Anda di halaman 1dari 19

REKONSTRUKSI KEBIJAKAN ANCAMAN SANKSI PIDANA

TERHADAP TINDAK PIDANA PERKAWINAN DALAM


HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Oleh: Dr. Hj. Hasnawaty Abdullah, S.H., M.H.


(Ketua PA Gresik)

Ketentuan ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana perkawinan belum


dapat diimplementasikan secara optimal. Secara yuridis, ketentuan tersebut
penuntutannya merupakan delik aduan dan sekadar diatur dalam peraturan
pemerintah. Secara sosiologis, perkawinan yang tidak dicatatkan dalam
pandangan sebagian masyarakat dianggap sebagai hal yang lazim dilakukan
sehingga berimplikasi pada penegakan hukum tidak tegas dan keberadaan
hukum tidak mempunyai wibawa. Oleh sebab itu, urgen dilakukan rekonstruksi
kebijakan ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana perkawinan dalam
hukum positif di Indonesia yang mampu mewujudkan perlindungan masyarakat
untuk mencapai kesejahteraan, baik rekonstruksi substantif maupun
rekonstruksi penempatan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan.

A. Pendahuluan
Isu tindak pidana1 dalam hukum perkawinan2 sering menjadi topik
bahasan di berbagai forum maupun mass media. Kendati tatacara perkawinan
di Indonesia telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, bahkan diikuti
dengan ancaman sanksi pidana bagi mereka yang melakukan tindak pidana
perkawinan, akan tetapi dalam penerapannya masih terjadi fenomena
perkawinan yang sering diistilahkan dengan “perkawinan sirri”3 dan
“perkawinan kontrak” (mut’ah)4.

1
Tindak pidana menurut sistem KUHP dibagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran
(overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini tidak ditentukan dengan nyata dalam suatu
pasal KUHP, tetapi sudah dianggap demikian adanya, dan ternyata antara lain dari Pasal 4,
Pasal 5, Pasal 39, Pasal 45, dan Pasal 53 Buku I, pada Buku II tentang kejahatan, dan Buku III
tentang pelanggaran. Lihat Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1985,
Hlm. 71
2
Tindak pidana perkawinan baik berupa kejahatan maupun pelanggaran. Tindak pidana
kejahatan dalam hukum perkawinan diatur antara lain dalam ketentuan Pasal 279 KUHP,
sedangkan tindak pidana pelanggaran dalam hukum perkawinan diatur antara lain dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
3
Kata “sirri” berasal dari Bahasa Arab yang berarti rahasia. Berdasar makna etimologis,
perkawinan sirri diartikan perkawinan yang rahasia atau dirahasiakan. Dikatakan demikian
karena prosesi perkawinan sengaja disembunyikan dari publik dengan berbagai alasan, dan
biasanya hanya dihadiri oleh kalangan terbatas. Perkawinan sirri dalam konteks ini adalah

1
2

Ragam perspektif disampaikan oleh para akademisi, pemerhati


perkawinan, sosiolog, maupun tokoh agama dan tokoh masyarakat sesuai
kapasitas mereka. Demikian pula berbagai penelitian (research) terhadap
fenomena perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut telah banyak dilakukan
baik di kalangan perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, maupun
lembaga-lembaga penelitian pemerintah pada kementrian terkait. Berbagai
kegiatan itu dilakukan untuk mengungkap keterkaitan faktor-faktor yang
menyebabkan maupun implikasi tindak pidana perkawinan tersebut.
Faktor penyebab yang sering mengemuka adalah keadaan ekonomi,
padahal apabila dicermati lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang
menyebabkan tindak pidana perkawinan tersebut sangat kompleks. Demikian
pula mengenai implikasinya sangat kompleks antara lain terjadi pengabaian
terhadap perlindungan hak-hak perempuan. Menurut Ketua Subkomisi
Pengembangan Sistem Pemulihan Komnas Perempuan, Sri Nurherwati, “ada
beberapa model poligami yang mengandung kejahatan perkawinan, manakala
poligami menjadi bungkus kejahatan perkawinan, maka perlindungan terhadap
istri sah menjadi lemah”.5 Selain itu, akan berimplikasi adanya janda-janda
tanpa melalui proses perceraian di pengadilan, dan akan lahir anak-anak dari
hasil perkawinan yang tidak dicatatkan.
Dalam praktik, penerapan perkawinan yang demikian tetap berlangsung
hingga saat ini. Padahal, ancaman sanksi pidana untuk menegakkan hukum
perkawinan telah dimuat dalam peraturan perundang-undangan. Keberadaan
ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana perkawinan belum dapat
diwujudkan secara optimal. Berbagai masukan dari hasil penelitian selama ini
tidak memberi pengaruh terhadap fenomena model perkawinan tersebut. Oleh
sebab itu, urgen dilakukan penelitian yang lebih tajam, holistik, dan

perkawinan yang sengaja dilakukan di bawah tangan, tidak dicatatkan di KUA dengan berbagai
alasan. https://www.facebook.com/permalink.php?id, diakses terakhir pada 18 Oktober 2014.
4
Perkawinan kontrak (mut’ah), secara etimologis, mempunyai pengertian ”kenikmatan” dan
”kesenangan”. Dalam hukum Islam, perkawinan kontrak adalah suatu ”kontrak” atau ”akad”
antara seorang laki-laki dan wanita yang tidak bersuami, ditentukan akhir waktu perkawinan
dan mas kawin yang harus diserahkan kepada pihak perempuan. Ibid.
5
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5112415d3f0d7/poligami-bisa-menjadi-bungkus-
kejahatan-p..., diakses terakhir pada 18 Oktober 2014.
3

komperehensif terhadap kebijakan ancaman sanksi pidana terhadap tindak


pidana perkawinan yang belum dapat diwujudkan secara optimal sehingga
berimplikasi terhadap terabaikannya perlindungan hukum perempuan dan anak
khususnya, serta perlindungan masyarakat umumnya, menuju terwujudnya
kebijakan atau politik pemidanaan dalam arti keseluruhan yaitu perlindungan
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.6

B. Pembahasan
1. Ketentuan Sanksi Pidana terhadap Tindak Pidana Perkawinan dalam
Hukum Positif di Indonesia

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal


1 menegaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Keabsahan perkawinan diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 2:
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannnya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Lebih lanjut dalam Penjelasan Umum angka 4 huru b Undang-Undang tersebut


ditegaskan bahwa suatu perkawinan sah bilamana dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan setiap perkawinan harus dicatat menurut
peraturan perundang-undangan.
Ketentuan ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana perkawinan
diatur lebih lanjut peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam ketentuan Pasal
45:
(1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku maka:

6
Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, Hlm. 149
4

a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10


ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda
setinggi-tingginya Rp7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah);
b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6,
7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-
tingginya Rp7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah);
(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran.

Untuk lebih jelasnya berikut akan dikemukakan beberapa pasal yang


disebutkan dalam Pasal 45 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yaitu Pasal 3, Pasal 10 ayat (3), dan Pasal 40 sebagai
berikut:
Pasal 3
(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan
dilangsung perkawinan.
(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
(3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan
sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati kepala
Daerah.”
Pasal 10 ayat (3)
Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum
agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai
Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud beristri lebih dari seorang maka ia wajib
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.

Beberapa pasal yang disebutkan dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b


Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu Pasal 6, Pasal 7, Pasal
8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 11, Pasal 13, dan Pasal 44. Pasal 6 dan
Pasal 7 berkaitan dengan kewajiban Pegawai Pencatat untuk meneliti syarat-
syarat dan halangan perkawinan, Pasal 8 dan Pasal 9 tentang tatacara
pengumuman akan melangsungkan perkawinan, Pasal 10 dan Pasal 11 tentang
tatacara perkawinan, Pasal 13 tentang akta perkawinan, dan Pasal 44 tentang
5

larangan pencatatan perkawinan bagi seorang suami yang akan beristri lebih
dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan.
b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946S tentang Pencatatan Nikah, Talak,
dan Rujuk7 yang diberlakukan untuk seluruh Indonesia dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1946 tanggal 21 November
1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar
Jawa dan Madura dalam ketentuan Pasal 3:
(1) Barang siapa melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan
tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) Pasal 1
atau wakilnya dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp50,- (lima puluh
rupiah).
(2) Barang siapa yang menjalankan pekerjaan yang tersebut pada ayat (2) Pasal 1
dengan tidak ada haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan
atau denda sebanyak-banyaknya Rp100,- (seratus rupiah).
(3) Jika seorang laki-laki yang menjatuhkan talak atau merujuk sebagaimana
tersebut pada ayat (1) Pasal 1, tidak memberitahukan hal itu dalam seminggu
kepada pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) Pasal 1 atau wakilnya, maka
ia dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp50,- (lima puluh rupiah).
(4) Orang yang tersebut pada ayat (2) Pasal 1 karena menjalankan pengawasan
dalam hal nikah, atau pun karena menerima pemberitahuan tentang talak dan
rujuk menerima biaya pencatatan nikah, talak, dan rujuk lebih daripada yang
ditetapkan oleh Menteri Agama menurut ayat (4) Pasal 1 atau tidak
memasukkan nikah, talak, dan rujuk di dalam buku pendaftaran masing-
masing sebagai yang dimaksud pada ayat (1) Pasal 2, atau tidak memberikan
petikan daripada buku pendaftaran tersebut di atas tentang nikah yang
dilakukan di bawah pengawasannya atau talak rujuk yang dibukukannya,
sebagai yang dimaksud pada ayat (2) Pasal 2, maka dihukum kurungan
selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp100,-
(seratus rupiah).
(5) Jika terjadi salah satu hal yang tersebut pada ayat pertama, kedua, dan ketiga,
dan ternyata karena keputusan Hakim, bahwa ada orang kawin tidak dengan
mencukupi syarat pengawasan atau ada talak atau ada rujuk tidak
diberitahukan kepada yang berwajib, maka biskal gripir hakim kepolisian
yang bersangkutan mengirim salinan keputusannya kepada pegawai pencatat
nikah yang bersangkutan dan pegawai itu memasukkan nikah, talak, dan rujuk
itu di dalam buku pendaftaran masing-masing dengan menyebut surat
keputusan hakim yang menyatakan hal itu.

7
Undang-Undang ini merupakan penyatuan pencatatan nikah, talak, dan rujuk, menggantikan
Ordonansi-ordonansi, yaitu (a) untuk Jawa dan Madura Stb. 1895 No. 198 jis. Stb. 1922 No.
348 dan Stb. 1931 No. 467; (b) untuk kerajaan Surakarta dan Jogyakarta Stb. 1933 No. 98; (c)
untuk luar Jawa dan Madura Stb. 1910 No. 659 jo. Stb. 1932 No. 482., Zaini Ahmad Noeh,
Lima Tahun Undang-Undang Peradilan Agama (Sebuah Kilas Balik), Mimbar Hukum No.
17 Thn. V 1994, Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, Jakarta, 1994.
6

c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang merupakan peraturan hukum

pidana yang saat ini tetap berlaku di Indonesia (hukum positif) yang

mengatur mengenai perbuatan pidana secara materiil atau disebut KUHP

juga memuat ketentuan ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana

perkawinan dalam Pasal 279:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:


1. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa
perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi
penghalang yang sah untuk itu.
2. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa
perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang
untuk itu.
(2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat (1) butir 1
menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada
menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.
(3) Pencabutan hak berdasakan Pasal No. 1- 5 dapat dinyatakan.

Tindak pidana perkawinan dalam dalam Peraturan Pemerintah Nomor


9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 juncto
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk adalah tindak pidana pelanggaran. Penelurusan putusan pengadilan
masih belum ditemukan perkara berkaitan tindak pidana berupa pelanggaran
perkawinan terhadap ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut.
Ketentuan-ketentuan pasal dalam KUHP maupun peraturan perundang-
undangan yang mengatur perkawinan menunjukkan bahwa tindak pidana yang
diancam sanksi pidana dalam hukum positif di Indonesia antara lain:
- kejahatan melakukan perkawinan sedangkan perkawinannya yang sudah ada
menjadi halangan yang sah baginya untuk kawin lagi;
- pelanggaran terhadap kewajiban untuk mencatatkan perkawinan; dan
- pelanggaran memutuskan perkawinan tanpa melalui putusan pengadilan.
7

Kejahatan melakukan perkawinan sedangkan perkawinannya yang sudah


ada menjadi halangan yang sah baginya untuk kawin lagi terdapat dalam
ketentuan Pasal 279 KUHP. Pelanggaran terhadap kewajiban untuk
mencatatkan perkawinan terdapat dalam ketentuan Pasal 45 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan ketentuan Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk
yang diberlakukan untuk seluruh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 1946 tanggal 21 November 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura.
Pelanggaran memutuskan perkawinan tanpa melalui putusan pengadilan diatur
dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk yang diberlakukan untuk seluruh
Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954. Ketentuan sanksi
pidana terhadap tindak pidana perkawinan dalam hukum positif di Indonesia di
samping diatur dalam Undang-Undang juga diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang kejahatan dan
pelanggaran terhadap kepentingan umum. Kejahatan dan pelanggaran tersebut
diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaan bagi yang
bersangkutan. Kejahatan adalah perbuatan pidana yang berat. Ancaman
hukumannya dapat berupa hukuman denda, hukuman penjara dan hukuman
mati, dan kadangkala masih ditambah dengan hukuman penyitaan barang-
barang tertentu, pencabutan hak tertentu serta pengumuman keputusan hakim.
Semua jenis kejahatan diatur dalam Buku II KUHP. Namun demikian, masih
ada jenis kejahatan yang diatur di luar KUHP, dikenal dengan ”tindak pidana
khusus” misalnya tindak pidana korupsi, subversi, narkotika, tindak pidana
ekonomi. Pelanggaran adalah perbuatan pidana yang ringan, ancaman
hukumannya berupa denda atau kurungan. Semua perbuatan pidana yang
tergolong pelanggaran diatur dalam buku III KUHP.
8

2. Rekonstruksi Kebijakan Ancaman Sanksi Pidana terhadap Tindak


Pidana Perkawinan dalam Hukum Positif di Indonesia

Implementasi ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana perkawinan


belum optimal disebabkan beberapa faktor meliputi faktor pandangan agama,
keadaan ekonomi, pendidikan yang rendah, pengaruh lingkungan, tindak
pidana bersifat delik aduan, ketentuan ancaman sanksi pidana tidak tegas,
ketentuan izin poligami dipandang terlalu ketat, dan pluralisme hukum
perkawinan.8 Sejumlah faktor tersebut dapat dikelompokkan secara garis besar
sebagaimana dalam bagan berikut.
Bagan I
Penyebab Implementasi Sanksi Pidana
terhadap Tindak Pidana Perkawinan belum Optimal

Delik Aduan

-
Ketentuan Ancaman
Sanksi Pidana Tidak
Tegas Yuridis

Pluralisme Hukum
Perkawinan
Implementasi
Pandangan Agama
Tidak
Optimal
Keadaan Ekonomi

Pendidikan Rendah

Pengaruh Lingkungan
Sosiologis
Ketentuan Poligami
Dipandang Terlalu Ketat

Kesadaran Hukum
Masyarakat

8
Disarikan dari Disetasi Penulis.
9

Implementasi ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana


perkawinan yang belum optimal berimplikasi pada penegakan hukum yang
tidak tegas sehingga perlindungan hak-hak perempuan terabaikan meliputi hak
untuk menentukan pasangan, hak dalam nafkah, hak dalam menikmati
hubungan seksual, hak dalam urusan reproduksi, dan hak-hak dalam
perceraian, perlindungan hak-hak anak terabaikan, ketidaktertiban administrasi
kependudukan, serta ketidakpastian hukum dan pada akhirnya berimplikasi
pada keberadaan hukum tidak mempunyai wibawa.9
Bagan 2
Implikasi Implementasi Ancaman Sanksi Pidana
terhadap Tindak Pidana Perkawinan belum Optimal

Ancaman Sanksi Pidana terhadap Tindak Pidana Perkawinan

Implementasi Tidak Optimal

Penegakan Hukum Tidak Tegas

Perlindungan Hak- Perlindungan Ketidaktertiban Ketidakpastian


hak Perempuan Hak-hak Anak Administrasi Hukum
Terabaikan Terabaikan Kependudukan

Hukum Tidak
Berwibawa

9
10

Berdasarkan hasil penelitian mengenai penyebab implementasi


ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana perkawinan dalam hukum
positif di Indonesia yang belum optimal berikut implikasinya, maka urgen
dilakukan rekonstruksi terhadap substansi norma yang mengatur ketentuan
ancaman sanksi pidana tersebut sebagaimana akan dijelaskan berikut.
1. Rekonstruksi Substantif: Memperbesar Nominal Hukuman Denda
Mengingat pentingnya tujuan pidana sebagai pedoman dalam
memberikan atau menjatuhkan pidana, maka dalam Rancangan UU KUHP
2012 dalam Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) ditegaskan bahwa pemidanaan
bertujuan:
1. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat;
2. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna;
3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan menandatangkan rasa damai dalam masyarakat;
4. membebaskan rasa bersalah pada terpidana;
5. pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat manusia.

Berdasarkan urgensi sanksi pidana demi pengayoman negara,


masyarakat dan penduduk serta dikorelasikan dengan hasil penelitian ini
mengenai belum optimalnya implementasi ancaman sanksi pidana terhadap
tindak pidana perkawinan berikut implikasinya, maka perlu melakukan
rekonstruksi kebijakan ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana
perkawinan dalam hukum positif di Indonesia.
Dalam hukum pidana dikenal istilah ultimum remedium, artinya sanksi
pidana dipergunakan jika sanksi-sanksi yang lain sudah tidak berdaya. Dengan
perkataan lain, sanksi pidana dalam suatu undang-undang dicantumkan sebagai
sanksi yang terakhir, setelah sanksi perdata maupun sanksi administratif.
Mekanisme ini dipergunakan agar memberikan kepastian hukum dan proses
hukum pidana yang cukup panjang dapat memberikan keadilan baik terhadap
korban maupun terhadap pelaku itu sendiri. Ultimum remedium merupakan
salah satu asas yang terdapat di dalam hukum pidana Indonesia yang
11

menegaskan bahwa hukum pidana dijadikan upaya terakhir dalam hal


penegakan hukum. Sudikno Mertokusumo mengartikan bahwa ultimum
remedium sebagai alat terakhir.10
Premium remedium merupakan kebalikan dari ultimum remedium,
yakni hukum pidana diberlakukan sebagai pilihan utama. Premium remedium
merupakan suatu teori hukum pidana modern yang menyatakan hukum pidana
sebagai sarana hukum yang diutamakan. Menurut Bambang Poernomo, sanksi
pidana itu termasuk kategori sanksi yang sifatnya noodrecht dalam rangka
pemikiran hukum pidana sebagai sarana hukum ultimum remedium, bukan
premium remedium.11 Akan tetapi, dalam perkembangannya penerapan
ultimum remedium mengalami kendala–kendala karena apabila suatu perbuatan
sudah dianggap benar-benar merugikan kepentingan negara maupun rakyat
baik menurut undang-undang yang berlaku maupun menurut perasaan
sosiologis masyarakat, maka justru sanksi pidana yang menjadi pilihan utama
(premium remedium). Posisi premium remedium dalam konteks hukuman
bukan lagi menjadi obat terakhir, melainkan menjadi obat pertama untuk
membuat jera orang yang melakukan pelanggaran yang bersifat pidana.
Ultimum remedium merupakan asas hukum yang menempatkan hukum
pidana sebagai alat terakhir dalam penegakan hukum, sedangkan premium
remedium adalah teori hukum pidana modern yang menyatakan bahwa hukum
pidana sebagai alat utama dalam penegakan hukum.
Jika dilihat dari sifat hukum pidana itu sendiri, maka tindak pidana
perkawinan merupakan ultimum remedium. Namun, terhadap suatu perbuatan
yang sudah dianggap benar-benar merugikan kepentingan negara maupun
rakyat baik menurut undang-undang yang berlaku maupun menurut perasaan
sosiologis masyarakat merupakan pilihan utama (premium remedium).

10
Sudikno Metokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2006,
Hlm. 128.
11
Bambang Poernomo, S.H. (Ahli Hukum Pidana dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta),
Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 2/PUU-V/2007 dan Perkara Nomor
3/PUU-V/2007.
12

Adanya suatu sistem nilai (value system) yang masih dipertahankan


oleh masyarakat didasarkan atas pendekatan pemikiran tradisional bahwa
peraturan perundang-undangan atau hukum positf (positive law) yang mengatur
tentang pencatatan perkawinan hanya bersifat fakultatif. Peraturan perundang-
undangan yang yang mengatur tentang pencatatan perkawinan sebagai tertib
hukum (rechtsorde) lebih rendah tingkatannya daripada nilai-nila agama
sehingga dapat dikesampingkan. Dalam kerangka pemikiran masyarakat
Indonesia tersebut tahapan pendekatan sosiologis yang memberi pemahaman
dan kesadaran kepada masyarakat bahwa ketentuan mengenai pencatatan
perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan merupakan aturan yang bersifat imperatif/memaksa
(dwangmaatregel).
Berdasarkan uraian dalam analisis tersebut dikorelasikan dengan
implikasi sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka dapat dilakukan
rekonstruksi politik hukum ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana
perkawinan dari ultimum remedium menuju premium remedium. Rekonstruksi
politik hukum yang tidak sekadar menempatkan ancaman sanksi tindak pidana
perkawinan tersebut sekadar sebagai alat terakhir dalam penegakan hukum,
namun menempatkan sanksi tindak pidana perkawinan tersebut sebagai
premium remedium yaitu alat utama dalam penegakan hukum. Akan tetapi,
rekonstruksi yang demikian jika dikaitkan dengan aspek kemaslahatan dan
kemudaratan, justru akan menimbulkan implikasi yang lebih luas antara lain
terhadap perlindungan hak-hak perempuan dan anak. Oleh sebab itu,
rekonstruksi dalam penelitian ini menekankan pada aspek substantif rumusan
norma.
Ancaman sanksi pidana berupa hukuman denda terhadap pelaku yang
melanggar atau pegawai pencatat yang melanggar tindak pidana perkawinan
hanya ditentukan sejumlah Rp7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah)
sebagaimana dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
13

tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan dalam ketentuan Pasal 45.
Ketentuan yang demikian, andaikan dapat ditegakkan namun hukuman
yang dijatuhkan tidak akan menimbulkan efek jera bagi pelaku atau
pejabat/pegawai pencatat. Oleh sebab itu perlu dilakukan rekonstruksi dengan
mengubah hukuman denda tersebut menjadi Rp7.500.000,- (tujuh juta lima
ratus ribu rupiah) untuk orang yang melanggar sebagaimana dimaksud Pasal
Pasal 45 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bagi
pejabat/pegawai pencatat yang melanggar sebagaimana dimaksud Pasal Pasal
45 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah tersebut ancaman hukuman dendanya
menjadi Rp15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Pertimbangan ancaman
hukuman denda bagi pejabat lebih berat karena pejabat tersebut merupakan
orang yang diberi amanat untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan
2. Ancaman Sanksi Pidana Diatur dalam Undang-Undang
Pengaturan mengenai hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan
ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana perkawinan tidak ditemukan
pengaturannya dalam Undang-Undang tersebut. Ketentuan ancaman sanksi
pidana terhadap tindak pidana perkawinan diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam ketentuan Pasal 45.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 5 ditegaskan:
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan
pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
14

Selain asas-asas tersebut, dalam sebuah materi muatan perundang-undangan


harus pula tercermin asas-asas sebagaimana dalam Pasal 6 ayat (1):
Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Lebih lanjut, Pasal 6 ayat (2) menegaskan:


Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan
Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
Menurut Penjelasan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain:
a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa
kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas
kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa dalam


pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus mengacu pada
berbagai asas yang telah ditentukan, termasuk pula dalam pembentukan sebuah
undang-undang. Selain itu, asas-asas tersebut juga menjadi pedoman dalam
merumuskan suatu ketentuan pidana.
Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto,12 ketentuan pidana merupakan
ketentuan yang tidak mutlak ada dalam peraturan perundang-undangan,
sehingga perumusan ketentuan pidana tersebut tergantung pada masing-masing
peraturan perundang-undangan. Namun demikian, peraturan perundang-
12
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Proses dan Teknik
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007, Hlm. 99
15

undangan yang dapat mencantumkan ketentuan pidana hanya Undang-Undang


dan Peraturan Daerah. Pendapat Maria Farida tersebut sesuai dengan ketentuan
Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang menegaskan bahwa materi muatan
mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam:
a. Undang-Undang;
b. Peraturan Daerah Provinsi; atau
c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Berdasarkan analisis tersebut, maka perlu dilakukan rekonstruksi
pengaturan ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana perkawinan yang
hanya diatur dalam Peraturan Pemerintah, maka pengaturannya ketentuan
pidana tindak perkawinan diatur dalam sebuah undang-undang.
Undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan
Peraturan Pemerintah adalah peraturan perundang-undangan di Indonesia yang
ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana
mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk
menjalankan Undang-Undang. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
dinyatakan bahwa Peraturan Pemerintah sebagai aturan "organik" dari Undang-
Undang menurut hierarkinya tidak boleh tumpang tindih atau bertolak
belakang. Peraturan Pemerintah ditandatangani oleh Presiden.
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah merupakan jenis peraturan
perundang-undangan. Pengertian dari peraturan perundang-undangan diatur
dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum
yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara
atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-undangan.
16

Hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 Undang-


Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan tersebut, maka urgen


dilakukan rekonstruksi terhadap ketentuan ancaman sanksi pidana terhadap
tindak pidana perkawinan sebagaimana bagan berikut.
Bagan 3
Rekonstruksi Kebijakan Ancaman Sanksi Pidana
terhadap Tindak Pidana Perkawinan

Ancaman Sanksi Pidana


terhadap Tindak Pidana Rekonstruksi
Perkawinan

Hukuman denda pelanggar Hukuman denda pelaku


Rp7.500,- Rp7.500.000,-

-
Hukuman denda pejabat Hukuman denda pejabat
Rp7.500,- Rp15.000.000,-

-
Diatur dalam Peraturan Diatur dalam Undang-
Pemerintah No. 9/1975 Undang
Rp750,-

-
Menuju Optimalisasi
Ancaman Sanksi
Pidana terhadap
Tindak Pidana
Perkawinan
17

C. Penutup
1. Secara yuridis, ketentuan ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana
perkawinan belum dapat diimplementasikan secara optimal karena
berorientasi pada actual victim sehingga penuntutannya merupakan delik
aduan, selain itu ketentuan ancaman sanksi pidana tersebut sekadar diatur
dalam peraturan pemerintah dengan hukuman denda hanya Rp7.500,-
(tujuh ribu lima ratus rupiah) dan terjadi pluralisme hukum perkawinan.
Secara sosiologis, perkawinan yang tidak dicatatkan dalam pandangan
sebagian masyarakat dianggap sebagai hal yang lazim dilakukan karena
pertimbangan faktor pandangan agama tentang keabsahan perkawinan yang
di dalamnya tidak termasuk pencatatan perkawinan, kebutuhan ekonomi,
pendidikan yang rendah, pengaruh lingkungan, ketentuan poligami
dipandang terlalu ketat, dan kesadaran hukum masyarakat. Implikasinya
pada penegakan hukum tidak tegas sehingga perlindungan hak-hak
perempuan terabaikan, perlindungan hak-hak anak terabaikan,
ketidaktertiban dalam administrasi kependudukan, dan ketidakpastian
hukum dan pada akhirnya keberadaan hukum tidak mempunyai wibawa.
2. Rekonstruksi kebijakan ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana
perkawinan dalam hukum positif di Indonesia yang mampu mewujudkan
perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan adalah:
Pertama, rekonstruksi substantif, yakni mengubah nominal hukuman denda
yang semula Rp7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah) menjadi
Rp7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) bagi orang yang
melanggar sebagaimana maksud Pasal 45 ayat (1) huruf a Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan bagi pejabat/pegawai pencatat yang
melanggar sebagaimana dimaksud Pasal 45 ayat (1) huruf b Peraturan
Pemerintah tersebut ancaman hukuman dendanya semula Rp7.500,- (tujuh
ribu lima ratus rupiah) menjadi Rp15.000.000,- (lima belas juta rupiah).
Kedua, rekonstruksi penempatan pengaturan ketentuan ancaman sanksi
pidana yakni harus diatur dengan undang-undang, tidak sekadar diatur
dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana yang ada saat ini.
18

Berdasarkan hasil penelitian ini memberikan rekomendasi kepada Dewan


Perwakilan Rakyat dan Pemerintah agar hasil penelitian ini dapat dijadikan
rujukan dalam pembentukan perundangan-undangan bidang perkawinan
khususnya mengenai kebijakan ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana
perkawinan untuk mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku dan Artikel
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Proses dan Teknik
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta,1985.
Muladi, Hak Asasi Manusia: Hakikat, Konsep, dan Implikasinya dalam
Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT. Refika Aditama, Bandung,
2005.
--------------------, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni,
Bandung, 1992.
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, 2006.
--------------------, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2003.
Bambang Poernomo, Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara Nomor
2/PUU-V/2007 dan Perkara Nomor 3/PUU-V/2007.
Zaini Ahmad Noeh, Lima Tahun Undang-Undang Peradilan Agama (Sebuah
Kilas Balik), Mimbar Hukum No. 17 Thn. V 1994. Al-Hikmah dan
Ditbinbapera Islam, Jakarta, 1994.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5112415d3f0d7/poligami-bisa-
menjadi-bungkus-kejahatan-p...
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945.
Ketetapan MPR-RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi
Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi
Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk juncto Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang
Penetapan Berlakunya Undang-undang Republik Indonesia Nomor
19

22 Tahun 1946 tanggal 21 November 1946 tentang Pencatatan


Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1958).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Anda mungkin juga menyukai