Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam
penyelengaraan suatu negara, konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis
yang lazim disebut undang-undang dasar dan dapat pula tidak tertulis. Undang
- undang dasar menempati tata urutan peraturan perundang - undangan
tertinggi dalam negara, dalam konteks institusi negara.
Konstitusi bermakna permakluman tertinggi yang menetapkan antara
lain pemegang kedaulatan tertinggi, sturktur negara, bentuk negara, bentuk
pemerintahan kekuasaan legislatif, kekuasaan peradilan dan berbagai lembaga
negara serta hak-hak rakyat.
Dalam penyusunan undang-undang dasar, nilai-nilai dan norma dasar
yang hidup dalam masyrakat dan dalam praktek penyelengaraan negara turut
mempengaruhi perumusan pada naskah.
Dengan demikian suasana kebatinan yang menjadi latar belakang
filosofi, sosiologis, politis dan histori perumusan yuridis suatu ketentuan
undang-undang dasar perlu dipahami dengan seksama, untuk dapat mengerti
dengan sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat pada pasal - pasal undang-
undang dasar.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Nilai Kemanusiaan dalam UUD 1945 ?
2. Bagaimana Nilai Religius dalam UUD 1945 ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Nilai Kemanusiaan dalam UUD 1945.
2. Untuk mengetahui Nilai Religius dalam UUD 1945.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Nilai Kemanusiaan dalam UUD 1945


Pada pembukaan UUD 1945, komitmen kemanusiaan ini terkandung
disemua alinea, terutama pada alinea ke 1 dan 4. Poin yang tersurat disebut
adalah hak (kemerdekaan) kolektif suatu bangsa, tetapi secara tersirat diakui
pula bahwa dalam suasana kebangsaan yang bebas hak-hak warga negaranya
juga dimuliakan. Alinea Pertama menegaskan komitmen bangsa Indonesia
pada kemanusiaan universal dengan menekankan kemutlakan hak merdeka
bagi segala bangsa dan (implisit) warganya tanpa kecuali.
Alinea Kedua menekankan perjuangan nasional meraih kemerdekaan
dan hak menentukan nasib sendiri (self-determination) serta idealisasi
kemanusiaan di dalam kemerdekaan. Alinea Ketiga mengembalikan derajat
manusia pada fitrah kesetaraannya dalam berkat penciptaan Tuhan, yang
menghendaki suasana kehidupan kebangsaan yang bebas dan dengan itu
Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya (Latif, 2014).
Alinea keempat mengandung dua hal penting. Pertama, membawa isu-
isu kemanusiaan kepada tujuan negara dalam kerangka pemenuhan
kebahagiaan dan hak kolektif maupun (implisit) perseorangan dalam
kehidupan nasional maupun internasional. Kedua, menjangkarkan isu-isu
kemanusiaan pada Dasar Negara, khususnya dasar kedua, “Kemanusiaan yang
adil dan beradab”.1
Kemanusiaan sebagai sikap yang melekat dalam diri manusia sebagai
kodrat makhluk individu dan makhluk sosial, setiap manusia tidak bisa
dilepaskan dari peran orang lain. Tak bisa dipungkiri, setiap manusia selalu
berhubungan dengan orang lain. Artinya setiap orang tidak dapat hidup sendiri
antara satu manusia dengan manusia selalu memiliki ketergantungan. Setiap
orang akan saling membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lainnya.

1
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta, PT.Raja Grafindo
Persada, 2014), hal. 16.

2
Setiap orang tidak bisa sekedar menjalani kehidupan tanpa melihat
orang lain. Pasalnya, kegiatan setiap manusia akan selalu berhubungan dengan
orang lain. Namun, yang lebih utama adalah mengutamakan kegiatan
kemanusiaan. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang peduli terhadap sesama.
Kegiatan yang tidak hanya sekedar memberikan kepedulian atau ikut
merasakan apa yang orang lain rasakan, tetapi juga berorientasi untuk
membantu orang lain dan meningkatkan silaturahmi dengan sesama.2
Berbagai gerakan yang dibentuk seperti salah satunya kepalangmerahan
terdapat beberapa komitmen terhadap kemanusiaan seperti memperbaiki hajat
hidup masyarakat melalui promosi prinsip nilai kemanusiaan, penanggulangan
bencana, kesiapsiagaan penanggulangan bencana, kesehatan dan perawatan di
masyarakat.
Nilai kemanusiaan menunjukkan bahwa manusia diakui dan
diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan
Yang Maha Esa. Berdasarkan nilai tersebut, dikembangkan sikap saling
mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa dan sikap tidak semena-mena
terhadap orang lain. Berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan, maka Indonesia
menentang segala macam bentuk eksploitasi, penindasan oleh satu bangsa
terhadap bangsa lain, oleh satu golongan terhadap golongan lain, dan oleh
manusia terhadap manusia lain, oleh penguasa terhadap rakyatnya.
Nilai kemanusian berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian dan
mengajarkan untuk menghormati harkat dan martabat manusia dan menjamin
hak-hak asasi manusia. Nilai ini didasarkan pada kesadaran bahwa manusia
adalah sederajat, maka bangsa Indonesia merasa dirinya bagian dari seluruh
umat manusia, karena itu dikembangkanlah sikap hormat-menghormati dan
bekerjasama dengan bangsa-bangsa lain.
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, mengandung pemahaman
hukum bahwa setiap warga Indonesia lebih mengutamakan prinsip manusia
yang beradab dalam lingkup nilai keadilan. Kemanusiaan yang beradab
mengandung bahwa pembentukan hukum harus menunjukkan karakter dan
2
Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, (Yogyakarta,
Universitas Gadjah Mada, Paradigma, 2016), hal. 106-107.

3
ciri-ciri hukum dari manusia yang beradab. Hukum baik yang berupa
peraturan perundang-undangan dan setiap putusan hukum harus sesuai dengan
nilai-nilai kemanusiaan. Perlakuan terhadap manusia dalam Pancasila berarti
menempatkan sekaligus memperlakukan setiap manusia Indonesia secara adil
dan beradab.
Nilai kemanusiaan membawa implikasi bahwa negara memperlakukan
setiap warga negara atas dasar pengakuan dan harkat martabat manusia dan
nilai kemanusiaan yang mengalir kepada martabatnya. 3 Berdasar nilai-nilai
yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, berikut contoh sikap positif berkaitan dengan nilai religius dalam
UUD 1945:4
1. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban
antara sesama manusia.
2. Saling mencintai sesama manusia.
3. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
4. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
5. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
6. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
7. Berani membela kebenaran dan keadilan.
8. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia internasional
maka harus mengembangkan sikap saling hormat-menghormati dan
bekerja sama dengan bangsa lain.

B. Nilai Religius dalam UUD 1945


Nilai Religius merupakan landasan spiritual, moral dan etik. Salah satu
ciri pokok dalam negara hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap
kebebasan beragama. Mochtar Kusumaatdja berpendapat, asas ketuhanan
mengamanatkan bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang
3
Ria Casmi Arrsa, “Rekonstruksi Paradigmatik Negara Hukum Pancasila Sebagai Sarana
Mendorong Kemajuan Bangsa”, Makalah, 2010, hal.39.
4
Lukman Surya, dkk, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Kelas VIII SMP/MTs,
(Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017), hal. 34.

4
bertentangan dengan agama atau menolak atau bermusuhan dengan agama.5
Dalam proses penyusuan suatu peraturan perundang-undangan, nilai
ketuhanan merupakan pertimbangan yang sifatnya permanem dan mutlak.
Dalam negara hukum Pancasila dan UUD tidak boleh terjadi pemisahan
antara agama dan negara, karena hal itu akan bertentangan dengan Pancasila.
Kebebasan beragama dalam arti positif, ateisme tidak dibenarkan. Komunisme
dilarang, asas kekeluargaan dan kerukunan. Terdapat dua nilai mendasar, yaitu
pertama, kebebasan beragama harus mengacu pada makna yang positif
sehingga pengingkaran terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak dibenarkan;
kedua, ada hubungan yang erat antara agama dan negara.
Negara hukum Pancasila berpandangan bahwa manusia dilahirkan
dalam hubungannya atau keberadaanya dengan Tuhan Yang Maha Esa.6 Para
pendiri negara menyadari bahwa negara Indoneia tidak terbentuk karena
perjanjian melainkan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas.
Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan prinsip pertama dari dasar
negara Indonesia.
Soekarno pada 1 Juni 1945, ketika berbicara mengenai dasar negara
menyatakan: “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan,
tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya
sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih,
yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW orang. Budha
menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah
kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang
tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan leluasa. Segenap
rakyat hendaknya ber-Tuhan. Secara kebudayaan yakni dengan tiada “egoisme
agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan”.

5
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, (Bandung:
Alumni, 2002), hal. 187.
6
Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1992), hal. 96.

5
Pidato Soekarno tersebut merupakan rangkuman pernyataan dan
pendapat dari para anggota BPUPKI dalam pemandangan umum mengenai
dasar negara. Para anggota BPUPKI berpendapat pentingnya dasar Ketuhanan
ini menjadi dasar negara. Pendapat ini menunjukkan negara hukum Indonesia
berbeda dengan konsep negara hukum Barat yang menganut hak asasi dan
kebebasan untuk ber-Tuhan.
Pada mulanya, sebagian para founding fathers menghendaki agar agama
dipisahkan dengan negara. Pada tanggal 22 Juni 1945 disepakati mengenai
Mukaddimah UUD atau yang disebut Piagam Jakarta. Kesepakatan tersebut
menyatakan dasar negara yang pertama adalah “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluk-pemeluknya”.
Dalam perkembangannya Pembukaan UUD 1945 yang disahkan tanggal
18 Agustus 1945, tidak mencantumkan tujuh kata yang ada dalam Piagam
Jakarta, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para
pemeluk-pemeluknya”.
Berdasarkan nilai religius, maka negara hukum Pancasila melarang
kebebasan untuk tidak beragama, kebebasan anti agama, menghina ajaran
agama atau kitab-kitab yang menjadi sumber kepercayaan agama ataupun
mengotori nama Tuhan. Elemen inilah yang menunjukkan salah satu elemen
yang menandakan perbedaan pokok antara negara hukum Indonesia dengan
hukum Barat.
Dalam pelaksanaan pemerintahan negara, pembentukan hukum,
pelaksanaan pemerintahan serta peradilan, dasar ketuhanan dan ajaran serta
nilai-nilai agama menjadi alat ukur untuk menentukan hukum yang baik atau
hukum buruk bahkan untuk menentukan hukum yang konstitusional atau
hukum yang tidak konstitusional.
Nilai religius menunjukkan nilai bahwa negara mengakui dan
melindungi kemajemukan agama di Indonesia. Negara mendorong warganya
untuk membangun negara dan bangsa berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Sila
pertama dari Pancasila, secara jelas ditindaklanjuti Pasal 29 ayat (1) UUD
1945 yang berbunyi negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

6
Ketentuan ini menjadi dasar penghormatan dasar untuk memperkuat persatuan
dan persaudaraan.
Nilai religius mengandung nilai adanya pengakuan adanya kekuasaan di
luar diri manusia yang menganugerahkan rahmat-Nya kepada bangsa
Indonesia, suatu nikmat yang luar biasa besarnya. Selain itu ada pengakuan
bahwa ada hubungan dan kesatuan antara bumi Indonesia dengan Tuhan Yang
Maha Esa.
Pengakuan bahwa ada hubungan dan kesatuan antara bumi Indonesia
dengan bangsa Indonesia dan adanya hubungan antara Tuhan manusia-bumi
Indonesia itu membawa konsekuensi pada pertanggung jawaban dalam
pengaturan maupun pengelolaannya, tidak saja secara horizontal kepada
bangsa dan Negara Indonesia, melainkan termasuk juga pertanggungjawaban
vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasar nilai-nilai yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berikut contoh sikap positif berkaitan
dengan nilai religius dalam UUD 1945:7
1. Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama
dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil
dan beradab.
2. Hormat dan menghormati serta bekerja sama antara pemeluk agama dan
penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina
kerukunan hidup.
3. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama
dan kepercayaan masing-masing.
4. Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaan kepada orang lain.

BAB III
PENUTUP

7
Lukman Surya, dkk, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Kelas VIII SMP/MTs,
(Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017), hal. 33.

7
A. Kesimpulan
Nilai kemanusian berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian dan
mengajarkan untuk menghormati harkat dan martabat manusia dan menjamin
hak-hak asasi manusia. Nilai ini didasarkan pada kesadaran bahwa manusia
adalah sederajat, maka bangsa Indonesia merasa dirinya bagian dari seluruh
umat manusia, karena itu dikembangkanlah sikap hormat-menghormati dan
bekerjasama dengan bangsa-bangsa lain.
Nilai Religius merupakan landasan spiritual, moral dan etik. Salah satu
ciri pokok dalam negara hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap
kebebasan beragama. Mochtar Kusumaatdja berpendapat, asas ketuhanan
mengamanatkan bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang
bertentangan dengan agama atau menolak atau bermusuhan dengan agama.
Dalam proses penyusuan suatu peraturan perundang-undangan, nilai
ketuhanan merupakan pertimbangan yang sifatnya permanem dan mutlak.

B. Saran
Demikian makalah yang dapat penulis paparkan mengenai "Konstitusi".
Makalah ini sudah dibuat sedemikian rupa dengan maksimal. Tetapi kritik dan
saran dari para pembaca sangat penulis harapkan untuk referensi penulis
dalam penulisan makalah kedepan. Semoga makalah ini bermanfaat dan
menambah wawasan para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

8
Arrsa, Ria Casmi. 2010. “Rekonstruksi Paradigmatik Negara Hukum Pancasila
Sebagai Sarana Mendorong Kemajuan Bangsa”.

Asshiddiqie, Jimly. 2014. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta, PT.Raja
Grafindo Persada.

Azhary, Tahir. 1992. Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya


Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah
dan Masa Kini. Jakarta : Bulan Bintang.

Kaelan. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi.


Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, Paradigma.

Kusumaatmadja, Mochtar. 2002. Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan.


Bandung: Alumni.

Surya, Lukman, dkk. 2017. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Kelas


VIII SMP/MTs. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai