Anda di halaman 1dari 6

Restorasi Pancasila Sebagai Falsafah Bangsa

Rubiyo*

Volume 2 Nomor 1 Tahun 2016, 19-30

Bangsa Indonesia, dalam sejarahnya, dikenal sebagai bangsa majemuk,


multikultur, multietnik yang terdiri dari beragam suku bangsa, warna kulit, corak
bahasa dan budaya serta beragam karakter sifat dan perilakunya. Bahkan dalam
teritori Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan
volksgemeenschappen. Istilah zelfbesturende landschappen adalah kata lain untuk
daerah-daerah swapraja atau daerah kerajaan, yaitu daerah yang sejak semula
memiliki sistem pemerintahan sendiri seperti kesultanan Yogyakarta. Sementara itu
istilah volksgemeenschappen digunakan untuk menyebut dan menjelaskan daerah
kesatuan masyarakat hukum adat seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di
Minangkabau.

Dalam struktur masyarakatnya yang sedemikian kompleks dan kental akan


ikatan primordialisme, bangsa kita tetap dapat menjaga simpul persatuan dalam ikatan
kebangsaan yang satu. Simpul ini dapat terjaga dikarenakan terdapat nilai yang
berfungsi sebagai perekat perbedaan yang ada.

Pertama, Tahun 1908 merupakan tonggak awal kebangkitan nasional karena


terdapat perubahan pada pola perjuangan kemerdekaan seiring dengan lahirnya
organisasi Budi Utomo.Kelahiran Budi Utomo telah memacu adrenalin nasionalisme
baru bagi rakyat Indonesia. Oleh karenanya hari kelahiran Budi Utomo, 20 Mei, kita
peringati sebagai hari kebangkitan nasional.

Kedua, pada 28 Oktober 1928, para pemuda yang berasal dari seluruh wilayah
Indonesia berkumpul dan menyelenggarakan rapat guna menyatakan sikap bersama
untuk mengatasi jurang perbedaan yang ditimbulkan akibat perbedaan suku dan
bahasa. Sebuah prinsip yang menegaskan bahwa meskipun bangsa Indonesia terdiri
dari beragam suku bangsa, beragam budaya dan bahasa, beragam watak dan perilaku
tetapi tetap satu jua sebagai bangsa Indonesia.

Ketiga, Pada tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang BPUPK, Soekarno


menyampaikan gagasannya tentang lima dasar yang akhirnya disepakati menjadi
falsafah hidup bangsa (philosofische grondslag). Kelima dasar itu yaitu kebangsaan
Indonesia, Internasionalisme, atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi,
kesejahteraan sosial, dan prinsip Ketuhanan.

Peminggiran Nilai Pancasila

Secara filosofis dalam konteks ke-Indonesiaan, konstitusi merupakan modus


vivendi (kesepakatan luhur) seluruh komponen bangsa Indonesia untuk hidup bersama
dalam ikatan satu bangsa yang majemuk. Pada umumnya struktur konstitusi terdiri
atas “pembukaan” dan pasal-pasal. Posisi pembukaan dalam sebuah konstitusi
memiliki peran yang amat strategis. Pancasila yang termuat pada Pembukaan UUD
1945 berfungsi sebagai sebagai “ruh” yang menjiwai keseluruhan pasal-pasal dalam
konstitusi kita.

Dari sudut hukum, Pancasila melahirkan cita hukum (rechtsidee) dan dasar sistem
hukum tersendiri sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia sendiri. Pancasila sebagai
dasar negara menjadi sumber dari segala sumber hukum yang memberi penuntun
hukum serta mengatasi semua peraturan perundang-undangan. Di samping itu,
Pancasila sebagai sistem nilai yang telah mengakar dalam kehidupan bangsa
Indonesia. Tertanam dalam tradisi, sikap, perilaku, adat istiadat dan budaya bangsa.
Pancasila memuat nilai kerohanian yang di dalamnya terkandung nilai-nilai lain
secara lengkap dan harmonis, baik nilai materiil, nilai vital, nilai
kebenaran/kenyataan, nilai aesthetis, nilai ethis/moral maupun nilai religius.

Meluasnya praktik penyimpangan kekuasaan, korupsi, kolusi dan berbagai


penyakit masyarakat di masa lalu dan masa kini, dilakukan bersamaan dengan
tingginya intensitas internalisasi Pancasila melalui penataran P4. Realitas sosial yang
hadir kerap tidak sejalan dengan prinsip-prinsip ideal Pancasila. Kehidupan
keberagaman ditandai dengan kekerasan yang mengatasnamakan agama, prinsip
humanisme diintimidasi berbagai praktik jual beli manusia dan wanita, persatuan dan
kesatuan dimentahkan oleh perselisihan elite politik, demokrasi dibayangi wajah
oligarkis kekuasaan di pusat maupun daerah, wajah keadilan sosial dicederai oleh
kelaparan, malnutrisi, dan kemiskinan yang meluas.

Di sisi lain, globalisasi dan perkembangan masyarakat dunia yang transparan


dan sarat informasi, mendorong perubahan-perubahan pesat, telah memicu banyak
perubahan di dunia. Infiltrasi budaya-budaya luar ke negara kita secara lambat laun
namun pasti telah berkontribusi dalam menggeser tata nilai luhur dan menggerogoti
moral anak bangsa. Meskipun banyak sisi positifnya, namun sisi negatifnya juga tidak
sedikit. Terlebih saat ini Indonesia tengah dihadapkan pada era Masyarakat Ekonomi
ASEAN.

Bangsa Indonesia sejak dulu dikenal dengan keramahan dan kesantunannya,


namun kini berubah menjadi bangsa yang seolah kehilangan jati dirinya sebagai
bangsa yang beradab dan seolah lupa bahwa para pendiri bangsa ini telah mewariskan
nilai luhur Pancasila sebagai tuntunan dan falsafah bangsa.

Restorasi Nilai Luhur Pancasila

Restorasi, menurut kamus besar bahasa Indonesia, diartikan sebagai upaya


pengembalian dan pemulihan kepada keadaan semula. Hal ini perlu dimaknai bahwa
krisis moral negara kita harus segera dipulihkan kepada keadaan semula saat para
pendiri negara ini merumuskan Pancasila sebagai falsafah bangsa dengan
menjadikannya sebagai suatu nilai yang hidup dalam masyarakat sehingga
konsekuensi dari implementasi Pancasila adalah kedamaian, ketentraman, ketertiban,
persatuan, kesejahteraan, dan keadilan dalam masyarakat Indonesia.Upaya
internalisasi nilai Pancasila juga perlu dengan sistematis dan masif dilakukan agar
nilai Pancasila tertanam dalam jiwa dan tercermin dalam peilaku. Nilai-nilai Pancasila
yang abstrak perlu di break down sehingga bersifat operasional dan mudah
dilaksanakan. Butir-butir Pancasila yang dahulu pernah ada dapat dijadikan langkah
awal untuk merevitalisasi nilai Pancasila sesuai dengan perkembangan zaman dan
dinamika masyarakat.
Dalam kaitan dengan politik pembangunan hukum nasional maka Pancasila
melahirkan kaidah-kaidah penuntun sebagai pedoman pembaruan hukum nasional,
antara lain:

Pertama, hukum Indonesia harus bertujuan dan menjamin integrasi bangsa baik
secara teritorial maupun ideologis. Hukum-hukum di Indonesia tidak boleh memuat
isi yang berpotensi menyebabkan terjadinya disintegrasi wilayah maupun ideologi.

Kedua, hukum harus bersamaan membangun demokrasi dan nomokrasi. Hukum


di Indonesia tidak dapat dibuat berdasar menang -menangan jumlah pendukung
semata tetapi juga harus mengalir dari filosofi Pancasila dan prosedur yang benar.

Ketiga, membangun keadilan sosial. Tidak dibenarkan munculnya


hukum-hukum yang mendorong atau membiarkan terjadinya jurang sosial-ekonomi
karena eksploitasi oleh yang kuat terhadap yang lemah tanpa perlindungan negara.
Hukum harus mampu menjaga agar yang lemah tidak dibiarkan menghadapi sendiri
pihak yang kuat yang sudah pasti akan selalu dimenangkan oleh yang kuat.

Keempat, membangun toleransi beragama dan berkeadaban. Hukum tidak boleh


mengistimewakan atau mendiskrimasi kelompok tertentu berdasar besar atau kecilnya
pemelukan agama. Indonesia bukan negara agama (yang mendasarkan pada satu
agama tertentu) dan bukan negara sekuler (yang tak perduli atau hampa spirit
keagamaan).

Dalam konsep negara hukum demokratis, demokrasi diatur dan dibatasi oleh
aturan hukum, sedangkan hukum itu sendiri ditentukan melalui cara-cara demokratis
berdasarkan konstitusi. Dengan demikian, aturan dasar penyelenggaraan negara,
dengan segenap politik hukumnya, harus disandarkan kembali secara konsisten pada
konstitusi. Tanpa kecuali, semua aturan hukum yang dibuat melalui mekanisme
demokrasi tidak boleh bertentangan dengan konstitusi.

Lahirnya The Guardian of The Ideology

Setelah melalui perdebatan pemikiran yang panjang maka pada amandemen


ketiga UUD 1945 tahun 2001, Mahkamah Konstitusi secara resmi ditempatkan
sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia, selain MA dan
badan-badan peradilan di bawahnya. Pembentukan lembaga ini, merupakan salah satu
wujud nyata dari perlunya keseimbangan dan kontrol (checks and balances) di antara
lembaga-lembaga negara. Hal ini juga sebagai penegasan terhadap prinsip negara
hukum dan perlunya perlindungan hak asasi manusia (hak konstitusional) yang telah
dijamin konstitusi serta sebagai sarana penyelesaian beberapa problem
ketatanegaraan.

Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, MK mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1


(satu) kewajiban, yaitu: MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk:

1. menguji undang-undang terhadap UUD;

2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang


kewenangannya diberikan oleh UUD;

3. memutus pembubaran partai politik; dan

4. memutus perselisihan hasil pemilihan umum.

memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah


melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.

Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution),


sejak awal pendiriannya, tidak hanya dirancang untuk mengawal dan menjaga
konstitusi sebagai hukum tertinggi (supreme law of the land), tetapi juga mengawal
Pancasila sebagai ideologi negara (the guardian of ideology).

Putusan MK lainnya yang terkait dengan Pancasila, yakni Putusan Nomor


100/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Dalam UU 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik ditegaskan bahwa salah satu materi
pendidikan politik adalah “pendalaman materi tentang empat pilar”.
Karena Pancasila adalah Dasar Negara. Istilah “empat Pilar” ini kemudian
dibatalkan oleh MK. Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan Pancasila
tidak hanya sebagai dasar negara tetapi juga sebagai dasar filosofi negara, ideologi
negara, dan cita hukum negara dan bukan sebagai pilar. Pada titik inilah, nilai-nilai
luhur Pancasila yang abstrak telah dijadikan standar evaluasi konstitusionalitas norma
hukum, dalam hal ini undang-undang, kemudian diejawantahkan dan tercerminkan
dalam setiap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Tak sampai disitu, sebagai
lembaga pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi melihat adanya kepentingan
terhadap setiap ikhtiar untuk meneguhkan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm
yang sekaligus menjadi jiwa dari UUD 1945.

Hal ini sejalan dengan visi Mahkamah Konstitusi, yakni Mengawal Tegaknya
Konstitusi Melalui Peradilan Konstitusi yang Independen, Imparsial, dan Adil dengan
salah satu misi, yakni Membangun Sistem Peradilan Konstitusi yang Mampu
Mendukung Penegakan Konstitusi. Dalam konteks menegakan konstitusi, Mahkamah
Konstitusi sebagai pengawal konstitusi pada dasarnya mencakup pula tugas mengawal
tegaknya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara karena Pancasila termuat dalam
Pembukaan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan konstitusi sendiri. Hal
inilah yang menjadi alasan mengapa di samping sebagai pengawal konstitusi (the
guardian of constitution), Mahkamah Konstitusi juga berperan sebagai pengawal
ideologi negara (the guardian of state’s ideology).

Anda mungkin juga menyukai