Sebagaimana diketahui, pengadilan Ad Hoc HAM dalam kasus Timor Timur banyak
mendapat kritik yang tajam dari masyarakat karena sebagian besar telah bebas. Berikut ini
daftar vonis kasus HAM Timor Timur yang kebanyakan mendapat vonis bebas.
Menghadapi fakta hukum tersebut, secara jujur harus diakui kita berpengalaman
melanggar HAM, tetapi tidak mempunyai pengalaman menyelesaikannya sehingga banyak
warga masyarakat yang tidak puas. Sebenarnya, pengadilan Ad Hoc HAM sudah memeriksa
dan mengadili sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, walau “gagal”
memberi keadilan menurut sebagian warga.
BAB XII
Terorisme dan HAM
A. Pengertian umum
Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary (1995), terorisme diberi definisi “The use
of violence for political aims or to force a government to act, especially become of fear it
causes among the people”. Menurut Federal Bureau of Investigation (FBI): “terrorism as the
unlawful use of force or violence against persons or property to intimidate or coerce a
government, the civilian population, or any segment thereof, in furtherance of political or
social objectives” (Tucker, ed. 1988: 1). James Adams mendefinisikan bahwa terorisme
adalah penggunaan atau ancaman kekerasan fisik oleh individu atau kelompok untuk
tujuan-tujuan politik atau untuk kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang ada, di
mana tindakan-tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan, melumpuhkan, atau
mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang lebih besar daripada korban-korban
langsungnya. Terorisme melibatkan kelompok korban langsungnya. Terorisme melibatkan
kelompok-kelompok yang berusaha untuk menumbangkan rezim-rezim tertentu, untuk
mengoreksi keluhan-keluhan kelompok/nasional, atau untuk menggerogoti tata politik
internasional yang ada (Poltak P. Nainggolan, ed. 2002: 106). Dari definisi tersebut, tampak
bahwa unsur utama adanya aksi kekerasan dan perbedaan politik menjadi motif utama,
yang ditempuh baik bersifat perseorangan maupun kelompok dengan menebar ketakutan
terhadap pihak lawan sehingga rezim yang berkuasa memenuhi tuntutannya.
Dari panggung sejarah internasional, tercatat Adolf Hitler yang telah melakukan
pembunuhan massal kepada kaum Gipsy, Yahudi, homoseksual, serta para pesaing
politiknya. Teknik yang digunakan adalah dengan melatih beberapa kelompok untuk
melawan target dengan cara rahasia. Taktik tersebut merupakan salah satu bentuk teror.
Menurut para ahli, karena diprogram oleh penguasa, masuk ke dalam state-sponsored
terrorism. Dengan demikian, teror berkembang tidak saja dari kelompok tertentu, tetapi
juga diorganisasikan oleh negara.
Amerika sebagai negara adikuasa, pada tahun 1996, pernah mengeluarkan daftar 7
negara yang dianggap pendukung teror, yaitu Kuba, Iran, Irak, Lybia, Korea Utara, Sudan,
dan Suriah, di mana terbukti belakangan mulai menyusut. Sedangkan beberapa organisasi
yang dianggap masuk teroris, antara lain Abu Sayyaf Group (Filipina), Japanese Red Army
(Jepang), Neo Nazi (Jerman), Irish Republican Army (Irlandia), Manuel Rodriguez Patriotic
Front (Chili), Abu Nidal Organization (Libya), HAMAS (Palestina), Hizbullah (Lebanon),
Mujahedeen-e Khalq (Iran), Palestine Islamic Jihad (Israel), dan Osama bin Laden
Organization (Arab Saudi/Afghanistan).
Dari perspektif sejarah, terbukti bahwa teror sudah dikenal sejak lama. Teror sebagai
tingkah laku orang atau sekelompok orang yang tidak puas, mungkin sebagai akibat
dipinggirkan, tidak dihormati hak-haknya, dinistakan, dimasukkan kelompok kelas dua,
diperlakukan tidak adil/tidak manusiawi, kemiskinan struktural, konflik komunal, gap kaya-
miskin yang mencolok, dan sebagainya. Dengan demikian, menurut penulis, yang semula
dan utama ialah unsur politik harus menjadi variabel pertama, dasarnya meluas,
motivasinya “bergeser”, dan variabelnya berkembang sehingga penyelesaiannya harus
menggunakan pendekatan komprehensif dari beragam dimensi. Motif menjadi faktor yang
harus dicari dan ditemukan, demi tercapainya ketenteraman bersama umat manusia.
Contoh dalam sejarah, antara lain kaum Yakobin yang memerintah Prancis abad XVII
membangun terreur rouge, Hitler menjelang Perang Dunia II, dan negara-negara
diktator/totaliter di banyak negara, baik di Asia, Afrika, maupun Amerika Latin. Pergeseran
dari negara diktator ke negara demokrasi, secara logika mestinya teror berkurang. Namun,
fakta menunjukkan masih terjadi juga. Beragam sebab dapat ditelusuri bersama,
sebagaimana kemungkinan di atas.
Nelson Mandela, dalam salah satu orasi pembelaannya menyatakan pada intinya antara
lain: “Saya memang merencanakan sabotase, tidak merencanakan secara sembrono, tetapi
penuh ketenangan. Hakikatnya, saya tidak menyukai kekerasan. Mengadakan penilaian
cermat atas kondisi rakyat saya atas perlakuan orang kulit putih. Saya salah satu yang
membentuk Umkhonto we Sizwe, dan berperan penting di dalamnya. Pendirian organisasi
tersebut dengan dua alasan, pertama akibat kebijaksanaan pemerintah dan kekerasan
rakyat yang tak terhindarkan. Kedua, tanpa kekerasan tidak ada jalan terbuka bagi
masyarakat Afrika Selatan untuk melawan supremasi hukum orang kulit putih”.
Ungkapan Mandela tersebut patut direnungkan bahwa:
Adanya motivasi yang luhur merupakan akibat salah satu sistem politik, sosial, ekonomi,
dan hukum yang “rusak”.
Sistem yang hanya memihak kepada kelompok tertentu dengan
menekan/menghancurkan kelompok lainnya. Karena itu, kalau menginginkan dunia bebas
teror, perlakuan adil dan penghormatan atas hak asasi setiap orang tidak dapat ditunda-
tunda lagi serta merupakan kewajiban hukum para pemimpin dunia.
Teror menjadi masalah dunia dengan hebat, ketika WTC New York pada 11 September
2001 telah luluh lantak oleh dua pesawat terbang secara bergantian. Bush langsung
bereaksi cepat dan menyatakan perang terhadap terorisme, sekaligus mendeklarasikan
adanya “musuh baru”, yaitu para teroris.
Teroris sebagai musuh baru tersebut sebenarnya dalam politik internasional dan
nasional—sebagaimana disinggung di depan—sudah dikenal sejak lama. Malah sering
“lawan” tersebut diciptakan/direkayasa oleh penguasa yang sedang memunyai musuh.
Lewat operasi intelijen, opini masyarakat dibentuk, tidak saja dengan menyebar isu, rumor,
tetapi kadang-kadang melalui “ledakan/bom” kecil yang sengaja diciptakan. Di samping itu,
dengan menguasai jaringan informasi, opini masyarakat dibentuk.
Di Indonesia sendiri telah terjadi teror dan dirasakan bersama, ketika di Legian, Bali,
meledak bom pada tanggal 12 Oktober 2002, di samping peristiwa teror “kecil” lainnya yang
pernah terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Target dan sasaran sering ditujukan kepada
sekumpulan warga masyarakat (di mall, pantai, hotel, perkantoran, dan sebagainya) yang
sangat rentan terhadap kejadian tersebut, serta tidak terduga sama sekali. Sasaran seperti
itu oleh para ahli disebut soft target/sasaran lunak.
Kasus teror seperti yang terjadi di Amerika, di Indonesia, serta dialami pula oleh banyak
negara lain di seluruh dunia masih terus berlangsung. Pasca kasus WTC, jumlah teror tidak
menyurut, karena itu para ahli percaya bahwa terorisme merupakan suatu bentuk serangan
balik (blowback) atas hegemoni Amerika. Terorisme, menurut Prof. Chalmers Johnson,
adalah harga dan konsekuensi yang harus dibayar oleh “ American Empire”. Fakta sejarah
membuktikan adanya hubungan yang kuat antara keterlibatan Washington dalam masalah
internasional dengan peningkatan serangan terhadap Amerika. Istilah blowback mulanya
hanya dipakai oleh kalangan dalam Dinas Intelijen Amerika (CIA) dan mulai tersebar di
seluruh dunia. Terorisme adalah (menjadi) senjata ampuh dari pihak-pihak yang tidak
memunyai kekuatan. Orang bilang terrorism is the power of powerless . (T. Yulianti, Suara
Pembaruan, 17 September 2002)
Pasca peledakan WTC, landasan kebijaksanaan strategi keamanan AS berlaku kredo
“peace through strength”/perdamaian melalui militer. Dengan langkah tersebut, ke depan
AS diduga akan meninggalkan kebijaksanaan yang mengedepankan perdamaian dan
diplomasi daripada perang. Doktrin tersebut dikenal dengan preemptive attacts; hantam
dulu sebelum musuh mampu menyerang AS. Keterlibatan militer di dalam membasmi aksi
teror menempatkan militer sebagai salah satu faktor penting menghadapi aksi teror lewat
operasi militer.
Sampai hari ini, masih terjadi kontroversi siapa yang meledakkan WTC tersebut. Jim
Fetzer (dosen universitas Minnesota, AS et. Al.) pada tanggal 15 Desember 2005 menyusun
kelompok bernama “Scholars for 9/11 truth”. Dalam penelitian tersebut, warga AS terbagi
menjadi 2 kelompok.
Kelompok 1 disebut LIHOPS (let it happen on purpose /pemerintah AS membiarkan
konspirasi penghancuran WTC terjadi) dan MIHOPS ( Made it happen on purpose). Hasil
penelitian menunjukkan masyarakat AS 58% mempercayai adanya konspirasi dan 35% tidak
mempercayainya. (Republika, 12 September 2006)
Sedangkan jejak pendapat yang dilakukan LP SOS Reid (Kanada) pimpinan Paul Orvan
menyimpulkan, “satu dari lima orang Kanada meyakini serangan WTC, 11 September 2001
bukan didalangi Osama bin Laden, tetapi rancangan sekelompok figur berpengaruh di AS”.
(Media Indonesia, 13 September 2006)
Terorisme beroperasi di balik canggihnya teknologi, sistem informasi, dan komunikasi
serta menunggu kelemahan manusia; terorisme menjadi dan menciptakan hiperterorisme.
Menurut Yasraf Amir Piliang berakibat: pertama, banyak medan sasaran sempurna yang
luput dari pengawasan (logika ketidakterlihatan/ logic of invisibility). Kedua, adanya
pengetahuan iptek yang mendalam oleh para teroris yang bergerak cepat, akurat, teliti,
serta disiplin (logic of speed). Ketiga, logika miniaturisasi/logic of miniaturization membawa
ke sebuah dunia yang dapat dikendalikan dari jarak jauh, tidak dibatasi ruang dan waktu.
Keempat, logika citraan/logic of image merupakan dampak perkembangan ilmu informatika,
internet, video, dan komputer yang berpengaruh pada kehidupan global. Dengan demikian,
cara meneror menjadi penting. Kelima, logika nomadisme/logic of nomadism yang
memungkinkan begitu mudahnya perpindahannya dari satu teritori ke teritori lain akibat
globalisasi. (Kompas, 19 September 2001)
Memerhatikan semakin hebatnya teknik teror, banyak pihak yang menjadi sangat
anti/benci kepada para teroris. Lewat pembalasan-pembalasan yang “tidak kalah kejamnya”
dengan teknik para teroris itu sendiri menjadi sering terjadi. Balas-membalas akan menjadi
bagian dari keseharian yang menyeramkan, jauh dari nilai HAM.
Karena itu, selain akar masalahnya harus dicari lebih dahulu, pendekatan serta
perundingan dengan penuh kejujuran wajib ditempuh. Di samping kerja sama dan saling
percaya antarnegara dibangun dan dikembangkan terus, bergandengan tangan bersama-
sama menaati konvensi internasional tentang terorisme, di samping ketentuan perundangan
nasional tentang terorisme yang ada dilaksanakan secara nyata.
C. Ketidakadilan
Badawi berpendapat, konflik yang semakin dalam antara Islam-Barat tidak dapat
diselesaikan hanya dengan dialog. “Kita harus cukup berani dan harus cukup jujur untuk
mengakui bahwa selama masih ada hegemoni, selama masih ada upaya satu pihak
mengontrol dan mendominasi pihak lain, permusuhan dan kebencian antardua perdaban
besar akan berlanjut,” ujarnya.
Bagi sebagian delegasi yang hadir, termasuk Riawan Amin, konflik Islam-Barat memang
bukan semata faktor ideologi, agama, dan perbedaan kultur, melainkan ketidakadilan dan
ketimpangan politik, ekonomi, dan militer.
“Perbedaan persepsi selama ini bisa kita redam asalkan semua pihak bisa saling
menahan diri untuk tidak saling mengganggu. Namun, soal ketidakadilan ini akan
memengaruhi stabilitas dunia dan membuka kesempatan para provokator yang
mengatasnamakan ideologi atau agama apa pun,” kata Riawan. ( Kompas, 14/2/2006)
Indonesia, mayoritas warga negaranya beragama Islam. Kiranya, pandangan Harun
Yahya tentang moralitas Islam patut dikemukakan. “... seorang muslim yang hidup dengan
nilai-nilai yang benar dari Alquran akan menjadi orang yang paling sopan, berpikir jernih,
sederhana, dapat dipercaya, dan mudah bergaul. Dia akan menerbar cinta, rasa hormat,
harmoni, dan kebahagiaan hidup kepada lingkungannya ....”
Islam agama perdamaian, sedangkan teror dalam makna yang luas berarti tindakan
kekerasan yang ditujukan kepada sasaran nonmiliter sebagai tujuan politik. Dengan kata
lain, sasaran teror semata-mata penduduk sipil yang memunyai dosa di mata pelaku teror
karena berada di “pihak lain”, artinya menempatkan orang-orang yang tidak bersalah
sebagai sasaran kekerasan. Allah memerintahkan manusia untuk memiliki moral yang baik.
Moralitas ini berlandaskan kepada konsep cinta, kasih sayang, toleransi, dan rahmat. Kata
Islam bermakna damai. Membunuh seseorang tanpa alasan adalah suatu tindak kejahatan.
Dalam Alquran, Allah mengulang perintah yang pernah disampaikan kepada kaum Yahudi
dalam Perjanjian lama. “Mereka yang melakukan pembunuhan/pembantaian dan serangan
bom bunuh diri adalah pelaku dosa besar. Tuhan menyatakan dalam Alquran bahwa mereka
akan disiksa di neraka, yaitu dalam (QS 42: 42, dan QS. 5: 32). (2003: 30, 31, 32)
Tesis tersebut, di samping ada yang menerimanya, banyak juga pemikir yang menolak
keras dalil tersebut, baik di dunia Barat maupun di dunia Timur. Kalau toh terjadi konflik,
dasarnya pasti bukan agama, tetapi lebih kepada kepentingan nasional sempit atau
perbedaan politik yang ada. Namun, sebagai wacana bersama, patut menjadi bahan
perenungan yang perlu dikaji terus.
Terkait dengan adanya bahaya dan kejamnya teror, membawa banyak perubahan
pemikiran dan langkah bersama dari banyak negara. Bentuk kerja sama, antara lain semakin
terjalin aliansi atau kedekatan antara negara dalam bentuk kerja sama yang diharapkan
mampu mengurangi ruang gerak para teroris. Untuk itu, langkah diplomasi dalam arti luas
yang intensif menjadi sangat penting. Diplomasi dengan dimensi dan muatan beragam yang
dilakukan oleh para pimpinan formal maupun informal (agamawan, budayawan, pemikir,
penulis, intelektual, dan sebagainya) merupakan bentuk partisipasi aktif yang akan
membawa hasil lebih baik dan cepat. Lebih-lebih sifat kelompok garis keras di luar
meanstream utama dunia, selain bersifat mobile juga terkait dengan paham fundamentalis,
ekstrem, dan keras yang ada di dalam beragam keyakinan dan paham politik, doktrin, dan
agama akan “lebih mudah” diajak dialog.
Sering teror memiliki motif baik, tetapi di dalam mencapai tujuannya lewat cara-cara
yang kasar, brutal, dan tidak manusiawi. Motif yang muncul dapat dalam bentuk
kemiskinan, penindasan, perlakuan tidak adil berkepanjangan, tereliminasi/terpinggirkan,
dan motif lainnya. Lebih-lebih kalau di kalangan yang “tertindas” tersebut timbul kesan
penguasa hanya membela yang kuat dan kaya. Hal ini akan semakin memicu tindakan
ekstrem, karenanya paradigma bagaimana keamanan, kenyamanan, dan ketenteraman
umat manusia menjadi prioritas utama dan menjadi acuan para pemimpin dunia. Untuk itu,
secara konkret perlindungan HAM menjadi prioritas utama.
Pemimpin yang berpihak kepada rakyat tersebut berarti menempatkan HAM sebagai
landasan salah satu pemikiran/kebijaksanaan dalam setiap keputusan politik yang ada.
Dengan demikian, kelompok kuat yang memperlihatkan garis politik yang tidak adil, malah
menyakitkan bagi kelompok lainnya yang merasa tertindas, akan menjadi batu sandung
mengurangi bahaya teror.
Karena itu, banyak pengamat internasional yang berpendapat, munculnya atau
banyaknya gerakan radikal (radix = akar) di Timur Tengah adalah akibat kebijaksanaan
politik luar negeri AS yang berstandar ganda. Satu pihak “membabi buta” membela Israel,
pada lain pihak menekan perjuangan rakyat Palestina. Penindasan Israel di luar batas
kemanusiaan, yang jelas-jelas merupakan salah satu bentuk teror dan melanggar HAM
dibela mati-matian oleh AS. Majelis umum PBB antara lain telah mengeluarkan dua resolusi,
masing-masing ES-10/13 dan ES-10/14 tahun 2003. Resolusi-resolusi tersebut mengutuk
serangan Israel terhadap wilayah Palestina di Jalur Gaza dan di Yerusalem Timur yang
mengakibatkan tewasnya penduduk sipil warga Palestina, tetapi ternyata tidak mengubah
kebijakan Israel atas sengketa tersebut.
Menurut Jimmy Carter, sejak masa pemerintahan Dwight Eisenhower, Amerika telah
mengambil posisi yang tegas bahwa Negara Israel adalah batas yang ditetapkan pada tahun
1949. Setelah itu, sejak 1967. Resolusi PBB No. 242 yang diterima secara universal sudah
memerintahkan penarikan mundur Israel dari wilayah-wilayah yang didudukinya. Kebijakan
ini bahkan ditegaskan kembali oleh Israel sendiri pada 1978 dan 1993, serta ditekankan oleh
semua Presiden Amerika Serikat, termasuk George W. Bush. ( Koran Tempo, 18 Maret 2006)
Dalam praktiknya, AS sering berstandar ganda. Berapa banyak resolusi Dewan
Keamanan yang mengutuk Israel menjadi kandas akibat diveto (ditolak) oleh AS. Contohnya
resolusi No. ES-10/13 sebagai berikut.
ES-10/13
Illegal Israeli actions in Occupied East Jerusalem and the rest of the
Occupied Palestinian Territory
The General Assembly, recalling its relevant resolutions, including resolutions of the tenth
emergency special session;
Recalling also Security Council resolutions 242 (1967) of 22 November 1967, 267 (1969) of
3 July 1969, 298 (1971) of 25 September 1971, 446 (1979) of 22 March 1979, 452 (1979)
of 20 July 1979, 465 (1980) of 1 March 1980, 476 (1980) of 30 June 1980, 478 (1980) of 20
August 1980, 904 (1994) of 18 March 1994, 1073 (1996) of 28 September 1996 and 1397
(2002) of 12 March 2002.
Reaffirming the principle of the inadmissibility of the acquisition of territory by force;
Reaffirming also its vision of a region where two States, Israel and Palestine, live side by
side within secure and recognized borders.
Condemning all acts of violence, terrorism and destruction.
Condemning in particular the suicide bombings and their recent intensification with the
attack in Haifa.
Condemning the bomb attack in the Gaza Strip, which resulted in the death of three
American security officers.
Deploring the extrajudicial killings and their recent intensification, in particular the attack on
20 October 2003 in Gaza.
Stressing the urgency of ending the current violent situation on the ground, the need to end
the occupation that began in 1967, and the need to achieve peace based on the vision of
two States mentioned above.
Particularly concerned that the route marked out for the wall under construction by Israel,
the occupying Power, in the Occupied Palestinian Territory, including in and around East
Jerusalem, could prejudge future negotiations and make the two-State solution physically
impossible to implement and would cause further humanitarian hardship to the Palestinians;
Reiterating its call upon Israel, the occupying Power, to fully and effectively respect the
Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War of 12 August
1949.
Reiterating its opposition to settlement activities in the Occupied Territories and to any
activities involving the confiscation of land, disruption of the livelihood of protected persons
and the de facto annexation of land.
1. Demands that Israel stop and reverse the construction of the wall in the Occupied
Palestinian Territory, including in and around East Jerusalem, which is in departure of
the Armistice Line of 1949 and is in contradiction to relevant provisions of international
law.
2. Calls upon both parties to fulfil their obligations under relevant provisions of the road
map,2 the Palestinian Authority to undertake visible efforts on the ground to arrest,
disrupt and restrain individuals and groups conducting and planning violent attacks, and
the Government of Israel to take no actions undermining trust, including deportations
and attacks on civilians and extrajudicial killings.
3. Requests the Secretary-General to report on compliance with the present resolution
periodically, with the first report on compliance with paragraph 1 above to be submitted
within one month and upon receipt of which further actions should be considered, if
necessary, within the United Nations system.
4. Decides to adjourn the tenth emergency special session temporarily and to authorize
the current President of the General Assembly to resume its meeting upon request from
Member States.
Pasal 6
Tindak pidana dilakukan di dalam wilayah Negara Pihak, di atas kapal laut atau pesawat
terbang berbendera negara tersebut atau terdaftar di negara tersebut pada saat tindak
pidana dilakukan, dan apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh warga negara dari
negara tersebut. Negara Pihak juga memiliki yurisdiksi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan terhadap warga negaranya, fasilitas negara atau pemerintah negara tersebut
di luar negeri.
Pokok Isi Konvensi Pemberantasan Pendanaan Terorisme 1999 ialah sebagai berikut.
Pasal 2 (Ruang Lingkup Tindak Pidana)
Setiap orang dianggap telah melakukan tindak pidana apabila orang tersebut secara
langsung atau tidak langsung, secara melawan hukum dan dengan sengaja
menyediakan atau dengan sepengetahuannya akan digunakan, secara keseluruhan atau
sebagian, untuk melakukan tindakan yang dapat menimbulkan suatu akibat yang
tercakup dan dirumuskan dalam salah satu konvensi yang tercantum dalam lampiran.
Konvensi juga menetapkan tindakan lain yang ditujukan untuk menyebabkan kematian
atau luka berat terhadap warga sipil atau orang lain yang tidak secara aktif ikut serta
dalam konflik bersenjata. Tindakan tersebut bermaksud, dengan sengaja untuk
mengintimidasi sejumlah orang, untuk memaksa pemerintah atau organisasi
internasional untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan. (Terhadap pasal ini
Indonesia menyampaikan pernyataan mengenai lampiran yang berkaitan dengan
konvensi apa saja yang tidak diratifikasi Indonesia)
Pasal 8
Mengatur kewajiban Negara Pihak untuk mengidentifikasi, mendeteksi, dan
membekukan dana yang digunakan untuk membiayai tindak pidana terorisme. Dana
tersebut selanjutnya dapat dirampas negara sesuai dengan hukum nasional.
Pasal 9
Mengatur kewajiban Negara Pihak untuk melakukan penahanan terhadap tersangka
pelaku tindak pidana untuk tujuan penuntutan atau ekstradisi setelah memiliki bukti
penahanan yang cukup.
Dengan adanya tambahan pijakan hukum yang kuat dan semakin kuat, maka masalah
utama ialah sejauh mana pemerintah berani mengambil langkah, baik preventif maupun
represif dengan memerhatikan secara simultan sektor penegakan hukum pada umumnya
atau ha-kham pada khususnya, termasuk perbaikan ekonomi, kepedulian sosial serta
menjamin keamanan dan ketertiban. Hal itu merupakan refleksi cita-cita/kehendak pendiri
bangsa/the founding fathers kita, sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan UUD 45,
yaitu menciptakan masyarakat adil, makmur, berdaulat (baik negara maupun individu), dan
bersatu. Juga, adanya kepastian dalam hukum dan kebersamaan dalam membangun bangsa
dalam ketenteraman dan kesetaraan, tanpa tekanan dan ketidakpastian maupun
kecemasan. Itulah harapan politik hukum makro dalam negara Indonesia yang wajib
dijabarkan oleh pemerintah dalam tataran meso dan mikro, vinito, titik!