional, alam, dan manusia, juga harus memikirkan aspek-
aspek yang bersifat preventif.
3. Pembaharuan hukum pidana, harus tanggap terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan serta teknologi guna meningkatkan efektifitas dan fungsinya di dalam
perkembangan masyarakat bangsa dan negara. Dan juga tidak boleh
mengenyampingkan perbaikan karakter dan akhlak manusia, serta moral, etika,
mental dan kepribadian yang lebih baik, dimasa yang akan datang sebagai warga
negara.
4. Perlindungan manusia diwujudkan dengan adanya keharusan lebih dahulu untuk
menentukan perbuatan pidana dan pemidanaan dalam undang-undang.
5. Pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana
berlaku mundur. Semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik
yang sejelas-jelasnya. Hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan
perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis. Terhadap peraturan hukum
pidana dilarang diterapkan analogi.
6. Hukum pidana tidak hanya menitikberatkan pada ketentuan tentang perbuatan
pidana saja agar orang menghindari perbuatan tersebut, tetapi juga harus diatur
mengenai ancaman pidananya agar penguasa tidak sewenang-wenang dalam
menjatuhkan pidana.
7. Asas legalitas dalam hukum pidana tidak boleh diberlakukan secara ketat, karena
masih terdapat perbuatan yang tidak sesuai dengan kehidupan sosial bermasyarakat
yang belum diatur oleh hukum.

Anda mungkin juga menyukai