Anda di halaman 1dari 5

Adakah Syarat Khusus Melaporkan Kasus Penyebaran Konten Asusila?

Pertanyaan
Saya mau tanya syarat dan ketentuan apa saja untuk melapor kasus UU ITE Pasal 27
ayat (1)? Untuk alat bukti, apakah sama dengan KUHAP?

Ulasan Lengkap
 

Penyebaran Informasi dan/atau Dokumen Elektronik Bermuatan Asusila

Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) mengatur mengenai larangan
penyebaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik bermuatan asusila, yakni:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Ancaman pidana terhadap pelanggar diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU 19/2016, yaitu:
 
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
 
Untuk dapat dipidana berdasarkan pasal di atas, harus memenuhi unsur-unsur:
1. setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak;
2. mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik;
3. yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
 
Adakah Syarat dan Ketentuan Khusus Untuk Melapor Kasus UU ITE?
Definisi laporan dapat kita lihat di dalam Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), yaitu:
 
Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau
kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah
atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
 
Dari pengertian di atas, laporan merupakan suatu bentuk pemberitahuan kepada
pejabat yang berwenang bahwa telah ada atau sedang atau diduga akan terjadinya
sebuah peristiwa pidana/kejahatan. Artinya, peristiwa yang dilaporkan belum tentu
perbuatan pidana, sehingga dibutuhkan sebuah tindakan penyelidikan oleh pejabat
yang berwenang terlebih dahulu untuk menentukan perbuatan tersebut merupakan
tindak pidana atau bukan.[1] Orang yang melihat suatu tidak kejahatan memiliki
kewajiban untuk melaporkan tindakan tersebut.
 
Karena tindakan dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE merupakan tindak pidana, maka
ketentuan untuk melaporkan dugaan suatu tindak pidana tetap mengacu pada KUHAP.
 
Masih seputar laporan tindak pidana, Pasal 108 ayat (1) dan (6) KUHAP mengatur
sebagai berikut:
 
1. Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban
peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau
pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.
6. Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus
memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang
bersangkutan.
 
UU ITE dan perubahannya tidak mengatur secara khusus tentang pelaporan tindak
pidana terkait ITE, maka seseorang dapat melapor apabila mengalami, melihat,
menyaksikan dan atau menjadi korban dari peristiwa pidana yang diatur dalam UU ITE.
 
Yang diatur secara khusus dalam UU ITE dan perubahannya adalah mengenai
penanganan penyidikan. Adapun prosedur untuk menuntut secara pidana terhadap
tindak pidana yang diatur dalam UU ITE (dalam hal ini Pasal 27 ayat (1) UU ITE),
secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:[2]
1. Pihak yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban, datang
langsung membuat laporan kejadian kepada penyidik POLRI pada
unit/bagian Cybercrime atau kepada penyidik PPNS (“Pejabat Pegawai Negeri Sipil”)
pada Sub Direktorat Penyidikan dan Penindakan, Kementerian Komunikasi dan
Informatika. Selanjutnya, penyidik akan melakukan penyelidikan yang dapat dilanjutkan
dengan proses penyidikan atas kasus bersangkutan Hukum Acara Pidana dan
ketentuan dalam UU ITE.
2. Setelah proses penyidikan selesai, maka berkas perkara oleh penyidik akan
dilimpahkan kepada penuntut umum untuk dilakukan penuntutan di muka pengadilan.
Apabila yang melakukan penyidikan adalah PPNS, maka hasil penyidikannya
disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik POLRI.
 
Alternatif lain yang dapat dilakukan oleh mengalami, melihat, menyaksikan dan atau
menjadi korban (penyebaran informasi atau dokumen elektronik bermuatan asusila)
dapat membuat pengaduan melalui laman Aduan Konten dari Kementerian
Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Anda harus mendaftarkan diri sebagai
pelapor terlebih dahulu dengan mengisi beberapa kolom isian. Aduan yang dikirim
harus ada URL/link, screenshot tampilan serta alasannya. Semua laporan yang masuk
dan memenuhi syarat (terdapat link/url,screenshot dan alasannya) akan
diproses/ditindaklanjuti.
 
Selengkapnya mengenai tata cara pelaporan kasus pidana dalam UU ITE dapat Anda
simak dalam artikel Langkah Hukum Jika Dicemarkan Lewat Facebook.
 
Alat Bukti Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
Secara umum alat bukti yang berlaku sah adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 184
ayat (1) KUHAP, terdiri dari:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
 
Namun, alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam
UU ITE adalah, sebagai berikut:[3]
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalarn ketentuan Perundang-undangan (yaitu
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP); dan
b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) UU ITE dan perubahannya.
 
Berikut uraian tentang alat bukti lain yang dimaksud:
Pasal 1 angka 1 UU 19/2016 memberikan definisi informasi elektronik adalah satu
atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik
(electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode
Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya.[4]
 
Kemudian Pasal 1 angka 4 UU 19/2016 menjelaskan yang dimaksud dokumen
elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau
sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau
Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau
perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.[5]
 
Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3) UU ITE menyatakan bahwa bukti elektronik sah menurut
hukum, pasal tersebut berbunyi:
 
1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti hukum yang sah.
2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah
sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila
menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-
Undang ini.
 
Namun ketiga pasal di atas berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
20/PUU-XIV/2016 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas
permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang
ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat
(3) UU ITE dan perubahannya.
 
Maka dari itu, alat bukti hukum yang sah yaitu alat bukti yang diatur dalam Pasal 184
ayat (1) KUHAP dan alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik harus didapatkan dengan cara yang dibenarkan oleh hukum agar dapat
digunakan dalam proses pidana.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ;
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 .
 
Referensi:
Aduan Konten, diakses pada Rabu, 2 Januari 2019, pukul 14.30 WIB.
 

[1] Pasal 1 angka 5 KUHAP

[2] Pasal 42 UU ITE jo. Pasal 43 UU 19/2016 dan Pasal 102 s.d. Pasal 143 KUHAP

[3] Pasal 44 UU ITE

[4] Pasal 1 angka 1 UU 19/2016

[5] Pasal 1 angka 4 UU 19/2016

Anda mungkin juga menyukai