Anda di halaman 1dari 11

RELEVANSI PANCASILA PADA ISU HAK ASASI MANUSIA DAN

PENEGAKANNYA DALAM ERA JOKOWI


Jakobus Aditya Christie M
STF Driyarkara
A. Pengantar
Para founding fathers and mothers bangsa Indonesia telah meletakan dasar hidup berbangsa
dan bernegara dengan nilai sejarah dan nilai filosofis yang mengakar kuat yaitu Pancasila.
Namun dalam proses berjalannya waktu, setelah 71 tahun merdeka, Pancasila seperti menjadi
rumah yang gelap, dijauhi dan ditinggalkan. Pada periode tertentu, Pancasila tidak lagi menjadi
jiwa dan pedoman hidup bernegara. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal sosial, politik,
ekonomi dan budaya tidak disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila. Pengamalan atau intepretasi
dan aktualisasi Pancasila yang semena-semena dan tertutup dengan kesan otoriter menjadi
penyebab tenggelamnya Pancasila di hati rakyat Indonesia.
Dalam kaitannya dengan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), bangsa Indonesia masih
jauh dari kata ideal. Bahkan dapat dikatakan cita-cita penegakan HAM yang termaktub dalam
sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan preambule Undang-Undang Dasar Negara
1945 tidak pernah terwujudnyatakan dalam kehidupan bernegara. Justru yang ada adalah
pengkhianatan bangsa Indonesia terhadap cita-citanya yaitu Pancasila seperti kasus pelanggaran
HAM. Banyak terjadi kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia, seperti tragedi 65, Tanjung
Priok tahun 1984, penghilangan paksa para aktivis 98, kerusuhan dan perkosaan Mei 98. Kasus-
kasus tersebut adalah segelintir kasus pelanggaran HAM dalam skala besar yang sampai saat ini
belum diusut secara tuntas. Apalagi kasus pelanggaran HAM dalam skala kecil yang dialami
oleh individu-individu Indonesia. Hal ini terjadi lantaran, masyarakat Indonesia sudah terlanjur
trauma dengan Pancasila, yang pada suatu masa justru digunakan sebagai topeng untuk
membungkus kemunafikan para elite untuk melindungi kepentingan mereka. Inilah yang
membuat rumah Indonesia yaitu Pancaila menjadi gelap1. Maka dari itu upaya memaknai
kembali Pancasila secara mendalam dan aktual perlu terus dilakukan. Oleh karena itu tulisan ini
akan secara khusus membahas mengenai bagaimana kaitan erat Pancasila dengan penegakan

1
Yudi Latif, penulis buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Naskah “Pidato
Politik: Pancasila Rumah Bersama” di Graha Bakti Budaya, TIM, Jakarta, tgl. 31 Mei 2011.

1
HAM di Indonesia baik secara historis maupun filosofis. Pada akhirnya dalam tulisan ini akan
dibahas pula mengenai keadaan aktual pengamalan nilai Pancasila yang berkaitan dengan
penegakan HAM di era pemerintahan Jokowi.

B. Tinjauan Historis : Kaitan Pancasila dengan Penegakan Hak Asasi Manusia

Perkembangan ide HAM dipengaruhi oleh filsafat John Locke (1632-1704) yang memiliki
pandangan bahwa semua orang diciptakan sama dan memiliki hak – hak alamiah yang tidak
dapat dilepaskan seperti hak atas hidup, kemerdekaan dan hak milik, tetapi juga hak untuk
mengusahakan kebahagiaan.2 Kemudian gagasan Locke ini menginspirasi Prancis untuk
mengeluarkan Declaration des droits des homes et des citoyens) pernyataan mengenai hak – hak
manusia sebagai individu dan warga negara. Dalam perjalanan selanjutnya, ide HAM menjadi
pembahasan di kancah international. Ide HAM di kancah International mendapatkan pengakuan
yuridis berdasarkan kesepakatan bangsa – bangsa yang menjadi anggota PBB dalam Deklarasi
Universal Hak-Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948 di Prancis. Tiga tahun sebelum
deklarasi universal ini disahkan, para founding fathers and mothers bangsa Indonesia telah
memikirkan konsep HAM dalam perumusan dasar falsafah yaitu Pancasila terutama dalam sila
perikemanusiaan yang kemudian disebut dengan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Hal ini
menjadi suatu tanda bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang mampu mendikte gerak sejarah
dunia dengan baik, tentunya hal ini berkat jasa para founding fathers and mothers Indonesia
ketika merumuskan Pancasila.
Pengalaman pahit terjajah dan keterlibatan para pendiri bangsa dalam pelbagai gerakan anti-
kolonialisme dan anti-imperialisme, memberikan kepekaan pada mereka untuk senantiasa
menjunjung tinggi kebebasan dan kemerdekaan umat manusia di seluruh dunia. Dalam pidatonya
di sidang BPUPK, 1 Juni 1945 tentang Pancasila, Soekarno mengutip kata-kata Mahatma
Gandhi, “saya seorang nasionalis tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan, My
Nationalism is humanity.” Ungkapan ini dikutip Soekarno untuk menjelaskan bahwasannya
dalam prinsip kebangsaan terdapat suatu bahaya chauvinisme, seperti yang dianut Jerman.
Soekarno mengingatkan seluruh rakyat Indonesia agar sadar bahwa Indonesia itu adalah bagian

2
Franz Magniz Suseno, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia, 1991), 123.

2
dari dunia.3 Soekarno ingin agar nantinya bangsa Indonesia tidak terjebak untuk menganggap
diri sebagai negara yang terbaik dan meremehkan bangsa lain. Oleh para pendirinya, bangsa
Indonesia diharapkan menuju pada persaudaraan dan kekeluargaan bangsa-bangsa dan melawan
segala bentuk penjajahan. Prinsip inilah yang terdapat dalam sila kedua Pancasila yang
dinamakan Soekarno sebagai internasionalisme atau perikemanusiaan.
Kesadaran akan pentingnya perikemanusiaan para pendiri bangsa ini termaktub dalam
preambule UUD yang mendasarkan negara pada hukum atas dasar pengakuan pada kebebasan.
Dalam alinea preambule dijelaskan mengenai komitmen bangsa Indonesia terhadap kemanusiaan
yang bersifat universal dan sangat menekankan hak bagi setiap bangsa beserta warganegaranya
untuk merdeka dari setiap bentuk penjajahan. Dalam alinea kedua menekankan betapa
pentingnya kemerdekaan suatu bangsa dan kebebasan untuk menentukan nasib sendiri self
determination. Hal ini menjadi prinsip HAM yang amatlah penting, yang diperkuat oleh
komitmen negara pada perlindungan warga, terutama menyangkut hak ekonomi, sosial dan
budaya yang terkandung dalam alinea keempat.4
Dalam kaitannya dengan perumusan UUD yang merupakan pengejawantahan nilai-nilai
Pancasila dalam hidup berbangsa dan bernegara, ide mengenai HAM ternyata menimbulkan
suatu perdebatan di antara para peserta sidang BPUPK, terutama keberatan akan usulan
dicantumkannya dalam UUD suatu pernyataan bahwa setiap hak individu manusia/ warga
negara. Soepomo mempertanyakan usulan tersebut karena paham Declaration of Rights itu
berdasar pada paham individualistik seperti di Amerika. Menurut Soepomo, pandangan tersebut
bertolak belakang dengan prinsip kekeluargaan dan gotong-royong yang menjadi prinsip dasar
berbangsa Indonesia. Soepomo, menegaskan bahwa dalam prisnip kekeluargaan, tidak berarti
hak individu ditiadakan akan tetapi sudah inherent dengan sendirinya. Soekarno akhirnya tampil
sebagai penyeimbang tegangan perdebatan tersebut dengan memunculkan suatu kompromi.
Dalam UUD ditambahkan pasal yang menetapkan kemerdekaan rakyat untuk berserikat,
berkumpul dan bersidang mengeluarkan gagasan dengan lisan dan tulisan dan lain lain sesuai
dengan undang-undang.
Pada akhirnya ide HAM yang terdapat dalam UUD 1945 tercantum di beberapa pasal
terutama antara pasal 27-34. Pasal 27-31 mengenai hak-hak warga negara. Sementara hak-hak

3
Yudi Latif, Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta; Gramedia Pustaka
Utama, 2011), 180.
4
Yudi Latif, Negara Paripurna, 130.

3
asasi yang bersifat universal terkandung dalam pasal 28 dan 29. Secara tersirat pengejawentahan
nilai HAM terdapat dalam pasal 33 dan 34. Dalam pasal-pasal yang memuat isu HAM sudah
meliputi apa yang kemudian disebut sebagai 3 generasi hak asasi manusia yaitu, (1) Hak sipil
dan hak politik, (2) hak demokratis, (3) Hak ekonomi-sosial-kultural-kolektif.5 Sekalipun nilai-
nilai HAM sudah tertera dalam UUD 1945, akan tetapi penerapan dan pengejawentahannya
mendapatkan banyak tantangan baik dari dalam maupun luar. Kecenderungan negara yang baru
berdiri adalah lebih memfokuskan diri pada stabilitas politik-ekonomi dalam negeri daripada
agenda international. Negara-negara yang baru lahir biasanya menempatkan HAM di bawah
kepentingan nasional seperti stabilitas politik, ekonomi dan sosial dari dalam negeri.
Indonesia yang memilih kekeluargaan sebagai prinsip berarti selalu mementingkan hak
kolektif di atas hak individu. Dalam hal ini berarti bahwa para pemegang prinsip kolektivitas
akan lebih menekankan pada kewajiban dan tanggungjawab yang resiprokal dibandingkan hak
pribadi. Solusi untuk memecahkan konflik dilaksanakan dengan mufakat bersama, yang
merupakan sarana kooperatif dan bukan melalui legalisme. Maka hak-hak kolektif haruslah lebih
dikedepankan dan menempatkan pembatasan hak individu untuk mengembangkan hak kolektif,
dan juga menekankan pentingnya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Dalam pandangan
ini, seolah-olah HAM dianggap sebagai penjamin di mana individu mengharapkan agar
masyarakat dan negara memenuhi semua tuntutannya. Sebenarnya, para bapa pendiri bangsa
memasukan ide HAM untuk tujuan melindungi bangsa dalam perjalanan selanjutnya. HAM
merupakan sarana etis dan hukum untuk melindungi individu, kelompok dan golongan lemah
terhadap kekuatan-kekuatan besar dalam masyarakat yang cenderung bertindak semena-mena.
Bung Hatta pada tahuun 1926 mengkritik superioritas bangsa Eropa kepada bangsa-bangsa
lainnya yang melakukan penjajahan. Bung Hatta menyuarakan persamaan derajat antar bangsa
atau egaliterianisme antar umat manusia. Maka spirit humanitarianisme dan egaliterianisme
muncul bersamaan dengan spirit nasionalisme yang tumbuh untuk menghantam segala
kekuasaan yang menindas. Spirit inilah yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.6 Kemudian,
dalam rapat para panglima Angkatan Darat seluruh Indonesia di Senayan tanggal 28 Mei 1965,
Presiden Soekarno memberikan amanatnya tentang revolusi Indonesia zaman ini. Revolusi
Indonesia saat ini adalah untuk membendung laju imperialisme dan neoliberalisme. Revolusi

5
Yudi Latif, Negara Paripurna, 191-192.
6
Yudi Latif, Negara Paripurna, 238.

4
yang disebut Soekarno sebagai Revolusi of Mankind7. Dalam retorikanya itu, Presiden Soekarno
ingin mengingatkan bahwa revolusi yang sejati adalah revolusi kemanusiaan
Dengan demikian sejak awal berdirinya, bangsa Indonesia ini didirikan atas dasar kesadaran
internasionalisme yang menjujung tinggi HAM, persamaan dan penghargaan atas kemanusiaan.
Nasionalisme Indonesia, dikatakan oleh Yudi Latif dengan demikian adalah nasionalisme yang
beperikemanusiaan. Seperti yang termaktub dalam sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

C. Tinjauan Filosofis :Driyarkara, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab sebagai Sila yang
Mendasari semua Sila dalam Pancasila

Dalam uraian sebelumnya telah dikemukakan historisitas dari hubungan Pancasila dengan
HAM yang setelah kita lihat bersama, hubungan keterkaitan itu mengikat dalam sila kedua
Pancasila yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Dapatlah kita menarik pemahaman yang
meyakinkan bahwa sila kedua Pancasila ini sungguh memiliki akar yang kuat dalam perjalanan
sejarah bangsa Indonesia. Rasa-rasanya pendasaran historis saja tidaklah cukup untuk suatu
pendasaran yang sahih tentang pentingnya nilai kemanusiaan. Aspek tinjauan filosofis tentunya
perlu untuk dikemukakan. Dalam hal ini penulis akan menguraikan pentingnya nilai
kemanusiaan yang dalam Pancasila terdapat pada sila kedua melalui pemikiran Driyarkara.
Refleksi filosofis Driyarkara mengenai Pancasila dimulai dengan pembahasan mengenai
manusia. Menurut Driyarkara, untuk mengerti dirinya manusia harus mengakui adanya manusia
lain, dengan kata lain manusia tidak dapat berdiri sendiri. Manusia, menurut Driyarkara,
terhubung-dalam-segala-galanya. Manusia memiliki kesatuan dengan alam jasmani (In-der-Welt-
Sein istilah Martin Heidegger dalam buku; Sein und Zeit) dan manusia lain.8 Keterhubungan
inilah yang membuat manusia mengerti keberadaannya. Ia menjadi sadar akan dirinya sendiri.
Aku (sein) selalu memuat engkau (du). Hanya dengan dan dalam pertemuan dengan Engkaulah
Aku menjadi Aku. Manusia itu tidak hanya meng-Aku tetapi meng-Kita. Menurut strukturnya
ada manusia itu merupakan ada bersama (Mit-sein).9 Selanjutanya, Driyarkara mengutip istilah
dari Ludwig Binswanger dalam bukunya: Grundformen und Erkenntnis menschlichen Dasein,

7
Iman Toto K Raharjo, Bung Karno Masalah Ketahanan dan Keamanan (Jakarta; Grasindo, 2010),223.
8
Driyarkara, “Pemikiran Pancasila Sebelum 1965” dalam A. Sudiarja (eds.), Karya lengkap Driyarkara, Esay-esay
Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya (Yogyakarta-Jakarta: Kanisius-Gramedia,
2006), 837.
9
Driyarkara, “Pemikiran Pancasila Sebelum 1965” dalam A. Sudiarja (eds.), Karya Lengkap, 837.

5
Zurich, 1953). Ada bersama (Mit-Sein) itu terjadi dalam hormat dan cinta kasih (liebendes Mit-
sein).10
Menurutnya manusia itu memiliki kodrat liebendes Mit-sein, berada-bersama-dengan-hormat
dan cinta kasih, inilah yang disebut Driyarkara dengan Perikemanusiaan. Perikemanusiaan
berarti menjunjung tinggi sesama manusia. Oleh karena itu cinta tanpa hormat, tanpa menjunjung
tinggi, itu tidaklah mungkin. Cinta berarti mengakui dan menghormati sesama manusia sebagai
pribadi (persona) dan persona tidak boleh dijadikan objek. Pernyataan inilah yang termuat dalam
hak-hak asasi yang dideklarasikan oleh PBB.11 Dari penjelasan mengenai kodrat manusia inilah
dapat diketahui bahwa perikemanusiaan mendasari hubungan antar manusia.
Dengan demikian, Driyarkara ingin menekankan bahwa nilai kemanusiaan itu menjadi suatu
nilai sentral dalam Pancasila. Pelaksanaan demokrasi, persatuan bangsa dan hidup yang
berketuhanan perlu mempertimbangkan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab. Menurut
Driyarkara, Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menjadi sila pemersatu dari sila-sila lain
dalam Pancasila. Keempat sila lainnya merupakan cabang dari kodrat manusia yang ada bersama
dalam cinta-kasih.12 Kalau manusia hidup bersama, berarti manusia menjalankan hidup
bermasyarakat sebagai perwujudan dari liebendes Mit-sein. Dari situ prinsip keadilan sosial
menjadi hal yang harus ditaati. Supaya dalam hidup bermasyarakat manusia tidak bertindak
secara liar maka dibutuhkan suatu sistem untuk mengatur tatanan hidup bermasyarakat yang
disebut negara dengan menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. Sementara itu ketuhanan lahir
dari kesadaran akan realitas manusia yang terbatas dan bergantung. Hubungan sila kedua dengan
sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bahwa manusia selalu menyadari bahwa dalam kemanusiaannya
ada dimensi transenden ketika menghadapi keterbatasan. Maka sila Ketuhanan Yang Maha Esa
dapat menjadi suatu pengisi atas dimensi transenden yang vital dalam diri manusia. Juga
sebaliknya, Ketuhanan Yang Maha Esa tanpa dilandasi dimensi kemanusiaan yang adil dan
beradab akan menjadi fanatisme sempit yang akan berbuah pada kehancuran dan kemusnahan,
karena menganggap Tuhanku yang paling benar.
Dalam salah satu wawancara film dokumenter untuk mengenang pemikiran Driyarkara,
Franz Magnis-Suseno, mengafirmasi pemikiran Driyarkara mengenai Pancasila. Menurut

10
Driyarkara, “Pemikiran Pancasila Sebelum 1965” dalam A. Sudiarja (eds.), Karya Lengkap, 837.
11
Driyarkara, “Pemikiran Pancasila Sebelum 1965” dalam A. Sudiarja (eds.), Karya Lengkap, 840.
12
Driyarkara, “Pemikiran Pancasila Sebelum 1965” dalam A. Sudiarja (eds.), Karya Lengkap, 841.

6
Magnis, pemikiran Driyarkara ini sangatlah fundamental, yaitu bahwa sila kunci di antara kelima
sila itu adalah sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Jadi sila itu tidak sama kedudukannya. Membawa diri secara manusiawi secara adil dan beradab, itu kapanpun,
dimanapun dengan siapapun selalu betul dan tidak pernah salah. Sebaliknya kalau keempat sila lain jika tidak adil
dan beradab bisa menjadi jahat. Ketuhanan yang tidak beradab bisa membuat orang membakar rumah orang lain.
Kebangsaan yang tidak beradab bisa menjadi chauvinisme. Kerakyatan bisa menjadi diktator-kedikatoran mayoritas
dan keadilan sosial bisa menjadi ideologi kebencian yang mengatasnamakan keadilan dapat membunuh musuh dan
kelas minoritas. Jadi ini merupakan pengertian Driyarkara yang sangat mendalam dan penting.

Dari sini dapatlah dikatakan bahwa penekanan khusus Driyarkara pada prinsip kemanusiaan
dalam Pancasila merupakan pemikiran yang fundamental. Menurutnya pemegang prinsip
perikemanusiaan yang sejati tidak akan tahan melihat adanya penindasan, penderitaan, dan
ketidakadilan. Oleh karena itu setiap orang yang melakukan segala penindasan, penderitaan dan
ketidakadilan akan dikritisi oleh pemeluk perikemanusiaan sejati, bahkan apabila negaranya
sendiri melakukan hal tercela tersebut. Sebab itu pemegang prinsip perikemanusiaan selalu
bersikap kritis terhadap negara dan penguasa pemerintah. Dia menghormati kekuasaan akan
tetapi memandang penguasa sebagai petugas yang harus dikontrol.13

D. Realitas Penegakan HAM di Indonesia era Pemerintahan Jokowi

Setelah kita melihat bagaimana perjalanan sejarah panjang berlakunya penghargaan pada
HAM di Indonesia, dan kaitan erat penegakan HAM di Indonesia dengan pengamalan sila
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Dalam bab ini akan dibahas mengenai realisasi penegakan
HAM di Indonesia di era pemerintahan Jokowi. Penulis memilih membatasi realitas penegakan
HAM pada era pemerintahan Jokowi dikarenakan menurut hemat penulis, pembahasan isu
penegakan HAM di Indonesia pada era pemerintahan saat ini juga akan terkait erat dengan
pemerintahan sebelumnya. Alasan kedua mengapa penulis memilih era Jokowi karena salah satu
mengapa Jokowi dipilih oleh rakyat menjadi orang nomor 1 di Indonesia saat ini karena janjinya
mengenai pengusutan tuntas pelanggaran HAM berat di Indonesia. Janji itu ada dalam program
Nawacita yang merupakan 9 agenda prioritas Jokowi selama masa pemerintahannya. Secara
eksplisit janji tersebut ada dalam butir ke 4 yang berbunyi pemerintahan akan memperkuat

13
Driyarkara, “Pemikiran Pancasila Sebelum 1965” dalam A. Sudiarja (eds.), Karya Lengkap, 959.

7
kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi,
bermartabat dan terpercaya. Dalam butir itu masih diperinci mengenai unsur apa saja yang
termuat dalam janji itu. Salah satunya adalah menghormati HAM dan penyelesaian secara
berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu.
Dalam berbagai ulasan media massa seperti dilansir dalam VOAIndonesia 2 Februari 2016,
menurut laporan tahunan amnesty International terbaru, penegakan HAM di Indonesia di bawah
Presiden Jokowi mengalami banyak kemunduran. Hal-hal yang dianggap sebagai kemunduran,
antara lain meningkatnya pengekangan berekspresi dan pembatasan kebebasan beragama.
Banyak janji yang diumbar oleh presiden Jokowi dalam kampanyenya dahulu, terutama yang
paling dinantikan adalah terobosannya untuk mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM berat di
Indonesia, terkhusus yang terjadi pada era Orde Baru. Pemerintahan saat itu menggunakan dalih
demi kestabilan negara untuk melegitimasi tindakan pelanggaran terhadap HAM. Secara paralel
kita dapat melihat kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti tragedi September 1965,
Malari 15 Januari 1974, Tanjung Priok 12 September 1984, penembakan misterius tahun 1983-
1985, peristiwa Talangsari 1989, kasus Kedung Ombo, kasus 27 Juli 1996, kerusuhan dan
perkosaan 12-13 Mei 1998, hingga penembakan terhadap mahasiswa dalam gerakan reformasi
1998. Inilah deretan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia yang sampai saat
ini tidak pernah diusut sama sekali.
Pemilihan jabatan strategis Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan
(Menkopolhukam) yang dilakukan Jokowi pada Juli 2016 silam, nampaknya kurang dilakukan
dengan pertimbangan yang matang. Pemilihan Wiranto mantan Panglima TNI ini, menjadi suatu
gambaran ketidakseriusan presiden Jokowi dalam mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM
berat di Indonesia. Pasalnya pada saat menjabat sebagai Panglima TNI, Wiranto disinyalir
menjadi aktor dalam kasus pelanggaran HAM berat peristiwa 98. Penunjukan Wiranto sebagai
Menkopolhukam ini merupakan citra di mana negara justru melindungi pelanggar HAM berat
dan ini adalah bentuk impunitas yang kelewatbatas.
Masih berkaitan dengan kasus pelanggaran HAM, pada awal bulan Oktober lalu, masyarakat
Indonesia digemparkan dengan hilangnya dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) Munir, aktivis
kemanusiaan yang dibunuh pada tahun 2004 silam. Kasus hilangnya dokumen TPF Munir ini
menjadi potret bagaimana pemerintahan kurang bersungguh-sungguh dalam menangani kasus
pelanggaran HAM berat di Indonesia. Memang secara tidak langsung pilihan-pilihan dan sikap

8
yang dilakukan pemerintahan Jokowi terhadap kasus pelanggaran HAM di Indonesia
menyiratkan bahwa nilai-nilai Pancasila dalam hal ini pengejawantahan sila Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab bukan menjadi opsi utama pemerintah. Apakah Pancasila sudah tidak relevan
lagi? Mengingat banyak terjadi pengingkaran terhadap nilai-nilai Pancasila seperti kasus
pelanggaran HAM ini. Tentunya, Pancasila masih sangatlah relevan sebagai dasar negara, dan
cita-cita bangsa Indonesia. Kegagalan bangsa Indonesia dalam meraih cita-cita dan
mengejawantahkan nilai-nilai dasar negara disebabkan bukan oleh kesalahan Pancasila. Akan
tetapi hal-hal di luar itu, terutama para penyelenggara negara, pemangku jabatan dan kebijakan
yang ternyata ingkar pada cita-cita bangsa Indonesia yaitu Pancasila.
Dari sini dapatlah kita petakan, sesungguhnya ada persoalan-persoalan mendasar mengenai
isu HAM di Indonesia bahwasannya; (1) Pondasi HAM di Indonesia masih membutuhkan
pondasi yang kokoh. Pemakaian konstitusi di Indonesia selalu menunjukkan perubahan sejak
masa kemerdekaan. Perubahan tersebut menyebabkan fluktuasi pula pada jaminan HAM di
Indonesia. Kebijakan amandemen terhadap UUD 1945 barangkali telah terarah pada perbaikan
jaminan HAM. Namun melihat secara historis, para ahli hukum pada umumnya melihat bahwa
UUD 1949 dan UUDS 1950 lebih mengakomodasi jaminan HAM. Dengan kata lain, sejumlah
konstitusi yang pernah diterapkan di Indonesia menunjukkan adanya sikap yang kurang stabil
terhadap penegakan dan perlindungan HAM. (2) Persoalan mendasar lain yang terjadi di
Indonesia adalah bentuk pemahaman dan kesadaran untuk menghormati nilai-nilai HAM
seringkali terjebak pada ukuran atau besaran. Pelanggaran HAM seringkali diukur secara
kuantitatif atas dasar besaran jumlah korban. Kasus pelanggaran HAM akan cenderung ditangani
secara serius ketika jumlah korban, jenis tindak pelanggaran dan pelaku dikategorikan berat. (3)
Pemikiran bahwa kewajiban sosial, bakti kepada negara dan pembangunan nasional adalah lebih
penting dan mendesak daripada HAM merupakan legitimasi yang sampai saat ini dirasakan.14
Seolah antara pembangunan kemanusiaan dan pembangunan ekonomi itu merupakan
pembangunan yang bertolak belakang.

E. Kesimpulan

14
F. Budi Hardiman, Hak-Hak Asasi Manusia Polemik dengan Agama dan Kebudayaan (Yogyakarta; Kanisius,
2011), 98.

9
Sejarah penegakan HAM di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah berdirinya
bangsa Indonesia yang mempunyai falsafah dasar Pancasila. Dalam Pancasila, ide HAM termuat
di dalam sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dan mendapatkan jaminan yuridisnya dalam
UUD 1945. Melalui telaah filosofis Driyarkara mengenai Pancasila, HAM atau isu kemanusiaan
menjadi bagian kunci utama dalam penghayatan Pancasila. Akan tetapi aktualisasi dari nilai-nilai
kemanusiaan yang adill dan beradab nampaknya masih jauh dari apa yang dicita-citakan.
Berbagai persoalan bangsa sejak lahirnya hingga saat ini pemerintahan Jokowi, menunjukkan
banyak penyimpangan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang sejati di mana seharsunya manusia
dipandang sebagai mahkluk yang bermartabat dan luhur.
Meskipun begitu, perjuangan penegakan HAM di Indonesia nyatanya tidaklah surut
walaupun saat ini dapat dikatakan mengalami kebuntuan. Organisasi-organisasi seperti Kontras,
Komnas HAM, terus menyuarakan keadilan bagi para korban pelanggaran. Gerakan-gerakan
akar rumput seperti Jaringan Solidaritas Keluarga Korban (JSKK) yang digagas oleh ibu
Sumarsih tetap konsisten dan berkomitmen melakukan aksi tiap kamis sore (kamisan), di depan
istana untuk memperjuangkan keadilan. Mereka adalah para pemeluk prinsip perikemanusiaan
yang sejati, di mana di saat ketidakadilan terjadi mereka tidak bungkam akan tetapi selalu kritis
dan teguh berjuang. Inilah gambaran yang sesuai seseorang yang memegang prinsip
perikemanusiaan yang digambarkan Driyarkara. Mereka adalah masyarakat Indonesia yang
menyuarakan hak-haknya melalui refleksi mereka atas Pancasila. Pancasila sebagai guiding
pricinples kata Soekarno dalam pidato di PBB, memang harus senantiasa digali, direfleksikan
serta diperjuangkan terus menerus.

F. Daftar Pustaka
Driyarkara, N. “Pemikiran Pancasila Sebelum 1965.” Dalam A. Sudiarja, SJ, dkk (eds), Karya
Lengkap Driyarkara, Esay-esay Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan
Bangsanya. Yogyakarta-Jakarta: Kanisius-Gramedia, 2006.

10
Hardiman, F. Budi. Hak- Hak Asasi Manusia Polemik dengan Agama dan Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius, 2011.

Latif, Yudi. Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2011.

Latif, Yudi. “Pancasila Rumah Bersama.” Naskah pidato politik di Graha Bakti Budaya, TIM,
Jakarta, 31 Mei 2011.

Magnis-Suseno, Franz. Etika Politik. Jakarta: Gramedia.1991.

Raharjo, Iman Toto K. Bung Karno Masalah Ketahanan dan Keamanan, Jakarta; Grasindo,2010.

11

Anda mungkin juga menyukai