Oktober 2023
ISSN 1234-5678 Page: 1
Abstrak
Latar Belakang: Salah satu halyang perlu diperhatikan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
adalah pada pasal 2 ayat (2) yang mengatur bahwa “Tiap-tiap perkawinan harus dicatat dengan sah
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Undang-undang yang disebut juga peraturan
perundang-undangan ini secara resmi diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974. Mulai berlakunya undang-
undang tersebut terjadi setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu pada tanggal
1 bulan April tahun 1975. Namun demikian, pembatasan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) masih
menimbulkan kontroversi karena masih banyak orang yang memilih untuk menikah tanpa terlebih dahulu
mencatatkan perkawinannya pada pihak yang ditunjuk yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Dalam
komunitas Muslim, terdapat sekelompok individu yang meyakini bahwa pernikahan dianggap cukup jika
mematuhi prinsip-prinsip yang digariskan dalam hukum Islam. Dalam konteks ini, keharusan adanya
pencatatan resmi atau perolehan akta perkawinan dianggap tidak perlu. Perspektif ini berakar pada
pengamatan sejarah bahwa pencatatan perkawinan belum lazim pada masa Nabi Muhammad SAW dan
bertahan hingga abad ke-18 Masehi. Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi kembali proses
pencatatan perkawinan melalui kacamata ushul fiqh. Berdasarkan temuan penelitian ini, analisis terhadap
proses pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jika dikaji
dari sudut pandang ushul al-fiqh menunjukkan bahwa pengambilan keputusan didasarkan pada asas
mashlahah mursalah.
individu yang ingin melakukan poligami, perkawinan. Pemberitahuan ini harus diberikan setidaknya
mempertahankan tunjangan bagi perempuan yang 10 hari kerja sebelum tanggal pernikahan yang
bercerai, atau mengatasi kendala keuangan yang terkait dijadwalkan. Pemberitahuan tersebut berpotensi
dengan biaya mendapatkan catatan pernikahan. disampaikan baik secara lisan maupun tertulis, dan
Selain kriteria-kriteria tersebut di atas, patut dicatat tanggung jawab calon pengantin, orang tuanya, atau kuasa
bahwa di kalangan umat Islam, terdapat golongan yang hukumnya. Fokus wacana dalam konteks khusus ini
beranggapan bahwa perkawinan akan sah jika memenuhi adalah pada pengujian Pasal 3 dan 4 yang dituangkan
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Hukum Islam dan dalam Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1975. Setelah
pencatatan resmi atau pembuatan akta nikah dianggap seluruh persyaratan telah dilengkapi dengan baik dan
tidak perlu, karena tidak ada zaman Nabi Muhammad tidak ada hambatan hukum, baik agama maupun sipil.
SAW dan para sahabatnya. Pada abad ke-18 M, Selanjutnya, tepat pada waktunya setelah akad nikah,
pencatatan perkawinan belum terwujud. Akibatnya, kedua belah pihak yaitu suami istri membubuhkan tanda
timbul pertanyaan mengenai dasar hukum agama bagi tangannya pada akta pencatatan perkawinan yang telah
suatu negara untuk menerapkan peraturan perundang- dipersiapkan dengan cermat oleh petugas yang ditunjuk.
undangan yang mengamanatkan pencatatan perkawinan Individu mengambil peran sebagai pencatat. Setelah
menurut prinsip syar'i. Dalam hal ini, penulis berupaya selesainya proses penandatanganan ini, baik suami
mengkaji persoalan pencatatan perkawinan melalui maupun istri akan diberikan dokumen sah yang menjadi
kacamata kajian ushul fiqh, yang bertujuan untuk bukti perkawinan, dapat berupa Akta Nikah atau Buku
memberikan pencerahan dan wawasan mengenai pokok Nikah. Pernyataan tersebut di atas sejalan dengan
permasalahan tersebut. ketentuan yang diatur dalam Pasal 13 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 7 ayat (1)
Peraturan Tentang Pencatatan Perkawinan Kompilasi Hukum Islam. Melalui penerbitan Akta Nikah
Sesuai ketentuan yang tercantum dalam Pasal 2 ayat dan pemberian buku nikah kepada kedua mempelai, maka
(1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, keabsahan lembaga perkawinan memberikan pengakuan dan
perkawinan bergantung pada kepatuhan terhadap perlindungan hukum, sehingga menjamin kepastian
peraturan yang ditentukan oleh sistem agama dan hukum perkawinannya. Hal ini mencakup penyediaan
kepercayaan masing-masing. Lebih lanjut, buku tersebut perlindungan hukum terhadap potensi konsekuensi yang
menjelaskan bahwa pernikahan hanya dibatasi pada mungkin terjadi setelah terbentuknya ikatan perkawinan,
individu yang memiliki gagasan dan ideologi agama yang yang mencakup hak dan tanggung jawab yang berkaitan
selaras. Sesuai ketentuan yang tertuang dalam Pasal 2 ayat dengan kedua pasangan. Dalam konteks hubungan timbal
(2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, wajib bagi balik, harta bersama (gonogyny), status anak, dan faktor
semua perkawinan untuk menjalani pencatatan yang sah terkait lainnya.
menurut peraturan yang berlaku. Peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan meliputi Undang-undang Urgensi Pecatatan Perkawinan
nomor. 22 Tahun 1946 dan UU No. 34 Tahun 1954 yang Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pengakuan
membahas berbagai permasalahan yang ada. Selanjutnya dan pemeliharaan perkawinan yang sah dapat dipastikan
kewajiban bagi orang yang dipekerjakan sebagai Pencatat melalui proses pencatatan yang diawasi oleh Pegawai
Perkawinan diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 1 Pencacat Nikah (PPN) pada Kantor Urusan Agama bagi
Tahun 1954 dan Nomor 2 Tahun 1955. Tata cara yang beragama Islam dan pada Kantor Catatan Sipil bagi
pencatatan bagi orang-orang yang mengaku beragama yang non-Muslim, dengan demikian memberikan
Islam yang hendak melangsungkan perkawinan perlindungan terhadap konsekuensi yang muncul sebagai
dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan yang akibat dari perkawinan.
ditentukan dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 9 Dalam hal seorang perempuan menikah dengan laki-
Tahun 1975. Tanggung jawab ini diserahkan kepada laki tetapi perkawinan tersebut tidak dicatatkan secara
Pejabat Pencatat Perkawinan (PPN) yang berada di bawah resmi pada Pencatat Perkawinan (PPN), ia mungkin
naungan KUA. Sedangkan pengawasan pencatatan menghadapi kendala jika ingin meminta
perkawinan bagi orang yang tidak beragama Islam pertanggungjawaban pasangannya atas kelalaian atau
dilakukan oleh Pencatat Nikah yang berkedudukan di kegagalan memenuhi komitmennya. Analisis tersebut
Kantor Catatan Sipil. didasarkan pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 34
Tahap awal dalam proses pencatatan perkawinan ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
adalah memberitahukan kepada Pejabat Pencatat Nikah pokok permasalahan perkawinan, ia dapat menempuh
yang ditunjuk di tempat perkawinan yang telah jalan hukum untuk memaksa suaminya memenuhi
ditentukan, tentang maksud untuk melanjutkan kewajibannya melalui proses pengadilan. Alternatifnya, ia
Jurnal (Lihat Jurnal Perprodi) Vol. 1. Oktober 2023
ISSN 1234-5678 Page: 3
dapat memilih untuk mengajukan gugatan terhadap menegakkan kepastian hukum, dan menjunjung
suaminya karena kelalaiannya sesuai dengan Pasal 9 keharmonisan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Keuntungan pencatatan perkawinan dapat diuraikan
Pemberantasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai berikut:
(KDRT). Namun demikian, tidak adanya dokumentasi a. Pencatatan perkawinan antara laki-laki dan
yang dapat diverifikasi yang mendukung keberadaan perempuan menjadikannya sebagai alat bukti
perkawinan yang diakui secara hukum antara individu yang sah, sehingga memungkinkan digunakan
tersebut dan pasangannya dapat menghambat upayanya. untuk kepentingan kependudukan dan
Terbukti bahwa individu yang mengalami akibat buruk penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini antara lain
atau kerugian akibat perkawinan siri sebagian besar pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu
adalah pihak perempuan. Keluarga, Akta Kelahiran Anak, serta pemenuhan
Pasangan suami istri yang mempunyai anak namun persyaratan pendidikan atau pekerjaan.
belum mencatatkan perkawinannya secara resmi mungkin b. Sebagai alat bukti yang diakui secara hukum dan
akan menghadapi kendala ketika hendak mengurus akta dapat dipercaya dalam proses peradilan di
kelahiran anaknya di Kantor Catatan Sipil. Hal ini Pengadilan Umum/Pengadilan Agama.
disebabkan adanya persyaratan administratif yang c. Akta perkawinan berfungsi sebagai salah satu
mengharuskan adanya fotokopi akta nikah orang tua. bentuk pencatatan yang sah dan dapat diterima
Apabila suami istri tidak memiliki akta nikah resmi, maka guna memperoleh perlindungan hukum terhadap
Kantor Catatan Sipil akan menerbitkan akta kelahiran berbagai hak yang ditetapkan oleh hukum
untuk anaknya, namun nama ayah tidak akan dicantumkan perkawinan. Hak-hak tersebut meliputi hal-hal
dalam akta tersebut. seperti pengaturan tempat tinggal dan tempat
Proses penerbitan akta kelahiran tetap sama bagi anak tinggal istri dan anak, masa iddah hidup, hak
yang tidak mempunyai garis keturunan pihak ayah atau hadhanah (hak nafkah anak), warisan, dan hal-hal
lahir di luar nikah, karena ibu hanya ditunjuk sebagai lain yang berkaitan dengannya.
orang tua. Ada perbedaan dalam akta kelahiran anak yang Sebaliknya, apabila perkawinan tersebut tidak
lahir dari orang tua yang resmi menikah, karena dicatatkan dan dicatatkan secara resmi, maka akan timbul
pencatatannya akan memuat identitas kedua orang tuanya. banyak akibat negatif, antara lain:
Pasangan suami istri yang tidak memiliki akta nikah a. Berdasarkan Putusan Yurisprudensi Mahkamah
karena tidak melakukan pencatatan mungkin akan Agung Nomor 1948/K/Pid/1991, yang
mengalami proses perceraian yang berlarut-larut dijatuhkan pada tanggal 18 Desember 1991,
dibandingkan dengan mereka yang memiliki akta nikah. tidak akan adanya perlindungan hukum terhadap
Sebelum menyelidiki faktor-faktor yang berkontribusi perkawinan tersebut, karena dianggap tidak
terhadap perceraian, biasanya pengadilan menyiarkan terjadi perkawinan oleh negara.
materi ini melalui saluran media massa pada tiga b. Ditolak berperkara oleh Pengadilan Agama
kesempatan terpisah dalam rentang waktu tiga bulan. tentang masalah hukum keluarga seperti
Setelah deklarasi konklusif, pengadilan selanjutnya akan perkawinan, talak, rujuk, hadhanah, iddah, harta
mengevaluasi keabsahan perkawinan, setelah jangka gono-gini, dan warisan karena tidak adanya bukti
waktu wajib setidaknya satu bulan telah tercapai. Sesuai yang dapat diverifikasi, sampai prosedur itsbat
dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (3) perkawinan dilakukan.
yaitu huruf a Kompilasi Hukum Islam, apabila dalam c. Suami dapat berpoligami sewaktu-waktu tanpa
proses pemeriksaan ditentukan bahwa perkawinan yang sepengetahuan istri , mengingkari perkawinan
bersangkutan memenuhi syarat-syarat yang dan bahkan mengingkari anak-anak yang
dipersyaratkan dan menunjukkan keharmonisan dihasilkan dari perkawinan tersebut.
perkawinan, maka perkawinan itu dilangsungkan dengan d. Tidak adanya bukti empiris yang dapat
sah. Pengadilan tidak akan menerima gugatan atau menentukan secara pasti asal muasal bayi dan
permintaan cerai mereka jika mereka tidak mematuhi generasi berikutnya.
syarat dan keadaan pernikahan. e. Akan kesulitan mengelola atau melakukan
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa pengaturan administrasi kependudukan.
mengenai pencatatan perkawinan sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Metode Penelitian
tentang Perkawinan mempunyai arti penting karena Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif,
mampu menjamin terpeliharanya perkawinan, yang melibatkan penggunaan metodologi kualitatif untuk
Jurnal (Lihat Jurnal Perprodi) Vol. 1. Oktober 2023
ISSN 1234-5678 Page: 4
transparansi dan akuntabilitas dalam transaksi untuk mendokumentasikan akad nikah, serupa dengan
komersial. Baik pembeli maupun penjual harus syarat pencatatan akad utang dan piutang, berdasarkan
berpartisipasi aktif dalam proses pendokumentasian dan prinsip qiyas. Kaidah fiqih menyatakan secara tegas:
verifikasi transaksi. Penting bagi penulis, yang mencatat
rincian transaksi, dan saksi, yang membuktikan
الثابت بالبرهان كااثابت بالعيان
keasliannya, untuk bekerja sama secara harmonis tanpa “Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil seperti
menimbulkan komplikasi atau hambatan yang tidak (sepadan)dengan sesuatu yang ditetapkan berdasarkan
perlu satu sama lain. Terlibat dalam perilaku seperti itu kenyataan.”
tentu saja akan dianggap sebagai tindakan jahat atas
nama Anda. Sangat penting untuk menjaga sikap hormat 3. Ijma
kepada Allah, karena Dia adalah sumber utama Dalam kerangka ushul al-fiqh, konsep (ijma') yang
bimbingan dan pengetahuan. Allah memiliki memegang keabsahan hukum hanya sebatas ijma’ para
pengetahuan yang komprehensif tentang segala hal.” fuqaha. Konsep ijma’ berasal dari kesepakatan bersama
para ulama yang mengacu pada kesepakatan bersama
Ayat di atas mengandung perintah untuk yang dicapai para ulama mengenai suatu permasalahan
mendokumentasikan seluruh transaksi muamalah, tertentu dalam kurun waktu tertentu.
dengan menekankan pentingnya tidak hanya mencatat Mengenai konsep ijma' di era kontemporer, terlihat
tetapi juga menghadirkan dua orang saksi laki-laki. bahwa konsep ijma' tidak lazim dicermati dalam
Tujuan dari tindakan ini adalah untuk mengurangi pengertian tradisional. Hal ini dapat dikaitkan dengan
kesalahan, ketidakpastian, dan keraguan. Tafsir Al- tantangan modrn yang terkait dengan pencapaian
Quran mengungkapkan informasi yang berkaitan dengan kesepakatan bulat di antara semua ulama yang berada
konsep muamalah, meliputi berbagai transaksi seperti pada periode yang sama. Faktanya, ciri yang menonjol
jual beli, hutang dan piutang, sewa, dan lain-lain. dari para ulama kontemporer adalah banyaknya
Pernikahan, sebagaimana dipahami secara umum, perbedaan pandanga, sehingga muncul istilah
merupakan aspek penting dari muamalah, atau hukum “perbedaan adalah rahmat”.
komersial Islam. Bukan semata-mata suatu transaksi Meskipun mencapai kesepakatan bersama di antara
biasa, melainkan suatu akad yang sangat mengikat, semua ulama mungkin terlihat mustahil di masa
sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam ayat 21 surat sekarang, para ulama menggunakan metode alternatif
an-Nisa' dalam Al-Qur'an: untuk mengatasi permasalahan yang muncul. Metode-
َو َك ْيَف َتْأُخ ُذ وَنُه َو َقْد َأْفَضٰى َبْعُضُك ْم ِإَلٰى َبْع ض metode ini mencakup pemanfaatan mu'tamar, konferensi,
lokakarya, dan platform serupa untuk menyelesaikan
”Tindakan pemerintah terhadap warga negaranya rumah tangga, yang berlandaskan sakinah, mawaddah,
dilaksanakan dengan tujuan kemaslahatan.” warahmah, serta juga memupuk kebahagiaan abadi dan
kelanggengan. Untuk mencapai tujuan terpuji ini,
Peraturan perundang-undangan dan prosedur beberapa prasyarat harus dipenuhi, di antaranya adalah
pencatatan perkawinan telah ditetapkan di berbagai kepatuhan terhadap kerangka hukum oleh badan
negara Muslim, seperti Indonesia, dengan tujuan untuk pengelola. Proses perolehan pengakuan resmi dari
memastikan manfaat sosial. Penerapan peraturan pemerintah diatur dalam pasal 2 ayat (2) UU No. 1
perkawinan memiliki beberapa tujuan, termasuk Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengatur bahwa
memfasilitasi praktik perkawinan yang terorganisir semua perkawinan harus dilakukan pencatatan yang sah
dalam masyarakat, memastikan kejelasan hukum, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
melindungi kepentingan individu yang terlibat dalam berlaku. Sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (1) Kompilasi
perkawinan serta implikasi terkait, seperti dukungan Hukum Islam, semua perkawinan wajib dicatatkan demi
suami-istri, hubungan orang tua-anak, warisan dan terjalinnya dan terpeliharanya ketertiban perkawinan
seterusnya. Apabila terjadi perbedaan pendapat atau dalam masyarakat.
adanya pihak yang tidak bertanggung jawab, upaya Pemberian Buku Nikah oleh instansi yang
hukum dapat dilakukan oleh salah satu pasangan untuk berwenang yaitu KUA, merupakan bukti yang kuat atas
melindungi atau mengamankan hak-hak individu. Hal ini sahnya pencatatan suatu perkawinan. Surat nikah bisa
dimungkinkan melalui penyerahan akta nikah, yang diibaratkan dengan surat izin mengemudi yang diberikan
menjadi bukti konklusif tentang persatuan yang diakui kepada pengendara sepeda motor atau mobil, sehingga
secara hukum antara suami dan istri. mereka terbebas dari kekhawatiran akan potensi
Kemunculan mashlahah mursalah bertujuan untuk pelanggaran lalu lintas dan sanksi yang dikenakan oleh
secara proaktif menjawab kebutuhan dan aspirasi aparat penegak hukum. Demikian pula pasangan suami
masyarakat yang terus berkembang, memastikan istri yang memiliki akta nikah yang diakui secara hukum
keselarasan hukum Islam dengan maqashidus syar'i-nya. akan merasakan rasa aman dan stabilitas dalam
Penetapan peraturan perundang-undangan khususnya lingkungan rumah tangga mereka, karena mereka
yang berkaitan dengan lembaga perkawinan, merupakan terbebas dari kekhawatiran akan adanya pengawasan dari
salah satu bentuk dari mashlahah mursalah. Satpol PP selama mereka menginap di hotel atau
Selain berfungsi sebagai landasan hukum, pencatatan pengawasan yang tidak beralasan dari masyarakat karena
perkawinan juga berfungsi sebagai upaya preventif yang adanya kecurigaan terhadap hal-hal lain yang terkait.
bertujuan untuk mencegah potensi terganggunya Oleh karena itu, tujuan utama pencatatan perkawinan
keharmonisan dan stabilitas hubungan keluarga. Untuk adalah untuk menciptakan kepastian hukum dan menjaga
mencegah kesalahan pahaman terhadap pihak-pihak kepentingan kedua pasangan. Hal ini termasuk menjamin
yang terlibat dalam perkawinan, penting untuk kepastian hukum dan perlindungan terhadap berbagai
memastikan bahwa individu secara akurat dampak yang timbul dari perkawinan, seperti hak dan
mengungkapkan identitas mereka yang sebenarnya, dan kewajiban timbal balik masing-masing pihak serta
tidak menyembunyikan informasi penting seperti kesejahteraan setiap keturunannya. Menurut Theo
seseorang yang mengaku laki-lak jejaka padahal sudah Huijbers, hukum memiliki tujuan ganda yaitu menjamin
menikah dan memiliki anak. Penerapan upaya preventif keadilan dan memajukan kehidupan yang damai. Hal ini
dalam batasan undang-undang dicontohkan melalui dicapai melalui pemeliharaan kepastian hukum dan
dilakukannya penelitian terhadap syarat-syarat penanganan praktis atas kepentingan nyata dalam
perkawinan oleh Pegawai Panitera, sebagaimana diatur masyarakat kolektif.
dalam Pasal 6 Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1975. Sesuai prinsip Maqashid al-Syari'ah, wajib
Oleh karena itu, tindakan meresmikan ikatan menjauhkan diri dari segala unsur yang berpotensi
perkawinan mempunyai banyak keuntungan dan hasil menimbulkan kerugian. Tidak adanya pencatatan
positif yang secara signifikan meningkatkan kehidupan pernikahan secara formal dapat menimbulkan banyak
individu. Sebaliknya, jika tidak ada ketentuan dan konsekuensi buruk bagi pasangan yang terlibat, serta
pencatatan hukum yang tegas, perkawinan yang tidak bagi individu lain yang terkait dengan ikatan
diatur dengan jelas dapat disalah gunakan oleh para perkawinan. Oleh karena itu, individu yang ingin
pihak yang ikut serta dengan tujuan semata-mata untuk menikah diharapkan tidak hanya mengutamakan
mengejar keuntungan pribadi, dengan merugikan pihak pertimbangan agama tetapi juga mengakui instansi sipil
lain, khususnya suami/istri dan keturunannya. secara kohesif, sehingga menjamin tercapainya tujuan
Selain itu, Al-Quran menjelaskan tujuan perkawinan, akhir pernikahan.
khususnya dalam surat al-Rum ayat 21, yaitu terjalinnya
Jurnal (Lihat Jurnal Perprodi) Vol. 1. Oktober 2023
ISSN 1234-5678 Page: 7
Selain perbedaan pandangan terhadap evaluasi masyarakat. Diakui secara luas bahwa undang-undang
pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal ini secara efektif melindungi banyak hak.
2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Mengingat keadaan yang ada, penulis berpendapat
penulis berpendapat bahwa pencatatan perkawinan bahwa pencatatan perkawinan bukanlah suatu prasyarat
mempunyai manfaat dan manfaat yang besar karena wajib dan bukan merupakan prinsip dasar perkawinan.
efektif menjamin keharmonisan masyarakat. Selain itu, Namun perlu diingat bahwa pencatatan perkawinan
sebagai akibat dari penerapan hukum positif yang merupakan prosedur wajib yang serupa dengan praktik
mengakui akta perkawinan sebagai satu-satunya alat mahar dalam konteks perkawinan. Kehadiran mahar
bukti perkawinan yang diakui secara hukum, maka dalam suatu perkawinan seringkali diakui sebagai suatu
proses pencatatan perkawinan menjadi suatu keharusan. komponen yang esensial. Namun perlu diingat bahwa
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, kebutuhan dalam konteks ini tidak merujuk pada sekedar
penting untuk diketahui bahwa meskipun tidak ada persyaratan atau kesepakatan. Sebaliknya, para ulama
ketentuan yang jelas dalam kitab atau hadis agama mengkategorikannya sebagai perkawinan wajib karena
mengenai pencatatan perkawinan, namun terdapat persepsi mereka tentang sifat imperatifnya. Dalam hal
kesesuaian antara aspek manfaatnya dan tindakan sesuai suatu perkawinan tidak dapat memenuhi pembayaran
dengan hukum Islam yang bertujuan untuk mahar, maka perkawinan itu sendiri tetap mengikat
meningkatkan kesejahteraan manusia. menjamin secara hukum, namun dengan pihak suami yang ikut
pengakuan pencatatan perkawinan sebagai hal yang bertanggung jawab sebagai pihak yang bertanggung
haram (haram). Ketentuan yang diperlukan. Semua pihak jawab untuk memenuhi kewajiban tersebut. Demikian
yang terlibat harus mengetahui dan mematuhi pula halnya dengan pencatatan perkawinan, tidak adanya
persyaratan ini karena landasannya yang kuat pada pencatatan tidak membatalkan perkawinan. Namun,
prinsip maslahat murlah.. penting untuk dicatat bahwa baik suami maupun istri
Pembahasan sebelumnya telah menjelaskan manfaat memikul tanggung jawab karena berpotensi
signifikan yang diberikan oleh pencatatan perkawinan membahayakan kesucian persatuan mereka.
terhadap kehidupan rumah tangga. Meskipun tidak ada Bertentangan dengan pendapat umum, kegagalan dalam
dukungan tekstual yang jelas, namun penerimaan dan memenuhi tanggung jawab perkawinan, terutama dalam
penerapan konsep tersebut di atas tetap diperlukan hal perkawinan tidak diakui secara formal, tidak
karena keselarasan dengan prinsip-prinsip maqashid mengakibatkan batalnya perkawinan. Namun demikian,
syar'iyah. Penting untuk mengatasi masalah khusus yang lemahnya kepatuhan terhadap norma-norma yang
menjadi perhatian, yaitu bahwa peraturan perundang- berlaku menyebabkan menurunnya tingkat perlindungan
undangan mengenai pencatatan perkawinan telah berlaku hukum yang diberikan pemerintah terhadap institusi
selama 38 tahun. Namun, patut dicatat bahwa dalam perkawinan. Ketidakpatuhan ini juga menimbulkan
komunitas Muslim, diskusi terus berlanjut mengenai kesulitan dalam implementasi efektif hak-hak tertentu
validitas dan perlunya undang-undang tersebut. Penulis yang terkait dengan kewarganegaraan, khususnya hak-
mengamati bahwa argumentasi yang ada saat ini hak yang berkaitan dengan keturunan yang lahir dalam
sebagian besar bermula dari ambiguitas status pencatatan ikatan perkawinan.
perkawinan dalam kerangka peraturan perundang-
undangan perkawinan. Selain itu, terdapat
ketidakkonsistenan dalam bahasa yang digunakan dalam Simpulan
undang-undang “pendaftaran perkawinan”, yang Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat
menyebabkan beragam penafsiran. Ada yang disimpulkan bahwa tata cara pencatatan perkawinan yang
berpendapat bahwa pencatatan perkawinan merupakan diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,jika
prasyarat agar perkawinan diakui secara sah, sementara dilihat dari sudut pandang ushul fiqh, putusan ini berpijak
ada pula yang berpendapat bahwa pencatatan pada asas mashlahah mursalah. Tidak adanya larangan
perkawinan hanyalah sekedar kewajiban administratif. atau perintah yang jelas dalam nash mengenai hal ini.
Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa pencatatan Namun karena banyaknya manfaat yang ditawarkannya,
perkawinan merupakan syarat yang harmonis bagi pencatatan nikah merupakan hal yang penting dan wajib
terjalinnya perkawinan. dilakukan . Sebagaimana kaidah Ushul Fiqh:
Sebaliknya, implementasi undang-undang pencatatan
perkawinan telah diakui secara luas telah Berkontribusi
ما ال يتم الوجوب اال به فهو واجب
secara signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan
Jurnal (Lihat Jurnal Perprodi) Vol. 1. Oktober 2023
ISSN 1234-5678 Page: 8
Referensi
Amidi, Saif al-Din Abi al-Hasan Ali bin Ali. 1967. al-
Ihkam Fi Ushul al-Ahkam. Kairo: Muassasah al-
Halabi
Azhari, Muhammad Tahir. 1992. Negara Hukum: Suatu
Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara
Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Bulan Bintang.
Badran, Abu al-‘Ainaini. Ushûl al-Fiqhi al- Islâmî.
Iskandariyah: Muassasah Syabâb al- Jamâ’ah, t.th.
Burnu, Muhammad shidqi bin Ahmad. 1983. al- Wajiz fi
Idhah qawaid al-fiqhiyah al-Kulliyah. Cet. I. Beirut:
Muassasa al-Risalah.
Hanafi, Ibnu Nuzaim, al-, Zayn al-abidin Ibn Ibrahim.
1983. al-Asybah wa al-Nazha’ir. Damaskus: Dar al-
Fikr. Cet. ke-1.
Huijbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum. Yogyakarta:
Kanisius.
Jauziyah, Ibnu al-Qayyim. I’lam Al- Muwaqqi’in.
Maktabah Syamilah Edisi II
Khalaf, Abdul Wahab. 1997. Ilmu Ushul al-Fiqh.
Bandung: Gema Risalah press.
Lajnah Makwanan Min ”idatil Ulama’ wa Fiqoha Fi
Khilafatil Utsmaniyah, Majallatu al-Ahkam al-
Adliyah. Maktabah Syamilah Edisi II.
Nasution, Khoiruddin. 2002. Status Wanita di Asia
Tenggara: Studi Terhadap Perundang- undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan
Malaysia. Jakarta-Leiden: INIS
Ruki , Muhammad. Qawaid al-Fiqh al- Islami. Beirut:
Dar al-Qalam, t.th.
Salam , Izz al-Din bin Abd. 1980. Qawaid al-Ahkam fi
Mashalih al-Anam. Suriah: Dar al-Jalil.
Sayyid Qutb. al-`Adalah al-Ijtima`iyah fi al- Islam.
Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, t.th.
Suyuthi , Jalaluddin bin Abd Rahman bin Abi Bakr.
1399H/1979. al-Asybah wa Nazhair fi Qawaid wa al-
Furu’ Fiqh al-Syafi’i. Beirut: Dar al-Kutub al-‘lmiah.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Zahrah.
Muhammad Abu. 1957. Ushul Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr.