A. Pendahuluan
Isu tindak pidana1 dalam hukum perkawinan2 sering menjadi topik
bahasan di berbagai forum maupun mass media. Kendati tatacara perkawinan
di Indonesia telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, bahkan diikuti
dengan ancaman sanksi pidana bagi mereka yang melakukan tindak pidana
perkawinan, akan tetapi dalam penerapannya masih terjadi fenomena
perkawinan yang sering diistilahkan dengan “perkawinan sirri”3 dan
“perkawinan kontrak” (mut’ah)4.
1
Tindak pidana menurut sistem KUHP dibagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran
(overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini tidak ditentukan dengan nyata dalam suatu
pasal KUHP, tetapi sudah dianggap demikian adanya, dan ternyata antara lain dari Pasal 4,
Pasal 5, Pasal 39, Pasal 45, dan Pasal 53 Buku I, pada Buku II tentang kejahatan, dan Buku III
tentang pelanggaran. Lihat Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1985,
Hlm. 71
2
Tindak pidana perkawinan baik berupa kejahatan maupun pelanggaran. Tindak pidana
kejahatan dalam hukum perkawinan diatur antara lain dalam ketentuan Pasal 279 KUHP,
sedangkan tindak pidana pelanggaran dalam hukum perkawinan diatur antara lain dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
3
Kata “sirri” berasal dari Bahasa Arab yang berarti rahasia. Berdasar makna etimologis,
perkawinan sirri diartikan perkawinan yang rahasia atau dirahasiakan. Dikatakan demikian
karena prosesi perkawinan sengaja disembunyikan dari publik dengan berbagai alasan, dan
biasanya hanya dihadiri oleh kalangan terbatas. Perkawinan sirri dalam konteks ini adalah
1
2
perkawinan yang sengaja dilakukan di bawah tangan, tidak dicatatkan di KUA dengan berbagai
alasan. https://www.facebook.com/permalink.php?id, diakses terakhir pada 18 Oktober 2014.
4
Perkawinan kontrak (mut’ah), secara etimologis, mempunyai pengertian ”kenikmatan” dan
”kesenangan”. Dalam hukum Islam, perkawinan kontrak adalah suatu ”kontrak” atau ”akad”
antara seorang laki-laki dan wanita yang tidak bersuami, ditentukan akhir waktu perkawinan
dan mas kawin yang harus diserahkan kepada pihak perempuan. Ibid.
5
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5112415d3f0d7/poligami-bisa-menjadi-bungkus-
kejahatan-p..., diakses terakhir pada 18 Oktober 2014.
3
B. Pembahasan
1. Ketentuan Sanksi Pidana terhadap Tindak Pidana Perkawinan dalam
Hukum Positif di Indonesia
6
Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, Hlm. 149
4
larangan pencatatan perkawinan bagi seorang suami yang akan beristri lebih
dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan.
b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946S tentang Pencatatan Nikah, Talak,
dan Rujuk7 yang diberlakukan untuk seluruh Indonesia dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1946 tanggal 21 November
1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar
Jawa dan Madura dalam ketentuan Pasal 3:
(1) Barang siapa melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan
tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) Pasal 1
atau wakilnya dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp50,- (lima puluh
rupiah).
(2) Barang siapa yang menjalankan pekerjaan yang tersebut pada ayat (2) Pasal 1
dengan tidak ada haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan
atau denda sebanyak-banyaknya Rp100,- (seratus rupiah).
(3) Jika seorang laki-laki yang menjatuhkan talak atau merujuk sebagaimana
tersebut pada ayat (1) Pasal 1, tidak memberitahukan hal itu dalam seminggu
kepada pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) Pasal 1 atau wakilnya, maka
ia dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp50,- (lima puluh rupiah).
(4) Orang yang tersebut pada ayat (2) Pasal 1 karena menjalankan pengawasan
dalam hal nikah, atau pun karena menerima pemberitahuan tentang talak dan
rujuk menerima biaya pencatatan nikah, talak, dan rujuk lebih daripada yang
ditetapkan oleh Menteri Agama menurut ayat (4) Pasal 1 atau tidak
memasukkan nikah, talak, dan rujuk di dalam buku pendaftaran masing-
masing sebagai yang dimaksud pada ayat (1) Pasal 2, atau tidak memberikan
petikan daripada buku pendaftaran tersebut di atas tentang nikah yang
dilakukan di bawah pengawasannya atau talak rujuk yang dibukukannya,
sebagai yang dimaksud pada ayat (2) Pasal 2, maka dihukum kurungan
selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp100,-
(seratus rupiah).
(5) Jika terjadi salah satu hal yang tersebut pada ayat pertama, kedua, dan ketiga,
dan ternyata karena keputusan Hakim, bahwa ada orang kawin tidak dengan
mencukupi syarat pengawasan atau ada talak atau ada rujuk tidak
diberitahukan kepada yang berwajib, maka biskal gripir hakim kepolisian
yang bersangkutan mengirim salinan keputusannya kepada pegawai pencatat
nikah yang bersangkutan dan pegawai itu memasukkan nikah, talak, dan rujuk
itu di dalam buku pendaftaran masing-masing dengan menyebut surat
keputusan hakim yang menyatakan hal itu.
7
Undang-Undang ini merupakan penyatuan pencatatan nikah, talak, dan rujuk, menggantikan
Ordonansi-ordonansi, yaitu (a) untuk Jawa dan Madura Stb. 1895 No. 198 jis. Stb. 1922 No.
348 dan Stb. 1931 No. 467; (b) untuk kerajaan Surakarta dan Jogyakarta Stb. 1933 No. 98; (c)
untuk luar Jawa dan Madura Stb. 1910 No. 659 jo. Stb. 1932 No. 482., Zaini Ahmad Noeh,
Lima Tahun Undang-Undang Peradilan Agama (Sebuah Kilas Balik), Mimbar Hukum No.
17 Thn. V 1994, Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, Jakarta, 1994.
6
pidana yang saat ini tetap berlaku di Indonesia (hukum positif) yang
Delik Aduan
-
Ketentuan Ancaman
Sanksi Pidana Tidak
Tegas Yuridis
Pluralisme Hukum
Perkawinan
Implementasi
Pandangan Agama
Tidak
Optimal
Keadaan Ekonomi
Pendidikan Rendah
Pengaruh Lingkungan
Sosiologis
Ketentuan Poligami
Dipandang Terlalu Ketat
Kesadaran Hukum
Masyarakat
8
Disarikan dari Disetasi Penulis.
9
Hukum Tidak
Berwibawa
9
10
10
Sudikno Metokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2006,
Hlm. 128.
11
Bambang Poernomo, S.H. (Ahli Hukum Pidana dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta),
Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 2/PUU-V/2007 dan Perkara Nomor
3/PUU-V/2007.
12
-
Hukuman denda pejabat Hukuman denda pejabat
Rp7.500,- Rp15.000.000,-
-
Diatur dalam Peraturan Diatur dalam Undang-
Pemerintah No. 9/1975 Undang
Rp750,-
-
Menuju Optimalisasi
Ancaman Sanksi
Pidana terhadap
Tindak Pidana
Perkawinan
17
C. Penutup
1. Secara yuridis, ketentuan ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana
perkawinan belum dapat diimplementasikan secara optimal karena
berorientasi pada actual victim sehingga penuntutannya merupakan delik
aduan, selain itu ketentuan ancaman sanksi pidana tersebut sekadar diatur
dalam peraturan pemerintah dengan hukuman denda hanya Rp7.500,-
(tujuh ribu lima ratus rupiah) dan terjadi pluralisme hukum perkawinan.
Secara sosiologis, perkawinan yang tidak dicatatkan dalam pandangan
sebagian masyarakat dianggap sebagai hal yang lazim dilakukan karena
pertimbangan faktor pandangan agama tentang keabsahan perkawinan yang
di dalamnya tidak termasuk pencatatan perkawinan, kebutuhan ekonomi,
pendidikan yang rendah, pengaruh lingkungan, ketentuan poligami
dipandang terlalu ketat, dan kesadaran hukum masyarakat. Implikasinya
pada penegakan hukum tidak tegas sehingga perlindungan hak-hak
perempuan terabaikan, perlindungan hak-hak anak terabaikan,
ketidaktertiban dalam administrasi kependudukan, dan ketidakpastian
hukum dan pada akhirnya keberadaan hukum tidak mempunyai wibawa.
2. Rekonstruksi kebijakan ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana
perkawinan dalam hukum positif di Indonesia yang mampu mewujudkan
perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan adalah:
Pertama, rekonstruksi substantif, yakni mengubah nominal hukuman denda
yang semula Rp7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah) menjadi
Rp7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) bagi orang yang
melanggar sebagaimana maksud Pasal 45 ayat (1) huruf a Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan bagi pejabat/pegawai pencatat yang
melanggar sebagaimana dimaksud Pasal 45 ayat (1) huruf b Peraturan
Pemerintah tersebut ancaman hukuman dendanya semula Rp7.500,- (tujuh
ribu lima ratus rupiah) menjadi Rp15.000.000,- (lima belas juta rupiah).
Kedua, rekonstruksi penempatan pengaturan ketentuan ancaman sanksi
pidana yakni harus diatur dengan undang-undang, tidak sekadar diatur
dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana yang ada saat ini.
18
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku dan Artikel
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Proses dan Teknik
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta,1985.
Muladi, Hak Asasi Manusia: Hakikat, Konsep, dan Implikasinya dalam
Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT. Refika Aditama, Bandung,
2005.
--------------------, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni,
Bandung, 1992.
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, 2006.
--------------------, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2003.
Bambang Poernomo, Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara Nomor
2/PUU-V/2007 dan Perkara Nomor 3/PUU-V/2007.
Zaini Ahmad Noeh, Lima Tahun Undang-Undang Peradilan Agama (Sebuah
Kilas Balik), Mimbar Hukum No. 17 Thn. V 1994. Al-Hikmah dan
Ditbinbapera Islam, Jakarta, 1994.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5112415d3f0d7/poligami-bisa-
menjadi-bungkus-kejahatan-p...
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945.
Ketetapan MPR-RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi
Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi
Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk juncto Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang
Penetapan Berlakunya Undang-undang Republik Indonesia Nomor
19