Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebijakan pembaharuan hukum pidana dengan membentuk Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru akan menjadi peletak dasar bagi
bangunan sistem hukum pidana nasional Indonesia sebagai negara merdeka dan
berdaulat, sesuai pula dengan misi dekolinisasi KUHP peninggalan/warisan
kolonial, demokratisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana, dan adaptasi
dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi baik
sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu pengetahuan hukum pidana maupun
perkembangan nilainilai, standar-standar serta norma yang hidup dan
berkembangan dalam kehidupan masyarakat hukum Indonesia dan dunia
internasional, sekaligus sebagai refleksi kedaulatan nasional yang
bertanggungjawab.
Sementara itu terkait dengan pembaharuan hukum pidana pasca
kemerdekaan, sejatinya sudah dimulai dengan diundangkannya UU No. 1 Tahun
1946 yang diumumkan tanggal 26 Februari 1946 tentang peraturan hukum pidana.
Dalam Pasal 5 menegaskan “Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau
sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan
Republik Indonesia sebagai negara merdeka,
atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruh atau sebagian sementara
tidak berlaku”. Bertitik tolak pada tujuan “perlindungan masyarakat” (social
defence), maka tujuan penegakan hukum pidana dapat dibedakan menjadi:
1. Perlindungan masyarakat dari perbuatan anti sosial yang merugikan dan
membahayakan masyarakat, maka tujuan pemidanaannya adalah
mencegah dan menanggulangi kejahatan.
2. Perlindungan masyarakat dari sifat berbahayanya seseorang, maka tujuan
pemidanaannya adalah memperbaiki pelaku kejahatan atau berusaha
mengubah dan mempengaruhi tingkah lakunya agar kembali patuh pada
hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna.
3. Perlindungan masyarakat dari penyalahgunaan sanksi atau reaksi dari
penegak hukum atau warga masyarakat pada umumnya, maka tujuan
pemidanaannya adalah untuk mencegah terjadinya perlakuan atau tindakan
sewenangwenang di luar hukum.
4. Perlindungan masyarakat dari gangguan keseimbangan atau keselarasan
berbagai kepentingan dan nilai akibat dari adanya kejahatan, maka
penegakan hukum pidana harus dapat menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Perlindungan masyarakat
dalam hal ini mencakup pula secara khusus perlindungan korban kejahatan
(victim of crime), yang setelah perang dunia kedua mengemuka. Korban
dalam hal ini mencakup pula korban “abuse of power”, yang harus

1
memperoleh perlindungan berupa “access to justice and fair treatment,
restitution,compensation and assistance”.
Sebagai Lembaga Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat harus berhati-hati
dalam merevisi Kitab Undang- undang Hukum Pidana yang diajukan oleh
pemerintah. Revisi KUHP itu dikritisi banyak kalangan karena dinilai
mengandung “pasal-pasal karet” yang kontroversial dan ancaman bagi
masyarakat.

1.2 Tujuan
1. Mengetahui RUU KUHP 2019
2. Mengetahui Pasal-Pasal RUU KUHP yang kontroversial

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Tindak Pidana


Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana. Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana,
selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan
perundangundangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan
dengan kesadaran hukum masyarakat. Dasar untuk menyatakan suatu perbuatan
sebagai tindak pidana atau bukan bertolak dari asas legalitas formal, namun
demikian juga memberi tempat kepada hukum yang hidup/hukum tidak tertulis
sebagai sumber hukum, ramburambunya yaitu sepanjang sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat
bangsa-bangsa(nilai-nilai nasional dan internasional). Sesuai dengan nilai-nilai
nasional yaitu Pancasila, artinya sesuai dengan nilai paradigma moral religius,
nilai kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan sosial.
Sedangkan nilai-nilai internasional adalah mengacu/bersumber dari istilah ”the
general principle of law recognized by the community of nations” yang terdapat
dalam Pasal 15 ayat 2 ICCPR (International Covenant on Civil and Political
Right).

2.2. Pengertian Restrukturisasi


Restrukturisasi mengandung arti penataan kembali. Dalam, kaitannya
dengan menata ulang bangunan sistem hukum pidana Indonesia, Dilihat dari sudut
sistem hukum (legal system) yang terdiri dari legal substance, legal structure dan
legal culture, maka pembaharuan sistem hukum pidana (penal system reform)
dapat meliputi ruang lingkup yang sangat luas, yaitu:
a. Pembaharuan substansi hukum pidana materiel (KUHP dan UU di luar
KUHP), hukum pidana formal (KUHAP), dan hukum pelaksanaan pidana.
b. Pembaharuan struktur hukum pidana, yang meliputi antara lain
pembaharuan, atau penataan institusi/lembaga, sistem manajemen/tata
laksana dan mekanismenya serta sarana/prasarana pendukung dari sistem
penegakan hukum pidana (sistem peradilan pidana):dan
c. Pembaharuan budaya hukum pidana, yang meliputi antara lain masalah
kesadaran hukum, perilaku hukum, pendidikan hukum dan ilmu hukum
pidana. Pengertian sistem hukum pidana dapat juga dilihat dari sudut
sistem penegakan hukum pidana atau sistem pemidanaan.

2.3. Perkembangan KUHP


Pada awalnya KUHP (WvS) dipandang sebagai induk dan sebagai wujud
dari kodifikasi dan unifikasi. Namun dalam perkembangan selanjutnya, KUHP
dipandang tidak lengkap atau tidak dapat menampung berbagai masalah dan
dimensi perkembangan bentuk-bentuk tindak pidana baru, kurang sesuai dengan
nilai-nilai sosio-filosofik, sosio politik, dan sosio-kultural yang hidup dalam

3
masyarakat, kurang sesuai dengan perkembangan pemikiran/ide dan aspirasi
tuntutan kebutuhan masyarakat (nasional/ internasional) dan tidak merupakan
sistem hukum pidana yang utuh, karena ada pasal-pasal yang dicabut. Oleh karena
itu, bermunculan UU baru di luar KUHP yang mengatur delik-delik khusus dan
aturan-aturan khusus. Namun UU baru di luar KUHP itu walaupun merupakan
produk nasional, masih tetap berada dalam naungan aturan umum KUHP (WvS).
Jika dilihat dalam kerangka sistem, asas-asas dan dasar-dasar tata hukum pidana
dan hukum pidana kolonial (KUHP) masih tetap bertahan dengan “selimut dan
wajah Indonesia”. Walaupun UU khusus itu membuat aturan khusus yang
menyimpang dari aturan induk KUHP, namun dalam perkembangannya, UU
khusus itu tumbuh seperti tumbuhan/bangunan (kecil) liar yang tidak bersistem.
Kondisi ini merupakan salah satu alasan yang melatarbelakangi perlunya menata
ulang (rekonstruksi) keseluruhan bangunan sistem hukum pidana nasional dalam
bentuk kodifikasi dan unifikasi nasional yang integral.

2.4. Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Terbaru


Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang saat
ini akan di sahkan pemerintah diharapkan mampu menjadi jawaban atas segala
kekurangan dan ketertinggalan KUHP peninggalan kolonial belanda yang sedang
di pakai saat ini. KUHP peninggalan belanda sudah tidak sesuai lagi dengan
kondisi masyarakat hukum, yang terus berkembang atau yang sering dikenal
dengan masyarakat modern. Perkembangan masyarakat juga menuntut
perkembangan hukum yang mengikuti dan bergerak sesuai dengan masyarakat,
sehingga hukum pidana mampu menjadi Social Control. Sehingga apa yang
menjadi cita-cita bangsa dan negara dalam mewujudkan masyarakat yang aman,
tertib, maju dan berbudaya dapat diwujudkan.
Namun rancangan KUHP baru ini dikritisi sejumlah kalangan karena
dinilai dapat mengancam kebebasan. Pasal Kontroversial RUU KUHP dan
masalahnya Pemerintah dan DPR merampungkan pembahasan RUU KUHP, 15
September 2019 lalu. Pembahasan akhir dikebut pada 14-15 September 2019 di
Hotel Fairmont, Jakarta. Aliansi Nasional Reformasi KUHP (koalisi 40 LSM)
menilai pembahasan itu 'diam-diam' dan menghasilkan draf yang memuat
sejumlah masalahdiantaranya :

1. Pasal RUU KUHP tentang Korupsi


Sejumlah pasal di RUU KUHP memuat hukuman bagi pelaku korupsi
yang lebih rendah daripada UU Tipikor. Aliansi Nasional Reformasi
KUHP menilai hal ini bisa memicu praktik 'jual-beli' pasal. Misalnya,
pasal 603 RUU KUHP mengatur pelaku korupsi dihukum seumur hidup
atau paling sedikit 2 tahun penjara dan maksimal 20 tahun. Pasal 604 RUU
KUHP mengatur hukuman sama persis bagi pelaku penyalahgunaan
wewenang untuk korupsi. Lalu, pasal 605 mengatur hukuman ke pemberi
suap minimal 1 tahun bui dan maksimal 5 tahun. Pasal 605 pun
mengancam PNS dan penyelenggara negara penerima suap dengan penjara
minimal 1 tahun, serta maksimal 6 tahun. Sedangkan pasal 2 UU Tipikor,

4
mengatur hukuman bagi pelaku korupsi ialah pidana seumur hidup atau
penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. UU Tipikor pasal 5
memang memuat aturan hukuman bagi pemberi suap mirip dengan pasal
605 RUU KUHP. Akan tetapi, pasal 6 UU Tipikor mengatur hukuman
lebih berat bagi penyuap hakim, yakni 3-15 tahun bui. Bahkan, Pasal 12
UU Tipikor huruf (a) mengatur hukuman bagi pejabat negara atau hakim
penerima suap: pidana seumur hidup atau penjara 4-20 tahun. Tidak heran,
peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM, Zaenur Rohman menilai RUU
KUHP merupakan salah satu rancangan beleid yang, “memanjakan para
koruptor".

2. Pasal RUU KUHP tentang Penghinaan Presiden


Pasal kontroversial RUU KUHP yang lain terkait penghinaan terhadap
presiden dan wakil presiden. Pasal 218 mengancam pelaku dengan penjara
maksimal 3,5 tahun. Di pasal 219, pelaku penyiaran hinaan itu diancam
4,5 tahun bui. Di pasal 220 RUU KUHP, dijelaskan bahwa perbuatan ini
menjadi delik apabila diadukan oleh presiden atau wakil presiden. Selain
itu, pasal 353-354 mengatur hukuman bagi pelaku penghinaan terhadap
kekuasaan umum dan lembaga negara. Pelakunya terancam 1,5 tahun bui.
Bila penghinaan itu memicu kerusuhan, pelakunya bisa dihukum 3 tahun
penjara. Dan jika hal itu disiarkan, pelaku terancam 2 tahun bui. Ketentuan
ini ada di KUHP lama dan dinilai merupakan warisan kolonial. Ketua
Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas
Hukum UI, Dio Ashar Wicaksana menilai, pasal ini bisa bersifat 'karet'
dan menjadi alat mengkriminalisasi warga. "Potensi kriminalisasi justru
ketika ada kritik kepada kebijakan presiden […]," ujar Dio pada 19
September lalu. Kata Dio, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006
sebenarnya sudah membatalkan pasal-pasal penghinaan terhadap presiden
karena dinilai tidak sesuai dengan prinsip kepastian hukum dan demokrasi.

3. Pasal RUU KUHP tentang Makar


RUU KUHP mengatur pidana makar melalui pasal 167, 191, 192 dan 193.
Pelaku makar terhadap presiden dan NKRI diancam hukuman mati,
seumur hidup atau bui 20 tahun. Makar terhadap pemerintah yang sah,
juga diancam penjara 12 dan 15 tahun. Pasal 167 menyebut: “Makar
adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan
dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut.” Menurut
analisis Aliansi Reformasi KUHP, definisi makar di dalam RUU KUHP
itu tak sesuai dengan akar katanya pada bahasa Belanda, yakni 'aanslag'
yang berarti penyerangan. Masalah definisi ini dinilai berpotensi
membikin pasal makar bersifat karet dan memberangus kebebasan
berekspresi masyaarakat sipil.

4. Pasal RUU KUHP soal Penghinaan Bendera


RUU KUHP juga mengatur pemidanaan terkait penghinaan bendera
negara. Ketentuan ini diatur pasal 234 dan 235. Di pasal 235, diatur pidana

5
denda maksimal Rp10 juta bagi mereka yang: (a) memakai bendera negara
untuk reklame/iklan komersial; (b) mengibarkan bendera negara yang
rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam; (c) mencetak, menyulam dan
menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain, atau memasang lencana atau
benda apa pun pada bendera negara; dan (d) memakai bendera negara
untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, tutup barang, yang
menurunkan kehormatannya. Aliansi menilai pasal 235 memuat ancaman
kriminalisasi perbuatan formil ( tanpa memandang niat yang harusnya
berupa penodaan bendera ).Ancaman penjara di pasal 234 pun dinilai
terlalu tinggi yakni 5 (lima) tahun.

5. Pasal RUU KUHP terkait Alat Kontrasepsi


Pasal kontroversial lainnya di RUU KUHP ialah soal pemidanaan promosi
kontrasepsi. Pasal 414 mengatur: orang yang mempertunjukkan,
menawarkan, menyiarkan tulisan, menunjukkan untuk bisa memperoleh
alat pencegah kehamilan [kontrasepsi] kepada Anak dipidana denda
maksimal Rp1 juta (kategori I)." Aliansi sipil menganggap pasal 414
menghambat penyebaran info soal alat kontrasepsi dan kesehatan
reproduksi. Pasal ini pun bertentangan dengan program KB pemerintah.
Apalagi, pasal ini bisa menjerat pengusaha retail yang memajang alat
kontrasepsi di toko. Jurnalis yang menulis konten soal alat kontrasepsi pun
bisa terkena pidana. Sekalipun pasal 416 mengecualikan 'pejabat
berwenang' dan aktivitas pendidikan, pidana ini dinilai tidak sesuai era
keterbukaan informasi. Baca juga: Pasal 414 RKUHP: Kental
Kriminalisasi & Mempersulit Pencegahan HIV Di sisi lain, di Indonesia
terdapat 6 peraturan tentang penanggulangan HIV/AIDS yang memuat
aturan “kampanye penggunaan kondom” yang isinya mengizinkan
penyebaran luas info soal alat kontrasepsi. Jaksa Agung (tahun 1978) dan
BPHN (1995) juga telah mendekriminalisasi perbuatan ini mengingat
kondom menjadi salah satu alat efektif untuk mencegah penyebaran HIV.

6. Pasal RUU KUHP soal Aborsi


Pemidanaan terkait aborsi diatur pasal 251, 415, 469 dan 470. Misalnya,
pasal 469 mengatur hukuman bagi perempuan yang menggugurkan
kandungannya, maksimal 4 tahun bui. Orang yang menggugurkan
kandungan perempuan dengan persetujuannya juga bisa dibui maksimal 5
tahun, sesuai isi pasal 470 RUU KUHP. Pasal ini dinilai berpotensi
mengkriminalisasi korban perkosaan yang hamil dan memutuskan untuk
menggugurkan kandungannya. “Kondisi mental korban perkosaan
seharusnya menjadi perhatian bagi negara untuk memberikan
perlindungan hukum seadil-adilnya, bukan malah melakukan
kriminalisasi,” tulis Aliansi Reformasi KUHP dalam siaran persnya, 12
September lalu. Baca juga: Pasal Aborsi pada RKUHP Bisa Jerat Korban
Perkosaan Isi pasal-pasal itu pun tidak sesuai dengan UU Kesehatan pasal
75 ayat 2 yang mengecualikan tindakan aborsi jika dalam keadaan darurat

6
medis atau mengalami kehamilan sebab perkosaan. Pasal ini juga dinilai
mengabaikan fakta tingginya angka kematian ibu akibat aborsi tidak aman.

7. Pasal RUU KUHP tentang Gelandangan


RUU KUHP juga mengatur pemidanaan gelandangan. Pasal 431
mengancam gelandangan dengan denda maksimal Rp1 juta. Direktur
Program ICJR Erasmus Napitupulu mendesak penghapusan pasal ini sebab
ia warisan kolonial yang menilai gelandangan sebagai: Orang tidak
berguna akibat kesalahan dalam hidupnya. Adapun Peneliti hukum Mappi
FH UI Andreas Marbun menilai pasal ini bukan solusi atas masalah
gelandangan, sekaligus aneh. "Lagipula gelandangan, kan, miskin, mana
sanggup mereka bayar denda. Kalau enggak mampu, terus gimana?.

8. Pasal RUU KUHP tentang Zina dan Kohabitasi


Pasal 417 dan 419 mengatur pidana perzinaan dan kohabitasi (hidup
bersama sebagai suami-istri di luar ikatan perkawinan). Pasal 417
mengatur hukuman bagi mereka yang berzina maksimal bui 1 tahun atau
denda Rp10 juta. Pidana ini diatur sebagai delik aduan dari suami, istri,
orang tua dan anak. Sementara pasal 418 mengancam pelaku kohabitasi
dengan penjara 6 bulan dan denda Rp10 juta. Pidana ini delik aduan.
Kepala desa termasuk yang bisa mengadukan tindak kohabitasi ke polisi.
Baca juga: Isi RUU Bermasalah Didemo Mahasiswa Hari Ini di Jakarta &
Kota Lain Kriminalisasi perzinaan dan kohabitasi (yang dilakukan orang
dewasa secara konsensual dan tanpa paksaan) dinilai mengancam privasi
warga. ICJR pun khawatir delik aduan terkait kohabitasi yang
memasukkan kepala desa sebagai pihak pelapor bisa memicu kesewenang-
wenangan dan praktik kriminalisasi berlebihan. Dua pasal itu juga
dianggap mengabaikan fakta jutaan masyarakat adat dan warga miskin
yang masih kesulitan mengakses dokumen perkawinan resmi.

9. Pasal RUU KUHP tentang Pencabulan


Pasal 420 menjadi bermasalah karena mengatur pemidanaan pencabulan
dengan memberikan tekanan kata: "terhadap orang lain yang berbeda atau
sama jenis kelaminnya." ICJR menilai penyebutan kata “sama jenis” tidak
perlu. Menurut ICJR, penyebutan spesifik “sama jenis kelaminnya” malah
menjadi bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual. Pasal
ini dikhawatirkan membuat kelompok orientasi seksual yang berbeda
rentan dikriminalisasi dan semakin distigma negatif. Apalagi, kekerasan ke
komunitas LGBT selama ini sudah sering terjadi. Komisioner Komnas
HAM, Choirul Anam juga mengkritik ketentuan pencabulan yang dipidana
jika dilakukan di muka umum (pasal 420 huruf a). "Bagaimana kalau
orang tidak berdaya ini dicabuli bukan di muka umum? Kalau ini terjadi,
maka tidak akan dilakukan pemidanaan karena tidak dilakukan di muka
umum.

7
10. Pasal Pembiaran Unggas dan Hewan Ternak
Pasal 278 RUU KUHP secara khusus mengatur: orang yang membiarkan
unggas miliknya berjalan di kebun atau tanah telah ditaburi benih/tanaman
milik orang lain terancam denda sampai Rp10 juta. Lalu, pasal 279 juga
mengancam setiap orang yang membiarkan hewan ternaknya berjalan di
kebun, tanah perumputan, tanah yang ditaburi benih, atau tanah yang
disiapkan untuk ditaburi benih atau ditanami, dengan pidana denda
maksimal Rp10 juta (kategori II). Bahkan pasal 279 ayat 2 menyatakan,
hewan ternak yang dilibatkan dalam pelanggaran ini dapat dirampas
negara. Baca juga: Demo Mahasiswa di Makassar Ricuh, Wartawan Ikut
Dipukul Aparat Aliansi mencatat pasal ini dikutip dari KUHP lama tanpa
evaluasi terkait relevansinya. Pidana ini dinilai lebih tepat menjadi
pelanggaran administratif yang diatur Perda, jika memang dibutuhkan.

11. Pasal RKUHP tentang Tindak Pidana Narkoba


Pasal 611- 616 RUU KUHP terkait narkotika, juga dikritik sebab membuat
pendekatan pidana semakin diutamakan di penanganan masalah narkoba.
Aliansi sipil menilai pasal-pasal itu menguatkan stigma narkotika sebagai
masalah pidana saja. Padahal, banyak negara di dunia memproklamirkan
pembaruan kebijakan narkotika dengan pendekatan kesehatan warga. Di
samping itu, pendekatan pidana yang berfokus pada pemberantasan suplai
narkoba dianggap tidak efektif. RKUHP pun dinilai oleh Aliansi masih
memuat ketentuan pasal karet yang diadopsi langsung dari UU 35/2009
tentang narkotika tanpa perbaikan yang lebih memadai.

12. Pasal tentang Contempt of Court


Pasal di RUU KUHP tentang penghinaan terhadap badan peradilan atau
contempt of court juga dikritik. pasal 281 huruf b mengatur pidana denda
Rp10 juta bagi mereka yang: “Bersikap tak hormat terhadap hakim atau
persidangan atau menyerang integritas hakim dalam sidang pengadilan.”
Menurut catatan Aliansi, unsur “bersikap tidak homat” di Pasal 281 huruf
b tidak dijabarkan secara terang pada bagian penjelasan. Selain itu,
menuduh hakim bersikap memihak atau tidak jujur, mestinya sah sebagai
kritik.

13. Pasal Tindak Pidana terhadap Agama


Ketentuan terkait tindak pidana terhadap agama diatur pasal 304-309. Di
antara kritik Aliansi ke pasal-pasal itu: (a) isinya jauh dari standar pasal 20
ICCPR soal konteks pelarangan propaganda kebencian; (b) hanya
melindungi agama yang “dianut” di Indonesia; (c) serta belum memuat
unsur penting, yakni perbuatan “dengan sengaja” terkait tindak pidana
terhadap agama.

8
14. Pasal terkait Pelanggaran HAM Berat (pasal 598-599)
Pelanggaran HAM berat belum diatur buku 1 RKUHP. Padahal, ini diatur
UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas HAM pun menyoroti
hukuman bagi pelaku genosida di RUU KUHP yang malah lebih rendah
dari ketentuan UU 26/2000.

9
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
DPR periode 2014-2019 bersama pemerintah telah berkomitmen RUU KUHP
sebagai prioritas pada program legislasi nasional (prolegnas) dan meletakkan pada
posisi papan atas yang akan segera dimulai pembahasan. RUU ini diharapkan
menjadi karya monumental dalam tugas legislasi DPR dan sekaligus menjadi
landmark dan penanda legislasi satu dekade mendatang. Pembaharuan hukum
pidana nasional (criminal law reform) diharapkan tidak sekedar menghasilkan
suatu KUHP yang “tambal sulam”, melainkan diharapkan terbentuknya KUHP
nasional yang berkepribadian Indonesia yang 20 sangat menghormati nilai-nilai
agama dan adat, bersifat modern dan sesuai pula dengan nilai-nilai, standar dan
asas serta kecendrungan internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di
dunia. Proses pembaharuan KUHP tidak hanya didasari keinginan untuk
menggantikan karakteristik kolonial dari KUHP yang merupakan “copy” dari
KUHP Belanda 1886, namun dilandasi pula dengan semangat demokratisasi
hukum dalam arti luas yang ingin mempertimbangkan baik aspirasi-aspirasi
infrastruktural, suprastruktural, kepakaran dan aspirasi internasional.

SARAN
Mensosialisasikan kembali secara masif isi dari RUU KUHP tersebut agar
masyarakat lebih bisa memahaminya sehingga masyarakat bisa mendapatkan
penjelasan yang utuh, tak salah tafsir apalagi salah paham agar mendapatkan
masukan substansi-substansi yang lebih baik, sesuai dengan keinginan masyarakat

10

Anda mungkin juga menyukai