PENDAHULUAN
1
memperoleh perlindungan berupa “access to justice and fair treatment,
restitution,compensation and assistance”.
Sebagai Lembaga Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat harus berhati-hati
dalam merevisi Kitab Undang- undang Hukum Pidana yang diajukan oleh
pemerintah. Revisi KUHP itu dikritisi banyak kalangan karena dinilai
mengandung “pasal-pasal karet” yang kontroversial dan ancaman bagi
masyarakat.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui RUU KUHP 2019
2. Mengetahui Pasal-Pasal RUU KUHP yang kontroversial
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
masyarakat, kurang sesuai dengan perkembangan pemikiran/ide dan aspirasi
tuntutan kebutuhan masyarakat (nasional/ internasional) dan tidak merupakan
sistem hukum pidana yang utuh, karena ada pasal-pasal yang dicabut. Oleh karena
itu, bermunculan UU baru di luar KUHP yang mengatur delik-delik khusus dan
aturan-aturan khusus. Namun UU baru di luar KUHP itu walaupun merupakan
produk nasional, masih tetap berada dalam naungan aturan umum KUHP (WvS).
Jika dilihat dalam kerangka sistem, asas-asas dan dasar-dasar tata hukum pidana
dan hukum pidana kolonial (KUHP) masih tetap bertahan dengan “selimut dan
wajah Indonesia”. Walaupun UU khusus itu membuat aturan khusus yang
menyimpang dari aturan induk KUHP, namun dalam perkembangannya, UU
khusus itu tumbuh seperti tumbuhan/bangunan (kecil) liar yang tidak bersistem.
Kondisi ini merupakan salah satu alasan yang melatarbelakangi perlunya menata
ulang (rekonstruksi) keseluruhan bangunan sistem hukum pidana nasional dalam
bentuk kodifikasi dan unifikasi nasional yang integral.
4
mengatur hukuman bagi pelaku korupsi ialah pidana seumur hidup atau
penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. UU Tipikor pasal 5
memang memuat aturan hukuman bagi pemberi suap mirip dengan pasal
605 RUU KUHP. Akan tetapi, pasal 6 UU Tipikor mengatur hukuman
lebih berat bagi penyuap hakim, yakni 3-15 tahun bui. Bahkan, Pasal 12
UU Tipikor huruf (a) mengatur hukuman bagi pejabat negara atau hakim
penerima suap: pidana seumur hidup atau penjara 4-20 tahun. Tidak heran,
peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM, Zaenur Rohman menilai RUU
KUHP merupakan salah satu rancangan beleid yang, “memanjakan para
koruptor".
5
denda maksimal Rp10 juta bagi mereka yang: (a) memakai bendera negara
untuk reklame/iklan komersial; (b) mengibarkan bendera negara yang
rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam; (c) mencetak, menyulam dan
menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain, atau memasang lencana atau
benda apa pun pada bendera negara; dan (d) memakai bendera negara
untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, tutup barang, yang
menurunkan kehormatannya. Aliansi menilai pasal 235 memuat ancaman
kriminalisasi perbuatan formil ( tanpa memandang niat yang harusnya
berupa penodaan bendera ).Ancaman penjara di pasal 234 pun dinilai
terlalu tinggi yakni 5 (lima) tahun.
6
medis atau mengalami kehamilan sebab perkosaan. Pasal ini juga dinilai
mengabaikan fakta tingginya angka kematian ibu akibat aborsi tidak aman.
7
10. Pasal Pembiaran Unggas dan Hewan Ternak
Pasal 278 RUU KUHP secara khusus mengatur: orang yang membiarkan
unggas miliknya berjalan di kebun atau tanah telah ditaburi benih/tanaman
milik orang lain terancam denda sampai Rp10 juta. Lalu, pasal 279 juga
mengancam setiap orang yang membiarkan hewan ternaknya berjalan di
kebun, tanah perumputan, tanah yang ditaburi benih, atau tanah yang
disiapkan untuk ditaburi benih atau ditanami, dengan pidana denda
maksimal Rp10 juta (kategori II). Bahkan pasal 279 ayat 2 menyatakan,
hewan ternak yang dilibatkan dalam pelanggaran ini dapat dirampas
negara. Baca juga: Demo Mahasiswa di Makassar Ricuh, Wartawan Ikut
Dipukul Aparat Aliansi mencatat pasal ini dikutip dari KUHP lama tanpa
evaluasi terkait relevansinya. Pidana ini dinilai lebih tepat menjadi
pelanggaran administratif yang diatur Perda, jika memang dibutuhkan.
8
14. Pasal terkait Pelanggaran HAM Berat (pasal 598-599)
Pelanggaran HAM berat belum diatur buku 1 RKUHP. Padahal, ini diatur
UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas HAM pun menyoroti
hukuman bagi pelaku genosida di RUU KUHP yang malah lebih rendah
dari ketentuan UU 26/2000.
9
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
DPR periode 2014-2019 bersama pemerintah telah berkomitmen RUU KUHP
sebagai prioritas pada program legislasi nasional (prolegnas) dan meletakkan pada
posisi papan atas yang akan segera dimulai pembahasan. RUU ini diharapkan
menjadi karya monumental dalam tugas legislasi DPR dan sekaligus menjadi
landmark dan penanda legislasi satu dekade mendatang. Pembaharuan hukum
pidana nasional (criminal law reform) diharapkan tidak sekedar menghasilkan
suatu KUHP yang “tambal sulam”, melainkan diharapkan terbentuknya KUHP
nasional yang berkepribadian Indonesia yang 20 sangat menghormati nilai-nilai
agama dan adat, bersifat modern dan sesuai pula dengan nilai-nilai, standar dan
asas serta kecendrungan internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di
dunia. Proses pembaharuan KUHP tidak hanya didasari keinginan untuk
menggantikan karakteristik kolonial dari KUHP yang merupakan “copy” dari
KUHP Belanda 1886, namun dilandasi pula dengan semangat demokratisasi
hukum dalam arti luas yang ingin mempertimbangkan baik aspirasi-aspirasi
infrastruktural, suprastruktural, kepakaran dan aspirasi internasional.
SARAN
Mensosialisasikan kembali secara masif isi dari RUU KUHP tersebut agar
masyarakat lebih bisa memahaminya sehingga masyarakat bisa mendapatkan
penjelasan yang utuh, tak salah tafsir apalagi salah paham agar mendapatkan
masukan substansi-substansi yang lebih baik, sesuai dengan keinginan masyarakat
10