PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berbudi dan berkehendak bebas, harus
merdeka, bukan hanya dalam arti negatif saja, yaitu lepas dari penindasan dan penjajahan,
melainkan juga dalam arti positif. Manusia harus leluasa otonom menghayati
eksistensinya. Dan ini terjadi dalam bangsa-bangsa yang merdeka. Bangsa-bangsa harus
bebas dan mandiri dalam menentukan bentuk pemerintahannya dan mengatur struktur
pemerintahnya. Oleh karena itu, visi bangsa Indonesia seperti yang dinyatakan dalam
Pembukaan UUD 1945 dengan tegas menentang imperialisme dan penjajahan karena
bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Alenia II pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa kemerdekaan itu bukannya tujuan
akhir perjuangan gerakan kemerdekaan nasional . Kemerdekaan merupakan pintu gerbang
yang membuka jalan menuju negara Indonesia, yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Sila ke II, kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan roh dari HAM, sehingga
konsep HAM yang kita anut adalah penjabaran dari sila “kemanusiaan yang adil dan
beradab”, yang dijiwai, disemangati dan dilandasi oleh sila-sila lainnya dari Pancasila.
Hal ini mengandung arti HAM itu harus:
1. Sesuai dengan kodrat manusia. Menurut kodratnya manusia adalah makhluk pribadi
sekaligus makhluk sosial. Ini yang disebut oleh Notonagoro sebagai “monodualitas”.
2. HAM harus dihargai dan dijunjung tinggi “secara adil”, maksudnya setiap orang dan
golongan hendaknya memperoleh apa yang menjadi haknya.
3. Tidak tanpa arti adanya istilah “dan beradab”. Maksudnya ialah: hak-hak asasi
manusia yang diterima dan dijunjung tinggi itu tidak tanpa batas. Adapun batas-batas
tersebut adalah:
a. Penggunaan HAM itu harus dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan
YME (sila I)
b. Harus meningkatkan kesatuan dan persatuan bangsa (sila III)
c. Harus tetap dalam suasana dan iklim yang demokratis (sila IV)
d. Harus menunjang kesejahteraan umum (sila V)
e. HAM dapat dibatasi oleh tujuan-tujuan negara. Dalam Pembukaan UUD 1945 kita
dapat menemukan tujuan nasional negara kita yakni: untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dengan demikian, konsepsi HAM di Indonesia adalah menempatkan keseimbangan
antara hak-kewajiban antara kepentingan individu – masyarakat - pemerintah sehingga
terjalin hubungan yang harmonis antar seluruh komponen bangsa dan negara. Berkaitan
dengan keseimbangan antara hak individu dan masyarakat, Todung Mulya Lubis
berpendapat:
“Walaupun ada yang berargumentasi bahwa sebenarnya akar kultural HAM di
Indonesia tidak cukup kuat dalam menumbuhkan pengakuan HAM, saya tidak mau
terlibat dalam perdebatan itu karena akan menimbulkan perdebatan yang panjang.
Betapapun harus disadari bahwa dalam konteks kultural, khasanah budaya kita memiliki
elemen-elemen pro HAM, namun di sisi lain banyak pula elemen-elemen budaya yang
anti HAM dalam konteks sosial. Sifat budaya kita yang sangat mengagungkan keberadaan
sosial (social being), sering kali dalam beberapa hal cenderung menafikan hak-hak yang
bersifat individual. Malah atas nama “social being” beberapa hak individual bisa
dilanggar. Lambat laun kita bisa menjustifikasi bermacam-macam pelanggaran HAM
yang bersifat modern. Pikiran seperti ini masih cukup mengedepan dalam diskursus HAM
kita”.
Dengan demikian, perlu dirumuskan secara tepat, agar keseimbangan antara hak dan
kewajiban, merumuskan kembali kepentingan individu - masyarakat - pemerintah, agar
tidak saling berbenturan. Dalam merumuskan konsepsi HAM ini perlu kesepakatan
semua
pihak. Musyawarah dan mufakat merupakan media yang paling tepat untuk
merumuskan kembali keseimbangan antara hak, kewajiban dan kepentingan antar
komponen bangsa, agar semua kepentingan dapat terakomodir.