1. Pancasila
Kelima, tanggal 3 April 1950 terjadi Sidang Parlemen RIS untuk menyikapi
banyaknya gerakan yang menolak keberlangsungan sistem federal dalam
Republik Indonesia Serikat. Pada sidang tersebut, Muhammad Natsir sebagai
Ketua Fraksi dari Partai Masyumi menekankan pentingnya pemulihan NKRI
melalui sebuah mosi (dikenal dengan mosi integral Natsir) yang pada
intinya menganjurkan kepada Pemerintah agar mengambil inisiatif untuk
mencari penyelesaian bagi persoalan-persoalan yang tumbuh sebagai akibat
perkembangan politik waktu itu dengan cara integral.
Natsir melakukan lobi-lobi politik dengan kepala-kepala negara bagian dan
ketua fraksi lainnya di parlemen untuk memusyawarahkan gagasan
pemulihan NKRI (Dzulfikriddin, 2010 dalam Wantanas, 2018).
Bagian pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang memuat bentuk negara
kesatuan, tersirat dalam alinea keempat, yakni “Kemudian daripada itu
untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…”.
Pernyataan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia” mengandung arti bahwa bangsa Indonesia hidup, tumbuh dan
berkembang dalam suatu wilayah kesatuan yang saling terintegrasi satu
dengan yang lainnya.
Kondisi demikian telah “dibaca” oleh para pendiri bangsa Indonesia, terutama
ketika mempersiapkan kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang
didasarkan atas Pancasila.
Pendiri bangsa Indonesia menyadari suatu realitas yang nyata, bahwa di tanah
air Indonesia terdapat beraneka ragam kebudayaan yang masing-masing
terwadahkan di dalam suatu suku. Realitas ini tidak dapat diabaikan dan
secara rasional harus diakui adanya.