Anda di halaman 1dari 10

LEMBAR JAWABAN

Nama : Lisna Aulia Ningsih


NIM : 2108010135
Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan

1. Orde Baru adalah masa pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto sebagai Presiden
selama lebih dari 30 tahun (1968-1998). Kehadiran Orde Baru (Orba) membawa
perubahan terhadap pemahaman Pancasila di Indonesia. Pancasila berhasil
dipertahankan sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia. Namun, di balik perubahan
tersebut, ternyata tetap terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap Pancasila pada
era Orde Baru.
Pada masa Orde Baru, pemerintah ingin melaksanakan Pancasila secara murni
sebagai bentuk kritik terhadap penyimpangan yang terjadi di era Orde Lama.
Pemerintah pun mencanangkan program P4, yaitu Pedoman, Penghayatan, dan
Pengamalan Pancasila. Pada dasarnya, pemerintah Orde Baru memang berhasil
mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Akan tetapi,
implementasinya mengecewakan, bahkan terbilang menyimpang dari Pancasila.
Pancasila ditafsirkan sesuai kepentingan kekuasaan pemerintah Orde Baru dan
dijadikan sebagai indoktrinasi oleh Presiden Soeharto guna melanggengkan
kekuasaannya. Ada beberapa cara yang digunakan dalam indoktrinasi Pancasila,
sebagai berikut:
- Melalui ajaran di sekolah-sekolah.
- Presiden Soeharto membolehkan rakyat membentuk organisasi-organisasi dengan
syarat harus berasaskan Pancasila.
- Presiden Soeharto melarang adanya kritikan-kritikan yang dapat menjatuhkan
pemerintahan.

Penyimpangan terhadap Pancasila juga terjadi, contohnya:

- Pancasila disalah pergunakan oleh Soeharto sebagai simbol kekuasaan.


- Meskipun secara tertulis Indonesia adalah negara demokrasi, namun saat
pemerintahan Soeharto justru berjalan sebaliknya, yakni pemerintahan yang otoriter
atau suatu keadaan di mana kekuasaan politik terkonsentrasi pada suatu pemimpin.
- Sebagai negara demokrasi, rakyat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Dari
rakyat, untuk rakyat, dan kembali kepada rakyat, sayangnya pada era reformasi,
pemerintah melarang adanya kritik yang menjatuhkan pemerintah karena dianggap
mengganggu kestabilan negara. Hukuman pun siap menanti bagi siapa saja yang
melakukannya.
- Penerapan demokrasi sentralis dalam artian pemerintah, lembaga legislatif,
eksekutif dan yudikatif dipegang kendalinya oleh Presiden.
- Lembaga pendidikan wajib melaksanakan pendidikan Pancasila (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Hal ini dimanfaatkan pemerintah agar
terus menjabat.

Karena penyimpangan-penyimpangan ini, banyak warga negara Indonesia yang


tidak percaya lagi dengan ideologi Pancasila. Sehingga, untuk mengembalikan
kepercayaan tersebut, harus dibuktikan dengan bukti nyata. Bahwa sebagai ideologi
sudah sepantasnya Pancasila tidak dimanfaatkan oleh sebagian golongan untuk
kemaslahatan pribadi, namun Pancasila harus menjadi pondasi yang kokoh untuk
bangsa. Upaya yang saya maksud adalah bagaimana menginternalisasi ideologi
Pancasila kepada masyarakat, khususnya generasi muda, dengan cara yang efektif dari
cara-cara yang dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru yang bersifat
indkontriner. Hal ini penting untuk dilakukan. Jika tidak, keutuhan bangsa di masa
depan akan mengalami ancaman yang serius. Hanya Pancasila yang masih relevan
sebagai ideologi negara dan tepat untuk kehidupan berbangsa dan bernegara baik di
masa kini ataupun di masa depan. Strategi menyelamatkan Pancasila. Upaya menjaga
dan menguatkan nilai-nilai Pancasila di masyarakat dapat dilakukan dengan tiga hal
yaitu melalui pendekatan budaya, internalisasi di semua level pendidikan, dan
penegakan hukum terhadap hal-hal yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.
Pertama, nilai-nilai Pancasila perlu dikuatkan dengan pendekatan budaya. Pemerintah
melalui Kemdikbud harus menyusun strategi yang tepat, efektif, dan partisipatif tanpa
paksaan. Hal ini bisa dilakukan dengan membangun fasilitas atau pos-pos budaya di
semua wilayah dalam rangka melestarikan sekaligus mengembangkan kebudayaan
lokal yang ada di masyarakat. Kedua, penguatan nilai-nilai Pancasila di sektor
pendidikan. Generasi muda adalah masa depan bagi ideologi Pancasila. Saat ini paparan
ideologi radikal mulai mengancam generasi-generasi muda kita. Pemerintah perlu
memikirkan strategi yang efektif agar nilai-nilai Pancasila terinternalisasi dengan baik
dalam kurikulum pendidikan nasional. Jika perlu, pemerintah bisa mengintervensi
kurikulum yang digunakan di sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan tinggi. Tidak
sedikit sekolah-sekolah yang mengabaikan kurikulum berbasis nasional khususnya
yang terkait dengan pengetahuan kebangsaan dan kebudayaan. Ketiga, penegakan
hukum. Nilai-nilai Pancasila yang ada dalam konstitusi telah tercermin dalam sejumlah
peraturan dan instrumen internasional yang telah diratifikasi untuk melindungi hak-hak
warga negara. Pemerintah tak boleh segan-segan untuk menegakkan aturan hukum
demi menjaga persatuan dan keutuhan bangsa.

2. Lewis Coser mendefinisikan konflik sebagai benturan nilai-nilai dan kepentingan,


ketegangan antara apa dan bagaimana suatu kelompok merasa bersikap yang
seharusnya. Dalam pemahaman tersebut, Coser melihat konflik berfungsi untuk
mendorong lahirnya suatu lembaga, teknologi maupun system sebagai bentuk
penyikapan. Secara lebih tegas, Coser menyatakan bahwa konflik adalah perjuangan
atas nilai-nilai dan klaim status langka, kekuasaan dan sumber daya di mana tujuan dari
lawan yang menetralisir, melukai atau menghilangkan saingan. Konflik juga dapat
didefinisikan dalam perspektif komunikasi sebagai perjuangan diungkapkan antara
setidaknya dua pihak yang saling bergantung yang merasa tujuan yang tidak
kompatibel, imbalan langka dan gangguan dari pihak lain dalam mencapai tujuan
mereka.
Pada masa sebelumnya, terdapat kecenderungan bahwa konflik dipandang
sebagai sesuatu yang negatif dan perlu untuk dihindari. Namun dalam 25 tahun terakhir,
banyak sarjana telah mengubah pandangan mereka tentang konflik. Konflik kini terlihat
seperti memiliki potensi pertumbuhan yang positif. Deetz dan Stevenson menyatakan
adanya tiga asumsi yang yang konflik yang bisa positif. Keyakinan mereka adalah
bahwa manajemen konflik berfungsi sebagai konsepsi lebih berguna dari proses
resolusi konflik. Asumsi mereka adalah; (a) konflik adalah wajar; (B) konflik baik dan
diperlukan; dan (C) kebanyakan konflik didasarkan pada perbedaan nyata.
Demokrasi yang diatur dalam suatu regulasi formal nampaknya terlihat ingin
melindungi kedaulatan masyarakat, namun kehadirannya sebenarnya sekaligus
merupakan upaya untuk membatasi manifestasi faktual dari kedaulatan tersebut atas
nama kebutuhan atau kepentingan bersama. Dengan demikian, demokrasi
membutuhkan suatu perangkat hukum untuk meminimalkan kelemahannya dalam
menyelesaikan konflik antara kedaulatan individu dan kaharusan menghormati
kepentingan bersama. Suatu perangkat hukum formal tidak diidentifikasikan sebagai
demokrasi itu sendiri namun menjadi suatu perangkat yang diperlukan dan diterima
sebagai suatu kebenaran sehingga pantas untuk dipatuhi oleh masyarakat. Dengan
demikian tanpa adanya konflik maka demokrasi mustahil untuk ada. Oleh karena itu,
perangkat hukum dibutuhkan oleh kehadiran demokrasi yang senantiasa memiliki
konflik sebagai bagian internal keberadaannya.
Keyakinan bahwa konflik adalah bagian yang berharga dan tak terpisahkan dari
kehidupan politik. Jauh dari mendesak warga untuk menyisihkan moral mereka,
perspektif agama, budaya dan demokrasi agonistik menyarankan bahwa kita harus
berusaha untuk mengembangkan dan memperluas praktek-praktek politik yang
memfasilitasi ekspresi perbedaan pendapat warga.

3. Alasan utama bangga menjadi bangsa Indonesia adalah karena lahir dan besar di negeri
Indonesia. Kebanggaan seorang warga Negara terhadap bangsanya merupakan salah
satu wujud nasionalisme. Bangga, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai berbesar hati atau merasa gagah karena mempunyai keunggulan. Kata kuncinya
adalah pemilikan keunggulan. Bila kita memiliki suatu keunggulan, maka keunggulan
itu akan membuat kita berbesar hati serta membuat kita bangga. Budaya itu adalah
kebanggaan bangsa, budaya bangsa Indonesia, yang merupakan refleksi dari pikiran
rakyat Indonesia selama ribuan tahun, dan telah menjadi identitas bangsa, maka itu
sangat membanggakan seluruh bangsa Indonesia. Kalau ada yang mengambilnya begitu
saja, atau kalau ada yang melecehkannya, maka akan menyinggung perasaan hati
bangsa Indonesia. Tetapi, seringkali juga kita sendiri yang tidak menghargai, bahkan
kadang melecehkannya, tidak memeliharanya dengan baik, sehingga dipungut oleh
orang lain.
Alasan utama bangga menjadi bangsa Indonesia adalah karena lahir dan besar
di negeri Indonesia. Maka harus mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Modal utama tetap tegaknya NKRI adalah persatuan dan kesatuan di antara
bangsa Indonesia. Persatuan sebagai bangsa tidak akan kuat apabila tidak memiliki
kebanggaan terhadap NKRI. Bangga sebagai bangsa dan bertanah air Indonesia
terwujud dalam bentuk merasa besar hati atau merasa bahagia atau merasa gagah
menjadi bangsa Indonesia.
Keunggulan yang dimiliki bangsa Indonesia, antara lain:
- Semboyan Bhinneka Tunggal Ika menyatukan bangsa Indonesia sehingga meski
terdapat keberagaman namun prinsipnya tetap satu pandangan.
- Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan banyaknya rempah rempah
- Indonesia termasuk negara yang memiliki sikap toleransi yang tinggi, saling
menghargai antar sesama,tidak membeda-bedakan ras,suka,agama dan lain lain
- Sumber daya manusia, sumber daya alam, indah dan luas menjadi faktor pembentuk
keunggulan bangsa Indonesia.
- Warga negara Indonesia memiliki sikap yang ramah tamah terhadap sesama.

4. Saya optimis bahwa bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar dan maju.
Indonesia saat ini tidak lagi masuk dalam daftar Negara berkembang, hal tersebut
menjadikan Indonesia melakukan pembangunan-pembangunan di segala bidang dalam
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Tujuan tersebut membutuhkan strategi
yang matang dan tentunya dengan modal yang besar. Indonesia Maju bukanlah sesuatu
hal yang mustahil diraih mengingat Negara ini sudah memiliki modal yang cukup.
Modal dasar yang dimiliki saat ini setelah kemerdekaan Republik Indonesia yaitu
Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu,
modal pendukung yang dimiliki Indonesia sebagai Negara maju yaitu: pertama,
Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. Kedua, Indonesia memiliki
sumber daya manusia dengan penduduk terbesar ke-5 didunia dengan komposisi
penduduk usia produktif yang terus bertambah. Ketiga, letak geografis yang memiliki
posisi strategis pada jalur perdagangan maritim internasional dan penghubung benua
Asia – Australia. Seluruh modal tersebut apabila di jaga dan dikelola secara benar akan
mengantarkan Indonesia masuk jajaran yang diperhitungkan. Apabila dibandingkan
dengan Negara maju lainnya, mereka memiliki keunggulan yang menonjol di hanya
salah satu aspek lalu anjlok di aspek lainnya. Contohnya Singapura, Negara maju
dengan segala pembangunan yang megah namun terhambat dengan luas Negara yang
‘mentok’ atau tidak dapat dikembangkan. Selain itu di Negara Jepang yang berambisi
dengan teknologinya justru menghadapi kesulitan terhadap pertumbuhan populasi
masyarakatnya. Masyarakat Jepang cenderung tidak ingin menikah dan memiliki
keturunan sehingga jumlah masyarakat produktif dari tahun ketahun menjadi turun.
Bagi Indonesia, permasalahan tersebut justru menjadi yang diunggulkan.
5. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Indonesia bukan lagi merupakan sebuah
fenomena, melainkan sudah merupakan fakta yang terkenal di mana-mana. Kini,
setelah rezim otoriter Orde Baru tumbang, tampak jelas bahwa praktik KKN selama ini
terbukti telah menjadi tradisi dan budaya yang keberadaannya meluas, berurat akar dan
menggurita dalam masyarakat serta sistem birokrasi Indonesia, mulai dari pusat hingga
lapisan kekuasaan yang paling bawah.

Tuntutan terhadap paradigma good governance dalam seluruh kegiatan di era


globalisasi dewasa ini sudah tidak dapat dielakkan lagi. Tuntutan tersebut menjadi
penting karena jika kondisi good governance dapat dicapai, maka terwujudnya negara
yang bersih dan responsive (clean and responsive state), semaraknya masyarakat sipil
(vibrant civil society) dan kehidupan bisnis yang bertanggungjawab (good corporate
governance) niscaya tidak lagi hanya menjadi sebuah impian.
Untuk dapat mewujudkan good governance sebagaimana dituntut oleh
masyarakat maupun lembaga-lembaga donor internasional tersebut, salah satu unsur
penting yang harus terpenuhi adalah adanya transparansi atau keterbukaan dan
akuntabilitas dalam berbagai aktifitas, baik aktifitas sosial, politik maupun ekonomi.
Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat transparansi dan akuntabilitas maka
seharusnya semakin rendah pula kemungkinan terjadinya KKN. Namun, pada
kenyataannya, berbagai penelitian dan evaluasi yang dilakukan oleh beberapa lembaga
berbeda justru menunjukkan kecenderungan yang semakin memprihatinkan. Dan
umumnya, penelitian tersebut sampai pada satu kesimpulan yang sama, yaitu bahwa
Indonesia merupakan salah satu negara paling korup di dunia.
Kelemahan yang paling mencolok dalam proses tercapainya good governance
di Indonesia selama ini adalah tingginya tingkat korupsi yang bahkan telah merajalela
di hampir seluruh lapisan masyarakat, baik di sektor publik maupun swasta dan sering
pula terjadi di kedua sektor tersebut secara simultan / bersamaan. Korupsi juga telah
berkembang dan mengakar di lembaga-lembaga pemerintahan, lembaga perwakilan
rakyat (DPR maupun DPRD), bahkan di dalam lembaga peradilan sendiri. Kepolisian,
kejaksaan dan lembaga peradilan yang seharusnya menjadi ujung tombak bagi upaya
pemberantasan korupsi justru dipandang oleh banyak kalangan sebagai institusi-
institusi publik yang paling korup dan paling banyak melakukan penyalahgunaan
kewenangan.
UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime ± Kantor PBB Untuk
Masalah Obat-obatan Terlarang dan Tindak Kejahatan) mengemukakan bahwa
setidaktidaknya ada dua kendala atau berita buruk bagi upaya pemberantasan korupsi
di dunia, termasuk di Indonesia dan daerahdaerah. Berita buruk yang pertama adalah
kurangnya dana yang diinvestasikan pemerintah untuk program pemberantasan
korupsi. Hal ini mengindikasikan rendahnya komitmen pemerintah terhadap upaya
pemberantasan korupsi dan bahwa selama ini pemberantasan korupsi belum menjadi
prioritas utama kebijakan pemerintah, yang mencerminkan masih lemahnya political
will pemerintah bagi upaya pemberantasan korupsi. Berita buruk yang kedua adalah
rendahnya insentif dan gaji para pejabat publik. Insentif dan gaji yang rendah ini
berpotensi mengancam profesionalisme, kapabilitas dan independensi hakim maupun
aparat-aparat penegak hukum lainnya, termasuk dalam konteks pemberantasan tindak
pidana korupsi. Diluar masalah-masalah di atas, ada pula beberapa hal lain yang turut
menghambat upaya pemberantasan korupsi di daerah. Berita buruk yang ketiga adalah
kurangnya pengetahuan dan pengalaman aparat-aparat penegak hukum dalam
memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Hambatan yang pertama berkaitan dengan
peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang menyangkut
upaya pemberantasan korupsi mempunyai beberapa kelemahan yang terletak pada
substansi peraturan perundang-undangan, baik dari aspek isi maupun aspek teknik
pelaksanaannya, sehingga memungkinkan terjadinya ketimpangan dalam
pemberantasan korupsi.
Pendekatan yang paling ampuh dalam melawan korupsi di Indonesia. Pertama,
mulai dari meningkatkan standar tata pemerintahan melalui tata konstruksi integritas
nasional. Tata pemerintahan modern mengedepankan sistem tanggung gugat, dalam
tatanan seperti ini harus muncul pers yang bebas dengan batas-batas undang-undang
yang juga harus mendukung terciptanya tata pemerintahan dan masyarakat yang bebas
dari korupsi. Pengadilan yang merupakan bagian dari tata pemerintahan, yudikatif,
tidak lagi menjadi hamba penguasa. Namun, memiliki ruang kebebasan menegakkan
kedaulatan hukum dan peraturan. Dengan demikian akan terbentuk lingkungan
kebaikan yang memungkinkan seluruh pihak untuk melakukan pengawasan, dan pihak
lain diatasi. Namun, konsep ini penulis akui sangat mudah dituliskan atau dikatakan
daripada dilaksanakan. Setidaknya dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk
membangun pilar-pilar bangunan integritas nasional yang melakukan tugas-tugasnya
secara efektif, dan berhasil menjadikan tindakan korupsi sebagai perilaku yang beresiko
sangat tinggi dengan hasil yang sedikit. Konstruksi integritas nasional, ibarat Masjidil
Aqsa yang suci yang ditopang oleh pilar-pilar peradilan, parlemen, kantor auditor
negara dan swasta, ombudsman, media yang bebas dan masyarakat sipil yang anti
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Diatas bangunan nan suci itu ada pembangunan
ekonomi demi mutu kehidupan yang lebih baik, tatanan hukum yang ideal, kesadaran
public dan nilai-nilai moral yang kokoh memayungi integritas nasional dari rongrongan
korupsi yang menghambat pembangunan yang paripurna.
Kedua, hal yang paling sulit dan fundamental dari semua perlawanan terhadap
korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah bagaimana membangun kemauan politik
(poltical will). Kemauan politik yang dimaksud bukan hanya sekedar kemauan para
politisi dan orang-orang yang berkecimpung dalam ranah politik. Namun, ada yang
lebih penting sekedar itu semua. Yakni, kemauan politik yang termanifestasikan dalam
bentuk keberanian yang didukung oleh kecerdasan sosial masyarakat sipil atau warga
Negara dari berbagai elemen dan strata sosial. Sehingga jabatan politik tidak lagi
digunakan secara mudah untuk memperkaya diri, namun sebagai tanggung jawab untuk
mengelola dan bertanggung jawab untuk merumuskan gerakan mencapai kehidupan
berbangsa dan bernegara yang baik.
Proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim),
khususnya berkenaan dengan perkara korupsi di daerah-daerah dapat dikatakan telah
mengalami kemajuan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya. Namun, pengungkapan kasus korupsi, kolusi dan nepotisme ini seringkali
tidak diimbangi dengan penanganan yang serius, sehingga dalam proses peradilannya
penanganan kasus-kasus tersebut seringkali tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari dua hal, yaitu: (i) besarnya intervensi politik
dan kekuasaan, dan (ii) relatif lemahnya moral dan integritas aparat penegak hukum.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Petter Langseth mengungkapkan bahwa
setidak-tidaknya ada dua strategi yang dapat diterapkan untuk mengurangi intensitas
korupsi di daerah, yaitu:
1. Memutus serta merampingkan (streamlining) jaringan proses birokrasi yang
bernuansa primordial di kalangan penentu kebijakan, baik itu yang berada di
lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif, sehingga tata kerja dan penempatan
pejabat pada jabatan atau posisi-posisi tertentu benar-benar dapat dilaksanakan
secara akuntabel dan profesional serta dilaksanakan dengan pertimbangan
profesionalisme dan integritas moral yang tinggi;
2. Menerapkan sanksi pidana yang maksimal secara tegas, adil dan konsekuen tanpa
ada diskriminasi bagi para pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme dalam arti bahwa
prinsip-prinsip negara hukum benar-benar harus diterapkan secara tegas dan
konsekuen, terutama prinsip equality before the law;
3. Para penentu kebijakan, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang penegakan
hukum harus memiliki kesamaan visi, profesionalisme, komitmen, tanggungjawab
dan integritas moral yang tinggi dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi.
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Sandra. Andrew Shandy Utama. (2018). 17-Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
Indonesia Serta Perkembangan Ideologi Pancasila pada Masa Orde Lama, Orde Baru
dan Era Reformasi. Jurnal PPKn&Hukum. Vol. 13, No. 1 April 2018.)

Hocker dan Wilmot dalam Omisore, Bernard Oladosu Omisore and Ashimi Rashidat
Abiodun. 2014. Organizational Conflicts: Causes, Effects and Remedies.
International Journal of Academic Research in Economics and Management Sciences,
Vol. 3, No.6, November, 2014, p.122

Omisore, Bernard Oladosu Omisore and Ashimi Rashidat Abiodun, Organizational Conflicts:
Causes, Effects and Remedies, International Journal of Academic Research in
Economics and Management Sciences, Vol. 3, No. 6.November, 2014, p.122

Omisore, Bernard Oladosu Omisore and Ashimi Rashidat Abiodun. 2014. Organizational
Conflicts: Causes, Effects and Remedies. International Journal of Academic Research
in Economics and Management Sciences, Vol. 3, No. 6, November, 2014, p.
118-137 (118)

Anda mungkin juga menyukai