Anda di halaman 1dari 3

UAS PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

Oleh : AVISENNA
NPM : 2210018412017
Dosen : DR. FITRIATI, S.H., M.H.

POIN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN


2023

Dalam rangka mewujudkan hukum pidana nasional Negara Kesatuan Republik


Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Pemerintah telah
menetapkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana sebagai wujud penyesuaian dengan politik hukum,
keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
yang menjunjung hak asasi manusia.

UU Nomor 1 tahun 2023 tersebut berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal
diundangkan atau 3 (tiga) tahun setelah tanggal 2 Januari 2023. Kitab Undang- Undang
Hukum Pidana atau KUHP merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perbuatan pidana secara materiel di Indonesia. Pengesahan KUHP melalui
UU No.1 Tahun 2023 tersebut sekaligus untuk menggantikan Wetboek van
Strafrecht atau yang juga disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
sebagaimana ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana yang telah beberapa kali diubah.

Secara keseluruhan perbedaan yang mendasar antara Wetboek van Strafrecht dan
Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 adalah filosofi yang mendasari
dibentuknya Wetboek van Strafrecht dilandasi oleh pemikiran aliran klasik yang
berkembang pada Abad ke-18 yang memusatkan perhatian hukum pidana pada
perbuatan atau Tindak Pidana. Sedangkan UU No. 1 Tahun 2023 mendasarkan diri
pada pemikiran aliran neo-klasik yang menjaga keseimbangan antara faktor objektif
(perbuatan/lahiriah) dan faktor subjektif (orang/ batiniah/ sikap batin).

UU 1/2023 tentang KUHP terdiri atas 2 (dua) buku yakni Buku Kesatu dan Buku Kedua.
Buku Kesatu berisi aturan umum sebagai pedoman bagi penerapan Buku Kedua serta
Undang-Undang di luar UU 1/2023, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang sehingga Buku
Kesatu juga menjadi dasar bagi Undang-Undang di luar Undang-Undang No. 1 Tahun
2023.

1
Dalam perkembangannya, pembaruan Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 mengacu
pada 4 (empat) misi antara lain:
1. Rekodifikasi hukum pidana;
2. Demokratisasi hukum pidana;
3. Konsolidasi hukum pidana; serta
4. Adaptasi dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi.

Dengan telah ditetapkannya UU No. 1 Tahun 2023, diharapkan dapat terwujud usaha
pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terarah, terpadu, dan terencana
sehingga dapat mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang sesuai dengan
tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang
dalam masyarakat.

KUHP Nasional merupakan perwujudan reformasi sistem hukum secara menyeluruh


yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia dan HAM secara universal. Sedangkan
KUHP lama tidak mencerminkan Pancasila. Guru Besar Universitas Negeri Semarang
(UNNES), Prof. Dr. H. R. Benny Riyanto, SH., M.Hu, Secara Politik Hukum KUHP
(WvS) tidak mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa maupun dasar falsafah Negera
yaitu Pancasila. Padahal, Pancasila merupakan ideologi atau dasar negara yang sudah
final, sehingga keberadaannya harus menjadi norma dasar dalam penyusunan undang-
undang ataupun regulasi.

Urgensitas mengganti KUHP lama menjadi KUHP Nasional adalah karena telah terjadi
pergeseran paradigma keadilan. Jika dulu menggunakan paradigma keadilan retributif,
kini menjadi keadilan yang korektif bagi pelaku, restoratif bagi korban dan rehabilitatif
bagi korban maupun pelaku.

Bahwa ada pergeseran paradigma dalam ajaran hukum pidana saat ini, yakni dari
paradigma keadilan retributif (balas dendam dengan penghukuman badan) menjadi
paradigma keadilan yang mencakup prinsip-prinsip keadilan korektif (bagi pelaku),
restoratif (bagi korban) dan rehabilitatif (bagi keduanya). Selain itu, KUHP
mengakomodasi nilai-nilai budaya dan bangsa dan memasukkan norma yang
melindungi Pancasila.

KUHP memang sudah diundangkan namun sosialisasi akan terus digencarkan


pemerintah bekerjasama dengan sejumlah pihak seperti para akademisi dan
masyarakat hukum. Hal tersebut dalam rangka memberikan pemahaman yang benar
kepda masyarakat umum terkait pasal-pasal dalam KUHP, terutama pasal-pasal yang
menimbulkan pertanyaan atau sebelumnya menuai kontra.

Pakar Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr.Topo Santoso, S.H., M.H., dalam
pemaparannya menyebut bahwa terdapat Trias Hukum Pidana, yaitu tindak Pidana,
petanggungjawaban pidana, serta pidana dan pemidanaan.

2
Menurut Prof Topo, dalam KUHP baru, tujuan pemidanaan ada pencegahan,
pemasyarakatan atau rehabilitasi, penyelesaian konflik, pemulihan keseimbangan dan
penciptaan rasa aman, serta penumbuhan penyesalan terpidana. Sedangkan terkait
denda, papar Prof. Topo, wajib mempertimbangkan kemampuan, penghasilan dan
pengeluaran terdakwa yang nyata, namun tidak mengurangi penerapan minimum
khusus pidana denda, dapat dibayar dengan cara mengangsur, dan wajib dibayar
dalam jangka waktu tertentu yang dimuat dalam putusan.

Dalam KUHP Nasional telah ada beberapa pembaharuan dan juga telah menganut
nilai-nilai secara universal, yang sejak dulu hingga sekarang tetap ada. Tetapi ada hal-
hal yang kurang sesuai dengan nilai Indonesia itu yang diperbarui. Dalam KUHP,
terdapat sejumlah isu krusial dalam pasal KUHP yang perlu disosialisasikan antara lain
terkait penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, larangan penghasutan
kepada penguasa, pidana mati, serta penodaan agama. Isu krusial lainnya seperti
kejahatan kesusilaan, pencabulan, perzinahan serta living of law. Terkait Living Law,
sebagai bentuk pengakuan & penghormatan terhadap hukum adat (delik adat) yang
masih hidup, namun tetap dengan dibatasi oleh Pancasila, UUD NRI 1945, HAM, dan
asas-asas hukum umum yang berlaku dalam masyarakat bangsa2.

Anda mungkin juga menyukai