Anda di halaman 1dari 9

Pancasila dan Kemerdekaan Berpikir

Bangsa Indonesia baru saja memperingati hari lahirnya Pancasila. 1 Juni 1945
merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia dalam menegaskan jati dirinya
sebagai bangsa yang merdeka. Pancasila menjadi landasan kehidupan berbangsa dan
bernegara bagi individu, kelompok, dan masyarakat Indonesia. Nilai-nilai filosofis
Pancasila pun sangat berpengaruh terhadap jati diri bangsa Indonesia, terutama dalam
pola pikir setiap warga negara. Berkaitan dengan itu, tulisan ini memfokuskan pada
urgensi nilai Pancasila terhadap kemerdekaan berpikir setiap warga negara Indonesia,
karena warga negara berperan penting untuk kemajuan suatu bangsa di kemudian hari.

Sebagai suatu dasar filsafat negara maka sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem
nilai, oleh karena itu sila-sila Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan.
Meskipun dalam setiap sila terkandung nilai-nilai yang memiliki perbedaan antara satu
dengan lainnya namun kesemuanya itu tidak lain merupakan suatu kesatuan yang
sistematis. Penulis dalam hal ini menekankan pada nilai sila ke-dua Pancasila yaitu
“Kemanusiaan yang adil dan beradab”, sebagai salah satu landasan kemerdekaan
berpikir bangsa Indonesia. Apa maksudnya? Berikut merupakan penjelasannya.

Nilai Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Sila kemanusiaan sebagai dasar fundamental dalam kehidupan kenegaraan,


kebangsaan, dan kemasyarakatan. Nilai kemanusiaan ini bersumber pada dasar
filosofis antropologis bahwa hakikat manusia adalah susunan kodrat rohani (jiwa) dan
raga, sifat kodrat individu dan makhluk sosial, kedudukan kodrat makhluk pribadi dan
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam sila kemanusiaan terkandung nilai-nilai bahwa negara harus menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang beradab. Oleh karena itu dalam
kehidupan kenegaraan terutama dalam peraturan perundang-undangan negara harus
mewujudkan tercapainya tujuan ketinggian harkat dan martabat manusia, terutama hak-
hak, kodrat manusia sebagai hak dasar (hak asasi) harus dijamin dalam peraturan
perundang-undangan negara.

Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung nilai suatu kesadaran sikap moral
dan tingkah laku manusia didasarkan pada potensi budi nurani manusia dalam
hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan pada umumnya baik terhadap diri
sendiri, terhadap sesama manusia maupun terhadap lingkungannya. Selanjutnya, nilai
kemanusiaan yang adil mengandung suatu makna bahwa hakikat manusia sebagai
makhluk yang berbudaya dan beradab harus berkodrat adil. Sedangkan nilai
kemanusiaan yang beradab adalah perwujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk
yang berbudaya, bermoral, dan beragama (Kaelan, 2014).

Urgensi Nilai Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Terhadap Kemerdekaan
Berpikir Warga Negara Indonesia
Konsekuensi nilai yang terkandung dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab
adalah menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa, menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, menghargai atas kesamaan hak
dan derajat tanpa membedakan suku, ras, keturunan, status sosial maupun agama.
Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, tenggang rasa, tidak
semana-mena sesama manusia, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
(Darmodihardjo, 1996).

Berdasarkan penjelasan nilai sila kemanusiaan yang adil dan beradab di uraian
sebelumnya. Penulis berpendapat bahwa nilai tersebut harus menjadi salah satu
landasan kemerdekaan berpikir warga negara Indonesia dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Kemerdekaan berpikir yang penulis maksud yaitu dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta iman dan takwa. Berikut penjelasannya :

Pertama, nilai kemanusiaan yang adil mengandung suatu makna bahwa hakikat
manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab harus berkodrat adil. Dalam
hal ini, kita sebagai warga negara Indonesia yang multikultural harus mengembangkan
pola pikir agar tidak bersikap apatis dan skeptis, demi terwujudnya keadilan dan
kemajuan bangsa. Sebagai contoh yaitu menghormati hak asasi orang lain seperti
mengantri dengan tertib, tidak menimbun barang dan/atau makanan ketika sedang
mengalami kelangkaan, tidak berbuat curang ketika sedang ujian, serta mengeluarkan
semua ide untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa bertentangan dengan
nilai-nilai Pancasila.

Kedua, nilai kemanusiaan yang beradab adalah perwujudan nilai kemanusiaan sebagai
makhluk yang berbudaya, bermoral, dan beragama. Dalam hal ini, kita sebagai manusia
yang diberikan akal oleh Tuhan Yang Maha Esa harus meningkatkan nilai spiritual,
intelektual, moral, dan mental, guna mewujudkan keharmonisan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sebagai contoh yaitu dengan cakap terhadap hukum,
karena bangsa yang unggul adalah bangsa yang taat pada peraturan yang dibuat untuk
memajukan peradaban guna meningkatkan kehidupan lahir batin setiap warga negara.

Oleh karena itu, landasan kemerdekaan berpikir bagi setiap warga negara Indonesia
yaitu terdapat di dalam nilai-nilai sila Pancasila, khususnya pada sila kemanusiaan yang
adil dan beradab. Sudah seharusnya kita sebagai warga negara Indonesia bisa
mengimplementasikan kemerdekaan berpikir tersebut agar menjadi warga negara yang
unggul, penuh cinta dan kebenaran, serta adil dan beradab untuk kesejahteraan dan
kemajuan bangsa di kemudian hari.

(Opini) Soekarno-Hatta dan Idealisme Pancasila


Empat puluh tahun lalu, pada 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional
Jakarta satu-satunya Proklamator Kemerdekaan yang masih ada yaitu Dr. H.
Mohammad Hatta (Bung Hatta) menyampaikan pidato memperingati hari lahir
Pancasila. Berikut petikannya; “Adakah cukup rasa tanggungjawab untuk
menyelenggarakan cita-cita bangsa dan tujuan negara sebagaimana mestinya
menurut Pancasila? Soal inilah yang sangat disangsikan. Dalam kehidupan
sehari-hari Pancasila itu hanya diamalkan di bibir saja. Apabila kita perhatikan
kejadian-kejadian dalam masyarakat sejak beberapa tahun yang akhir ini,
ternyata benar bahwa Pancasila itu belum meresap ke dalam jiwa rakyat.
Lihatlah, mudah saja orang membunuh sesama manusia.”

Bung Hatta, tiada seorang pun di negeri ini yang meragukan integritasnya
sebagai pejuang, negarawan dan pemimpin besar bangsa Indonesia yang
berjuang tanpa pamrih memperbaiki nasib bangsanya. Selain itu beliau dikenal
sebagai pemikir yang sangat dihormati dan memiliki kejujuran tinggi dalam
segala hal. Kritik Bung Hatta terhadap perilaku sebagian elite yang mengklaim
Pancasila sebatas retorika politik patut menjadi perhatian bangsa Indonesia
hingga hari ini. Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia itu
memperingatkan, “Kadang-kadang dalam lingkungan petugas negara Pancasila
itu tidak diamalkan. Camkanlah, negara Republik Indonesia belum lagi
berdasarkan Pancasila, apabila Pemerintah dan masyarakat belum sanggup
mentaati Undang-Undang Dasar 1945, terutama belum dapat melaksanakan
Pasal 27 ayat 2, pasal 31, pasal 33 dan pasal 34.” Pidato Bung Hatta tersebut
diterbitkan oleh Yayasan Idayu menjadi buku berjudul Pengertian Pancasila
(1981).

Salah satu modal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah saling
percaya antara rakyat dengan pemimpin dan antara sesama rakyat. Akhir-akhir
ini persatuan dan kesatuan bangsa sedang diuji. Provokasi memecah-belah
bangsa dan konflik SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-Golongan) tidak boleh
dibiarkan menghancurkan negeri dan meruntuhkan bangunan persatuan. Para
penyelenggara negara dan masyarakat umumnya, perlu introspeksi; apakah
sikap, tingkah laku dan perbuatan kita telah mencerminkan idealisme Pancasila
dan berada dalam arah rel yang benar sesuai cita-cita Proklamasi Kemerdekaan
1945.

Sejarah Pancasila
Sejenak kita mengenang (kembali) sejarah ditetapkannya Pancasila sebagai
dasar dan ideologi negara yang tidak terpisahkan dari sejarah konstitusional
pembentukan negara. Perumusan Pancasila tidak sekali jadi, tapi berproses
mulai tanggal 1 Juni 1945 dan berpuncak pada tanggal 18 Agustus 1945 ketika
rumusan final disepakati dan disahkan.
Pancasila adalah nama bagi lima prinsip dasar negara yang dibentangkan oleh
Ir. Soekarno (Bung Karno) di depan sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai (Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 1 Juni
1945. Pidato bersejarah Bung Karno diterbitkan pada tahun 1947 dan diberi
judul Lahirnya Pancasila. Bung Karno menyampaikan pidato lima prinsip dasar
negara untuk menjawab permintaan Ketua Sidang BPUPKI dr. KRT Radjiman
Wedyodiningrat kepada Sidang BPUPKI tentang dasar Indonesia Merdeka?,
atau dalam bahasa Belanda: “philosofische grondslag”.

Konsep Pancasila 1 Juni 1945 adalah masukan dari Bung Karno, sebagaimana
masukan dari beberapa tokoh lain sebelumnya dalam Sidang BPUPKI, sehingga
belum mempunyai kekuatan hukum. Pancasila kemudian dirumuskan oleh
Panitia Kecil (Panitia Sembilan) BPUPKI berdasarkan ide dan konsep Bung
Karno dalam pidato 1 Juni 1945, dengan beberapa penyempurnaan. BPUPKI
antara tanggal 2 Juni sampai dengan 9 Juli 1945 mengadakan rapat bersifat
informal karena berlangsung dalam masa reses anggota BPUPKI. Dalam tempo
yang sangat penting dan bersejarah, para tokoh pendiri republik berhasil
merumuskan satu gentlement agreement, kompromi dan konsensus nasional
tentang dasar negara sebagai rancangan preambule konstitusi atau mukaddimah
Undang-Undang Dasar. Mr. Muhammad Yamin memberi nama Piagam Jakarta.

Piagam Jakarta atau mukaddimah Undang-Undang Dasar ditanda-tangani pada


22 Juni 1945 oleh 9 orang Panitia Kecil (Panitia Sembilan) terdiri dari: Ir.
Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso,
Abdul Kahar Mudzakkir, Haji Agus Salim, Mr. Achmad Subardjo, K.H. A.
Wahid Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin. Dalam rangkaian rapat BPUPKI,
Bung Karno selaku Ketua Panitia Sembilan sangat gigih mempertahankan
Piagam Jakarta yang memuat rumusan Pancasila. Piagam Jakarta semula
dimaksudkan sebagai pernyataan proklamasi kemerdekaan Indonesia, namun
tidak jadi digunakan pada 17 Agustus 1945. Tidak bisa dipungkiri Piagam
Jakarta itulah yang melahirkan Proklamasi dan Konstitusi, seperti ditegaskan
oleh Mr. Muhammad Yamin dalam bukunya Proklamasi dan Konstitusi
Republik Indonesia (1952).

Sehari setelah proklamasi, tepatnya 18 Agustus 1945, Sidang Panitia Persiapan


Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan Piagam Jakarta menjadi
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan perubahan beberapa bagian
kalimat yang dihapus. Seperti tercatat dalam sejarah, Jumat 17 Agustus 1945
sore bertepatan dengan bulan Ramadhan, seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut
Jepang) diutus oleh Nisyijima, Pembantu Admiral Mayeda, datang ke rumah
Bung Hatta menyampaikan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam
daerah yang dikuasai Angkatan Laut Jepang merasa keberatan dengan kalimat
“Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya”, karena kalimat itu tidak mengikat mereka tapi hanya mengenai
orang-orang Islam. Jika itu ditetapkan dalam Pembukaan UUD, mereka lebih
suka berdiri di luar Republik Indonesia.

Dalam buku Sekitar Proklamasi (1970) Bung Hatta mengungkapkan fakta


sejarahnya, “Karena opsir angkatan laut Jepang itu sungguh-sungguh menyukai
Indonesia Merdeka yang bersatu sambil mengingatkan pula kepada semboyan
yang selama ini didengung-dengungkan ‘bersatu kita teguh berpecah kita jatuh’,
perkataannya itu berpengaruh juga atas pandangan saya. Tergambar di muka
saya perjuangan saya yang lebih dari 25 tahun lamanya, dengan melalui bui dan
pembuangan, untuk mencapai Indonesia Merdeka, bersatu dan tidak terbagi-
bagi. Apakah Indonesia yang baru saja dibentuk akan pecah kembali dan
mungkin terjajah lagi karena suatu hal yang sebenarnya dapat diatasi? Kalau
Indonesia pecah, pasti daerah di luar Jawa dan Sumatera akan dikuasai kembali
oleh Belanda dengan menjalankan politik devide et impera, politik memecah
dan menguasai.” pikir beliau

Bung Hatta mempertanyakan bukankah Mr. A.A. Maramis dalam Panitia


Sembilan tidak mempunyai keberatan apa-apa dan ia ikut menanda-tangani
Piagam Jakarta? Bung Hatta tidak sempat melakukan verifikasi, apakah
ultimatum itu benar atau rekayasa pihak Jepang. Beliau kemudian
membicarakan dengan tiga anggota PPKI yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Mr.
Teuku Moh. Hasan dan Mr. Kasman Singodimedjo. Setelah melalui diskusi
mendalam di antara tiga tokoh Islam tersebut akhirnya disetujui pencoretan
tujuh kata mengenai syariat Islam dan diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha
Esa.

Bung Hatta menjelaskan makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tauhid.
Dalam pandangan Ki Bagus Hadikusumo yang juga Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah, arti istilah Ketuhanan Yang Maha Esa tiada lain ialah tauhid.
Dalam biografi Mr. Teuku Moh. Hasan dan Mr. Kasman Singodimedjo
dikemukakan hal yang sama bahwa arti Ketuhanan Yang Maha Esa ialah tauhid.
Seperti ditulis Bung Hatta dalam Sekitar Proklamasi, semangat Piagam Jakarta
tidak lenyap dan tiap-tiap peraturan dalam kerangka syariat Islam yang hanya
mengenai orang-orang Islam dapat dimajukan sebagai Rencana Undang-Undang
ke DPR dan setelah diterima oleh DPR mengikat umat Islam Indonesia.

Sementara orang memandang tujuh kata menyangkut syariat Islam dalam


Piagam Jakarta lahir dari pandangan ideologi. Sebetulnya tujuh kata itu lahir
dari pandangan sosiologi karena umat Islam merupakan mayoritas, maka
konstitusi negara Republik Indonesia wajar mengatur hal demikian. Semua
anggota BPUPKI baik dari golongan “nasionalis islami” maupun “nasionalis
sekuler” pada waktu itu mufakat menerima Pancasila sebagai landasan falsafah
dasar negara dan ideologi nasional. Kalau belakangan ini, ada kalangan melihat
pertentangan Pancasila dan UUD 1945 dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945,
mungkin itu sebuah pandangan ahistoris.

Menurut sejarah yang otentik, ide dan konsep Pancasila 1 Juni 1945, perumusan
Pancasila dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan perumusan Pancasila dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar yang disahkan dalam Sidang PPKI pada 18
Agustus 1945, masing-masing tidak berdiri sendiri, melainkan satu continuum
yang tidak dapat dipisahkan.

Sejarah pembentukan dasar negara dan pergulatan pemikiran kebangsaan para


founding fathers negara di awal kemerdekaan membuktikan toleransi pemimpin
Islam dan umat Islam sebagai kekuatan persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh
karena itu tidak berlebihan H. Alamsjah Ratu Perwiranegara (Menteri Agama
RI tahun 1978–1983) menegaskan, “Pancasila adalah pengorbanan dan hadiah
terbesar umat Islam untuk persatuan dan kemerdekaan Indonesia.”

Pancasila hakikatnya merupakan perjanjian luhur antara negara dengan rakyat


dan antara rakyat dengan rakyat. Pancasila tidak mungkin bertentangan dengan
Al-Quran, kecuali penjabarannya dijauhkan dari nilai-nilai agama. Sejatinya
Pancasila akan hidup subur dengan naungan nilai-nilai agama. Dalam kaitan ini
baik digaris-bawahi pandangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara, tanpa Islam
mustahil nasionalisme terbentuk cepat di Indonesia. Umar Wirahadikusumah
semasa menjabat Wakil Presiden RI menandaskan, “Pancasila tanpa agama
tidak mempunyai makna apa-apa......”

Pemahaman Pancasila
Dalam beberapa tulisan dan pidato Bung Hatta menjelaskan Pancasila
mengandung dua lapis fundamen falsafah yaitu “fundamen moral” (etik agama,
sila ke-1) dan “fundamen politik” (sila ke-2 sampai dengan sila ke-5). Dalam
pandangan Bung Hatta, “Dengan dasar-dasar ini sebagai pimpinan dan
pegangan, pemerintah negara pada hakekatnya tidak boleh menyimpang dari
jalan lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat,
perdamaian dunia serta persaudaraan bangsa-bangsa.”

Dalam pendahuluan tulisan Pancasila Jalan Lurus (1966) Bung Hatta


menegaskan, Revolusi Indonesia yang dicetuskan dengan Proklamasi 17
Agustus 1945, yang disemangati oleh Pancasila, tidak mengenal jalan kanan dan
jalan kiri, hanya mengenal jalan lurus yang diridhai oleh Tuhan Yang Maha Esa.
“Sila Ketuhanan Yang Maha Esa - tulis Bung Hatta dalam Pengertian Pancasila
(1981) – tidak hanya dasar hormat menghormati agama masing-masing, seperti
yang dikemukakan bermula oleh Bung Karno, melainkan menjadi dasar yang
memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, dan
persaudaraan.”

Seperti terangkum dalam Kumpulan Pidato III (2002) Bung Hatta


mengemukakan bahwa sesuai sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia
mengakui adanya kekuasaan yang memberi petunjuk kepada manusia supaya
memegang kebenaran, keadilan dan kebaikan. Dengan percaya kepada Tuhan
Yang Maha Esa seperti tersebut dalam sila pertama Pancasila, rakyat Indonesia
menempatkan politik nasional di atas dasar moral.

Dalam Pancasila Jalan Lurus, Bung Hatta mengemukakan pengertian persatuan


Indonesia ialah Tanah Air kita Indonesia adalah satu dan tidak dapat dibagi-
bagi. Persatuan Indonesia mencerminkan susunan negara nasional yang
bercorak bhinneka tunggal ika, bersatu dalam berbagai suku bangsa, yang
batasnya ditentukan dalam Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus
1945. Dasar ini menegaskan sifat Republik Indonesia sebagai negara nasional,
berdasarkan ideologi sendiri. Selanjutnya, dasar kerakyatan menciptakan
pemerintahan yang adil, yang dilakukan dengan rasa tanggungjawab, agar
tersusun sebaik-baiknya demokrasi Indonesia, yang mencakup demokrasi politik
dan demokrasi ekonomi. Dasar keadilan sosial adalah pedoman dan tujuan
kedua-duanya. Dengan melaksanakan cita-cita ini dalam praktik, rakyat
hendaknya dapat merasakan keadilan yang merata dalam segala lapangan hidup,
dalam bidang ekonomi, bidang sosial dan bidang kebudayaan.

Salah satu tugas negara – sambung Bung Hatta – ialah mempergunakan sumber
daya alam menjadi kapital kemakmuran rakyat. Karena itu, beliau meletakkan
prinsip konstitusi sebagai pokok-pokok pelaksanaan kesejahteraan sosial, antara
lain; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tiap-
tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Bung Hatta semasa hidupnya tiada lelah memperjuangkan gerakan koperasi
sebagai soko guru ekonomi Indonesia. Cita-cita koperasi Indonesia adalah
menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental.

Pancasila dan Kondisi Bangsa


Kesetiaan kepada Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika yang
dikampanyekan belakangan ini di tengah berbagai kegaduhan yang timbul
dalam kehidupan bangsa – bahkan ada yang menyebut Indonesia mengalami
darurat integrasi bangsa – sangat memerlukan tindaklanjut dan langkah
konsisten mewujudkan idealisme Pancasila ke dalam kenyataan hidup sehari-
hari. Sikap saling tuding terkait persoalan anti-Pancasila dan anti-Kebhinnekaan
hanya akan menghabiskan energi bangsa dan ukuran nasionalisme anak bangsa
bukan terletak pada klaim verbal tentang Pancasila.

Tantangan terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini ialah mampukah
kita menjaga kedaulatan NKRI dari intervensi kekuatan asing, menanggulangi
kemerosotan moral dan dehumanisasi dalam kehidupan sosial, mencegah
perbuatan korupsi, serta mengatasi ketimpangan kondisi ekonomi yang semakin
melebar.

Bung Karno menjanjikan dalam pidato 1 Juni 1945 bahwa. “...tidak akan ada
kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka.” Dalam kaitan itu Bung Hatta
memberi definisi “kemakmuran rakyat” ialah apabila rakyat terlepas dari
kemiskinan yang menyiksa dan bahaya kemiskinan yang mengancam. Menurut
Bung Hatta pemerintah harus bertindak supaya tercapai penghidupan sosial
yang lebih baik. Dalam Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI)
tanggal 15 Juni 1979 yang merupakan pidato Bung Hatta terakhir, bapak bangsa
itu mengutarakan, “Negara kita berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, tetapi politik perekonomian negara di bawah pengaruh teknokrat
kita sekarang, sering menyimpang dari dasar itu. Politik liberalisme sering
dipakai jadi pedoman.”

Pancasila juga harus dipahami sebagai ideologi pembangunan dan dijadikan


tolok ukur dalam menilai keberhasilan pembangunan Indonesia. Mengutip data
Global Wealth Report (2016), ketimpangan di negara kita cukup tinggi, di mana
1% kelompok masyarakat terkaya menguasai hampir separoh atau 49,3%
kekayaan nasional di Indonesia. Adanya ketimpangan sosial ekonomi
menunjukkan bahwa prinsip keadilan sosial dalam Pancasila masih belum
menjadi nafas pembangunan nasional.

Pancasila an sich tidak bisa mengubah kondisi bangsa, tetapi manusia Indonesia
yang konsisten melaksanakan Pancasila yang akan mengubah kondisi bangsa
menjadi lebih baik. Kalau semua elemen bangsa konsisten dengan Pancasila dan
merealisasikan amanat Pembukaan UUD 1945, niscaya persatuan dan
kedamaian dalam kehidupan bangsa akan terus terpelihara. Kecenderungan neo-
liberalisme dan kapitalisme dalam ekonomi tidak mungkin terjadi kalau kita
semua konsisten dengan sistem ekonomi berlandaskan Pancasila.

Disadari atau tidak, selama masih banyak rakyat yang tidak bernasib mujur,
menderita kemiskinan, kesulitan mendapatkan lapangan pekerjaan, atau
merasakan ketidakadilan dan terpinggirkan, akan selalu muncul ideologi
perlawanan, radikalisme, gesekan dalam masyarakat, dan bahkan merambatnya
kriminalitas yang berpotensi meruntuhkan kekeluargaan bangsa. Hal-hal yang
tak diinginkan itu harus dicegah dan ditanggulangi bersama.

Semboyan Pekan Pancasila dalam rangka Peringatan Hari Lahir Pancasila


tanggal 1 Juni 2017 yaitu, “Saya Indonesia Saya Pancasila!”, bisa
dikembangkan lebih lanjut, “Saya Indonesia, Saya Pancasila, Saya Bertakwa
Kepada Tuhan Yang Maha Esa, Saya Anti Korupsi, Saya Bukan Pengkhianat
Negara, Saya Bukan Pemecah-Belah Bangsa.” Semboyan yang positif harus
diikuti dengan perbuatan yang positif pula. “Pancasila harus tertanam dalam hati
yang suci dan diamalkan dengan perbuatan nyata. Pancasila tidak boleh
dijadikan hiasan bibir saja, itu berarti pengkhianatan pada diri sendiri.”
demikian pesan Bung Hatta yang terasa semakin relevan untuk dicamkan di
tengah realitas kondisi bangsa dewasa ini.

Saya kira penting diperhatikan catatan tokoh pemikir kebangsaan Dr. Saafroedin
Bahar (2017) bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara harus
disosialisasikan secara berlanjut kepada para penyelenggara negara. Seluruh
proses legislasi dan kebijakan eksekutif harus bisa dipertanggungjawabkan dari
aspek Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara.

Anda mungkin juga menyukai