Anda di halaman 1dari 35

B.

HAM dalam Hukum Positif


Tepat sekali ucapan Del Vaschio, manusia dalam homo iuridicus (manusia hukum),
karena—sebagaimana diketahui—hukum ada dimana-mana. Hukum dan manusia sepanjang
hidupnya tidak akan pernah dapat dipisahkan kalau kita ingin hidup aman, tenteram, damai,
adil, dan makmur.
Hukum yang ada di mana-mana, tidak berada diruang hampa, hukum hidup bersama-
sama sub sistem sosial lain, Dalam arti luas, luas menerobos masuk ke dalam seluruh
kehidupan manusia, baik dari hal-hal yang paling elementer, sederhana, maupun ke dalam
hal-hal yang paling dalam dan fundamental. Ulah hukum tersebut merupakan sifat/watak
hukum itu sendiri, yang pasti ada bagi ilmu yang disebut hukum. Karenanya, kerja hukum
pun beragam cara, dimulai dengan cara yang paling “lembut” sampai yang paling “keras”.
Kelembutan kerja hukum ditandai dengan beberapa istilah, antara lain musyawarah,
perjanjian, iktikad baik, dan sebagainya. Sedangkan wajah hukum yang keras, antara lain
berupa hukuman mati, penjara seumur hidup, zakelijk/tak kenal kawan, dan sebagainya.
Namun begitu, satu hal yang pasti dalam masyarakat/negara yang bagaimanapun bentuk
dan sistem yang dianut, hukum mengatur, memaksa, dan memberi sanksi demi tegaknya
ketertiban dalam tata kehidupan masyarakat.
Memperhatikan hukum positif suatu negara, tidak dapat dilepaskan dengan sistem
hukum yang berlaku di negara tersebut. Karena itu, dasar negara Pancasila yang terdiri atas
lima sila, yaitu ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ditambah
Pembukaan UUD 1945, terutama alinea pertama yang menyatakan: “kemerdekaan ialah hak
segala bangsa serta penjajahan harus dihapuskan”, serta alinea kedua “kemerdekaan
negara menghantarkan rakyat merdeka, bersatu, adil, dan makmur”, mengindikasikan
Indonesia adalah negara demokrasi, menjunjung tinggi supremasi hukum, serta
menghormati/menjunjung tinggi hak asasi manusia. Apa yang digariskan di dalam
Pembukaan UUD 1945 merupakan arah dan politik hukum dalam tataran makro, kemudian
diformalkan dalam bentuk peraturan perundangan oleh lembaga politik/DPR dan
dioperasionalkan/dilaksanakan oleh pejabat/aparat negara dalam bentuk peraturan
pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pegangan para birokrat.
Karena itu, dasar negara yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945 yang keputusan
dan pilihan bapak-bapak pendiri negara ( the founding fathers), wajib menjadi pegangan
setiap pemerintahan di dalam mengisi kemerdekaan, khususnya yang terkait dengan hak
asasi manusia. Di situlah jantung dan nafas perjuangan bangsa, disitulah politik hukum dan
pilihan hukum yang tidak dapat ditawar-tawar oleh siapa pun dan pemerintah dari
kelompok/partai manapun juga, yaitu membangun demokrasi dan penegakan hukum, vinito.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945, baik sebelum maupun sesudah amandemen, hak
asasi manusia menempati posisi penting, bahkan sudah tersaji dalam beberapa aturan
organik yang penulis sebut hukum positif aplikatif. Sedangkan aturan pokok, hukum positif,
“hukum kekinian dan kedisinian” menjadi efektif ketika hukum positif aplikatif segera
disusun. Dengan demikian, hobi menyusun hukum positif saja perlu dikurangi, demi
terciptanya negara hukum dan keadilan materiil.
Sila pertama dari Pancasila adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Konsekuensi lebih
lanjut ialah bagaimana kalau ada warga negara Indonesia yang atheis (tidak percaya
kepada Tuhan). Pada sila pertama ada kesan “memaksa” bahwa negara harus ber-Tuhan.
Pemaksaan kepercayaan dikesankan bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama
dalam konsep HAM, termasuk aliran sempalan dari mainstream agama tertentu, Islam
misalnya terhadap Ahmadiyah.
Dialog HAM antara Indonesia-Norwegia di Jakarta 26-28 April 2005, diulas dengan tepat
oleh Azyumardi Azra (Republika, 4 Mei 2006). Memang, terdapat prinsip-prinsip HAM yang
universal; sama dengan adanya perspektif Islam universal tentang HAM ( huqul al-insan),
yang dalam banyak hal kompatibel dengan Deklarasi Universal HAM (Duham). Namun,
harus diakui juga, terdapat upaya-upaya di kalangan sarjana muslim dan negara Islam di
Timur Tengah untuk lebih mengontekstualisasikan Duham dengan interpretasi tertentu
dalam Islam, bahkan dengan lingkungan sosial dan budaya masyarakat-masyarakat muslim
tertentu pula. Terdapat kecenderungan umum di kalangan muslim—khususnya di Timur
Tengah—untuk lebih menekankan hak-hak Tuhan ( huquq Allah) dan hak-hak publik ( huquq
al-adami) di atas hak-hak personal/individual (huquq al-abd).
Penekanan seperti ini, jelas merupakan kontrawacana atas penekanan yang terlalu
besar pada hak-hak personal-individual di Barat pada umumnya, sehingga menimbulkan
ekses-ekses tertentu dalam kehidupan publik. Lebih dari itu, kalangan muslim yang terlibat
dalam wacana seperti ini juga cenderung berpendapat bahwa Duham lebih memprioritaskan
hak daripada kewajiban. Bagi mereka, harus terdapat keseimbangan antara keduanya.
Berdasarkan wacana dan padangan seperti itu, Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada
5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi tentang HAM dari perspektif Islam. Deklarasi yang
juga dikenal sebagai “Deklarasi Kairo” mengandung prinsip dan ketentuan tentang HAM
berdasarkan syariah. Masalahnya, banyak negara muslim, seperti Indonesia, tidak
menerapkan syariah sebagai hukum positif nasional. Karena itu, Deklarasi Kairo tidak
menjadi wacana penting dalam HAM dan kebebasan beragama di negara-negara muslim
yang tidak menerapkan syariah. Adanya masalah-masalah tertentu dalam kebebasan
beragama tidak hanya dihadapi Indonesia. Di Norwegia misalnya, sampai sekarang menurut
ketentuan perundangan yang berlaku, setiap pagi murid-murid sekolah, termasuk muslim
dan lain-lain, harus berdoa secara Kristen Lutheran. Hal seperti ini—yang saya kira bisa
ditemukan bukan hanya di Norwegia, tapi juga di negara-negara lain, dan bahkan di
sekolah-sekolah Kristen di mana-mana—jelas tidak sesuai dengan prinsip HAM dan
kebebasan beragama. Begitu juga Undang-Undang Penodaan Agama ( Blasphemy Laws)
yang baru mencakup agama Kristen (dan juga agama Yahudi, di beberapa negara Eropa
lainnya), tidak terhadap negara Islam. Karena itu, diskusi tentang HAM dan kebebasan
beragama masih perlu mengkaji hal-hal seperti ini.
Menjadi kewajiban bersama untuk memikirkan atau mencari pemecahan, baik secara
akademik dan praktik, ranah agama dan negara. Dalam negara sekuler, terdapat pemisahan
antara agama dan negara, maka-ke depan-dalam negara sekuler diharapkan masalah
agama dan negara dapat dipisahkan menurut domainnya saja.
I. Diawali TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, terdapat 44 pasal.
Diawali dengan kesadaran sebagai anggota PBB yang mempunyai tanggung jawab
menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia serta menjamin dan menghormati
hak asasi orang lain juga sebagai suatu kewajiban. Oleh karena itu, hak asasi dan
kewajiban manusia terpadu dan melekat pada diri manusia sebagai pribadi, anggota
keluarga, anggota masyarakat, anggota suatu bangsa dan warga negara, serta anggota
masyarakat bangsa-bangsa. Untuk tujuan tersebut, negara harus berada pada posisi
“lender of the last resort”.
II. Dalam UUD 1945, terdapat 11 pasal tentang HAM, mulai dari Pasal 28, 28A, sampai
dengan Pasal 28J. Mulai dari hak berkumpul/berserikat, mempertahankan hidup,
berkeluarga dan perlindungan dari kekerasan, mengembangkan diri jaminan dan
kepastian hukum, bebas beragama, bebas berkomunikasi/memperoleh informasi,
perlindungan diri dan keluarga dan martabat serta harta bendanya, kesejahteraan lahir
batin/persamaan keadilan/hak milik pribadi, hak hidup dan bebas dari perbudakan,
serta tuntutan atas dasar hukum yang berlaku surut/penghormatan identitas budaya.
Dalam Pasal terakhir 28J, “wajib menghormati hak asasi orang lain serta tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dalam undang-undang.”
III. Untuk mengimplementasikannya, disusunlah Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Spirit hukum yang menjadi dasar termuat di dalam konsideran,
terutama dalam menimbang. Pertimbangan utama yang dapat dicatat merupakan
landasan filosofis “manusia makhluk ciptaan Tuhan… pengelola/memelihara alam…
oleh-Nya dianugerahi HAM untuk menjamin harkat, martabat, serta lingkungannya”.
Pengakuan HAM “hak kodrati melekat pada diri manusia universal dan langgeng,
karenanya harus dihormati, dilindungi, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi…” Juga, ditekankan bahwa “manusia mempunyai kewajiban dasar satu sama
lain…” serta “sebagai anggota PBB mengemban tanggung jawab moral dan hukum
untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Duham….”
Dalam UU no. 39/1999 tentang HAM, Bab I Ketentuan Umum, dalam Pasal 1 (1)
menjelaskan makna HAM adalah “seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-
Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.”
Pasal 1 (2): “Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila
tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksananya dan tegaknya hak asasi
manusia.”
Pasal 1 (7): “Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM
adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya
yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan
mediasi hak asasi manusia.”
UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia terdiri atas 106 pasal, secara rinci dibagi-
bagi menjadi hak hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak memperoleh
keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak
turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, hak anak, kewajiban dasar manusia,
kewajiban dan tanggung jawab pemerintah, pembatasan, dan larangan.
Beberapa pasal yang perlu diangkat, antara lain hak hidup, Pasal 9: “(1) setiap orang
berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya;
(2) setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, dan bahagia, sejahtera lahir dan
batin; (3) setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”.
Kewajiban Dasar Manusia, Pasal 67: “Setiap orang yang ada di wilayah negara
Indonesia wajib patuh pada peraturan perundangan-undangan, hukum tak tertulis, dan
hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara
Republik Indonesia.”
Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah, Pasal 71: “Pemerintah wajib dan
bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi
manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain,
dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Republik
Indonesia”.
Komnas HAM pada awalnya dibentuk lewat Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993
dengan tugas antara lain “membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi
pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, meningkatkan perlindungan
hak asasi manusia guna mendukung terwujudnya pembangunan nasional, yaitu
pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya.”
Kemudian, Keppres tersebut diintegrasikan ke dalam UU No. 39/1999.
Pasal 89 Sub (3) terkait dengan fungsi Komnas HAM. Komnas HAM bertugas dan
berwenang melakukan:
a. pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil
pengamatan tersebut;
b. penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat
yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak
asasi manusia;
c. pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan
untuk dimintai dan didengar keterangannya;
d. pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi
pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan;
e. peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;
f. pemanggulan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis
atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai aslinya dengan persetujuan
ketua pengadilan;
g. pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-
tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan ketua
pengadilan; dan
h. pemberian pendapat berdasarkan persetujuan ketua pengadilan terhadap perkara
tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut
terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara
pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib
diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam mediasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan:
a. perdamaian kedua belah pihak;
b. penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan
penilaian ahli;
c. pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui
pengadilan;
d. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada
pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan
e. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.
IV. Dalam UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 18, bagian
keempat, penyidikan, ayat (1): penyidikan terhadap pelanggaran HAM berat dilakukan
oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; (2) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam
melaksanakan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk
tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat.
Selanjutnya, Bab VIII tentang Partisipasi Masyarakat, Pasal 100 (UU No. 39/1999):
“Setiap orang, kelompok, organisasi politik, lembaga swadaya masyarakat, atau
lembaga kemasyarakatan lainnya berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan,
dan pemajuan hak asasi manusia.” Sedangkan, Pasal 101: “…berhak menyampaikan
laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia kepada komnas HAM atau
lembaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan, dan pemajuan
hak asasi manusia.”
Sebagaimana perintah UU No. 39/1999, Pasal 104 (1): “untuk mengadili pelanggaran
hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan
peradilan umum, “diundangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam salah satu pertimbangannya, huruf (b) berbunyi:
“bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak
asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman
kepada perseorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan
HAM untuk menyelesaikan pelanggaran yang berat….”
Praktik selama ini, Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan kasus pelanggaran
(kejahatan) HAM berat sering menghadapi kendala formal. Komnas HAM sebagai
penyelidik, anggotanya tidak disumpah. Dalam pengajuan saksi, tidak perlu dua saksi
sehingga “lebih bebas” bergerak, tidak terikat secara formal dengan KUHAP. Sebaliknya,
menurut Jaksa Agung selalu ditanyakan faktor-faktor yang penulis ajukan di atas.
“Kesenjangan” pengertian tersebut dapat disebabkan adanya kelemahan pada Undang-
Undang No. 39 tahun 1999, atau kurang kuatnya kemauan politik dari pemerintah.
Jaksa ad hoc HAM selaku penyidik dan penuntut umumlah yang berkewajiban
menelusuri kasus yang diajukan Komnas HAM.
Pembedaan tafsir tersebut mengakibatkan tersendat-sendatnya penyelesaian kasus-
kasus besar kejahatan HAM berat. Belum lagi sikap DPR yang tidak atau belum jelas
atas kasus Trisakti, Semanggi satu, dan Semanggi dua contohnya. (Pasal 43 ayat 2 UU
No. 26 Tahun 2000)
Pada tahun 2002 ketua KPP HAM trisakti, semanggi 1, semanggi 2, berkirim surat kpda
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Putas nomor: 136/KPP TSS/II/2002, perihal: Pemenuhan
Pemanggilan Paksa, yang intinya meminta bantuan kepada Ketua Pengadilan Negri Jakarta
Pusat, untuk memenuhi panggilan secara paksa kepada sejumlah perwira TNI, dan POLRI
yaitu Jendral (purn) Wiranto, Letkol TNI Amril Amin, Kolonel Prayanto, Letjend TNI Djadja
Suparman, Letkol TNI Nahrowi, dan Kolonel TNI george Tuisuta untuk di minta
keterangannya terkait dengan peristiwa trisakti yang terjadi 12 mei 1998, semanggi 1
tanggal 13/14 november 1998, dan semanggi 2 tanggal 23/24 september 1999. *) paragraf ini
banyak huruf kapital yang tidak tepat

Pengadilan negri Jakarta pusat menjawab permintaan tersebut mengutip kembali


undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 89 ayat (3) “Untuk
melaksanakan fungsi komnas HAM dalam pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan, antara lain: melakukan pemanggilan
kepada pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan
dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan ketua pengadilan.
Di samping itu menyebut juga pasal 19 undang-undang nomor 26 tahun 2000 pasal 18
berbunyi:
(1) Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat di lakukan oleh Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia.
(2) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam penyelidikan sebagaimana yang di maksud
Ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas KOMNAS HAM dan unsur
masyarakat.
Pasal 19:
(1) Dalam melaksanakan penyelidikan sebagaiman di maksud dalam pasal 18, penyelidik
berwenang;
a. Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam
masyarakat yang berdasarkan sifat dan lingkupnya patut di duga terdapat
pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
b. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan
dan barang bukti.
c. Memanggil pihak pengadu, korban, atau fihak yang diadukan untuk di minta dan di
dengar keterangannya.
d. Memanggil saksi untuk diminta dan di dengar kesaksiannya
e. Meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dab tempat lainnya
yang di anggap perlu.
f. Memanggil fihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau
menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya.
Atas pertimbangan-pertimban tersebut, isi panggilan KOMNAS HAM bersifat pertemuan
dan bukan memanggil supaya hadir untuk memberikan keterangan, dapat menimbulkan
sebuah penafsiran bahwa suran-surat pemanggilan demikian itu tidak mempunyai
akibat/saksi hukum bagi yang di panggil jika yang bersangkutan berhalangan atau tidak
mau hadir. Karena itu KPP HAM di sarankan oleh Pengadilan Negri untuk melakukan
pemanggilan secara lengkap, jelas alamatnya, posisinya, jabatan, dan sebagainya. Karena
itu surat pemanggilan KPP HAM secara Pro justisia belum memenuhi syarat-syarat formal
dan di sarankan melakukan pemanggulan ulang.
KOMNAS HAM pada tahun 2006 mengajukan permohonan bagi Ketua Pengadilan Negri
Jakarta pusat untuk melakukan pemanggilan paksa kepada Desmon Y. Mahesa, Pius Tri
Lanang, dan Andi Arif untuk di dengar keteranganya berkaitan dengan penyelidikan
pelanggaran hak asasi yang berat peristiwa penghilangan orang secara paksa 97/98 dengan
memenuhi pemanggilan formal sebagaimana disarankan oleh pengadilan negri Jakarta.
Demikian pula pemanggilan terhadap jendral TNI (purn) Wiranto, jendral TNI (purn) Faisal
Tanjung, Letjen TNI (purn) Prabowo Subianto, Letjen TNI Syafrie Syamsudin, Kolonel inf
Khairawan K. Nusirwan, Laksamana TNI (purn) Ahmad Sucipto mengalami “nasib” yang
sama. Sepengetahuan penulis sampai hari ini belum ada reaksi dari Pengadilan Negri
Jakarta Pusat.
Ruang lingkup kewenangan pengadilan HAM, (dalam Bab III) meliputi pelanggaran HAM
berat sebagai berikut.
1. Kejahatan genosida (is a new name for an old crime ) ialah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, kelompok etnik, kelompok agama, dengan cara:
a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota
kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik, baik seluruhnya maupun sebagiannya;
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok; atau
e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lainnya.
2. Kejahatan kemanusiaan, yaitu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan
yang meluas dan sistematis yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-
wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual
yang setara;
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham dalam politik, ras, kebangsaan, etnik, budaya, agama, jenis
kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang
dilarang menurut hukum internasional;
i. penghilangan orang secara paksa; atau
j. kejahatan apartheid.
Khusus dalam kasus perkosaan, baik dalam Mahkamah Nurenberg maupun Tokyo,
walau meluas dan sistematis, tidak muncul di dalam dakwaan. “Perkosaan, ketika terjadi
secara individual akan didakwa sebagai kejahatan perang, tetapi ketika terjadi sebagai
serangan terhadap penduduk sipil, berarti meluas dan sistematis, maka masuk ke dalam
kategori kejahatan terhadap kemanusiaan dan tidak muncul di dalam dakwaan …
disembunyikan dalam kategori besar perlakukan tidak manusiawi terhadap penduduk sipil”.
Dalam bahasa serdadu, perkosaan adalah pretty SOP (standard operating procedure).
(Karlina Leksono-Supelli, 2001: 10). Dengan masuknya perkosaan ke dalam beragam
instrumen hukum internasional dan nasional, sebagai bagian dari proses melengkapi ha-
kham, di samping menguatnya gender, ke depan ketentuan tersebut akan semakin efektif.
Pembentukan Undang-Undang Pengadilan HAM, sebagaimana dimuat di dalam
penjelasan, memiliki pertimbangan sebagai berikut.
1. Pelanggaran HAM berat merupakan extraordinary crimes yang berdampak luas, baik
nasional maupun internasional; bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam
KUHP serta menimbulkan kerugian, baik materil maupun immateril. ( mengapa disebut
extraordinary crimes, karena yang melakukan tindakan pelanggaran atau kejahatan
tersebut adalah pejabat atau aparat)
2. Terhadap pelanggaran tersebut, diperlukan langkah penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus.
Kekhususan dalam penanganan pelanggaran HAM berat ialah sebagai berikut.
a. Diperlukan penyelidikan dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad
hoc, dan hakim ad hoc.
b. Diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia, sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
c. Diperlukan ketentuan mengenai tenggat waktu tertentu untuk melakukan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
d. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.
e. Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kedaluwarsa bagi pelanggaran HAM
berat.
Sebagai perbandingan, berdasarkan Pasal 5 Statuta Roma 1998 yang termasuk
kejahatan HAM berat (most serious crimes) ada 4 macam, yaitu:
a. kejahatan genosida (crime of genocide);
b. kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity);
c. kejahatan perang (war crimes); dan
d. kejahatan agresi (the crime of aggression).
Dalam konteks sejarah, kejahatan terhadap kemanusiaan, mengutip pendapat William
Schabas, pertama kali dicetuskan dalam sejarah “kejahatan melawan kemanusiaan” oleh
Robespierre dalam Majelis Nasional Prancis 1791, dalam konteks sejarah Revolusi Prancis.
Tokoh politik itu menyatakan Raja Louis XVI sebagai “penjahat melawan kemanusiaan”.
Istilah yang sama muncul kembali pada akhir abad XIX, ketika seorang wartawan Amerika
mengunjungi Kongo. Wartawan itu menulis sebuah surat ditujukan kepada Presiden Amerika
Serikat bahwa di negara Kongo telah terjadi “kejahatan melawan kemanusiaan”.
Pada tahun 1907, berkembang diskursus tentang “hukum kemanusiaan” dalam konteks
kejahatan perah. Tahun 1915, negara-negara sekutu dalam Perang Dunia I menyatakan
bahwa pembantaian massal (genosida) terhadap orang-orang Armenia bertentangan
dengan hukum kemanusiaan. Namun, konsep tentang “kejahatan terhadap kemanusiaan”
baru muncul secara jelas pada akhir Perang Dunia II. Negara-negara sekutu di Eropa
membentuk sebuah komisi untuk menuntut Nazi ke pengadilan karena kejahatan perang
yang mereka lakukan. Komisi itu menyelenggarakan pertemuan-pertemuan selama 1944-
1945 yang kemudian disebut sebagai Komisi Kejahatan Dunia dari Perserikatan Bangsa-
Bangsa, yang semula tugasnya adalah menuntut penjahat perang dalam pengertian
tradisional, yaitu pelanggaran hukum dari konflik bersenjata di antara mereka yang
berperang atau pelanggaran keutuhan tubuh orang-orang sipil yang terjadi di suatu
kawasan yang diduduki.
Di bawah tekanan berbagai LSM atau kalangan lainnya, komisi itu mulai mengurus
perkara dan kejahatan yang dilakukan oleh negara Jerman terhadap warga Yahudi-Jerman
dan kelompok minoritas lainnya. Masyarakat internasional waktu itu bereaksi bahwa PBB
tidak memiliki kuasa yurisdiksi untuk melaksanakan perkara semacam ini, karena kejahatan
yang dilakukan oleh suatu negara terhadap warga negaranya sendiri tidak dapat
dicampurtangani oleh hukum internasional. Namun, melalui perdebatan yang panjang,
akhirnya pandangan masyarakat internasional mulai berubah. Dalam suatu konferensi yang
dilakukan di London, Pengadilan Nurenburg dibentuk. Tidak seperti yang dilakukan oleh
Komisi PBB tadi, konferensi itu hanya memperkenalkan pengadilan kejahatan tersebut atas
dukungan Uni Soviet, Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat. Istilah “kejahatan terhadap
kemanusiaan” itu sendiri tidak dipergunakan dan hanya muncul pada hari terakhir dalam
konferensi tersebut. Konseptornya adalah profesor hukum asal Inggris yang mencetuskan
trilogi atas kejahatan yang terkenal itu yaitu kejahatan perang, kejahatan melawan
kedamaian, dan kejahatan melawan kemanusiaan.
“Kejahatan terhadap kemanusiaan” di sini dipergunakan untuk menyilih senjang yang
terdapat dalam hukum perang untuk menuntut kejahatan-kejahatan yang dilakukan di
kawasan suatu negara melawan warga negaranya sendiri. Delegasi Amerika
mengkhawatirkan dua definisi yang begitu luas dari kejahatan terhadap kemanusiaan.
“Karena di Amerika Serikat, kami sendiri memiliki masalah yang berkaitan dengan
perlakuan-perlakuan tidak adil terhadap warga minoritas kami sendiri dan kami tidak mau
dituntut bertanggung jawab di hadapan pengadilan internasional untuk hal-hal semacam
ini”. Delegasi dari negara-negara lain menyatakan hal yang sama. Jadi, pada dasarnya,
mereka mensyaratkan bahwa kejahatan melawan kemanusiaan hanya dapat dilakukan
dalam kaitan (hanya) dengan kejahatan perang dan kejahatan melawan kedamaian.
“Setelah 50 tahun, definisi kejahatan melawan kemanusiaan telah banyak berkembang
dan sudah menjadi lebih luas. Sekarang kita telah menambah beberapa kategori kejahatan
tertentu yang lain ke dalam konsep kejahatan melawan kemanusiaan dalam konteks
gerakan hak asasi manusia kontemporer, yaitu konteks apartheid, penyiksaan dan
penghilangan secara paksa (forced disappearances). Yang paling penting adalah sekarang,
kejahatan melawan kemanusiaan, seperti genosida dapat dilakukan, baik pada masa damai
maupun masa perang.
Salah satu masalah yang muncul jika kita berbicara tentang kejahatan terhadap
kemanusiaan adalah masalah hukum kebiasaan internasional. Hal ini penting ditekankan dan
diangkat, mengingat pendakwaan hukum dapat berlaku surut (retroaktif), agar tidak
melanggar prinsip legalitas bahwa penghukuman tidak boleh berlaku surut. Aspek kebiasaan
(customary) dari legalitas hukum menjadi penting diterapkan pada kasus Kampuchea
misalnya. Di negeri ini, para pengacara pembela terdakwa akan mengangkat argumen
bahwa pada tahun 1998, kejahatan terhadap kemanusiaan yang termaksud dalam Statuta
Roma tidak harus terkait dengan keadaan konflik bersenjata. Namun, tahun 1975-1979,
ketika terjadi di negeri itu, hukum yang berlaku harus hukum rumusan pasca Perang Dunia
II.
Istilah kebiasaan sendiri bisa jadi kurang tepat untuk menggambarkan apa yang
dimaksudkan. Barangkali, istilah prinsip hukum umum dalam hukum lebih akurat maknanya.
Konsep ini akan membantu kita jika kita terlibat dalam perdebatan. Salah satu alasannya
ialah karena prinsip hukum umum mencakup jenis-jenis kejahatan lain termasuk dalam
kategori kejahatan melawan kemanusiaan. Pasal 9 Duham dan pasal 7 ayat 2 Statuta Roma,
menyatakan bahwa kejahatan melawan kemanusiaan haruslah mencakup dua hal, yaitu
meluas dan sistematis (2001: 6).
Pasal yang dianggap kontroversial dalam UUD 1945 adalah Pasal 281 ayat (1): “hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
Kalau paham positifistik dipakai sebagai prinsip negara hukum (secara kaku), positif dari
kata pouerel positus yang berarti “meletakkan”, bermakna adil/tidaknya suatu keputusan
tergantung hukum keputusan yang telah ditetapkan/diberlakukan sebelumnya. Sebaliknya,
kalau mengikuti pandangan hukum positif dalam arti luas, semata-mata untuk mencapai
keadilan materiil, sumber hukum tidak tertulis dapat menjadi hukum positif juga, dengan
kata lain tidak terbatas kepada hukum positif saja.
Pasal 18 ayat (2) UU No. 39/1999 menyatakan “setiap orang tidak boleh dituntut untuk
dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan
yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya.”
Pasal 11 ayat (2) Duham menyatakan “tak seorang pun boleh didakwa bersalah atas
tuduhan pelanggaran peraturan hukum melaksanakan suatu tindakan hukum, jika tindakan
sedemikian bukanlah pelanggaran terhadap peraturan nasional atau internasional ketika
tindak pelanggaran itu dilakukan.”
Pasal 15 ayat (1) ICCPR butir (1) “tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah atas
suatu tindak pidana karena melakukan atau tidak melakukan tindakan yang bukan
merupakan tindak pidana pada saat dilakukannya, baik berdasarkan hukum nasional
maupun internasional”; butir (2), “Tidak ada satu hal pun dalam pasal ini yang dapat
merugikan persidangan dan penghukuman terhadap seorang, atas tindakan yang dilakukan
atau yang tidak dilakukan, yang pada saat hal itu terjadi masih merupakan suatu kejahatan
menurut asas-asas hukum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.”
Namun secara terbatas, Pasal 28 (J) ayat (2) menyatakan “dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.”
Di samping itu, UU Nomor 26/2000, Pasal 18 (2) menyatakan “komnas HAM dalam
melakukan penyelidikan sebagaimana diatur dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc
yang terdiri atas Komnas HAM dan unsur masyarakat.” Selanjutnya, di dalam Penjelasan
menyatakan “…undang-undang ini mengatur pula tentang Pengadilan HAM ad hoc untuk
memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum
diundangkannya UU ini. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul DPR berdasarkan
peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden dan berada dalam lingkungan peradilan
umum.”
Secara universal, prinsip retroaktif/berlaku surut/pidana post facto bertentangan
dengan prinsip legalitas. Persoalan timbul ketika menghadapi kasus pelanggaran berat
dalam negara dengan sistem politik sentralistis/paternalistis/otoritarian, di mana hukum
positif dipakai sebagai alat kekuasaan. Prinsip retroaktif tersebut hakikatnya adalah bagian
dari gerakan internasional melawan dan memutus rantai impunitas ( impunity). Sasaran
gerakan tersebut adalah prosecution by criminal justice of those who are responsible for
human rights violations.
Dalam hukum pidana dikenal istilah nulla poena sine lege, artinya tidak ada hukuman,
kecuali sesuai dengan hukum (yang berlaku). Disepakati secara internasional bahwa doktrin
tersebut merupakan asas legalitas, sekaligus merupakan pilar the rule of law. Karena itu,
penerapan hukum pidana setelah kejahatan terjadi ( post facto criminal law) “melawan”
prinsip tersebut.
Menurut Indriyanto Seno Adji, asas retroaktif dengan segala permasalahannya hanya
pengecualian sifatnya (eksepsional). Ada beberapa hal yang patut dicermati, yaitu pertama,
kekhawatiran penerapan asas retroaktif berdasarkan pendekatan sejarah yang penuh
dengan stigmatisasi dalam hukum pidana berhadapan dengan kejahatan yang tidak ada
pengaturannya dalam hukum pidana tertulis (extraordinary crime).
Kedua, penerapan atas retroaktif menjelmakan asas lex talionis (pembalasan) yang
dapat menimbulkan bias hukum, tidak adanya kepastian hukum, dan menimbulkan
kesewenang-wenangan dari para pelaksana hukum serta elite politik, dengan akibat eksesif
adanya suatu political revenge (balas dendam politik) yang berkepanjangan dan
mengandung subjektivitas tinggi. Selanjutnya dikatakan, kajian akademik, baik doktrin
maupun ilmu hukum, eksistensi asas retroaktif harus memenuhi kriteria yang rigid dan
limitatif, yaitu:
1. adanya korelasi antara hukum tata negara darurat ( staatsnoodrechts) dengan hukum
pidana, artinya asas retroaktif hanya dapat diberlakukan apabila negara dalam keadaan
darurat (abnormal) dengan prinsip hukum darurat (abnormaal recht) sehingga
eksistensi retroaktif seharusnya temporer dan dalam wilayah hukum yang limitatif;
2. sifat darurat eksistensi asas retroaktif tidak berada dalam keadaan yang merugikan
tersangka atau terdakwa; dan
3. tetap memperhatikan asas lex certa, yaitu penempatan substansial suatu aturan yang
tidak menimbulkan multiinterpretasi, sehingga tidak dijadikan saran penguasa
melakukan abuse of power. (Kompas, 2/2/2002)
Dalam perspektif hak asasi manusia internasional, lewat lokakarya Komnas HAM Juni
2001, dikemukakan ada perbedaan antara hak-hak yang dapat dikesampingkan ( derogable)
dan yang tak dapat dikesampingkan ( nonderogable rights). Hak yang tidak dapat dibatalkan
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam situasi konflik sekalipun.
Sedangkan, hak yang dapat dibatalkan adalah hak-hak yang tidak mutlak dan dapat dibatasi
atau dibatalkan dengan syarat tertentu.
Kejahatan terhadap kemanusiaan muncul sebagai sintesis untuk menutupi jurang antara
hukum perang di satu pihak, dengan kekejaman yang dilakukan negara terhadap warganya
sendiri di lain pihak. Dalam perkembangannya, kejahatan terhadap kemanusiaan diletakkan,
baik dalam hukum perang maupun hukum selama masa damai.
Dalam konteks demikian, penggunaan acuan hukum internasional persis ditujukan
untuk mencegah seseorang melepaskan diri dari hukuman terhadap kejahatan internasional
dengan dalih bahwa serangan atau kejahatan tersebut tidak dapat dihukum oleh hukum
nasional. Artinya, seseorang yang tidak dapat dihukum oleh hukum nasional dapat dihukum
oleh hukum internasional jika kejahatan yang dilakukannya itu oleh hukum internasional
termasuk hukum kebiasaan internasional. Contohnya, kejahatan genosida dengan adanya
Konvensi Antigenosida 1946, kemudian apartheid dengan Konvensi Antiapartheid, dan
kejahatan perang dengan adanya Konvensi Jenewa.
Berkaitan dengan hal ini, sejumlah pendekatan diperdebatkan, yaitu pertama, dengan
menaati prinsip lex spesialis derogat legi generali , artinya aturan hukum khusus
membatalkan aturan hukum umum. Nonretroaktif dan instrumen hak asasi manusia
internasional adalah aturan umum ( general rules), sedangkan prinsip retroaktif dalam UU
Pengadilan HAM adalah aturan khusus, walau bersifat terbatas (Pasal 18 UU 26/2000).
Dari ketentuan hukum yang ada, pemakaian asas retroaktif selain terbatas/selektif,
pendekatan lex spesialis derogat legi generali bukan masalah besar. Pendekatan ini
mengandung kelemahan, meskipun aturan ini menunjuk pada kasus tertentu, yaitu
pelanggaran berat HAM. Penggunaan pendekatan ini tetap mempunyai keterbatasan karena
berlaku pula prinsip lex superior derogat legi inferiori. Kedua, melekat pada hakim, yaitu
keberanian hakim menerobos ketentuan konstitusi.
Pendekatan lain, prinsip retroaktif atas kasus pelanggaran HAM berat atas dasar
keadilan moral dengan mengabaikan prinsip legalitas, terutama dalam negara otoriter
hukum dijadikan alat politik untuk melanggengkan kekuasaan. Dengan demikian, sejarah
hukum internasional membuktikan bahwa asas retroaktif tidak berlaku absolut. Dengan
demikian, mengesampingkan asas retroaktif hanya bisa dalam keadaan tertentu. Bagi
Indonesia, “kemanusiaan yang adil dan beradab” merupakan sumber hukum utama untuk
dipertimbangkan.
Menunjuk Pasal 47 ayat (1): “Pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya
undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi.”
Komisi seperti ini—yang paling terkenal dan berhasil di Afrika Selatan—merupakan
proses politik dari negara-negara yang semula sistem politiknya otoriter ke proses
demokrasi, sehingga ada masa transisi. Dari kondisi transisi tersebut, dicarilah “keadilan
dalam transisional (transitional justice), yang memihak kepada rakyat yang terpinggirkan
dan yang mengalami kekerasan.” Di dalam komisi ini dicari jalan keluar untuk memenuhi
keinginan masyarakat, di samping perlu adanya perdamaian antarwarga; masa lalu yang
kelam hendaknya dilupakan.
Dalam keadilan transisional/keadilan restorasi, hakikatnya merupakan wujud keadilan
yang mengedepankan substansi sehingga masalah prosedural menjadi kurang penting di
antara para pihak yang saling memaafkan.
Mengutip pandangan filsuf Jerman, Jurgen Habermas dalam bukunya The Theory of
Communicative Action, kebenaran mengandung 3 (tiga) aspek, yaitu:
1. kebenaran bersifat aktual, berkaitan dengan sesuatu yang benar-benar terjadi atau
ada;
2. kebenaran bersifat normatif, berkaitan dengan yang kita rasakan adil atau tidak; dan
3. kebenaran hanya akan menjadi kebenaran bila dinyatakan dengan cara yang benar.
(Ifdal Kasim, 2002)
Masih mengutip tulisan Ifdal Kasim, yang disitir (ditulis kembali) oleh Soedjono
Dirdjosisworo, pandangan Priscilla Hayner menyatakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR) memiliki karakter umum, yaitu:
1. fokus penyelidikannya pada kejahatan yang terjadi di masa yang lalu;
2. tujuannya untuk memperoleh gambaran yang komprehensif mengenai kejahatan HAM
dan hukum internasional pada suatu kurun waktu tertentu dan tidak memfokuskan pada
satu kasus saja;
3. keberadaannya adalah untuk jangka waktu tertentu, biasanya berakhir setelah laporan
akhirnya selesai dikerjakan;
4. ia memiliki kewenangan untuk mengakses informasi ke berbagai lembaga dan
mengajukan perlindungan untuk mereka yang memberikan kesaksian; dan
5. dibentuk secara resmi oleh negara, baik melalui keputusan presiden atau undang-
undang, bahkan oleh PBB, seperti Komisi Kebenaran El Salvador (1992-1993).
Untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat sebelum berlakunya Undang-Undang No.
26 Tahun 2000, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2004
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Asas Komisi ini ialah kemandirian, bebas, tidak
memihak, kemaslahatan, keadilan, kejujuran, keterbukaan, perdamaian, dan persatuan
bangsa. (Pasal 2 UU No. 27/2004)
Tujuan pembentukan Komisi ini ialah sebagai berikut.
1. Menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan terjadi pada masa lalu di
luar pengadilan, guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa.
2. Mewujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional dalam jiwa saling pengertian. (Pasal 3
UU No. 27/2004).
Tugas Komisi antara lain:
1. menerima pengaduan dari pelaku, korban, atau keluarga korban yang merupakan ahli
warisnya;
2. melakukan penyelidikan dan klarifikasi atas pelanggaran HAM berat;
3. memberikan rekomendasi kepada presiden dalam hal permohonan amnesti;
4. menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah dalam hal pemberian kompensasi dan
atau rehabilitasi; dan
5. menyampaikan laporan tahunan tentang pelaksanaan tugas dan wewenang yang terkait
dengan perkara yang ditanganinya kepada Presiden dan DPR dengan tembusan kepada
MA.

Sebagaimana diketahui, pengadilan Ad Hoc HAM dalam kasus Timor Timur banyak
mendapat kritik yang tajam dari masyarakat karena sebagian besar telah bebas. Berikut ini
daftar vonis kasus HAM Timor Timur yang kebanyakan mendapat vonis bebas.
Menghadapi fakta hukum tersebut, secara jujur harus diakui kita berpengalaman
melanggar HAM, tetapi tidak mempunyai pengalaman menyelesaikannya sehingga banyak
warga masyarakat yang tidak puas. Sebenarnya, pengadilan Ad Hoc HAM sudah memeriksa
dan mengadili sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, walau “gagal”
memberi keadilan menurut sebagian warga.
BAB XII
Terorisme dan HAM

A. Pengertian umum
Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary (1995), terorisme diberi definisi “The use
of violence for political aims or to force a government to act, especially become of fear it
causes among the people”. Menurut Federal Bureau of Investigation (FBI): “terrorism as the
unlawful use of force or violence against persons or property to intimidate or coerce a
government, the civilian population, or any segment thereof, in furtherance of political or
social objectives” (Tucker, ed. 1988: 1). James Adams mendefinisikan bahwa terorisme
adalah penggunaan atau ancaman kekerasan fisik oleh individu atau kelompok untuk
tujuan-tujuan politik atau untuk kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang ada, di
mana tindakan-tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan, melumpuhkan, atau
mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang lebih besar daripada korban-korban
langsungnya. Terorisme melibatkan kelompok korban langsungnya. Terorisme melibatkan
kelompok-kelompok yang berusaha untuk menumbangkan rezim-rezim tertentu, untuk
mengoreksi keluhan-keluhan kelompok/nasional, atau untuk menggerogoti tata politik
internasional yang ada (Poltak P. Nainggolan, ed. 2002: 106). Dari definisi tersebut, tampak
bahwa unsur utama adanya aksi kekerasan dan perbedaan politik menjadi motif utama,
yang ditempuh baik bersifat perseorangan maupun kelompok dengan menebar ketakutan
terhadap pihak lawan sehingga rezim yang berkuasa memenuhi tuntutannya.
Dari panggung sejarah internasional, tercatat Adolf Hitler yang telah melakukan
pembunuhan massal kepada kaum Gipsy, Yahudi, homoseksual, serta para pesaing
politiknya. Teknik yang digunakan adalah dengan melatih beberapa kelompok untuk
melawan target dengan cara rahasia. Taktik tersebut merupakan salah satu bentuk teror.
Menurut para ahli, karena diprogram oleh penguasa, masuk ke dalam state-sponsored
terrorism. Dengan demikian, teror berkembang tidak saja dari kelompok tertentu, tetapi
juga diorganisasikan oleh negara.
Amerika sebagai negara adikuasa, pada tahun 1996, pernah mengeluarkan daftar 7
negara yang dianggap pendukung teror, yaitu Kuba, Iran, Irak, Lybia, Korea Utara, Sudan,
dan Suriah, di mana terbukti belakangan mulai menyusut. Sedangkan beberapa organisasi
yang dianggap masuk teroris, antara lain Abu Sayyaf Group (Filipina), Japanese Red Army
(Jepang), Neo Nazi (Jerman), Irish Republican Army (Irlandia), Manuel Rodriguez Patriotic
Front (Chili), Abu Nidal Organization (Libya), HAMAS (Palestina), Hizbullah (Lebanon),
Mujahedeen-e Khalq (Iran), Palestine Islamic Jihad (Israel), dan Osama bin Laden
Organization (Arab Saudi/Afghanistan).
Dari perspektif sejarah, terbukti bahwa teror sudah dikenal sejak lama. Teror sebagai
tingkah laku orang atau sekelompok orang yang tidak puas, mungkin sebagai akibat
dipinggirkan, tidak dihormati hak-haknya, dinistakan, dimasukkan kelompok kelas dua,
diperlakukan tidak adil/tidak manusiawi, kemiskinan struktural, konflik komunal, gap kaya-
miskin yang mencolok, dan sebagainya. Dengan demikian, menurut penulis, yang semula
dan utama ialah unsur politik harus menjadi variabel pertama, dasarnya meluas,
motivasinya “bergeser”, dan variabelnya berkembang sehingga penyelesaiannya harus
menggunakan pendekatan komprehensif dari beragam dimensi. Motif menjadi faktor yang
harus dicari dan ditemukan, demi tercapainya ketenteraman bersama umat manusia.
Contoh dalam sejarah, antara lain kaum Yakobin yang memerintah Prancis abad XVII
membangun terreur rouge, Hitler menjelang Perang Dunia II, dan negara-negara
diktator/totaliter di banyak negara, baik di Asia, Afrika, maupun Amerika Latin. Pergeseran
dari negara diktator ke negara demokrasi, secara logika mestinya teror berkurang. Namun,
fakta menunjukkan masih terjadi juga. Beragam sebab dapat ditelusuri bersama,
sebagaimana kemungkinan di atas.
Nelson Mandela, dalam salah satu orasi pembelaannya menyatakan pada intinya antara
lain: “Saya memang merencanakan sabotase, tidak merencanakan secara sembrono, tetapi
penuh ketenangan. Hakikatnya, saya tidak menyukai kekerasan. Mengadakan penilaian
cermat atas kondisi rakyat saya atas perlakuan orang kulit putih. Saya salah satu yang
membentuk Umkhonto we Sizwe, dan berperan penting di dalamnya. Pendirian organisasi
tersebut dengan dua alasan, pertama akibat kebijaksanaan pemerintah dan kekerasan
rakyat yang tak terhindarkan. Kedua, tanpa kekerasan tidak ada jalan terbuka bagi
masyarakat Afrika Selatan untuk melawan supremasi hukum orang kulit putih”.
Ungkapan Mandela tersebut patut direnungkan bahwa:
Adanya motivasi yang luhur merupakan akibat salah satu sistem politik, sosial, ekonomi,
dan hukum yang “rusak”.
Sistem yang hanya memihak kepada kelompok tertentu dengan
menekan/menghancurkan kelompok lainnya. Karena itu, kalau menginginkan dunia bebas
teror, perlakuan adil dan penghormatan atas hak asasi setiap orang tidak dapat ditunda-
tunda lagi serta merupakan kewajiban hukum para pemimpin dunia.
Teror menjadi masalah dunia dengan hebat, ketika WTC New York pada 11 September
2001 telah luluh lantak oleh dua pesawat terbang secara bergantian. Bush langsung
bereaksi cepat dan menyatakan perang terhadap terorisme, sekaligus mendeklarasikan
adanya “musuh baru”, yaitu para teroris.
Teroris sebagai musuh baru tersebut sebenarnya dalam politik internasional dan
nasional—sebagaimana disinggung di depan—sudah dikenal sejak lama. Malah sering
“lawan” tersebut diciptakan/direkayasa oleh penguasa yang sedang memunyai musuh.
Lewat operasi intelijen, opini masyarakat dibentuk, tidak saja dengan menyebar isu, rumor,
tetapi kadang-kadang melalui “ledakan/bom” kecil yang sengaja diciptakan. Di samping itu,
dengan menguasai jaringan informasi, opini masyarakat dibentuk.
Di Indonesia sendiri telah terjadi teror dan dirasakan bersama, ketika di Legian, Bali,
meledak bom pada tanggal 12 Oktober 2002, di samping peristiwa teror “kecil” lainnya yang
pernah terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Target dan sasaran sering ditujukan kepada
sekumpulan warga masyarakat (di mall, pantai, hotel, perkantoran, dan sebagainya) yang
sangat rentan terhadap kejadian tersebut, serta tidak terduga sama sekali. Sasaran seperti
itu oleh para ahli disebut soft target/sasaran lunak.
Kasus teror seperti yang terjadi di Amerika, di Indonesia, serta dialami pula oleh banyak
negara lain di seluruh dunia masih terus berlangsung. Pasca kasus WTC, jumlah teror tidak
menyurut, karena itu para ahli percaya bahwa terorisme merupakan suatu bentuk serangan
balik (blowback) atas hegemoni Amerika. Terorisme, menurut Prof. Chalmers Johnson,
adalah harga dan konsekuensi yang harus dibayar oleh “ American Empire”. Fakta sejarah
membuktikan adanya hubungan yang kuat antara keterlibatan Washington dalam masalah
internasional dengan peningkatan serangan terhadap Amerika. Istilah blowback mulanya
hanya dipakai oleh kalangan dalam Dinas Intelijen Amerika (CIA) dan mulai tersebar di
seluruh dunia. Terorisme adalah (menjadi) senjata ampuh dari pihak-pihak yang tidak
memunyai kekuatan. Orang bilang terrorism is the power of powerless . (T. Yulianti, Suara
Pembaruan, 17 September 2002)
Pasca peledakan WTC, landasan kebijaksanaan strategi keamanan AS berlaku kredo
“peace through strength”/perdamaian melalui militer. Dengan langkah tersebut, ke depan
AS diduga akan meninggalkan kebijaksanaan yang mengedepankan perdamaian dan
diplomasi daripada perang. Doktrin tersebut dikenal dengan preemptive attacts; hantam
dulu sebelum musuh mampu menyerang AS. Keterlibatan militer di dalam membasmi aksi
teror menempatkan militer sebagai salah satu faktor penting menghadapi aksi teror lewat
operasi militer.
Sampai hari ini, masih terjadi kontroversi siapa yang meledakkan WTC tersebut. Jim
Fetzer (dosen universitas Minnesota, AS et. Al.) pada tanggal 15 Desember 2005 menyusun
kelompok bernama “Scholars for 9/11 truth”. Dalam penelitian tersebut, warga AS terbagi
menjadi 2 kelompok.
Kelompok 1 disebut LIHOPS (let it happen on purpose /pemerintah AS membiarkan
konspirasi penghancuran WTC terjadi) dan MIHOPS ( Made it happen on purpose). Hasil
penelitian menunjukkan masyarakat AS 58% mempercayai adanya konspirasi dan 35% tidak
mempercayainya. (Republika, 12 September 2006)
Sedangkan jejak pendapat yang dilakukan LP SOS Reid (Kanada) pimpinan Paul Orvan
menyimpulkan, “satu dari lima orang Kanada meyakini serangan WTC, 11 September 2001
bukan didalangi Osama bin Laden, tetapi rancangan sekelompok figur berpengaruh di AS”.
(Media Indonesia, 13 September 2006)
Terorisme beroperasi di balik canggihnya teknologi, sistem informasi, dan komunikasi
serta menunggu kelemahan manusia; terorisme menjadi dan menciptakan hiperterorisme.
Menurut Yasraf Amir Piliang berakibat: pertama, banyak medan sasaran sempurna yang
luput dari pengawasan (logika ketidakterlihatan/ logic of invisibility). Kedua, adanya
pengetahuan iptek yang mendalam oleh para teroris yang bergerak cepat, akurat, teliti,
serta disiplin (logic of speed). Ketiga, logika miniaturisasi/logic of miniaturization membawa
ke sebuah dunia yang dapat dikendalikan dari jarak jauh, tidak dibatasi ruang dan waktu.
Keempat, logika citraan/logic of image merupakan dampak perkembangan ilmu informatika,
internet, video, dan komputer yang berpengaruh pada kehidupan global. Dengan demikian,
cara meneror menjadi penting. Kelima, logika nomadisme/logic of nomadism yang
memungkinkan begitu mudahnya perpindahannya dari satu teritori ke teritori lain akibat
globalisasi. (Kompas, 19 September 2001)
Memerhatikan semakin hebatnya teknik teror, banyak pihak yang menjadi sangat
anti/benci kepada para teroris. Lewat pembalasan-pembalasan yang “tidak kalah kejamnya”
dengan teknik para teroris itu sendiri menjadi sering terjadi. Balas-membalas akan menjadi
bagian dari keseharian yang menyeramkan, jauh dari nilai HAM.
Karena itu, selain akar masalahnya harus dicari lebih dahulu, pendekatan serta
perundingan dengan penuh kejujuran wajib ditempuh. Di samping kerja sama dan saling
percaya antarnegara dibangun dan dikembangkan terus, bergandengan tangan bersama-
sama menaati konvensi internasional tentang terorisme, di samping ketentuan perundangan
nasional tentang terorisme yang ada dilaksanakan secara nyata.

B. Terorisme dan Langkah-langkah Politik/Hukum PBB


Hukum internasional. Sebagaimana diketahui nuansa politiknya cukup kuat.
Kesepakatan politik antarnegara, baik berupa perjanjian, konvensi, kovenan maupun
kesepakatan-kesepakatan lainnya merupakan modal utama. Karena itu, sangat wajar
kepentingan nasional selalu menjadi pijakan utama. Di sinilah kearifan dituntut sehingga
terjadi pembahasan intensif dan terus-menerus, di mana kepentingan bersama memunyai
“nilai tawar lebih” di atas kepentingan negara yang kadang/sering terlalu sempit.
Dengan demikian, kematangan pandangan, wawasan, dan kearifan para pemimpin
dunia sangat diperlukan. Dari wawasan yang luas tersebut akan mampu diwujudkan
kesepakatan-kesepakatan bersama yang mampu mengakomodasikan kepentingan bersama
tanpa merendahkan negara lain, baik dalam bentuk perjanjian, kesepakatan, maupun
produk hukum lainnya.
Tesis akan adanya benturan peradaban (the clash of civilization) yang digambarkan oleh
Samuel P. Huntington pasca hancurnya paham komunis, antara kebudayaan Barat dan
Islam dari perspektif HAM tidak mungkin dan tidak akan terjadi, ketika semua umat manusia
telah memahami serta memiliki pandangan yang relatif sama tentang hakikat HAM serta
makna keberadaannya di dunia.
Menarik isu dalam konferensi internasional yang bertema “ who speaks for Islam, who
speaks for the west” di Kuala Lumpur, Malaysia, tanggal 10-11 Februari 2006. Dalam
konferensi ini, para peserta dari dunia Islam dan Barat berupaya menguraikan kesalahan-
kesalahan berpikir yang sejak lama memerangkap kedua pihak dalam prasangka negatif.
Mustafa Ceric, ulama besar Bosnia-Herzegovina, menjelaskan adanya persepsi yang
sangat berbeda dalam memandang Islam. Timur menganggap Islam sebagai solusi,
sebaliknya Barat menganggap sebagai masalah.
Perbedaan persepsi ini, kata Mustafa Ceric, selanjutnya menimbulkan stereotip yang
negatif. Banyak orang Barat, termasuk intelektualnya, memandang Islam seperti mereka
memandang komunisme di area Perang Dingin. Mereka melihat Islam sebagai hambatan
besar dan ancaman terhadap cara hidup dan peradaban Barat.
Situasi menjadi semakin runyam, karena isu ini kemudian diseret ke dalam isu
mengenai kemungkinan terjadinya benturan peradaban Islam-Barat, seperti benturan yang
pernah terjadi antara kapitalis dan komunis.
Mustafa Ceric mengatakan, “Mereka (Barat) lupa, bahwa Islam bukan komunis dan
dunia Muslim tidak seperti Uni Soviet dulu.”
Di sisi lain, banyak orang Islam memandang Barat sebagai musuh lama yang harus
diperangi. “Banyak orang mengklaim sedang membela Islam untuk melawan ‘musuhnya’,”
lanjut Mustafa Ceric. Apakah itu benar? Tentu saja tidak. Islam tidak mengajarkan
kekerasan, sebaliknya di Barat banyak orang yang juga memiliki toleransi.
Namun, untuk mengubah stereotip memang tidak mudah, sebab konflik Islam-Barat
semakin parah akibat kolonialisme barat, pendudukan Israel di dunia Arab, hegemoni
pascakolinialisme, dan hasrat Barat menguasai minyak dan gas di negara-negara muslim.
Belum lagi invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak dan kasus penerbitan kartun Nabi Muhammad
SAW.

C. Ketidakadilan
Badawi berpendapat, konflik yang semakin dalam antara Islam-Barat tidak dapat
diselesaikan hanya dengan dialog. “Kita harus cukup berani dan harus cukup jujur untuk
mengakui bahwa selama masih ada hegemoni, selama masih ada upaya satu pihak
mengontrol dan mendominasi pihak lain, permusuhan dan kebencian antardua perdaban
besar akan berlanjut,” ujarnya.
Bagi sebagian delegasi yang hadir, termasuk Riawan Amin, konflik Islam-Barat memang
bukan semata faktor ideologi, agama, dan perbedaan kultur, melainkan ketidakadilan dan
ketimpangan politik, ekonomi, dan militer.
“Perbedaan persepsi selama ini bisa kita redam asalkan semua pihak bisa saling
menahan diri untuk tidak saling mengganggu. Namun, soal ketidakadilan ini akan
memengaruhi stabilitas dunia dan membuka kesempatan para provokator yang
mengatasnamakan ideologi atau agama apa pun,” kata Riawan. ( Kompas, 14/2/2006)
Indonesia, mayoritas warga negaranya beragama Islam. Kiranya, pandangan Harun
Yahya tentang moralitas Islam patut dikemukakan. “... seorang muslim yang hidup dengan
nilai-nilai yang benar dari Alquran akan menjadi orang yang paling sopan, berpikir jernih,
sederhana, dapat dipercaya, dan mudah bergaul. Dia akan menerbar cinta, rasa hormat,
harmoni, dan kebahagiaan hidup kepada lingkungannya ....”
Islam agama perdamaian, sedangkan teror dalam makna yang luas berarti tindakan
kekerasan yang ditujukan kepada sasaran nonmiliter sebagai tujuan politik. Dengan kata
lain, sasaran teror semata-mata penduduk sipil yang memunyai dosa di mata pelaku teror
karena berada di “pihak lain”, artinya menempatkan orang-orang yang tidak bersalah
sebagai sasaran kekerasan. Allah memerintahkan manusia untuk memiliki moral yang baik.
Moralitas ini berlandaskan kepada konsep cinta, kasih sayang, toleransi, dan rahmat. Kata
Islam bermakna damai. Membunuh seseorang tanpa alasan adalah suatu tindak kejahatan.
Dalam Alquran, Allah mengulang perintah yang pernah disampaikan kepada kaum Yahudi
dalam Perjanjian lama. “Mereka yang melakukan pembunuhan/pembantaian dan serangan
bom bunuh diri adalah pelaku dosa besar. Tuhan menyatakan dalam Alquran bahwa mereka
akan disiksa di neraka, yaitu dalam (QS 42: 42, dan QS. 5: 32). (2003: 30, 31, 32)
Tesis tersebut, di samping ada yang menerimanya, banyak juga pemikir yang menolak
keras dalil tersebut, baik di dunia Barat maupun di dunia Timur. Kalau toh terjadi konflik,
dasarnya pasti bukan agama, tetapi lebih kepada kepentingan nasional sempit atau
perbedaan politik yang ada. Namun, sebagai wacana bersama, patut menjadi bahan
perenungan yang perlu dikaji terus.
Terkait dengan adanya bahaya dan kejamnya teror, membawa banyak perubahan
pemikiran dan langkah bersama dari banyak negara. Bentuk kerja sama, antara lain semakin
terjalin aliansi atau kedekatan antara negara dalam bentuk kerja sama yang diharapkan
mampu mengurangi ruang gerak para teroris. Untuk itu, langkah diplomasi dalam arti luas
yang intensif menjadi sangat penting. Diplomasi dengan dimensi dan muatan beragam yang
dilakukan oleh para pimpinan formal maupun informal (agamawan, budayawan, pemikir,
penulis, intelektual, dan sebagainya) merupakan bentuk partisipasi aktif yang akan
membawa hasil lebih baik dan cepat. Lebih-lebih sifat kelompok garis keras di luar
meanstream utama dunia, selain bersifat mobile juga terkait dengan paham fundamentalis,
ekstrem, dan keras yang ada di dalam beragam keyakinan dan paham politik, doktrin, dan
agama akan “lebih mudah” diajak dialog.
Sering teror memiliki motif baik, tetapi di dalam mencapai tujuannya lewat cara-cara
yang kasar, brutal, dan tidak manusiawi. Motif yang muncul dapat dalam bentuk
kemiskinan, penindasan, perlakuan tidak adil berkepanjangan, tereliminasi/terpinggirkan,
dan motif lainnya. Lebih-lebih kalau di kalangan yang “tertindas” tersebut timbul kesan
penguasa hanya membela yang kuat dan kaya. Hal ini akan semakin memicu tindakan
ekstrem, karenanya paradigma bagaimana keamanan, kenyamanan, dan ketenteraman
umat manusia menjadi prioritas utama dan menjadi acuan para pemimpin dunia. Untuk itu,
secara konkret perlindungan HAM menjadi prioritas utama.
Pemimpin yang berpihak kepada rakyat tersebut berarti menempatkan HAM sebagai
landasan salah satu pemikiran/kebijaksanaan dalam setiap keputusan politik yang ada.
Dengan demikian, kelompok kuat yang memperlihatkan garis politik yang tidak adil, malah
menyakitkan bagi kelompok lainnya yang merasa tertindas, akan menjadi batu sandung
mengurangi bahaya teror.
Karena itu, banyak pengamat internasional yang berpendapat, munculnya atau
banyaknya gerakan radikal (radix = akar) di Timur Tengah adalah akibat kebijaksanaan
politik luar negeri AS yang berstandar ganda. Satu pihak “membabi buta” membela Israel,
pada lain pihak menekan perjuangan rakyat Palestina. Penindasan Israel di luar batas
kemanusiaan, yang jelas-jelas merupakan salah satu bentuk teror dan melanggar HAM
dibela mati-matian oleh AS. Majelis umum PBB antara lain telah mengeluarkan dua resolusi,
masing-masing ES-10/13 dan ES-10/14 tahun 2003. Resolusi-resolusi tersebut mengutuk
serangan Israel terhadap wilayah Palestina di Jalur Gaza dan di Yerusalem Timur yang
mengakibatkan tewasnya penduduk sipil warga Palestina, tetapi ternyata tidak mengubah
kebijakan Israel atas sengketa tersebut.
Menurut Jimmy Carter, sejak masa pemerintahan Dwight Eisenhower, Amerika telah
mengambil posisi yang tegas bahwa Negara Israel adalah batas yang ditetapkan pada tahun
1949. Setelah itu, sejak 1967. Resolusi PBB No. 242 yang diterima secara universal sudah
memerintahkan penarikan mundur Israel dari wilayah-wilayah yang didudukinya. Kebijakan
ini bahkan ditegaskan kembali oleh Israel sendiri pada 1978 dan 1993, serta ditekankan oleh
semua Presiden Amerika Serikat, termasuk George W. Bush. ( Koran Tempo, 18 Maret 2006)
Dalam praktiknya, AS sering berstandar ganda. Berapa banyak resolusi Dewan
Keamanan yang mengutuk Israel menjadi kandas akibat diveto (ditolak) oleh AS. Contohnya
resolusi No. ES-10/13 sebagai berikut.

ES-10/13
Illegal Israeli actions in Occupied East Jerusalem and the rest of the
Occupied Palestinian Territory
The General Assembly, recalling its relevant resolutions, including resolutions of the tenth
emergency special session;
Recalling also Security Council resolutions 242 (1967) of 22 November 1967, 267 (1969) of
3 July 1969, 298 (1971) of 25 September 1971, 446 (1979) of 22 March 1979, 452 (1979)
of 20 July 1979, 465 (1980) of 1 March 1980, 476 (1980) of 30 June 1980, 478 (1980) of 20
August 1980, 904 (1994) of 18 March 1994, 1073 (1996) of 28 September 1996 and 1397
(2002) of 12 March 2002.
Reaffirming the principle of the inadmissibility of the acquisition of territory by force;
Reaffirming also its vision of a region where two States, Israel and Palestine, live side by
side within secure and recognized borders.
Condemning all acts of violence, terrorism and destruction.
Condemning in particular the suicide bombings and their recent intensification with the
attack in Haifa.
Condemning the bomb attack in the Gaza Strip, which resulted in the death of three
American security officers.
Deploring the extrajudicial killings and their recent intensification, in particular the attack on
20 October 2003 in Gaza.
Stressing the urgency of ending the current violent situation on the ground, the need to end
the occupation that began in 1967, and the need to achieve peace based on the vision of
two States mentioned above.
Particularly concerned that the route marked out for the wall under construction by Israel,
the occupying Power, in the Occupied Palestinian Territory, including in and around East
Jerusalem, could prejudge future negotiations and make the two-State solution physically
impossible to implement and would cause further humanitarian hardship to the Palestinians;
Reiterating its call upon Israel, the occupying Power, to fully and effectively respect the
Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War of 12 August
1949.
Reiterating its opposition to settlement activities in the Occupied Territories and to any
activities involving the confiscation of land, disruption of the livelihood of protected persons
and the de facto annexation of land.
1. Demands that Israel stop and reverse the construction of the wall in the Occupied
Palestinian Territory, including in and around East Jerusalem, which is in departure of
the Armistice Line of 1949 and is in contradiction to relevant provisions of international
law.
2. Calls upon both parties to fulfil their obligations under relevant provisions of the road
map,2 the Palestinian Authority to undertake visible efforts on the ground to arrest,
disrupt and restrain individuals and groups conducting and planning violent attacks, and
the Government of Israel to take no actions undermining trust, including deportations
and attacks on civilians and extrajudicial killings.
3. Requests the Secretary-General to report on compliance with the present resolution
periodically, with the first report on compliance with paragraph 1 above to be submitted
within one month and upon receipt of which further actions should be considered, if
necessary, within the United Nations system.
4. Decides to adjourn the tenth emergency special session temporarily and to authorize
the current President of the General Assembly to resume its meeting upon request from
Member States.

Tragedi 11 September 2001 telah mendorong AS merumuskan kebijakan barunya dalam


keamanan. Strategi keamanan baru ( The National Security of The United States of America )
itu juga sering disebut Doktrin Bush. Strategi baru itu memiliki tujuh elemen. ( Foreign
Affairs, September/October 2002)
Lima dari tujuh elemen itu ialah, pertama, mempertahankan dunia unipolar, dalam hal
ini AS merupakan kekuatan yang tiada tandingannya. Dengan runtuhnya Uni Soviet, AS
harus mencegah munculnya kompetitor baru di Eropa dan Asia. Kedua, pengakuan bahwa
terorisme merupakan ancaman baru. Ketiga, konsep pencegahan (deterrence) Perang
Dingin sudah ketinggalan zaman. Saat ini pencegahan, kedaulatan, dan perimbangan
kekuatan harus berjalan bersama. Hal itu terjadi karena ancaman sekarang ini bukan negara
adikuasa lain, tetapi jaringan teroris transnasional. Keempat, perlunya pemaknaan ulang arti
kedaulatan. Dikarenakan kelompok-kelompok teroris tidak dapat ditangkal, maka AS harus
disiapkan untuk melakukan intervensi di mana-mana, kapan saja bertindak harus lebih
dahulu menghancurkan ancaman. Kelima, AS perlu memainkan peran langsung dan leluasa
untuk memusnahkan ancaman.
Doktrin Bush telah mengubah kebijakan luar negeri AS dari dekade deterrence
(pencegahan) dan containment (penahanan) menjadi sikap yang lebih agresif menyerang
musuh-musuh sebelum mereka menyerang AS. ( Washington Post, 16/3/2006). Melalui
doktrin ini, AS memancangkan preseden bahwa kekuatan dapat menyelesaikan perbedaan.
Revolusi strategi keamanan itu dilanjutkan oleh Bush. Lewat doktrin keamanan yang
paling baru, yaitu The National Security Strategy—2006, yang diterbitkan 16 Maret 2006,
menurut Peter Baker (Washington Post), Bush mempertegas doktrin keamanan 2002.
Doktrin keamanan baru itu mempertegas doktrin perang preemtive terhadap para teroris
dan negara-negara musuh yang memiliki senjata kimia, biologis, atau nuklir.
“Amerika dalam kondisi perang,” begitu bunyi dokumen itu. Karena itu, “kita akan
memerangi musuh-musuh kita di luar, daripada mereka menunggu mereka tiba di negara
kita” dan “mendukung gerakan-gerakan serta institusi-institusi demokratis di setiap bangsa
dan kultur”, dengan tujuan paling akhir adalah “mengakhiri tirani di dunia kita” ( The End of
the Bush Revolution, Foreign Affairs, July/August 2006 ). (Kompas, 11 September 2006)
Secara makro, bila ingin jujur, PBB bersama-sama dengan negara-negara maju lainnya,
terutama AS sebagai satu-satunya negara super power harus mampu membawa dunia lebih
aman dan damai. Grand strategy AS yang dianggap terlalu over protektif dengan
menciptakan doktrin preemptive strike, serang lebih dahulu terhadap sasaran yang diduga
membahayakan keamanan nasionalnya sangat gawat. Mestinya AS dapat bertindak lebih
arif, dialog dan dialog terus dengan mengubah wajah politik luar negerinya menjadi lebih
moderat. Langkah unilateral/sepihak AS sering menjengkelkan negara lain, malah
membahayakan warga sipil AS sendiri.
Politik luar negeri AS terkait dengan Palestina versus Israel belum banyak berubah.
Kasus kapal Turki yang membawa bantuan kemanusiaan untuk warga Gaza yang tergabung
dalam Freedom Flotilla dihadapi secara brutal oleh tentara Israel. Israel berani menembaki
kapal Mavi Marmara (2010) karena—selama ini—Israel selalu dilindungi oleh AS (dok. PBB).
Karena itu, Perdana Menteri Tayyip Erdogan menyebut Israel sebagai negara tiran.
Untuk itu, kalau di era Perang Dingin dunia terbentuk bipolarisasi antara Amerika
Serikat dengan pengikutnya dan Uni Soviet juga dengan negara-negara satelitnya, kiranya
pasca Perang Dingin muncul multipolarisasi, tetapi tidak kunjung muncul. Dalam multipolar
sesama negara memiliki posisi “seimbang” dan saling menunjang membangun kekuatan
bersama. Sentral-sentral kekuasaan berada di banyak negara. Yang muncul kemudian justru
unipolarisasi yang satu kekuatan hanya dimiliki AS, sampai-sampai AS dianggap sebagai
polisi dunia. Kalau toh sebagai polisi dunia, tentunya AS harus menjadi polisi yang bijak,
adil, dan pembela keadilan dan kebenaran.
Secara terperinci, Hasnan Habib menyatakan kelompok yang melakukan teror, antara
lain memiliki tujuan sebagai berikut.
1. Untuk memeroleh konsesi-konsesi tertentu, seperti uang tebusan, pembebasan tahanan
politik, penyebarluasan pesan, dan sebagainya.
2. Memeroleh publikasi luas, teroris ingin menarik perhatian masyarakat luas kepada
aspirasi perjuangan dan pengakuan terhadap eksistensinya sebagai pihak yang
bersengketa.
3. Menimbulkan kekacauan luas, demoralisasi dan disfungsi sistem sosial yang merupakan
tipikal dari kelompok revolusioner, nihilis dan anarkis.
4. Memancing retaliasi dan/atau kontra teror dari pemerintah, sehingga dapat
menggulingkan pemerintahan.
5. Memaksakan kepatuhan dan ketaatan, tipikal pemerintah totaliter/fasis.
6. Menghukum yang bersalah, atau dipandang sebagai simbol dari sesuatu yang
jahat/salah, seperti orang-orang yang tidak setuju dengan tujuan perjuangan mereka,
bekerja sama dengan penguasa. (Suara Pembaruan, 27 Maret 2002)
PBB telah menyusun banyak instrumen hukum dalam bentuk konvensi internasional,
khususnya terkait dengan terorisme, antara lain the Convention on the Prevention and
Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons, including Diplomatic Agents
(New York, 1973), the Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board
Aircraft (Tokyo, 1963), the Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft
(The Hague, 1970), the Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety
of Civil Aviation (Montreal, 1971), the Convention on the Physical Protection of Nuclear
Material (Vienna, 1980), the Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at
Airports Serving International Civil Aviation (Montreal, 1988), the Convention for the
Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Maritime Navigation (Rome, 1988), the
Protocol for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Fixed Platforms Located
on the Continental Shelf (Rome, 1988), the Convention on the Continental Shelf (Rome,
1988), the Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection
(Montreal, 1991), International Convention for the Suppression of the Bombings (New York,
1997), International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism (New
York, 1999).
PBB juga telah membentuk Kelompok Kerja Kebijakan ( Policy Working Group) yang
melakukan analisis atas semua aspek terkait dengan aktivitas para teroris. Hasil penelitian
tersebut merupakan bahan baku bagi PBB di dalam mengambil langkah lanjut untuk
meredam aksi terorisme di seluruh dunia. Kompleksitas masalah terorisme adalah tantangan
yang harus dihadapi oleh PBB karena masalah terorisme memang mencakup spektrum yang
sangat luas dan multidimensi. Hal inilah tampaknya yang membuat PBB, melalui kelompok
kerjanya itu membentuk sub-sub kelompok yang memiliki tugas secara khusus sesuai isu
yang ditanganinya, yang meliputi: a) international legal instruments and international
criminal justice issues; b) human Rights; c) activies of the United Nation system; d) weapon
of mass destruction, other weapons and technology; e) use of Ideology (secular and
religious) Council; f) media and Communications; g) non-United Nations multilateral
initiatives. (Poltak P. Nainggolan, Ed. 2002: 110)
Ketika masalah teror dan HAM merupakan dua masalah besar internasional yang saling
terkait, di mana dalam masalah-masalah tersebut mungkin saja teror yang menjadi sebab
pertama/kausa prima dalam memperjuangkan hak-haknya, dapat pula terjadi hak asasinya
terhimpit dan “membalas” lewat cara teror berkepanjangan sehingga ujung pangkalnya
menjadi kabur.
Dengan demikian, antara HAM dan teror sering berhimpit, malah sering motif
utama/terbesar adalah politik. Karenanya, “gampang” dan “sulit” penyelesaian masalah
teror tergantung kepada niat bersama. Lebih-lebih kalau masalah perbedaan politik
dikaitkan dengan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang
menjamin sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 ayat 1: “setiap negara pihak dalam konvensi
ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam konvensi ini bagi
semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa
pembedaan apa pun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau
pendapat lain, asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya”.
Dengan demikian, perbedaan politik kiranya dapat diselesaikan dengan jalur hukum yang
ada.
Masalah HAM dan teror berpulang kepada kesadaran politik dan hukum serta
persamaan persepsi antara elit politik dunia yang ada. Di sini diperlukan keberanian dan
kemauan politik dari pimpinan dunia, terutama lewat forum PBB. Sebab, kalau para
pemimpin dunia mau menoleh kembali kepada cita-cita pembentukan PBB dan perjuangan
bangsa-bangsa di dunia sepanjang perjalanan peradaban manusia yang tercacat, semata-
mata demi pembebasan/pengentasan dari segala bentuk kenistaan, kesengsaraan,
kezaliman, kekejaman, ketidakadilan, kesengsaraan, perbudakan antarumat manusia sendiri
sepanjang masa, ingatan tersebut akan membantu memulihkan semangat memperjuangkan
hal ini.
Ketika PBB tidak mampu lagi menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana
diamanatkan piagamnya, dunia tidak boleh berputus asa, misalnya dengan pembubaran
PBB. Pembubaran PBB menjadikan dunia semakin kacau/ chaos, kita akan tersentak/kaget,
misalnya ketika bangun tidur, TV dan harian-harian yang ada memberikan informasi PBB
bubar. Quo vadis dunia ini? Karena itu, sesuai dengan tuntutan dan watak diplomasi, para
pimpinan dunia/diplomat harus secara sabar, tekun, dan terus-menerus berdialog dengan
semangat saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan persamaan derajat
antarsesamanya. Titik inilah yang harus diupayakan terus, dan tidak hanya “kemauanku dan
kepentingan negara/bangsaku saja yang utama”, tetapi juga kepentingan negara lain,
mungkinkah hal ini terjadi? Pasti, dengan munculnya pimpinan dunia yang arif, bijak,
cerdas, dan saleh yang muncul pada saatnya yang dapat bangkit dari Indonesia. Ingat ini,
generasi muda Indonesia pemilik masa depan, Insya Allah, amin.
Salah satu instrumen hukum penting untuk memotong garis komando jaringan intra dan
antarteror adalah dengan memotong aliran dan pembekuan dana yang digunakan untuk
membiayai kegiatannya. Aktivitas tersebut sekaligus memberantas kegiatan narkotika,
prostitusi, perjudian, perdagangan senjata gelap, korupsi, pencucian uang/money
laundring yang dipakai sebagai sumber dananya. Dengan adanya instrumen tersebut
diharapkan para teroris akan “lelah” dan mengubah cara memperjuangkan aspirasinya lewat
dialog intensif. Untuk maksud tersebut, PBB telah mengesahkan satu konvensi Internasional
tentang Penghentian Dukungan Finansial bagi Kegiatan Terorisme ( International Convention
for the Suppression of the Financing of Terrorism).
Upaya memerangi terorisme tercermin pula dari himbauan Dewan Keamanan PBB, agar
semua anggota PBB memberi laporan program penanggulangan/perlawanan terhadap
terorisme kepada Komisi Antiterorisme (the Counter-Terrorism Committee) yang ada. Komisi
dibentuk atas perintah DK PBB lewat Resolusi No. 1373. Dalam resolusi tersebut, komisi
dapat melakukan langkah-langkah preventif dan represif yang cukup luas untuk memerangi
ulah dan gerak para teroris. Tak terbayangkan apa jadinya kalau para teroris sampai
menguasai senjata pemusnah massal, semisal nuclear, baik kimia maupun biologi.
Untuk mengantisipasi hal ini, beberapa aktivitas PBB yang dapat dicatat, antara lain
telah diadakan United Nations Conference on the Illicit Trade in Small Arms and Light
Weapons in All Its Aspects, dan adanya Protocol against the Illicit Manufacturing and
Trafficking in Firearms, Their Parts and Components and Ammunition sebagai lampiran dari
United Nations Convention against Transnational Organized Crime. Komisi juga mendapat
bantuan/masukan dari badan dunia lainnya, WHO, IAEA ( International Atom Energy
Agency), dan organisasi lainnya.
Negara anggota ASEAN dalam KTT di Brunei Darussalam pada tanggal 5-6 November
2001 telah sepakat untuk saling bekerja sama dalam memerangi kelompok-kelompok
teroris, di samping tetap mempromosikan kawasan Asi Tenggara sebagai tempat aman bagi
investasi dan pariwisata. Karena itu, kerangka kerja regional dalam pemberantasan
kejahatan teror lintas nasional, aksi bersama telah disusun.
Indonesia sendiri telah melakukan langkah-langkah yuridis, diawali dengan dikeluarkannya
peraturan berikut.
1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI No. 1/2002, Tanggal 18 Oktober
2002.
2. Peraturan Pemerintah Tanggal 18 Oktober 2002, Pengganti Undang-Undang No. 2/2002
tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI No. 1/2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Peristiwa Bom Bali tanggal 12
Oktober 2002.
3. Instruksi Presiden No. 4/2002 tentang Penanganan Masalah Terorisme, tanggal 22 Okt
2002.
4. Instruksi Presiden No. 5/2002 kepada Kepala Badan Intelijen Negara mengenai
Penanganan Masalah Terorisme, tanggal 22 Oktober 2002.
5. Undang-Undang No. 15 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.
1/2000 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang
tanggal 4 April 2003.
6. Undang-Undang No. 16 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 2/2003 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang No. 1/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada peristiwa
peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002, tanggal 4 April 2003.
Kalau diperhatikan, konsideran/pertimbangan dari peraturan perundangan tersebut
sekaligus merupakan spirit hukum yang terkandung di dalamnya. Adanya pengakuan teror
tidak saja berlawanan dengan semangat Pembukaan UUD 1945, sekaligus merupakan
perbuatan keji, brutal, tidak bertanggung jawab dengan jaringan yang semakin meluas,
maka adanya kerja sama antarnegara merupakan keniscayaan. Sebenarnya, untuk
memperkuat semangat hukum dapat ditambahkan kalimat yang lebih eksplisit, misanya:
“bahwa terorisme merupakan tindakan biadab yang bertentangan dengan nurani hati
manusia, oleh karena itu harus diberantas secara bersama, sekaligus dicari sumber
penyebabnya dan seterusnya dan seterusnya”.
Sedangkan di dalam Penjelasan disebutkan: “ terorisme merupakan kejahatan terhadap
kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap
kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat
internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia, serta
merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara
berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan
dijunjung tinggi. Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia merupakan kebijakan
dan langkah antisipatif yang bersifat proaktif yang dilandaskan kepada kehati-hatian dan
bersifat jangka panjang, karena masyarakat Indonesia multietnik ... karakteristik
masyarakat Indonesia... konflik yang terjadi sangat merugikan kehidupan berbangsa dan
mengakibatkan kemunduran.... Pemberantasan terorisme di Indonesia tidak semata-mata
merupakan masalah hukum dan penegakan hukum melainkan juga merupakan masalah
sosial, budaya, ekonomi yang berkaitan dengan ketahanan bangsa....”
Sebagaimana diketahui, UU No. 16/2003 mengenai Tindak Pidana Terorisme pada
peristiwa peledakan bom Bali 12 Oktober 2002 telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi
(MK) pada tanggal 23 Juli 2004, sehingga undang-undang tersebut tidak memunyai
kekuatan mengikat.
Beberapa pertimbangan MK antara lain tidak dilakukannya asas retroaktif, tidak ada
definisi formal/universal tentang terorisme, dan kejahatan bom Bali masuk kejahatan biasa
yang keja sehingga kejahatan bom Bali tidak membuat efektif UU No. 16/2003. Asas
retroaktif hanya berlaku pada pelanggaran HAM berat dan prosedural UU No. 16/2003 untuk
menilai peristiwa konkret sebelumnya bertentangan dengan UUD 1945, Pasal 1 Ayat (3) dan
Pasal 28 Ayat (1).
Keputusan tersebut mengundang banyak pendapat pro dan kontra. Aliran dogmatik
dalam arti sempit dapat “mengerti” keputusan MK tersebut, karena kejahatan (sejenis kasus
Bali) dapat dijerat dengan Pasal 340 KUHP, yang berbunyi, “barangsiapa sengaja dan
dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu
tertentu, paling lama 20 tahun”.
Sebaliknya, yang kontra (aliran dogmatik dalam arti luas) mengatakan MK tidak
memerhatikan hakikat Pembukaan UUD 1945 berserta tugas penegakan hukum dalam arti
luas. Di samping itu, teror merupakan kejahatan luar biasa ( extraordinary crimes), sehingga
diperlukan perangkat hukum yang luar biasa juga yang mampu memerangi kejahatan yang
bersifat global.
Secara formal, teror belum masuk ke dalam kejahatan berat manusia, tetapi secara
materiil memenuhi unsur-unsur kejahatan berat HAM. Karena termasuk kejahatan umat
manusia (hostis humanist generic).
Sementara itu, dalam dunia internasional ada desakan kuat untuk memasukkan
kejahatan treaty-based crimes related to terrorism and drugs trafficking (terorisme dan
narkotika) sebagai kejahatan kemanusiaan. Sehubungan dengan desakan tersebut, banyak
ahli hukum mendukung ICC untuk memasukkan kejahatan tersebut di dalam yusdiksinya.
(Amir Syamsudin, Kompas, 3 Juli 2004). Penerimaan tersebut misalnya, memungkinkan
diperlukan asas retroaktif sebagaimana diakui di dalam kejahatan HAM berat.
Pada tanggal 7 Maret 2006, DPR telah meratifikasi dua konvensi internasional mengenai
pemberantasan terorisme. Dua konvensi tersebut ialah International Convention for the
Suppression of Terrorist Bombings 1997 (Konvensi Internasional Pemberantasan
Pengeboman oleh Teroris 1997) yang diadaptasi menjadi UU No. 5 Tahun 2006; dan
International Convention of the Suppression of the Financing of the Terrorism 1999
(Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme 1999) yang diadaptasi
melalui UU No. 6 Tahun 2006.
Pokok isi Konvensi Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris 1997 ialah sebagai berikut.
Pasal 2 (Ruang Lingkup Tindak Pidana)
Setiap orang dianggap telah melakukan tindak pidana apabila orang tersebut secara
melawan hukum dan sengaja mengirimkan, menempatkan, melepaskan, atau
meledakkan suatu bahan peledak atau alat mematikan lainnya di dan ke dalam atau
terhadap tempat umum, fasilitas negara atau pemerintah, sistem transportasi
masyarakat, atau fasilitas infrastruktur yang dilakukan dengan tujuan untuk
menyebabkan kematian, luka berat, atau dengan tujuan untuk menghancurkan tempat,
fasilitas, atau sistem yang mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar. Ketentuan ini
juga berlaku bagi orang yang melakukan percobaan atas tindak pidana tersebut dan
bagi mereka yang turut serta dalam terjadinya tindak pidana tersebut.
Pasal 5
Setiap Negara Pihak wajib mengambil upaya yang mungkin perlu, termasuk apabila
diperlukan mengesahkan peraturan perundangan nasional, untuk menjamin bahwa
tindakan kejahatan dalam ruang lingkup konvensi ini tidak termasuk hal yang dapat
dibenarkan dengan pertimbangan politis, filosofis, ideologis, ras, etnis, agama, atau hal
lain yang sifatnya sama dan dijatuhi hukuman yang sesuai beratnya kejahatan.

Pasal 6
Tindak pidana dilakukan di dalam wilayah Negara Pihak, di atas kapal laut atau pesawat
terbang berbendera negara tersebut atau terdaftar di negara tersebut pada saat tindak
pidana dilakukan, dan apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh warga negara dari
negara tersebut. Negara Pihak juga memiliki yurisdiksi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan terhadap warga negaranya, fasilitas negara atau pemerintah negara tersebut
di luar negeri.

Pokok Isi Konvensi Pemberantasan Pendanaan Terorisme 1999 ialah sebagai berikut.
Pasal 2 (Ruang Lingkup Tindak Pidana)
Setiap orang dianggap telah melakukan tindak pidana apabila orang tersebut secara
langsung atau tidak langsung, secara melawan hukum dan dengan sengaja
menyediakan atau dengan sepengetahuannya akan digunakan, secara keseluruhan atau
sebagian, untuk melakukan tindakan yang dapat menimbulkan suatu akibat yang
tercakup dan dirumuskan dalam salah satu konvensi yang tercantum dalam lampiran.
Konvensi juga menetapkan tindakan lain yang ditujukan untuk menyebabkan kematian
atau luka berat terhadap warga sipil atau orang lain yang tidak secara aktif ikut serta
dalam konflik bersenjata. Tindakan tersebut bermaksud, dengan sengaja untuk
mengintimidasi sejumlah orang, untuk memaksa pemerintah atau organisasi
internasional untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan. (Terhadap pasal ini
Indonesia menyampaikan pernyataan mengenai lampiran yang berkaitan dengan
konvensi apa saja yang tidak diratifikasi Indonesia)
Pasal 8
Mengatur kewajiban Negara Pihak untuk mengidentifikasi, mendeteksi, dan
membekukan dana yang digunakan untuk membiayai tindak pidana terorisme. Dana
tersebut selanjutnya dapat dirampas negara sesuai dengan hukum nasional.
Pasal 9
Mengatur kewajiban Negara Pihak untuk melakukan penahanan terhadap tersangka
pelaku tindak pidana untuk tujuan penuntutan atau ekstradisi setelah memiliki bukti
penahanan yang cukup.

Dengan adanya tambahan pijakan hukum yang kuat dan semakin kuat, maka masalah
utama ialah sejauh mana pemerintah berani mengambil langkah, baik preventif maupun
represif dengan memerhatikan secara simultan sektor penegakan hukum pada umumnya
atau ha-kham pada khususnya, termasuk perbaikan ekonomi, kepedulian sosial serta
menjamin keamanan dan ketertiban. Hal itu merupakan refleksi cita-cita/kehendak pendiri
bangsa/the founding fathers kita, sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan UUD 45,
yaitu menciptakan masyarakat adil, makmur, berdaulat (baik negara maupun individu), dan
bersatu. Juga, adanya kepastian dalam hukum dan kebersamaan dalam membangun bangsa
dalam ketenteraman dan kesetaraan, tanpa tekanan dan ketidakpastian maupun
kecemasan. Itulah harapan politik hukum makro dalam negara Indonesia yang wajib
dijabarkan oleh pemerintah dalam tataran meso dan mikro, vinito, titik!

Anda mungkin juga menyukai