Anda di halaman 1dari 6

KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM SISTEM

HUKUM NASIONAL

1. Pengantar
Setiap warga negara negara Indonesia yang memiliki kesadaran penuh pada perjalanan
sejarah bangsa dan negara ini pada dasawarsa-dasawarsa yang lalu, telah menjadi saksi
hidup praktik-praktik manipulasi politik dan sistem kekuasaan negara yang otoriter oleh
rezim Orde Baru, yang mengeksploitasi kelemahan-kelemahan yang terdapat di dalam
konstitusi. Oleh karena itu upaya dilakukannya amandemen terhadap sejumlah ketentuan di
dalam Undang-Undang Dasar 1945 sekarang ini merupakan suatu keharusan yang sangat
mendesak, untuk tidak mengatakan sudah sangat terlambat. Dalam kaitan ini sebuah
pernyataan Alfred North Whitehead menarik disimak, bahwa pada segala sesuatu terdapat
dua prinsip yakni kecenderungan untuk berubah (the spirit of change) dan kecenderungan
untuk lestari (the spirit of conservation).1
Dalam konteks Undang-Undang Dasar 1945, telah banyak disadari bahwa Undang-
Undang Dasar 1945 ini dipandang tidak memadai lagi sebagai sumber hukum dasar dalam
merespon perlunya peraturan perundang-undangan yang responsif terhadap perkembangan
zaman khususnya berkaitan dengan hukum ketatanegaraan, serta hak-hak asasi manusia,
demikian pula jika dihubungkan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan yang
berkembang serta nilai-nilai fundamental dan universal kehidupan manusia yang dikenal di
dalam agama-agama. Salman Luthan,2 melihat bahwa UUD 1945 memiliki empat
kelemahan mendasar: (1) terlalu menekankan pendekatan fungsional dan mengabaikan
pendekatan sistemik, yang ditandai dengan terlalu mengedepankan arti pentingnya semangat
para penyelenggara negara yang memimpin pemerintahan, dengan mengabaikan perlunya
pembentukan sistem yang baik, yang telah mendorong pada penyalahgunaan kekuasaan; (2)
tidak adanya pembatasan masa jabatan presiden; (3) terlalu banyak memberikan delegasi
pengaturan yang lebih rendah; (4) materi-materi pokok yang tidak diatur secara lengkap.

1
Alfred North Whitehead, 1926, Science and Modern World, Dalam Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, 1993,
Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja Rosdakarya. hal, 13.
2
Salman Luthan, 1998, Urgensi Amandemen UUD 1945, dalam Kompas Selasa 30 Juni 1998, hal. 4.

1
Sebagaimana diketahui bahwa hukum ketatanegaraan merupakan fundamen yang
sangat penting dalam rancang-bangun hukum administrasi negara, hukum keperdataan serta
hukum kepidanaan. Dengan demikian harapan ke arah terbentuknya sistem hukum nasional
yang responsif hanyalah dapat terwujud dengan lebih terbuka, manakala Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai salah satu sumber hukum dasarnya diperbaharui terlebih dahulu.
Dengan latar belakang demikian itu, maka keberhasilan MPR dalam melakukan
amandemen yang ditopang sepenuhnya oleh kesadaran, kepahaman serta orientasi masa
depan kehidupan bangsa dan negara Indonesia ini, akan menjadi tonggak sejarah maha
penting bagi momentum sejarah baru kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia
yang demokratis, egaliter, yang terpelihara integritasnya secara sosial dan geografis.
Sebaliknya upaya amandemen yang gagal dilaksanakan, ataupun amandemen yang
tidak sejalan dengan semangat hidup kebangsaan yang sedemikian heterogen, pluralistik,
dengan sendirinya akan membuka jalan bagi terjadinya disintegrasi nasional, tercerai-
berainya masyarakat dan bangsa Indonesia. Bukan mustahil jika pilihan yang salah dalam
melakukan amandemen justru menempatkan semangat kebangsaan kita mengalami
kemunduran (set-back) satu abad, sehingga bangsa ini berada di masa sebelum Sumpah
Pemuda 1928, atau bahkan sebelum era Kebangkatan Nasional 1908 yang diwarnai
semangat kedaerahan.

7.6.1. Hukum Islam Di simpang Jalan Amandemen


Salah satu masalah terpenting sekaligus paling kritis dari seluruh materi rancangan
amandemen konstitusi ini adalah perihal perubahan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 tentang Agama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam hasil rancangan perubahan
terhadap Pasal 29 ayat (1) yang diajukan PAH I BP MPR terdapat empat alternatif.
Alternatif pertama (Ayat 1): Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa; alternatif
kedua (Ayat 1): Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; alternatif ketiga (Ayat 1): Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama
bagi masing-masing pemeluknya; alternatif keempat (Ayat 1): Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,

2
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 3
Di antara keempat alternatif tersebut, alternatif kedua merupakan alternatif paling
kritis daripada ketiga alternatif lainnya. Alternatif kedua ini merupakan rumusan Sila
Pertama Pancasila versi Piagam Jakarta yang kemudian di dalam Sidang PPKI 18 Agustus
1945 mendapat reaksi penolakan dari utusan wilayah Indonesia bagian Timur yang Kristen.
Dengan demikian rumusan Sila Pertama Pancasila sebagaimana tertuang di dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan menjadi bagian rumusan Pasal 29 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hasil kompromi yang timbul dari kebesaran jiwa
dan wawasan jauh ke masa depan bangsa dan negara dari para founding fathers Republik
Indonesia ini yang mayoritas Muslim untuk lebih mengutamakan persatuan dan kesatuan
bangsa dan negara Indonesia.
Adalah wajar timbulnya kekhawatiran manakala dalam Sidang Tahunan MPR yang
lalu fraksi-fraksi MPR pro-alternatif kedua memaksakan kehendak, maka tak pelak lagi
potensi disintegrasi nasional akan terbuka lebar-lebar yang semakin memperkeruh krisis
nasional multidimensi sekarang ini. Dalam kaitan inilah kiranya sekali lagi, mencontoh sikap
para founding fathers Republik Indonesia ini 55 tahun yang lalu, sangat diperlukan
kebesaran jiwa para wakil rakyat di MPR untuk lebih mengedepankan kepentingan integritas
dan masa depan bangsa dan negara.

2. Dua Pilihan Pendekatan: Formal atau Substansial


Keinginan untuk mengimplementasikan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara yang mayoritas beragama Islam, sesungguhnya merupakan suatu hal yang positif.
Kendati demikian maksud baik ini dapat menjadi biang bencana manakala tidak didukung
dengan pendekatan yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat. Implementasi hukum
Islam dalam masyarakat, secara konseptual dapat dibedakan menjadi dua macam
pendekatan.4

3
Kompas, 29 Juli 2000.

4
Natangsa Surbakti, 2002, Prospek Penegakan Syariat Islam di Indonesia, dalam Jurnal Ilmu Hukum Fakutas
Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Vo. No. Tahun 2002.

3
Pertama, pendekatan formal. Maksudnya pemberlakuan syariat Islam yang ditandai
pengakuan secara tegas di dalam konstitusi, kemudian ditindaklanjuti dengan penjabarannya
di dalam peraturan perundang-undangan.
Kedua, pendekatan substansial. Maksudnya kendatipun tanpa pernyataan formal
tentang keberlakuan syariat Islam melalui konstitusi, nilai-nilai Islam sebagai agama dan
peradaban dapat diimplementasikan di dalam segenap aturan hukum positif nasional atau
peraturan perundang-undangan setelah melalui proses konseptualisasi secara akademis
tentang kebenaran nilai-nilai kemanusiaan dalam Islam yang bersifat fundamental dan
universal, serta sosialisasinya ke dalam kehidupan masyarakat. Salah satu ujud kongkret dari
Hukum Tuhan adalah sebagaimana tertuang di dalam ajaran agama atau Hukum Agama yang
salah satunya adalah Hukum Islam. Dengan demikian Hukum Islam berkedudukan sebagai
sumber nilai/bahan/materi bagi pembentukan hukum nasional.
Alasan rasional penempatan Hukum Islam sebagai salah satu sumber
nilai/bahan/materi bagi pembentukan hukum nasional, adalah besarnya komitmen bangsa
Indonesia untuk berhukum kepada Hukum Agama. Hal ini, sebagaimana dikemukakan oleh
Ichtiyanto, terlihat dari sejumlah bukti:5 (1) Konsensus Nasional Pertama yang terjadi pada
tanggal 22 Juni 1945 mengenai rumusan dasar Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Konsensus ini oleh Prof. Muh. Yamin dengan
Piagam Jakarta. Rumusan Piagam Jakarta menjadi titik tolak dari konsensus setelahnya,
termasuk isi PUUD 1945 kecuali sika pertama. (2) Rumusan sila pertama tersebut pada
tanggal 18 Agustus 1945 diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan maksud untuk
memberikan pengertian yang lebih luas, yakni bahwa yang berkewajiban menjalankan
hukum agamanya bukan hanya umat Islam, melainkan juga pemeluk agama yang lain; (3)
Pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945 dalam berbagai tempat memberikan dorongan bagi
fungsi hukum agama (Hukum Tuhan), dalam hal ini Hukum Islam di Indonesia. Hal ini
terlihat dalam PUUD 1945 alinea ketiga dan kempat yang merupakan pokok pemikiran
mendirikan Negara RI, kemudian bab XI (Bab Agama) Pasal 29 ayat 1 dan 2; (4) GBHN
selalu merumuskan, bahwa hendaknya aggama tidak hnya diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari sebagai amalan pribadi, melainkan juga merupakan amalan bermasyarakat.

5
Ichtijanto SA, 1990, Hukum Islam dan Hukum Nasional, Jakarta: Ind-Hill-Co., hal. 80,81.

4
Dengan rumusan dalam GBHN (TAP MPR No IV 1978) terlihat keinginan bangsa dan
negara Indonesia untuk mengamalkan agaa sebaik-baiknya; (5) Berdasarkan hasil penelitian
yang telah dilakukan selama ini, (Sayuti Thalib, Receptio a Contrario) terlihat dalam
masyarakat Indonesia keinginan untuk berhukum dengan sistem hukum yang mereka
inginkan yakni hukum agama atau hukum Islam. Hasil penelitian ini menggambarkan
keadaan hukum yang hidup di dalam masyarakat (the living law) yang sangat akrab dengan
hukum Islam atau bahkan adalah hukum Islam itu sendiri; (6) Cita-cita moral, cita-cita batin,
dan suasana kejiwaan dan watak rakyat Indonesia sebagaimana tergambar dari hasil
penelitian memperlihatkan: (a) Watak dan suasana kejiwaan bangsa Indonesia yang meliputi
sikap mental di dalam keimanan yang dibina oleh konsep hidup agama. Hala ini tergambar
jelas dengan adanya Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila; (b) Pandangan hidup
rakyat Indonesia adalah pandangan hidup yang religius, yang banyak dibentuk oleh ajaran
agama. Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa dan negara membentuk pandangan hidup
bangsa Indonesia tidak akan lepas dari nilai-nilai agama dan nilai Ketuhana Yang Maha Esa;
(c) Kesadaran hukum dan cita-cita hukum rakyat Indonesia adalah berdasarkan nilai-nilai
hukum agama dan menuju pada pelaksanaan hukum agama.
Dari penjelasan di atas, tampak bahwa hukum Islam di Indonesia mempunyai
kekuatan eksistensi dan mempunyai wibawa hukum karena berkaitan dengan kesadaran
hukum masyarakat yang dibentuk oleh cita-cita moral dan cita-cita hukum bangsa Indonesia.
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional di alam kemerdekaan,
terlihat pengakuan eksistensi hukum agama serta ujud implementasi dari nilai-nilai yang
terkandung di dalam hukum agama. UU No. 22 tahun 1946; UUDrt. No. 1 tahun 1951; UU
No 13 tahun 1965; UUNo 1 PNPS 1965; UU No 14 tahun 1970 dan UU No 14 tahun 1985
menyangkut kekuasaan kehakiman yang memuat peradilan agama; UU No 5 tahun 1960
(UUPA) yang mendudukkan hukum agama sebagai nilai asasi dan filter bagi hukum
nasional; PP No 28 tahun 1977 tentang perwakapan tanah milik; UU No 1 tahun 1974
tentang perkawinan yang mendudukkan hukum agama sebagai inti sahnya perkawinan; UU
No. 7 tahun 1997 tentang Peradilan Agama.
Semua peraturan tersebut meletakkan hukum agama pada nilai asasi. Agama-agama
yang dipeluk di Indonesia tidak diakui sebagai agama negara tetapi diakui sebagai fakta

5
hukum merupakan agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia dan dihormati serta diakui
eksistensi dan kekuatan berlaku hukum agama.6

4. Empiritas Hukum Islam


Berdasarkan realitas peraturan perundangan perundang-undangan nasional serta
praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dikenal teori eksistensi yang berkaitan
dengan hukum Islam. Berdasarkan teori eksistensi ini, hukum Islam di Indonesia terdapat di
dalam hukum nasional.
Bentuk-bentuk keberadaan hukum Islam di dalam hukum nasional:7 (1) Ada, dalam
arti sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia; (2) Ada, dalam arti adanya
dengan kemandiriannya yang diakui adanya dan kekuatan wibawanya oleh hukum nasional
serta diberi status sebagai hukum nasional; (3) Ada, dalam hukum nasional dalam arti norma
hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia;
(4) Ada, dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional.
Keberhasilan dalam konseptualisasi dan sosialisasi kebenaran nilai-nilai Islam yang
universal, merupakan prakondisi bagi implementasinya di dalam peraturan perundang-
undangan. Pendekatan ini berusaha meminimalkan reaksi penolakan dan sikap antipatif di
dalam masyarakat. Dalam konteks ini telah dikenal jargon populer: negara Islam Indonesia
no, negara Indonesia yang Islami yes; hukum nasional Islam no, hukum nasional Islamy yes.
Dengan memperhatikan kondisi riil masyarakat dan bangsa Indonesia yang memiliki
kemajemukan, yang dengan sendirinya menyimpan potensi konflik, maka pilihan pendekatan
formal sebagaimana diisyaratkan oleh penggagas alternatif amandemen yang kedua, jelas
bukanlah merupakan pilihan terbaik untuk ditempuh. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati, pilihan pendekatan substansial akan merupakan jalan terbaik, bagi
terpeliharanya integritas negara dan bangsa. Hal ini berarti amandemen terhadap Pasal 29
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 itu lebih baik ditiadakan. Wakil-wakil rakyat di MPR
seharusnya lebih memprioritaskan amandemen terhadap tema-tema lain yang lebih urgen
demi terwujudnya perdamaian, keadilan serta kesejahteraan rakyat, bangsa dan negara.***

6
Ibd., hal.
7
Ibid., hal. 86.

Anda mungkin juga menyukai