Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perzinahan akan dipandang tercela atau dilarang dalam KUHP jika terjadi
hal itu dilakukan dalam bingkai perkawinan.Usaha pembaharuan hukum pidana
Indonesia yang didengung-dengungkan selama ini, diharapkan banyak membuat
perubahan-perubahan baru mengenai kelemahan aturan pidana mengenai delik
perzinahan sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP. Oleh karena itu,
semenjak Konsep KUHP dikeluarkan pada tahun 1964, aturan delik perzinahan
mengalami perubahan signifikan.1
Dalam rangka mengantisipasi semakin meningkatnya tindak pidana
perzinahan yaitu dengan memfungsikan instrument hukum pidana yang bersifat
preventif dan represif, seperti tujuan pemidanaan yang tercantum dalam konsep
RUU KUHP Nasional yaitu:
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat;
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna;
3. Menyelesaikan konflik yamg ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Saat ini ketentuan mengenai perzinaan diatur dalam Pasal 284 KUHP.
Adapun unsur-unsur perzinaan adalah sebagai berikut : adanya persyaratan telah
kawin; adanya pengaduan dari suami atau isteri yang tercemar; dan si turut serta
harus mengetahui bahwa pasangannya terikat perkawinan. Berdasarkan ketentuan
Pasal 284 KUHP, apabila laki-laki dan perempuan yang kedua-duanya belum
menikah dan melakukan hubungan seks di luar ikatan pernikahan yang sah maka

1
Lamintang, Delik-delik Khusus: Tindak Pidana-Tindak Pidana yang Melanggar Norma-norma
Kesusilaan dan Norma, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 89

1
tidak dapat dikategorikan sebagai perzinaan dan tidak dapat dijerat oleh hukum.
Dengan kata lain, ketentuan Pasal 284 KUHP, baik secara langsung maupun tidak
langsung memberikan peluang kepada persetubuhan di luar nikah antara laki-laki
dan perempuan yang masing-masing tidak terikat pernikahan dengan orang lain.
Berbeda dengan ketentuan Pasal 284 KUHP, revisi terhadap ketentuan
Pasal tersebut yaitu dalam Pasal 484 Rancangan KUHP menentukan bahwa
kegiatan seks (hubungan seks) yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang
masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah dengan orang lain
merupakan perbuatan pidana (perzinaan) dan dengan demikian pelanggaran
terhadap perbuatan tersebut dapat dijatuhi pidana.
Pasal 484 Ayat (1) Rancangan KUHP menentukan bahwa dipidana
karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun :
a) laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan
dengan perempuan yang bukan isterinya;
b) perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya;
c) laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan
dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada
dalam ikatan perkawinan;
d) perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan
dengan lakilaki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam
ikatan perkawinan; atau
e) laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam
perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.

Ayat (2) menentukan bahwa tindak pidana tersebut tidak dilakukan


penuntutan kecuali atas pengaduan suami, isteri, atau pihak ketiga yang tercemar.
Terhadap pengaduan tersebut tidak berlaku ketentuan mengenai tindak pidana
aduan yang diatur dalam Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 27 (Ayat (3)). Selanjutnya
ayat (3) menentukan bahwa pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan
di sidang pengadilan belum dimulai. Dari ketentuan Pasal 484 Rancangan KUHP

2
tersebut rumusan tindak pidana perzinaan masih digolongkan sebagai delik aduan.
Namun hal itu akan penulis bahas dalam bab pembahasan, apakah tindak pidana
perzinahan masih tergolong kedalam delik aduan atau delik yang lain.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Pro-Kontra Delik Perzinahan Dalam R-KUHP sebagai Delik
Biasa ?
C. Tinjauan Pustaka
Undang-Undang KUHP hingga detik ini masih menjadi bahan
perbincangan hangat dalam lingkup masyarakat pemerhati hukum. Konsep RUU
KUHP, memberikan gambaran tentang kodifikasi berbagai sumber hukum di
Indonesia, yaitu hukum adat, agama, dan hukum positif (Barat). Dari tiga sumber
hukum yang diserap Konsep RUU KUHP itu yang menjadi sorotan yang sangat
tajam dan yang paling dikritisi adalah penyerapan hukum terhadap rumusan
tindak pidana perzinaan.
Sorotan kritis terhadap delik perzinahan khususnya, mengesankan telah
mengalahkan pembahasan delik-delik lain yang digagas dalam Konsep RUU
KUHP. Gagasan pembaharuan hukum nasional telah lama dicanangkan termasuk
usaha memperbaharui Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Usaha
perbaharuan di atas didasarkan pada fakta bahwa KUHP yang berlaku sekarang
ini dapat dikatakan tidak relevan lagi dengan tuntutan perkembangan pemikiran
hukum dan dinamika masyarakat yang semakin kompleks. Menjadi hal yang
menarik untuk dikaji lebih lanjut tentang rumusan pasal 284 KUHP tersebut.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan salah satu
produk hukum peninggalan jaman kolonial Belanda2. Falsafah yang mendasarinya
berorientasi pada nilai-nilai individualisme dan liberalisme yang sangat bertolak
belakang dengan hukum Islam. Hal ini tercermin dalam rumusan Pasal 284 KUHP
tentang tindak pidana perzinaan. Rumusan tindak pidana zina dalam Pasal 284
KUHP adalah perzinaan yang dilakukan oleh dua orang yang salah satu atau

2
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, cetakan kedelapan, Edisi Revisi, Renika Cipta, 2008, hal.
5

3
keduanya terikat perkawinan dan diadukan oleh isteri atau suami pelaku zina dan
dilakukakan atas dasar suka sama suka. Hukumannya adalah maksimal sembilan
bulan penjara. Untuk tindak pidana ini KUHP menempatkannya sebagai tindak
pidana aduan. Pengaturan ini membuka ruang dan kesempatan yang sangat luas
bagi merebaknya tindak pidana perzinaan dalam berbagai bentuk dan variasinya.
Keberadaan Pasal tersebut tentunya sudah sangat tidak relevan dan tidak
dapat dikatakan bahwa Pasal tersebut ideal sebagai sebuah produk hukum yang
menjamin tegaknya keamanan dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat
sebagaimana tujuan hukum yang di cita-citakan. Pada kenyataannya substansi
pasal tersebut tidak mampu mencerminkan dan mengakomodir nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat, baik hukum adat maupun hukum agama. Hal ini
tentunya menjadi bahan perenungan dan kajian yang mendalam bagi para
akademisi yang memiliki konsensen terhadap eksistensi hukum, para pakar
hukum dan pemerhati hukum Islam serta masyarakat pada umumnya3.
Ketentuan Pasal 284 KUHP, baik secara langsung maupun tidak langsung
memberikan peluang kepada persetubuhan di luar nikah antara laki-laki dan
perempuan yang masing-masing tidak terikat pernikahan dengan orang lain.
Ketentuan tersebut, oleh sebagian masyarakat dinilai bertentangan dengan nilai-
nilai agama, adat istiadat, dan kesusilaan. Berbeda dengan rumusan Pasal 284
KUHP, Pemerintah melakukan revisi terhadap Rancangan KUHP mengenai
perzinaan yaitu dalam Pasal 484 Rancangan KUHP. Revisi mengenai perzinaan
tersebut sebagai berikut: 4
1. Revisi terhadap sanksi pidana penjara yaitu yang semula paling lama 9
(sembilan) bulan menjadi paling lama 5 (lima) tahun.
2. Revisi terhadap pelaku perzinaan yaitu yang semula pelaku perzinaan
adalah hanya laki-laki menikah dan perempuan menikah yang melakukan
hubungan seks bukan dengan istri atau suaminya maka dalam Rancangan

3
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti,
1996, hal. 72
4
Muladi, Beberapa Catatan Berkaitan Dengan RUU KUHP Baru, Makalah yang disampaikan
dalam sosialisasi RUU KUHP, diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman dan HAM RI, Hotel
Sahid, Jakarta, 21 Juli 2004, diakses tanggal 21 April 2018

4
KUHP juga meliputi laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak
terikat dalam perkawinan yang sah dengan orang lain.

Revisi terhadap pasal perzinaan tersebut, terutama mengenai pelaku


perzinaan atau dengan kata lain kriminalisasi terhadap kegiatan seks (hubungan
seks) yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak
terikat dalam perkawinan yang sah dengan orang lain, menjadi bahan perdebatan
antara pihak yang pro dan yang kontra. Pihak yang kontra terhadap revisi pasal
perzinaan menilai bahwa revisi terhadap pelaku perzinaan terlalu mencampuri dan
memasung kehidupan pribadi seseorang. Dalam hal ini negara telah melakukan
intervensi kehidupan wilayah pribadi warga negaranya. Revisi terhadap pasal
perzinaan dinilai sebagai ketentuan yang melanggar hak asasi manusia, dan karena
itu mengancam demokrasi. Selain itu, pihak yang kontra terhadap revisi Pasal 284
KUHP berpandangan bahwa Rancangan KUHP harus mengedepankan prinsip
unifikasi. Rancangan KUHP merupakan kodifikasi hukum yang harus bisa
diterima seluruh elemen masyarakat. Kalau ada pasal yang tidak bisa dilaksanakan
di suatu daerah, tetapi dilaksanakan di daerah lain, maka akan menimbulkan
ketidakpastian hukum.
Meskipun perzinaan tampak sebagai kegiatan yang bersifat sangat pribadi,
namun pada dasarnya perzinaan adalah kegiatan pribadi yang memiliki dimensi
sosial luas. Oleh karena itu, intervensi negara mempunyai landasan kokoh antara
lain bahwa salah satu penyebab utama penyebaran HIV dan AIDS adalah
hubungan seks di luar nikah. Hubungan seks di luar nikah berpotensi
menimbulkan kehamilan remaja, kehamilan di luar pernikahan, aborsi, perceraian,
yang terkait pula dengan tumbuhnya pola keluarga dengan orang tua tunggal
(single parenthood). 5

5
Lidya Suryani Widayati, Revisi Pasal Perzinaan dalam Rancangan KUHP: Studi Masalah
Perzinaan di Kota Padang dan Jakarta” Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16 JULI 2009, Jakarta : DPR
RI Lantai II Ruang Staf Ahli, hal. 311 – 336.

5
D. Konsep Operasional
Agar pembahasan dalam makalah ini dapat lebih tajam dan bermakna,
sesuai dengan apa yang diharapkan, penulis memberikan beberapa batasan
penulisan yang berkenaan dengan arti dan maksud judul makalah sebagai berikut :
Pro Kontra Delik Perzinahan Dalam RUU-KUHP Sebagai Delik Biasa.
1. Pro Kontra adalah suatu reaksi yang baik, positif atau setuju terhadap
sesuatu hal
2. Delik adalah peristiwa hukum. Biasanya terjadi dalam hukum pidana.
3. Perzinahan adalah perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan
yang tidak terikat pernikahan atau perkawinan.
4. Delik Biasa adalah semua tindak pidana yang terjadi yang tidak bisa
dihentikan prosesnya dengan alasan yang bisa dimaklumi dalam delik
aduan. Misalnya penipuan. Meskipun korban sudah memaafkan atau pelaku
mengganti kerugian, proses hukum terus berlanjut sampai vonis karena ini
merupakan delik murni yang tidak bisa dicabut.

6
BAB II
PEMBAHASAN

PRO KONTRA DELIK PERZINAHAN DALAM


RUU-KUHP SEBAGAI DELIK BIASA

Revisi terhadap pasal perzinaan dalam Rancangan KUHP masih


menimbulkan perdebatan antara pihak yang pro dan yang kontra terhadap revisi
tersebut. Masalah kriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan
politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan
tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang
berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut
dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal
ini revisi terhadap ketentuan mengenai perzinaan pun patut untuk dikaji dengan
prinsip kehati-hatian. Bagaimana akibatnya jika suatu perbuatan dijadikan sebagai
perbuatan pidana (tindak pidana) sedangkan masyarakat menilai perbuatan
tersebut sebagai perbuatan yang patut atau tidak tercela.
Terhadap masalah yang menimbulkan Pro dan Kontra dari delik
perzinahan ini, Barda Nawawi Arief memberikan pertimbangan sebagai berikut 6:
1. Konsep nilai dan kepentingan yang melatarbelakangi sifat dan hakikat
perzinahan.
Delik perzinahan merupakan salah satu delik kesusilaan yang erat kaitannya
dengan kesucian lembaga perkawinan. Sehingga masalah sentralnya terletak
pada pandangan masyarakat mengenai kesusilaan dan kesucian lembaga
perkawinan. Pandangan barat yang melatarbelakangi WvS berbeda dengan
pandangan masyarakat Indonesia mengenai perzinahan dan perkawinan.
Perkawinan dalam pandangan masyarakat terkait pula dengan nilai-nilai dan
kepentingan masyarakat, sehinggatidak bijaksana apabila delik perzinaan
tetap dijadikan delik aduan absolut.
2. Aspek tujuan dari kebijakan kriminal (criminal policy).

6
Ahmad Bahiej, Tinjauan Delik Perzinahan dalam Berbagai Sistem Hukum dan Prospeknya
dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jurnal Fakultas Syariah dan hukum UIN Suka,
Yogyakarta : Fakultas Syari'ah Dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, hal. 17-18.

7
Ditetapkannya suatu delik sebagai delik aduan atau sebagai delik biasa
merupakan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Salah satu
tujuannya adalah pencegahan (preventie). Dengan ditetapkannya delik
perzinahan sebagai delik aduan absolut, prevensinya lemah karena memberi
peluang dan dasar legitimasi kepada seseorang untuk merasa bebas
melakukan perzinahan. Hal ini justru menjadi faktor kriminogen.
3. Aspek kesusilaan nasional, faktor kriminogen dan dampak negatif lainnya
dari perzinahan.
Tujuan politik kriminal dengan dilarangnya perzinahan adalah kesucian
lembaga perkawinan dan pengaruh negatif lainnya, antara lain mencegah
tumbuh suburnya pelacuran dan mencegah perbuatan main hakim sendiri.
4. Aspek kepentingan individu dan alternatif teknis perumusan delik.
Adanya perbuatan zina mengakibatkan kerugian individu bagi pihak yang
terkena skandal perzinahan. Namun hal ini pun perlu dipertimbangkan
dengan kepentingan umum yang turut dirugikan. Sehingga perlu
dipertimbangkan secara proporsional antara kepentingan individu dengan
kepentingan umum. Apabila ada dua kepentingan yang samasama kuat dan
mendasar maka sepantasnya kedua kepentingan itu diperhatikan. Jalan
keluar dari permasalahan itu adalah perumusan delik perzinahan ditetapkan
sebagai delik aduan relatif.

KUHP hanya mengatur perzinahan jika salah satu dari pelakunya terikat
dengan perkawinan. Itupun masih dibatasi, kalau pelaku yang melakukan
perzinahan diantara keduanya itu masih patut untuk melakukan perkawinan
karena tidak ada pelarangan ikatan darah (dilarang untuk menikah). Padahal di
luar pengaturan KUHP, masih terdapat pembagian perzinahan yang tidak
diakomodasi dalam KUHP.
1. Perzinahan yang mana diantaranya keduanya tidak terikat dengan
perkawinan tetapi boleh saja melangsungkan perkawinan karena tidak ada
ikatan darah yang menghalanginya.

8
2. Perzinahan yang tidak terikat dengan perkawinan diantara keduanya tetapi
untuk melakukan perkawinan dilarang karena adanya ikatan darah
(misalnya: anak, bapak, ibu, saudara sekandung, saudara sepersusuan, bibi,
dan paman).
3. Perzinahan yang salah satunya terikat dengan perkawinan tetapi “teman”
berzinanya terdapat hubungan darah yang terlarang untuk dinikahi (poin
kedua dan ketiga bisa juga dikatakan sebagai perzinahan dalam kalangan
keluarga).

Perlu diingat bahwa doktrin dalam hukum pidana, pada dasarnya delik
aduan masih terbagi lagi menjadi delik aduan relatif dan delik aduan absolut.
Perbedaannya, rata-rata delik aduan relatif selalu saja antara pelaku dengan
korban terdapat hubungan keluarga, delik ini mencolok dilakukan dalam
kejahatan harta benda (seperti pencurian di kalangan keluarga, penggelapan di
kalangan keluarga dan pemerasan di kalangan keluarga). Sedangkan delik aduan
absolut, merupakan tindak pidana yang dilakukan bukan dalam kalangan keluarga
yang oleh KUHP sudah tegas menentukannya sebagai delik aduan (contohnya:
perzinahan dan penghinaan).
Pada hakikatnya dalam KUHP tidak ada penegasan satupun pasal yang
mengatur tentang delik perzinahan dalam kalangan keluarga. Hanya mencantuman
ketentuan bahwa delik perzinahan merupakan delik aduan yang terkualifikasi
sebagai delik aduan absolut. Artinya, kalau terjadi perzinahan yang mana salah
satunya terikat dengan perkawinan maka suami atau istri dapat mengajukan aduan
agar diproses secara hukum “teman zina” pasangan perkawinannya (istri/suami)
dan pihak pengadu (istri/suami) wajib pula mengadukan pasangan perkawinannya
(istri/suami) sebagai konskuensi hukum dari delik ini, adalah delik aduan absolut.
Pertanyaannya, bagaimana kalau “teman zinanya” berasal dari keluarga
yang terlarang untuk di nikahi (misalnya: anak, bibi, dan paman)? Atau
ekstrimnya lagi bagaimana kalau seorang bapak misalnya berzinah dengan
anaknya yang sudah dewasa? Kiranya kalau kasus ini terjadi, istri yang keberatan
terhadap perbuatan suaminya yang berzinah dengan anaknya yang sudah dewasa;

9
apakah perzinahannya tetap dianggap sebagai delik aduan absolut? Pemahaman
masyarakat kita yang “awam hukum” pastinya mengatakan itu bukan delik aduan
tetapi delik umum yang harus diproses langsung secara hukum tanpa si istri
mengajukan aduan ke pihak yang berwenang (penyelidik).
Hal yang berbeda berdasarkan KUHP, in casu a quo si istri tetap harus
mengajukan aduan jika pelaku perzinahannya hendak diproses secara hukum,
sebab bagaimanapun nilai perbuatan tersebut merupakan delik aduan absolut.
Sehingga baik suami maupun anaknya harus diadukan oleh si istri ke penyelidik
baru dapat diproses secara hukum. Kedaaan yang sama pula berlaku untuk delik
perzinahan yang terjadi terhadap mereka yang tidak terikat dengan perkawinan
tetapi pada dasarnya terlarang untuk melangsungkan perkawinan. Walaupuan
perbuatannya oleh masyarakat dipandang sangat tercela, tetapi sayangnya tidak
ditur dalam KUHP, sehingga bukanlah tindak pidana untuk konteks sekarang.
Permasalahan ini nyatanya membuka peluang yang memungkinkan dari
pelakunya akan dihakimi secara sewenang-wenang oleh masyarakat, karena peran
negara dalam masalah ini dinihilkan. Sangat contardictio in terminis dengan
tujuan hukum pidana kita, alih-alih menciptakan ketertiban tetapi justru negara
membiarkan hidupnya kembali hukum rimba. Lebih-lebih lagi jika kasus ini
dipandang berdasarkan hukum adat ketimuran dan hukum agama kita saat ini.
Bukankah Sejak dahulu dalam tatanan hukum adat sudah memiliki hukum sendiri;
kedua pelakunya bisa diasingkan, dibuang, bahkan ada juga yang menggunakan
tindakan (hukuman) kejam; yang mana kedua pelakunya diceburkan ke laut.
Demikian halanya hukum Islam, pun memberi hukuman yang keras dengan cara
merajam kedua pelakunya. Pada dasarnya pembagian perzinahan baik yang terikat
dengan perkawinan ada atau tanpa hubungan darah yang melarangnya untuk
melangsungkan perkawinan maupun perzinahan yang terjadi tanpa ikatan
perkawinan namun ada hubungan darah yang melarangnya untuk melakukan
perkawinan, tergolong sebagai perbuatan tingkatannya amat dicela oleh
masyarakat kita.
Berbeda dengan perzinahan yang tidak terikat dengan perkawinan namun
masih bisa melangsungkan perkawinan karena tidak ada larangan di dalamnya,

10
derajat pencelaannya agak lebih rendah pastinya. Maka dari itu. penting dalam
merumuskan perbuatan tersebut dalam revisi KUHP mendatang, masing-masing
ancaman pidanya harus disesuaikan dengan derajat pencelaannya. Sudah menjadi
kewajiban bagi perancang RUU KUHP merumuskannya, bahwa semua jenis delik
perzinahan harus menjadi delik umum/delik biasa (bukan lagi delik aduan) tanpa
terkecuali. Catatan khusus yang harus diemban oleh negara, bahwa untuk
menggolongkan perzinahan yang dilakukan tidak terikat dengan perkawinan dan
masih terbuka peluang untuk melangsungkan perkawinan lalu menggolongkannya
sebagai delik biasa. Pada poin ini, negara tidak bisa lepas dengan serta merta saja.
Perlu ada tanggung jawab negara dengan melalui lembaga nikah misalnya, bahwa
bagi mereka yang hendak melangsungkan perkawinan, negara harus memfasilitasi
dan memberi jalan mudah bagi mereka (muda-mudi) yang sudah benar-benar
ingin menikah.
Negara harus memberi sumbangsi immaterial maupun materil bagi pihak-
pihak yang hendak melangsungkan perkawinan tetapi terkendala karena tidak
memiliki kemampuan. Negara kita yang kental dengan adat ketimurannya, kental
dengan hukum agamanya, sudah saatnya perzinahan terkualifikasi sebagai delik
biasa. Delik yang bisa diproses tanpa ada pihak yang ditunggu untuk
mengadukannya. Kondisi kebangsaan kita tidak sesuai dengan “filsafat hukum”
peninggalan Belanda yang tertuang dalam KUHP; bahwa perzinahan hanya
terkualifikasi sebagai delik aduan. Negara kita tidak cocok dengan maxim bahwa
dengan mengkualifikasi perzinahan sebagai delik biasa akan mengganggu
hubungan yang sifatnya khusus di dalam keluarga.
Penggunaan hukum pidana sebagai strategi utama dalam pengendalian
sosial, terutama dalam menanggulangi masalah perzinahan, haruslah dilakukan
secara selektif dan terukur. Apabila elemen koersif di dalam hukum pidana guna
menegakkan aturan hukum tidak diterapkan secara selektif dan terukur, justru
akan menghasilkan ketidakadilan karena akan terjadi penghukuman yang berlebih.
Kita tidak inginkan itu terjadi. Oleh karena itu, modal utama dalam merumuskan
delik zina yang tepat adalah kemampuan legislator untuk mengabstraksi berat-
ringannya suatu tindak pidana, nilai-nilai dan tata urutan norma sosial, serta

11
persoalan teknis pembentukan undang-undang. Inilah agenda penting dan terbuka
guna pembentukan norma pidana yang baik di masa depan. Sehingga, penggunaan
hukum pidana sebagai bagian dari upaya mewujudkan kesejahteraan dan
perlindungan sosial dapat dilakukan sesuai harapan.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis diatas, maka untuk menjawab permasalahan yang
diajukan, maka dapat ditarik kesimpulan : Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana sudah selayaknya untuk diadakan revisi dan pembaharuan.
Rancangan KUHP harus segera dibahas bersama-sama oleh pemerintah dan
lembaga legislatif untuk disahkan mengingat KUHP Indonesia karena konsep-
konsep, sistem hukum, serta teori-teori hukum yang digunakan sudah tidak sesuai
lagi dengan kebutuhan hukum masyarakat. Berkaitan dengan kontroversi pasal
perzinahan dalam Rancangan KUHP baru maka tidaklah salah pandangan
masyarakat dan pembentuk undang-undang untuk mengatur masalah delik aduan
tersebut menjadi delik biasa dan bukan delik aduan, karena bagaimanapun tindak
pidana perzinahan walaupun korban telah mencabut laporannya kepada pihak
yang berwenang, penyidik tetap berkewajiban untuk memproses perkara tersebut.
Karena didalam perbuatan perzinahan tersebut sudah terjadi tindak pidana.
Artinya unsur pidana sudah terkandung didalamnya.

B. Rekomendasi
1. Kebijakan kriminalisasi harus memperhatikan fungsi dan tujuan hukum pidana
untuk menanggulangi kejahatan memelihara ketertiban dan sebagai alat
pembaruan dalam masyarakat yaitu antara lain mencegah dilakukannya
hubungan seksual diluar perkawinan. Terkait dengan hubungan seksual antara
laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam lembaga perkawinan maka
tujuan yang paling patut untuk dipertimbangkan adalah perubahan delik aduan
terhadap tindak pidana perzinahan menjadi delik biasa.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku-Buku
Ahmad Bahiej, Tinjauan Delik Perzinahan dalam Berbagai Sistem Hukum
dan Prospeknya dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,
Jurnal Fakultas Syariah dan hukum UIN Suka, Yogyakarta : Fakultas
Syari'ah Dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung:


Citra Aditya Bakti, 1996
Lamintang, Delik-delik Khusus: Tindak Pidana-Tindak Pidana yang
Melanggar Norma-norma Kesusilaan dan Norma, Mandar Maju,
Bandung, 2008

Lidya Suryani Widayati, Revisi Pasal Perzinaan dalam Rancangan KUHP:


Studi Masalah Perzinaan di Kota Padang dan Jakarta” Jurnal Hukum
No. 3 Vol. 16 JULI 2009, Jakarta : DPR RI Lantai II Ruang Staf Ahli,
hal. 311 – 336.

Muladi, Beberapa Catatan Berkaitan Dengan RUU KUHP Baru, Makalah


yang disampaikan dalam sosialisasi RUU KUHP, diselenggarakan
oleh Departemen Kehakiman dan HAM RI, Hotel Sahid, Jakarta, 21
Juli 2004, diakses tanggal 21 April 2018

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, cetakan kedelapan, Edisi Revisi,


Renika Cipta, 2008

14

Anda mungkin juga menyukai