Anda di halaman 1dari 28

TUGAS MAKALAH

NEGARA HUKUM PANCASILA

DISUSUN OLEH :
NAMA : BATU MARISI LUMBAN GAOL
NPM : 21.021.111.025
DOSEN PENGAJAR : HERDI MUNTHE, M.H

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS DARMA AGUNG MEDAN
2022

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang Negara
Hukum Pancasila. Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang
limbah dan manfaatnya untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.

Medan,November 2022

Penyusun

BATU MARISI LUMBAN GAOL

2
DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN……………………………...……………………4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………...15
BAB III
PEMBAHASAN……………………………………………………18
BAB IV
PENUTUP………………………………………………………….24
BAB V
PENUTUP………….………………………………………………26
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………28

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, tercantum didalam


Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, sejak
ditetapkanya pada tanggal 18 Agustus 1945 mempunyai kedudukan yang tetap
dan melekat pada kelangsungan Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan
tanggal 17 Agustus 1945, oleh karena itu menjadi sumber hukum positif yang
berlaku mengikat dan memiliki sanksi hukum yang ada pada norma dibawahnya
bagi seluruh warga negara Republik Indonesia.1
Pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Artinya dalam
konteks negara hukum kewenangan untuk melakukan suatu tindakan oleh
pemerintah adalah didasarkan pada sumber kewenangan yang secara jelas
diberikan oleh hukum. Selanjutnya dalam Pasal 29 ayat (1) Undang- Undang
Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ayat (2) berbunyi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. Salah satu asas yang terpenting dalam negara hukum adalah
berlakunya persamaan (Equality before the Law) di mana pemerintah tidak boleh
mendiskriminasikan orang atau golongan tertentu.
Pemerintah melalui Undang-Undang No 1 tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama menyebutkan bahwa di Indonesia
terdapat agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Huchu, dan
sebagian agama tersebut hampir dipeluk oleh seluruh penduduk di Indonesia.
Namun, selain agama tersebut juga mendapat jaminan menurut Pasal 29 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945.
Konsep negara hukum Pancasila yang diterapkan oleh Indonesia menurut
Mahfud MD terdapat 4 (empat) hal yang menjadi prasyarat untuk mewujudkan
hal tersebut berkaitan dalam kebebasan beragama:2

4
a. Pancasila merupakan perpaduan dari unsur individualisme dan
kolektivisme. Sehingga manusia sebagai pribadi mempunyai hak dan
kebebasan asasi, namun sekaligus melekat padanya kewajiban asasi
sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial;
b. Pancasila mengintegrasikan negara hukum yang menekankan pada civil
law, dan kepastian hukum serta konsepsi negara hukum the rule of law,
yang menekankan pada common law, dan rasa keadilan;
c. Pancasila menerima hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat (law
as tool of social engineering) sekaligus hukum sebagai cermin rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat (living law);
d. Pancasila menganut paham religious nation state, tidak menganut atau
mengendalikan suatu agama tertentu (karena bukan Negara agama),
tetapi juga bukan tanpa agama (karena bukan negara sekuler). Disini
negara harus melindungi dan membina semua pemeluk agama tanpa
diskriminasi berdasarkan pertimbangan mayoritas dan minoritas.

Negara Indonesia adalah negara demokratis yang berdasarkan hukum,


oleh karena itu dalam menjalankan pemerintahan negara Indonesia selalu
berdasarkan aturan hukum yang jelas didalamnya terdapat sifat-sifat demokrasi.
Tujuan dalam penyelenggaraan negara yang berdasarkan hukum ini adalah
terciptanya asas kepastian hukum. Franz Magnis Suseno menyatakan demokrasi
dalam konteks negara, yaitu negara demokratis. Magnis menyebutkan bahwa ada
lima ciri hakiki negara demokratis, yaitu:3
1. Negara Hukum;
2. Pemerintah yang berada dibawah kontrol masyarakat;
3. Pemilihan umum yang bebas;
4. Prinsip mayoritas;
5. Adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis.
Menurut Soerjono Soekanto penyelenggaraan kepastian hukum di
lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan,
hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat
abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah
ditentukan secara normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak

5
sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang
kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada
hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law enforcement,
namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya
merupakan proses penyerasian

antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai
kedamaian.4
Salah satu bentuk dari kepastian hukum adalah Putusan Mahkamah
Konstitusi nomor 97/PUU-XIV/2016 menyatakan kata agama dalam Pasal 61
ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
secara bersyarat sepanjang tidak termasuk kepercayaan.
Selanjutnya dalam Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 serta Pasal
29 ayat (2) UUD 1945 menempatkan agama selalu berkaitan dengan
kepercayaan, di mana agama adalah kepercayaan itu sendiri. Hanya saja, dengan
membaca dan memahami keberadaan Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945,
agama dan kepercayaan sangat mungkin dipahami sebagai dua hal yang berbeda
atau tidak sama, namun keduanya sama-sama diakui eksistensinya
Pasal 4 Peraturan Menteri Agama Nomor 9 Tahun 1952 menyatakan
bahwa Aliran kepercayaan merupakan suatu bentuk budaya yang mengacu pada
kepercayaan nenek moyang, diturunkan dari generasi ke genarasi berikutnya dan
terkait dengan animisme yang dipercaya oleh masyarakat tersebut.
Sedangkan agama merupakan eksistensi dari bentuk keselamatan,
pertolongan, semangat hidup, kebahagiaan dan hukum. Hal ini dikarenakan
agama merupakan sumber kebenaran mutlak yang diyakini oleh pemeluknya,
sumber informasi tentang masa yang akan datang, sumber ajaran moral tentang
baik buruk, benar salah, serta berisi nasihat-nasihat. Di Indonesia hukum agama
ada yang berlaku secara normatif dan ada pula yang berlaku secara formal yuridis

6
Misalnya yang berlaku secara normatif adalah bagian dari hukum yang
mempunyai sanksi kemasyarakatan apabila dilanggar, sedangkan yang berlaku
secara formal yuridis antara lain misalnya dalam hukum agama Islam yang
menjadi bagian hukum positif yaitu hukum perkawinan, wakaf, dan sebagaainya.5
Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 29
Undang-Undang Dasar 1945 tentang Agama termasuk menjadi dasaranya.
Kebebasan beragama dan pemeluk aliran kepercayaan merupakan hak sesorang,
hak tersebut termasuk kepentingan dan kebutuhan manusia yang paling penting
dan vital. Kebebasan beragama dan aliran kepercayaan ini seharusnya dilandasi
dan dilaksanakan dengan rasa tanggung jawab oleh pemeluknya untuk mentaati
aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam agamanya masing-masing termasuk
juga tidak menambah atau mengurangi kaidah-kaidah yang ada dalam agama atau
aliran kepercayaan yang dianutnya. Hukum menjadi penengah dan pelindung
antara kebebasan satu individu atau kelompok dengan individu atau kelompok
lain. Maka kebebasan sendiri menurut Magnis Suseno adalah tanda atau ungkapan
martabat manusia, karena kebebasaanya manusia adalah mahkluk yang otonom,
yang menentukan diri sendiri, yang dapat mengambil sikapnya sendiri. Itulah
sebabnya kebebasan berarti banyak bagi manusia. 6 Kebebasan dalam hal ini
diartikan sebagai sebuah kebutuhan rohani, bukan sebagai keinginan atau
kepentingan semata individu.
Kebebasan beragama adalah prinsip yang sangat penting dalam kehidupan
bernegara dan berbangsa, oleh karena itu sebaiknya dimengerti akan makna,
tujuan, dan konsekuensinya, baik oleh negara maupun masyarakat sebagai
pemeluknya. Seharusnya kebebasan itu tetap dalam koridor hukum yang berlaku
di Indonesia yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dimaksudkan untuk
mencapai tujuan yang dikandung dalam Pasal 29 ayat (1) Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa.. Kebebasan beragama dan menjalankan agamanya
sepenuhnya dijamin oleh undang-undang. Walaupun dalam bebarap kasus
terdapat sekelompok orang maupun perorangan yang melakukan ritual keliru dari
agama yang dianutnya.
Hamid S. Attamimi yang mengatakan bahwa Pancasila merupakan norma
atau asas yang menjadi pedoman dan bintang pemandu terhadap Undang-Undang

7
Dasar 1945, perundang-undangan dan peraturan lainnya. Karena hal ini disatu
pihak menunjukan bahwa sebagai cita hukum
(rechtsidee) dalam kehidupan bangsa Indonesia dan di pihak lain sebagai sistem
norma fundamental negara yang aturan tertulisnya terdapat dalam Undang-
Undang Dasar 1945.7 Terdapat asas dan nilai Ketuhanan dalam Pasal 29 UUD
1945 yang menjadi pemandu dan menjadi sistem norma hukum yang mengatur
secara riil dan konkret perilaku kehidupan rakyat Indonesia dalam berKetuhanan.
Selanjutnya dalam tata hukum nasional berkaitan dengan proses pembentukan
hukum, pelaksanaaan sistem atau tatanan hukum yang mengatur kehidupan
masyarakat dalam negara secara nasional.
Berangkat dari permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk
menyusun skripsi dengan judul : “Politik Hukum Lahirnya Pasal 29 Undang-
Undang Dasar 1945”.

B. Rumusan Masalah
Untuk memperoleh kejelasan mengenai apa yang menjadi pokok masalah
dari rumusan judul di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan- pertanyaan
sebagai berikut :
1. Apakah politik hukum yang mendasari lahirnya Pasal 29 Undang- Undang
Dasar 1945?
2. Bagaimana hubungan antara negara, agama dan aliran kepercayaan sebelum
dan setelah Putusan MK Nomor 97/PUU/XIV/2016?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mencapai sasaran atau arah yang dituju, maka setiap usaha harus
mempunyai maksud dan tujuan yang jelas. Adapun maksud dalam penelitian ini
sebagai berikut :
1. Untuk mengkaji politik hukum yang mendasari lahirnya Pasal 29 Undang-
Undang Dasar 1945.
2. Untuk mengkaji hubungan antara negara, agama dan aliran kepercayaan
sebelum dan sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU/XIV/2016.

8
D. Tinjauan Pustaka

1. Negara Hukum
Menurut Harold Laski, negara ada suatu masyarakat yang
diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan
secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan
bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang
hidup dan bekerja sama untuk tercapainya keinginan bersama. masyarakat
merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati, baik oleh individu
maupun asosiasi ditentukan oleh wewenang yang bersifat memaksa atau
mengikat.8 Sedangkan makna kaidah hukum, menurut Sudino M. berasal dari
luar diri manusia yang memaksakan pada kita (heteronom). Dalam hal ini
pengadilan lah sebagai lembaga yang mewakili masyarakat menjatuhi
hukuman.9
Ditinjau dari sifatnya ada dua macam kaidah hukum, yaitu kaidah yang
imperatif dan kaidah fakultatif. Kaidah hukum itu imperatif apabila kaidah
hukum itu bersifat a priori harus ditaati, bersifat mengikat atau memaksa.
Kaidah hukum itu bersifat fakultatif apabila kaidah hukum ini sifatnya
melengkapi, subsidiair, atau dispositif. Kaidah hukum yang isinya perintah
dan larangan bersifat imperatif, sedangkan yang isinya perkenaan bersifat
fakultatif.10
Dalam negara hukum yang merupakan kekuasaan tertinggi di dalam
suatu negara tersebut adalah hukum itu sendiri. Karena baik raja atau
penguasa maupun rakyat atau warga negara, bahkan negara itu sendiri
semuanya tunduk terhadap hukum. Semua sikap, tingkah laku, dan
perbuatannya harus sesuai atau menurut hukum.11
Dalam kajian historis, perkembangan tipe negara hukum membawa
konsekuensi terhadap peranan hukum administrasi negara. Semakin sedikit
campur tangan negara dalam kehidupan masyarakat semakin kecil pula
peranan hukum administrasi negara di dalamnya. Sebaliknya dengan semakin
intensifnya campur tangan negara akan semakin besar pula peranan hukum
administrasi negara. Antara lain terbagi dalam:12

9
a) Negara Polisi/ Polizie Staat.

Negara Polisi adalah negara yang menyelenggaarakan


keamanan dan kemakmuran atau perekonomian. Pada tipe ini
negara bertugas menjaga tata tertib saja atau dengan kata lain
negara jaga malam. Ciri negara ini ialah penyelenggaraan
negara positif (bestuur) dan penyelenggaraan negara negatif
(menolak bahaya yang mengancam negara/keamanan).

b) Negara Hukum Liberal.

Tipe negara hukum liberal ini menghendaki agar supaya negara


berstatus pasif artinya bahwa harus tunduk terhadap
peraturanperaturan negara. Penguasa dalam bertindak sesuai
dengan hukum. Disini kaum liberal menghendaki agar antara
penguasa dan yang dikuasai ada suatu persetujuan dalam bentuk
hukum, serta persetujuan yang menguasai penguasa.

c) Negara Hukum Formal

Negara hukum formal yaitu negara hukum yang mendapat


pengesahan dari rakyat, segala tindakan penguasa memerlukan
bentuk hukum tertentu, harus berdasarkan undang-undang.
Negara hukum formal ini disebut pula dengan negara
demokratis yang berlandaskan negara hukum.

d) Negara Hukum Materiil.

Negara hukum materiil sebenarnya merupakan perkembangan


lebih lanjut daripada negara hukum formal. Jadi apabila pada
negara hukum formal tindakan dari penguasa harus berdasarkan
undang-undang atau harus berlaku asas legalitas, maka dalam
negara hukum materiil tindakan dari penguasa dalam hal
mendesak demi kepentingan warga negaranya dibenarkan

10
bertindak menyimpang dari undang-undang atau berlaku asas
opportunitas.

2. Politik Hukum

Imam Syaukani dan Ahsin Thohari menjelaskan bahwa secara


etimologi, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari
istilah hukum Belanda rechtspolitiek yang merupakan bentukan dari dua suku
kata yaitu recht dan politiek. Dalam bahasa Indonesia kata recht berarti
hukum. Kata politiek, mengandung arti beleid yaitu kebijaksanaan. Jadi secara
etimologi, politik hukum berarti kebijaksanaan hukum (legal policy).13
Menurut Otong Rosadi Politik Hukum adalah proses pembentukan dan
pelaksanaan sistem atau tatanan hukumyang mengatur kehidupan masyarakat
dalam negara secara nasional. Jadi pengertian politik hukum tidak hanya
mengandung makna pembentukan hukum melaui pembentukan peraturan
perundang-undangan (legal substance) sebagaimana dipahami selama ini,
namun juga dalam arti penguatan para penegak hukum dan sarana penegakan
hukum (legal structure) serta pengembangan budaya hukum (legal culture).14
Politik Hukum sebagai suatu kebijakan hukum dan produk hukum yang
dibentuk oleh kekuasaan yang berwenang dan diberlakukan dalam suatu
negara tentunya mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai, dengan
demikian maka setiap politik yang tertera atau terstruktur dalan suatu sistem
hukum.15

Latar belakang memuat pemikiran dan alasan-alasan perlunya


penyusunan Undang-Undang untuk menjelaskan mengapa pembentukan
undang-undang memerlukan suatu kajian yang mendalam dan komprehensif
mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan materi muatan
yang dibentuk.

3. Demokrasi

Demokrasi telah menjadi istilah yang sangat diagungkan dalam sejarah


pemikiran manusia tentang tatanan sosio-politik dan hukum yang ideal.

11
Kepercayaan yang kuat atas teori demokrasi belum dapat tergoyahkan secara
filosofis, sosiologis, maupun dalam format yuridis ketatanegaraan, diiringi
dengan konsep-konsep lain seperti human rights, civil society, maupun konsep
good gevernment, yang pada akhirnya menegaskan posisi teori demokrasi
sebagai konsep yang terbaik yang pernah dicapai oleh pemikiran manusia.16
Bernhard Sutor menyatakan bahwa demokrasi memiliki tanda-tanda
empiris yaitu jaminan terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat,
memperoleh informasi bebas, kebebasan pers, berserikat dan berkoalisi,
berkumpul dan berdemonstrasi, mendirikan partai-partai, beroposisi, lalu
pemilihan yang bebas, sama, rahasia.
Ide sentral dari konsep demokrasi adalah pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia yang bertumpu atas dasar

prinsip kebebasan dan persamaan, adanya undang-undang dasar memberikan


jaminan konstitusional, terhadap asas kebebasan dan persamaan. Dengan
adanya kekuasaan pembuatan undang-undang yang dikaitkan dengan parlemen
dimaksudkan untuk menjamin hukum yang dibuat adalah atas kehendak rakyat
tetapi dikaitkan dengan asas mayoritas, kehendak rakyat diartikan sebagai
kehendak golongan mayoritas.

E. Metode Penelitian

a. Obyek Penelitian

Obyek penelitian dalam hal ini adalah hubungan antara negara agama dan aliran
kepercayaan dalam negara hukum Pancasila.
b. Subyek Penelitian

Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah negara agama, aliran kepercayaan
dan negara hukum Pancasila.
c. Sumber Data

Sumber data penelitian hukum ini terdiri dari :

12
1. Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan,
literatur, makalah dan peraturan yang terkait dengan obyek penelitian.
1) Bahan Hukum Primer:

Kitab Undang–Undang Dasar 1945, Undang–Undang Republik


Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi

Kependudukan, Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 97/PUU-


XIV/2016.
2) Bahan Hukum Sekunder :

Berupa buku literatur dan artikel yang berkaitan dengan obyek


penelitian.
3) Bahan Hukum Tersier :

Berupa kamus hukum dan ensiklopedia yang ada hubungannya dengan


obyek penelitian.
d. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka yaitu dengan


menelusuri dan mengkaji peraturan perundang–undangan, literatur, surat
kabar, majalah, jurnal serta tulisan yang sesuai dan berkaitan dengan materi
penelitian, baik secara historis maupun materi data yang ada.
e. Metode Pendekatan

Dalam penelitian hukum ini, pendekatan yang digunakan oleh penulis


yaitu pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang didasarkan pada
metode ilmiah serta berpedoman pada teori hukum dan perundangan yang ada. f.
Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif yaitu data yang


diperoleh dan dikualifikasikan sesuai dengan permasalahan penelitian,
kemudian diuraikan dengan cara menganalisa data yang diperoleh dari hasil

13
penelitian yang kemudian disusun secara sistematis sehingga akan diperoleh
suatu gambaran yang jelas dan lengkap sehingga dihasilkan suatu kesimpulan
yang dapat digunakan untuk menjawab rumusan masalah yang ada.

BAB II
PERMASALAHAN
Mengenal Unsur Negara Hukum dan Pancasila
Makna Tindak Pancasila, Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu kiranya memahami apa
yang disebut dengan tindak Pancasila. Istilah tindak Pancasila merupakan terjemahan dari
istilah strafbaar feit dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pancasila Belanda yang saat ini
diterapkan sebagai hukum nasional melalui asas konkordansi dengan adanya Kitab
UndangUndang Hukum Pancasila (“KUHP”). Dalam KUHP, tidak terdapat penjelasan
mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri.
Tindak Pancasila yang Anda tanyakan juga biasanya disamakan dengan delik, yang berasal
dari bahasa latin, yakni dari kata delictum.
a. Sebagaimana diterangkan S. R. Sianturi dalam buku Asas-asas Hukum Pancasila di
Indonesia dan Penerapan, dalam peristilahan di Indonesia, delik atau het strafbare feit
telah diterjemahkan oleh para sarjana dan juga telah digunakan dalam berbagai
perumusan undang-undang dengan berbagai istilah bahasa indonesia sebagai (hal 204

14
– 207): perbuatan yang dapat/boleh dihukum;
b. peristiwa Pancasila;
c. perbuatan Pancasila;
d. tindak Pancasila.
e. Dengan demikian, strafbaar feit, delik, dan delictum memiliki padanan istilah yang
sama dengan perbuatan yang dapat/boleh dihukum, peristiwa Pancasila, perbuatan
Pancasila, dan tindak Pancasila.
Delik, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang atau merupakan tindak Pancasila.
S. R. Sianturi dalam buku yang sama mengutip Moeljatno yang memilih menerjemahkan
strafbaar feit sebagai perbuatan Pancasila, yaitu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
Pancasila bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut (hal. 208).
Perbuatan tersebut itu harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak
boleh atau menghambat akan tercapainya tatanan dalam pergaulan masyarakat yang dicita-
citakan oleh masyarakat itu.
Makna perbuatan Pancasila secara mutlak harus termaktub unsur formil, yaitu mencocoki
rumusan undang-undang (tatbestandmaszigkeit) dan unsur materiil, yaitu sifat bertentangan
dengan cita–cita mengenai pergaulan masyarakat atau sifat
melawan hukum

(rechtswirdigkeit).
Sementara itu, S. R. Sianturi dalam buku yang sama juga mengutip Wirjono Prodjodikoro
yang merumuskan tindak Pancasila sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukuman Pancasila dan pelaku itu dapat dikatakan merupakan subjek tindak Pancasila (hal.
208).
Berdasarkan rumusan pengertian tindak Pancasila di atas, untuk menentukan suatu perbuatan
sebagai tindak Pancasila, perbuatan tersebut haruslah perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan Pancasila kepada subjek tindak Pancasila yang melakukannya atau dalam rumusan
hukum Pancasila disebut dengan barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. Dengan kata
lain, perbuatan yang tergolong tindak Pancasila adalah perbuatan yang dilarang dalam hukum
yang dapat diancam dengan sanksi Pancasila.
Unsur-unsur Tindak Pancasila
Menurut S. R. Sianturi, secara ringkas unsur-unsur tindak Pancasila, yaitu (hal. 208):

15
1. adanya subjek;
2. adanya unsur kesalahan;
3. perbuatan bersifat melawan hukum;
4. suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundangan dan
terhadap yang melanggarnya diancam Pancasila; 5. dalam suatu waktu, tempat dan
keadaan tertentu.
Merujuk pada unsur-unsur tindak Pancasila di atas, S. R. Sianturi merumuskan pengertian
dari tindak Pancasila sebagai suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang
dilarang (atau melanggar keharusan) dan diancam dengan Pancasila oleh undang-undang
serta bersifat melawan hukum dan mengandung unsur kesalahan yang dilakukan oleh
seseorang yang mampu bertanggung jawab (hal. 208).
Lima unsur di atas, dapat disederhanakan menjadi unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur
subjektif meliputi subjek dan adanya unsur kesalahan.

Sedangkan yang termasuk unsur objektif adalah perbuatannya bersifat melawan hukum,
tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundangan dan terhadap
pelanggarnya diancam Pancasila, dan dilakukan dalam waktu, tempat dan keadaan tertentu.
P. A. F. Lamintang dalam buku Dasar-dasar Hukum Pancasila Indonesia juga berpendapat
bahwa setiap tindak Pancasila yang terdapat dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan
ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni
unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Yang dimaksud dengan unsur subjektif itu
adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si
pelaku dan termasuk ke dalamnya, yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya
(hal. 193).

Sedangkan yang dimaksud unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu
harus dilakukan
Unsur subjektif dari sesuatu tindak Pancasila itu adalah (hal. 193 – 194):
1. kesengajaan (dolus) atau ketidaksengajaan (culpa);
2. maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di
dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

16
3. macam-macam maksud atau oogmerk, seperti yang terdapat di dalam
kejahatankejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain;
4. merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad, seperti yang terdapat di dalam
kejahatan pembunuhan berencana dalam Pasal 340 KUHP;
5. perasaan takut atau vrees, seperti terdapat di dalam rumusan tindak Pancasila menurut
Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak Pancasila adalah (hal. 194):
1. sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkbeid;
2. kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam
kejahatan jabatan atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan
terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
3. kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu
kenyataan sebagai akibat.
Unsur wederrechttelijk selalu harus dianggap sebagai disyaratkan di dalam setiap rumusan
delik, walaupun unsur tersebut oleh pembentuk undang-undang tidak dinyatakan secara tegas
sebagai salah satu unsur dari delik yang bersangkutan (hal. 194).

P. A. F. Lamintang kemudian menerangkan apabila unsur wederrecttelijk dinyatakan secara


tegas sebagai unsur dari delik, maka tidak terbuktinya unsur tersebut di dalam peradilan akan
menyebabkan hakim harus memutus sesuatu vrijkpraak atau pembebasan (hal. 195).

Apabila unsur wederrecttelijk tidak dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik, maka
tidak terbuktinya unsur tersebut di dalam peradilan akan menyebabkan hakim harus
memutuskan suatu ontslag van alle rechtsvervolging atau suatu “pembebasan dari segala
tuntutan hukum” (hal. 195).

Maka, untuk mengetahui apakah suatu perbuatan adalah tindak Pancasila atau bukan,
perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur delik atau tindak Pancasila yang dimaksud
itu.

17
Penerapan Unsur-unsur Tindak Pancasila
Untuk mengetahui apakah perbuatan dalam sebuah peristiwa hukum adalah tindak Pancasila
dapat dilakukan analisis mengenai apakah perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur
yang diatur dalam sebuah ketentuan pasal hukum Pancasila tertentu.

Untuk itu, harus diadakan penyesuaian atau pencocokan (bagian-bagian/kejadian-kejadian)


dari peristiwa tersebut kepada unsur-unsur dari delik yang didakwakan.

Jika ternyata sudah cocok, maka dapat ditentukan bahwa peristiwa itu merupakan suatu
tindak Pancasila yang telah terjadi yang (dapat) dimintakan pertanggungjawaban Pancasila
kepada subjek pelakunya. Namun, jika salah satu unsur tersebut tidak ada atau tidak terbukti,
maka harus disimpulkan bahwa tindak Pancasila belum atau tidak terjadi.

Hal ini karena, mungkin tindakan sudah terjadi, tetapi bukan suatu tindakan yang terlarang
oleh undang-undang terhadap mana diancamkan suatu tindak Pancasila.

Mungkin pula suatu tindakan telah terjadi sesuai dengan perumusan tindakan dalam pasal
yang bersangkutan, tetapi tidak terdapat kesalahan pada pelaku dan/atau tindakan itu tidak
bersifat melawan hukum.

BAB III
PEMBAHASAN
Konsepsi Negara Hukum Pancasila

Seperti telah dinyatakan dalam Penjelasan UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara
hukum ( Rechtsstaat ) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka ( Machtsstaat ), yang dalam
Perubahan UUD 1945 penjelasan bahwa Indonesia merupakan negara hukum sangatlah
bernilai konstitutif kemudian ditegaskan ke dalam Pasal 1 ayat (3) UndangUndang Dasar

18
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang menyatakan bahwa
“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam Perubahan UUD 1945 inilah tidak
disebutkan lagi bahwa Indonesia menganut konsep Rechtsstaat namun lebih diterjemahkan
kedalam konsep negara hukum. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah konsep negara
hukum yang sesungguhnya dianut oleh Indonesia pasca Perubahan UUD 1945, apakah itu
Rechtsstaat ataukah the Rule of Law (?)Pertanyaan yang muncul dan tidak kalah penting juga
adalah apakah sebelum dilakukannya Perubahan UUD 1945 negara Indonesia memang
benarbenar sepenuhnya menganut konsep Rechtsstaat (?). Untuk dapat mengetahui apakah
konsep negara hukum yang sebenarnya dianut oleh negara Indonesia adalah dengan melihat
pada Pembukaan dan Pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 sebagai keseluruhan sumber
politik hukum Indonesia. Adapun yang menjadikan dasar penegasan keduanya sebagai
sumber politik hukum nasional adalah pertama, Pembukaan dan Pasal-pasal dalam UUD NRI
Tahun 1945 memuat tujuan, dasar, cita hukum, dan norma dasar negara Indonesia yang harus
menjadi tujuan dan pijakan dari politik hukum Indonesia. Kedua, Pembukaan dan Pasal-pasal
dalam UUD NRI Tahun 1945 mengandung nilai khas yang bersumber dari pandangan dan
budaya bangsa Indonesia yang diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia.6 Dengan
melihat pada dua parameter tersebut jelas bahwa konsep yang dianut oleh negara hukum
Indonesia sejak zaman kemerdekaan hingga saat ini bukanlah konsep Rechtsstaat dan bukan
pula konsep the Rule of Law , melainkan membentuk suatu konsep negara hukum baru yang
bersumber pada pandangan dan falsafah hidup luhur bangsa Indonesia. Konsep baru tersebut
adalah negara hukum Pancasila sebagai kristalisasi pandangan dan falsafah hidup yang sarat
dengan nilai-nilai etika dan moral yang luhur bangsa Indonesia, sebagaimana tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945 dan tersirat di dalam Pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945. Dapat
dipahami bahwa Pancasila merupakan norma dasar negara Indonesia ( grundnorm ) dan juga
merupakan cita hukum negara Indonesia ( rechtsidee ) sebagai kerangka keyakinan ( b elie f f
r a m e w o r k ) yang bersifat normatif dan konstitutif. Bersifat normatif karena berfungsi
sebagai pangkal dan prasyarat ideal yang mendasari setiap hukum positif, dan bersifat
konstitutif karena mengarahkan hukum pada tujuan yang hendak dicapai. Pada tahap
selanjutnya Pancasila menjadi pokok kaidah fundamental negara “ staatsfundamentalnorm”
dengan dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945).
Konsep negara hukum Pancasila inilah yang menjadi karakteristik utama dan membedakan
sistem hukum Indonesia dengan sistem hukum lainnya, dimana jika dikaitkan dengan literatur
tentang kombinasi antara lebih dari satu pilihan nilai sosial, disebut sebagai pilihan prismatik

19
yang dalam konteks hukum disebut sebagai hukum prismatik.7 Dapat dipahami bahwa negara
hukum Pancasila adalah bersifat prismatik (hukum prismatik). Hukum prismatik adalah
hukum yang mengintegrasikan unsur-unsur baik dari yang
Yang membedakan pasal Pancasila masuk dalam delik formil atau delik materil, yaitu sebagai
berikut: “Pada delik formil, yang dirumuskan adalah tindakan yang dilarang (beserta
hal/keadaan lainnya) dengan tidak mempersoalkan akibat dari tindakan itu. Misalnya pasal:
160 Kitab Undang Undang Hukum Pancasila (“KUHP”) tentang penghasutan, 209 KUHP
tentang penyuapan, 242 KUHP tentang sumpah palsu, 362 KUHP tentang pencurian. Pada
pencurian misalnya, asal saja sudah dipenuhi unsur-unsur dalam pasal 362 KUHP, tindak
Pancasila sudah terjadi dan tidak dipersoalkan lagi, apakah orang yang kecurian itu merasa
rugi atau tidak, merasa terancam kehidupannya atau tidak. Contoh dari Delik Formil dalam
KUHP adalah Pasal 285 KUHP hanya mengancam barang siapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya untuk persetubuh (perbuatan
aktif atau positif). nDalam hal ini, Pasal 285 KUHP tidak mensyaratkan bahwa perempuan
tersebut harus hamil sebagai akibat dari persetubuhan tersebut, karena pasal tersebut tidak
bertujuan untuk mencegah kehamilan, tetapi untuk melindungi dari nafsu bejat lelaki.
Sedangkan. Delik material selain dari pada tindakan yang terlarang itu dilakukan, masih harus
ada akibatnya yang timbul karena tindakan itu, baru dikatakan telah terjadi tindak Pancasila
tersebut sepenuhnya (voltooid). Misalnya: pasal 187 KUHP tentang pembakaran dan
sebagainya, 338 KUHP tentang pembunuhan, 378 KUHP tentang penipuan, harus timbul
akibat-akibat secara berurutan kebakaran, matinya si korban, pemberian sesuatu barang.”
Contoh dari delik materil adalah penganiayaan menurut Pasal 335 KUHP, 31 hanya Pasal 531
ayat (4) KUHP memperluas pengertian penganiayaan dengan membiarkan penafsiran
autentik, yang menyatakan dengan penganiayaan disamakan dengan merusak kesehatan.
Menurut Drs. P.A.F. Lamintang, dalam bukunya Dasar Dasar Hukum Pancasila Indonesia
(hal. 213), perbedaan delik formal dengan delik materil adalah sebagai berikut: “Delik formil
ialah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan
diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Sedangkan delik materil, delik yang
dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan
hukuman oleh undang-undang.”
Cara membedakan delik formil dan delik materil adalah kedua delik tersebut lebih
menitikberatkan pada cara merumuskan tindak Pancasilanya. Untuk itu sebagai referensi,
dikutip pendapat dari Drs. Adami Chazawi, dalam bukunya Stelsel Pancasila, Tindak

20
Pancasila, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pancasila (hal. 119), yang
menyatakan:
“Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan secara tegas perihal
larangan melakukan perbuatan tertentu. Yang menjadi pokok larangan dalam rumusan itu
ialah melakukan perbuatan tertentu. Dalam hubungannya dengan selesainya tindak Pancasila,
jika perbuatan yang menjadi larangan itu selesai dilakukan, tindak Pancasila itu selesai pula
tanpa bergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan.
Sedangkan perumusan dengan cara materil maksudnya ialah yang menjadi pokok larangan
tindak Pancasila ialah pada menimbulkan akibat tertentu, disebut dengan akibat yang dilarang
atau akibat konstitutif. Titik beratnya larangan adalah pada menimbulkan akibat, sedangkan
wujud perbuatan apa yang menimbulkan akibat itu tidak menjadi persoalan. Dalam
hubungannya dengan selesainya tindak Pancasila, maka untuk selesainya tindak Pancasila
bukan bergantung pada selesainya wujud perbuatan, tetapi bergantung pada apakah dari
wujud perbuatan itu akibat yang dilarang telah timbul atau belum.”
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa, delik formil tidak diperlukan adanya akibat, dengan
terjadinya tindak Pancasila sudah dinyatakan tindak Pancasila tersebut telah terjadi. Berbeda
dengan delik materil, tindak Pancasila dinyatakan terjadi jika telah ada akibatnya.

Membumikan Konsep Negara Hukum Pancasila Secara filosofis

Pembukaan UUD 1945 merupakan m o d u s viv e n di (kesepakatan luhur) bangsa Indonesia


untuk hidup bersama dalam ikatan satu bangsa yang majemuk. Ia juga dapat disebut sebagai
tanda kelahiran (certificate of birth) yang di dalamnya memuat pernyataan kemerdekaan
(proklamasi) serta identitas diri dan pijakan melangkah untuk mencapai cita-cita bangsa dan
tujuan nasional. Dari sudut hukum, Pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila itu
menjadi dasar falsafah negara yang melahirkan cita hukum (rechtsidee) dan dasar sistem
hukum tersendiri sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia sendiri. Pancasila sebagai dasar negara
menjadi sumber dari segala sumber hukum yang memberi penuntun hukum serta mengatasi
semua peraturan perundang-undangan. Dalam kedudukannya yang demikian, Pembukaan
UUD 1945 dan Pancasila yang dikandungnya menjadi staatsfundamentalnorms atau
pokokpokok kaidah negara yang fundamental dan tidak dapat diubah dengan jalan hukum,
kecuali perubahan mau dilakukan terhadap identitas Indonesia yang dilahirkan pada tahun
1945. Dalam melakukan perumusan konsep penyelenggaraan negara Indonesia berdasarkan

21
konsep negara hukum Pancasila, sebelumnya perlu diketahui apakah tujuan penyelenggaraan
negara Indonesia, atau apakah tujuan negara Indonesia. Hal ini penting karena konsep
penyelenggaraan negara hukum Pancasila harus selalu tertuju pada terwujudnya tujuan negara
Indonesia. Tujuan negara Indonesia secara definitif tertuang dalam alenia keempat
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yaitu : 1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia; 2. Memajukan kesejahteraan umum; 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa; 4.
Ikut melaksanakan perdamaian dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial. Terwujudnya tujuan negara ini menjadi kewajiban negara Indonesia sebagai
organisasi tertinggi bangsa Indonesia yang penyelenggaraannya harus didasarkan pada lima
dasar negara (Pancasila). Dari sini dapat dipahami bahwa Pancasila merupakan pedoman
utama kegiatan penyelenggaraan negara yang didasarkan atas prinsip Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Dalam rangka terwujudnya tujuan negara Indonesia tersebut maka
dalam setiap kebijakan negara yang diambil oleh para penyelenggara negara (termasuk di
dalamnya upaya melakukan pembangunan sistem hukum nasional) dalam upaya
penyelenggaraan negara hukum Pancasila harus sesuai dengan empat prinsip cita hukum
(rechtsidee) Indonesia (Pancasila), yakni:9 1. Menjaga integrasi bangsa dan negara baik
secara ideologis maupun secara teritorial; 2. Mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dan
negara hukum (nomokrasi) sekaligus, sebagai satu kesatuan tidak terpisahkan; 3.
Mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; 4.
Menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan berkeadaban dalam hidup beragama. Oleh
karenanya dalam penyelenggaraan negara hukum Pancasila, harus dibangun suatu sistem
hukum nasional yang 1. Bertujuan untuk menjamin integrasi bangsa dan negara baik secara
ideologis maupun secara teritorial; 2. Berdasarkan atas kesepakatan rakyat baik diputuskan
melalui musyawarah mufakat maupun pemungutan suara, dan hasilnua dapat diuji
konsistensinya secara yuridis dengan rechtsidee ; 3. Bertujuan untuk mewujudkan
kesejahteraan umum dan keadilan sosial; 4. Bertujuan untuk mewujudkan toleransi beragama
yang berkeadaban, dalam arti tidak boleh mengistimewakan atau mendiskriminasikan
kelompok-kelompok atau golongan-golongan tertentu. Pembangunan sistem hukum nasional
tersebut, bersumber pada dua sumber hukum materiil, yakni sumber hukum materiil pra
kemerdekaan dan sumber hukum materiil pasca kemerdekaan. Adapun yang termasuk sumber
hukum materiil pra kemerdekaan terdiri dari (1) hukum adat asli, sebagai suatu living law

22
yang telah hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia; (2) hukum agama baik
hukum Islam maupun hukum agama lainnya; (3) hukum Belanda; (4) hukum Jepang.
Sedangkan sumber hukum materiil pasca kemerdekaan terdiri dari: (1) instrumen hukum
internasional; (2) perkembangan hukum dalam civil law system; (3) perkembangan hukum
dalam common law system . Pada tahap selanjutnya dari dua sumber hukum materiil pra dan
pasca kemerdekaan ini dibangunlah suatu sistem hukum nasional yang ditujukan untuk
melakukan perubahan sistem hukum nasional dan pembaharuan sistem hukum nasional.
Pembangunan sistem hukum nasional ini dilakukan dengan didasarkan pada Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia sebagai titik dimulainya pembangunan sistem hukum
nasional dan didasarkan pada UUD Tahun 1945 (atau UUD NRI Tahun 1945, pasca
perubahan UUD) dimana di dalam pembukaan dan pasal-pasal dalam undang-undang dasar
memuat tujuan, dasar, cita hukum, dan norma dasar negara Indonesia yang harus menjadi
tujuan dan pijakan dari pembangunan sistem hukum nasional. Dengan didasarkan pada
prinsip-prinsip Pancasila yang bersifat prismatik inilah maka diharapkan lahir sebuah sistem
hukum nasional Indonesia yang seutuhnya sehingga dapat mewujudkan tujuan negara
Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Adapun
dalam pembangunan sistem hukum nasional dewasa ini (pasca reformasi) tidak terlepas dari
berbagai hambatan baik itu yang berasal dari dalam (intern) maupun luar (ekstern). Hambatan
yang berasal dari dalam antara lain pertama, budaya masyarakat yang cenderung feodalistik
dan paternalistik menyebabkan hukum menjadi elitis dan korup.
Kedua, tidak adanya kesadaran politik kebangsaan dan kenegaraan (politik nasional) para
penyelenggara negara, sehingga hukum yang notabene merupakan suatu hasil dari proses
politik tidak mendasarkan dirinya pada kepentingan nasional namun hanya pada kepentingan
kelompok atau golongan tertentu. Sedangkan hambatan yang berasal dari luar adalah pertama,
pengaruh globalisasi yang membawa ideologi-ideologi lain diluar Pancasila sehingga
mempengaruhi pemahaman yang utuh terhadap Pancasila serta mempengaruhi pola pikir
(mind set) masyarakat. Kedua, adanya tekanan politik luar negeri negara adikuasa, sehingga
terjadi pertentangan antara kepentingan nasional dan kepentingan asing yang sangat
mempengaruhi proses pembangunan sistem hukum nasional.

23
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Membumikan Konsep Negara Hukum Pancasila Secara filosofis, Pembukaan UUD 1945
merupakan m o d u s viv e n di (kesepakatan luhur) bangsa Indonesia untuk hidup bersama
dalam ikatan satu bangsa yang majemuk. Ia juga dapat disebut sebagai tanda kelahiran
(certificate of birth) yang di dalamnya memuat pernyataan kemerdekaan (proklamasi) serta
identitas diri dan pijakan melangkah untuk mencapai cita-cita bangsa dan tujuan nasional.
Dari sudut hukum, Pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila itu menjadi dasar falsafah
negara yang melahirkan cita hukum (rechtsidee) dan dasar sistem hukum tersendiri sesuai
dengan jiwa bangsa Indonesia sendiri. Pancasila sebagai dasar negara menjadi sumber dari
segala sumber hukum yang memberi penuntun hukum serta mengatasi semua peraturan
perundangundangan. Dalam kedudukannya yang demikian, Pembukaan UUD 1945 dan
Pancasila yang dikandungnya menjadi staatsfundamentalnorms atau pokok-pokok kaidah
negara yang fundamental dan tidak dapat diubah dengan jalan hukum, kecuali perubahan mau
dilakukan terhadap identitas Indonesia yang dilahirkan pada tahun 1945.
Dalam melakukan perumusan konsep penyelenggaraan negara Indonesia berdasarkan konsep
negara hukum Pancasila, sebelumnya perlu diketahui apakah tujuan penyelenggaraan negara
Indonesia, atau apakah tujuan negara Indonesia. Hal ini penting karena konsep
penyelenggaraan negara hukum Pancasila harus selalu tertuju pada terwujudnya tujuan negara
Indonesia. Tujuan negara Indonesia secara definitif tertuang dalam alenia keempat
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yaitu : 1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia; 2. Memajukan kesejahteraan umum; 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa; 4.
Ikut melaksanakan perdamaian dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial. Terwujudnya tujuan negara ini menjadi kewajiban negara Indonesia sebagai
organisasi tertinggi bangsa Indonesia yang penyelenggaraannya harus didasarkan pada lima
dasar negara (Pancasila). Dari sini dapat dipahami bahwa Pancasila merupakan pedoman
utama kegiatan penyelenggaraan negara yang didasarkan atas prinsip Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.

24
2. Saran
Dalam rangka terwujudnya tujuan negara Indonesia tersebut maka dalam setiap kebijakan
negara yang diambil oleh para penyelenggara negara (termasuk di dalamnya upaya
melakukan pembangunan sistem hukum nasional) dalam upaya penyelenggaraan negara
hukum Pancasila harus sesuai dengan empat prinsip cita hukum (rechtsidee) Indonesia
(Pancasila), yakni:9 1. Menjaga integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun
secara teritorial; 2. Mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum
(nomokrasi) sekaligus, sebagai satu kesatuan tidak terpisahkan; 3. Mewujudkan kesejahteraan
umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; 4. Menciptakan toleransi atas dasar
kemanusiaan dan berkeadaban dalam hidup beragama.

25
BAB V
PENUTUP

Dengan begitu maka diharapkan dapat tercipta suatu sistem hukum nasional yang 1) dapat
menjamin integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun secara teritorial; (2)
berdasarkan atas kesepakatan rakyat baik diputuskan melalui musyawarah mufakat maupun
pemungutan suara, dan hasilnya dapat diuji konsistensinya secara yuridis dengan rechtsidee ;
(3) dapat mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial; (4) dapat mewujudkan
toleransi beragama yang berkeadaban, dalam arti tidak boleh mengistimewakan atau
mendiskriminasikan kelompok-kelompok atau golongan-golongan tertentu. Selain itu, sesuai
dengan Pasal 6 ayat (1) UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
pembentukan hukum nasional perlu dilandasi asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan,
kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam
hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan ini merupakan derivasi
dari nilai-nilai luhur Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee) . Dengan demikian, Pancasila
menjadi ruh dan spirit yang menjiwai pembentukan hukum nasional. Demikianlah makalah
ini saya ciptakan agar menjadi landasan yang baik bagi generasi kedepannya. Apabila,
terdapat penulisan kata ataupun kalimat yang salah, saya memohon maaf.

26
BAB VI DAFTAR PUSTAKA

1. Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila .


Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011. Latif, Yudi Pancasila Sakti. Artikel pada
Majalah Gatra, Edisi No. 48 Tahun XVII, 12 Oktober 2011.
2. Mahfud MD, Mohammad. M e m b a n g u n P olitik H u k u m M e n e g a k k a n K
o n s tit u si. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006. Said Ali, As’ad. Negara Pancasila: Jalan
Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2009.
3. Tahrir Azyhary,Muhammad. Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip -
Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara
Madinah dan Pada Masa Kini.
4. P. A. F. Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pancasila Indonesia. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2013;
5. S. R. Sianturi. Asas-asas Hukum Pancasila di Indonesia dan Penerapan, Cet. 3.
Jakarta: Storia Grafika, 2002;
6. Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ,
diakses pada 26 Agustus 2020, pukul 10.58 WIB.
7. https://www.hukumonline.com/klinik/a/mengenal-unsur-tindak-Pancasila-dan-
syaratpemenuhannya-lt5236f79d8e4b4

8. http://repository.umko.ac.id/id/eprint/112/4/bab2chindi.pdf

9. https://www.baliadvocate.com/artikel/tindak-Pancasila-terhadap-nyawa/

27
28

Anda mungkin juga menyukai