Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara
negara;
Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
Menyangkut kerugian keuangan negara paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Mengenai Gratifikasi
Didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling
lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar:
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
Sanksi
Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001
Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
B. WAJIB LAPOR
Penyelenggara Negara Yang Wajib Melaporkan Gratifikasi yaitu:
Berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, Bab II pasal 2, meliputi :
Duta Besar
Wakil Gubernur
Bupati / Walikota dan Wakilnya
Pejabat lainnya yang memiliki fungsi strategis :
Komisaris, Direksi, dan Pejabat Struktural pada BUMN dan BUMD
Pimpinan Bank Indonesia.
Pimpinan Perguruan Tinggi.
Pimpinan Eselon Satu dan Pejabat lainnya yang disamakan pada lingkungan Sipil dan Militer.
Jaksa
Penyidik.
Panitera Pengadilan.
Pimpinan Proyek atau Bendaharawan Proyek.
Pegawai Negeri
Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan No. 20
tahun 2001 meliputi :
BERITA TERKAIT
Siapa Berwenang Menyatakan Kerugian Negara? SEMA Pun Tak Mengikat
KPK Anggap Putusan Delik Tipikor Persulit Pemberantasan Korupsi
Begini Alasan MK Ubah Delik Tipikor
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima permohonan pengujian undang-undang (judicial review)
terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 UUNo. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UUNo. 20 Tahun 2001, melalui Putusan
No. 25/PUU-XIV/2016. Dalam putusan itu,MKmenyatakan bahwa frase “dapat” dalam Pasal 2 ayat
(1) dan Pasal 3 Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 bertentangan
dengan UUD1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Kemudian menjadi permasalahan hukum apakah adanya Putusan MKNo. 25/PUUXIV/ 2016 akan
menjadi solusi atas permasalahan penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999
yang ada ataukah sebaliknya akan menimbulkan permasalahan hukum baru?,” terang pengajar
ilmuhukum pada Universitas Bina Nusantara, Vidya Prahassacitta, dalam acara
diskusi Membongkar Putusan MK Tentang Pasal 2 dan3 UU Tipikor, beberapa waktu lalu di STIH
Jentera, Jakarta.
Menurut Vidya, secara historis, ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor ditujukan
kepada subjek yang merupakan seorang pegawai negeri atau pejabat publik yang memiliki
kekuasaan, meskipun dalam UU Tipikor dan perubahannya, tidak secara tegas menyatakan
demikian.
Hal ini sebagaimana diungkapkan Oemar SenoAdji, saat menjadi wakil Pemerintah dalam
pembahasan dengan DPRyangmenyatakan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf a dan b UU No.
3 Tahun 1971 harus ditujukan kepada pengawai negeri sipil atau kedudukan istimewa yang dimiliki
seseorang di dalam jabatan publik sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 1 UU No. 3
Tahun 1971.
Secara historis ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor berasal dari norma hukum yang
terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan huruf b UU No. 3 Tahun 1971 yang kemudian diadposi
kedalam UU Tipikor dengan melakukan sedikit perubahan pada beberapa frase.
Menurut Vidya, Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor memiliki tiga unsur,yaitu (a) memperkaya diri sendiri,
orang lain, atau korporasi; (b) melawan hukum; (c) dapat merugikan keuangan atau perekonomian
negara. Perbuatan yang dilarang dalam pasal tersebut adalah perbuatan yang memperkaya diri
sendiri, orang lain, atau korporasi dengan menggunakan sarana melawan hukum tanpa perlu
dibuktikan apakah dari perbuatannya tersebut timbul kerugian keuangan atau benar-benar
merugikan perekonomian negara.
Pasal tersebut merupakan delik formil (formeel delict)karena perbuatan yang hendak dipidana
adalah manifestasi dari perbuatan seorang pegawai negeri atau kedudukan seorang pejabat publik
yang secara tidak patut menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan segala
akibat hukumnya.
Sementara pada Pasal 3 UU Tipikor juga memiliki tiga unsur yaitu (a) dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi; (b) menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; (c)
dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Dari rumusan deliknya, Pasal ini ditujukan
kepada pegawai negeri atau pejabat publik yang memiliki kewenangan tertentu.
Menurut Vidya, Hal tersebut dapat ditasfirkan dari adanya unsur “menyalahgunakan kewenangan”
yang dimana frase tersebut secara inherent selalu menggandung sifat melawan hukum. Selain itu
dalam Penjelasan Pasal 1 ayat (1) huruf b UU No. 3 Tahun 1971 yang mengkaitkan unsur
menyalahgunakan kewenangan dengan ketentuan Pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHP), yang juga hanya berlaku bagi pegawai negeri.
Dalam Pasal ini harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa pegawai negeri atau pejabat publik tersebut
memiliki kewenangan untuk kemudian dibuktikan bahwa ada kewenangan yang diselewengkan
sebagai sarana dan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Sama halnya dengan
rumusan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, perumusan tindak pidana korupsi pada Pasal 3
UU No. 31 Tahun 1999 juga dirumuskan secara formil (formeel delict).
Vidya menegaskan, dalam penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tersebut
harus dipertimbangkan adanya kesengajaan dan kausalitas antara subjek tindak pidana, unsur
melawan hukum, dan unsur mempekaya diri sendiri atau orang lain. Harus ada hubungan kausalitas
yang nyata bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seorang pegawai negeri atau pejabat publik yang
dilakukan dengan sarana melawan hukum atau menyalahgunakan kewenanagan kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan tersebut mengakibatkanpegawai negeri
atau pejabat publik atau orang lain yang terkait tersebut memperoleh kekayaan yang tidak wajar.
Jika tidak bisa dibuktikan maka perbuatan tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak
pidana korupsi.
Dalam Penerapan
Pasca UU Tipikor diberlakukan, terdapat berbagai masalah hukum khususnya mengenai penerapan
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3. Beberapa permasalahan tersebut sebagai berikut:
1. Penerapan Subjek Tindak Pidana
Dalam praktiknya,Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor diterapkan kepada subjek tindak pidana korupsi dari
pihak non pegawai negeri atau pihak swasta, sedangkan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 diterapkan
kepada subjek tindak pidana korupsi dari pihak pegawai negeri atau pejabat umum. Seperti dalam
Putusan Mahkamah Agung No.334 K/Pid.Sus/2009, dimana Majelis Kasasi membatalkan putusan
Pengadilan Negeri Baturaja No. 146/Pid.B/2007/ PN.BTA yang menyatakan terdakwa terbukti
bersalah telah memenuhi dakwaan primair Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Ayat (2) (3) UU No. 31
Tahun 1999 sebagaimana dirubah UU No. 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, untuk
kemudian mengadili sendiri dengan menyatakan bahwa terdakwa terbukti telah memenuhi dakwaan
subsidair Pasal 3 Jo Pasal 18 Ayat (1) (2) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah UU No. 20
Tahun 2001.
Permasalahan terkait dengan penerapan unsur melawan hukum pada Pasal 2 ayat (1) UU No. 31
Tahun 1999 terletak pada permasalahan apakah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
pelaku dapat dikualifikasikan sebagai unsur melawan hukum dalam pengertian hukum pidana.
Pengertian melawan hukum “wederrechtelijk“ dalam hukum pidana sering dicampuradukan dengan
pengertian pengertian melawan hukum “onrechmatigedaad” dalam hukum perdata.
Akibatnya,perbuatan dipandang tercela dalam masyarakat yang seharusnya masih dalam area
hukum perdata kemudian dikualifikasikan sebagai melawan hukum dalam hukum pidana.
Contohnya dalam Putusan MANo. 936K/Pid.Sus/2009 dan Putusan Mahkamah Agung No. 417
K/Pid.Sus/2014.
3. Penerapan Unsur Memperkaya Diri Sendiri atau Orang Lain atau Badan
Akibat dari perumusan pasal yang luas tersebut perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
dengan menggunakan sarana melawan hukum mengakibatkan banyak perbuatan yang
sesungguhnya tidak masuk dalam kualifikasi tindak pidana korupsi dapat dimasukan dalam
rumusan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999. Salah satunya dalam Putusan MANo. 787 K/PID.
Sus/2014.
Selain itu, dalam unsur memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi secara tersirat terdapat
unsur kesalahan. Akibatnya,ketika pentutut umum atau hakim membuktikan unsur ini harus dapat
dibuktikan bahwa adanya niat jahat dari dari seorang pegawai negeri atau pejabat umum yang
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi tersebut. Akan tetapi hal tersebut tidak
dibuktikan sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung No. 417 K/Pid.Sus/2014, Majelis Hakim
Kasasi tidak membuktikan apakah perbuatan terdakwa Hotasi D.P Nababan yang memperkaya
orang lain atau korporasi yang dilakukan secara melawan hukum tersebut dilakukan dengan
keinsyafan untuk memperkaya orang lain atau badan.
Dalam praktik terdapat, adadua permasalahan yang timbul dari penerapan unsur ini.
Pertama,mengenai definisi dari keuangan negara atau perekonomian negara yang tidak jelas.
Kedua,mengenai perhitungan dan pembuktian dari kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara yang tidak ada standartnya.
Penjelasan umum UU No. 31 Tahun 1999 telah memberikan definisi yang panjang mengenai
keuangan negara dan perekonomian negara. Terkait dengan pengertian keuangan negara yang
berada dalam Penguasaan BUMN, masih terdapat silang pendapat apakah termasuk dalam
cakupan keuangan negara dalam kaitannya dengan
aspek hukum keuangan negara.
Terkait dengan permasalahan pembuktian kerugian negara maka mencakup siapa yang berwenang
untuk menerbitkan laporan mengenai kerugian negara tersebut. Sebelum adanya Putusan MkNo.
31/PUU-X/2012, perhitungan kerugian negara saat ini menjadi kewenangan dari Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) dan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai auditor negara.
Permasalahannya tidak ada standart mengenai bentuk audit dan bagaimana perhitungan kerugian
negara tersebut yang dapat di dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi.
Untuk lebih jelas permasalahan terkait penerapan pasal 2 dan 3 UU Tipikor dapat dilihat dari
putusan-putusan Mahkamah Agung sebagai berikut:
Menyalahgunakan
kewenangan sebagai Kepala
Bagian Keuangan Sekretariat
Mahkamah Agung No. 334
John Darwin Bin H. Malison, Daerah Kabupaten OKU
K/Pid.Sus/2009
Selatan yang merugikan
negara sebesar Rp.
743.649.816,-
TENTANG PUNGLI
Pungutan liar merupakan maladministrasi yang dilakukan oleh pejabat publik atau
penyelenggara pelayanan publik. Masyarakat dapat melakukan pengaduan pada
Ombudsman.
Selain itu, sejak berlakunya Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 Tentang
Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, pemberantasan kegiatan pungutan liar
dilakukan oleh Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber
Pungli). Masyarakat dapat berperan serta dalam pemberantasan pungutan liar, baik
secara langsung maupun tidak langsung melalui media elektronik atau non
elektronik, di antaranya melalui aplikasi LAPOR!
Bagaimana cara pelaporannya? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam
ulasan di bawah ini.
Pungutan Liar
Kegiatan mengurus akta kelahiran merupakan kegiatan pelayanan publik, karena dilakukan oleh
penyelenggara pemerintahan yang bertanggungjawab dan berwenang dalam urusan administrasi
kependudukan.[1]
Memang benar apa yang Anda katakan bahwa mengurus akta kelahiran tidak dipungut biaya
sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan (“UU 24/2013”). Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa penerbitan
Kutipan Akta Kelahiran tanpa dipungut biaya sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-
undangan.[2]
Pungutan liar (“pungli”) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”) yang kami akses
dari laman Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah meminta sesuatu
(uang dan sebagainya) kepada seseorang (lembaga, perusahaan, dan sebagainya) tanpa menurut
peraturan yang lazim.
Jika ada oknum pemerintahan yang memungut biaya dalam pengurusan akta kelahiran tersebut,
maka bisa disebut dengan pungutan liar karena bertentangan dengan peraturan yang lazim.
Pungutan tanpa dasar hukum yang sah dapat dikatakan sebagai kegiatan maladministrasi.
Maladministrasi
Maladministrasi menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia (“UU 37/2008”) diartikan sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum,
melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan
wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan
pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan
kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.[3]
Oleh karena itu, kegiatan pungli merupakan maladministrasi yang dilakukan oleh pejabat publik atau
penyelenggara pelayanan publik. Masyarakat dapat melakukan pengaduan
pada Ombudsman sebagai lembaga negara diberi wewenang oleh UU 37/2008 untuk menerima dan
menindaklanjuti laporan masyarakat terkait dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.[4]
Satgas Saber Pungli ini mempunyai tugas melaksanakan pemberantasan pungutan liar secara efektif
dan efisien dengan mengoptimalkan pemanfaatan personil, satuan kerja, dan sarana prasarana, baik
yang berada di kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah.[7]
a. intelijen;
b. pencegahan;
c. penindakan; dan
d. yustisi
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Satgas Saber Pungli mempunyaiwewenang:[9]
Menurut Menteri Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Asman
Abnur, dalam artikel Aplikasi LAPOR! Bila Anda Temui Pungli Oknum PNS, Pemerintah sudah
memiliki Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N) melalui aplikasi LAPOR!
Masyarakat bisa kapan saja dan di mana saja menyampaikan laporan secara cepat, antara lain
melalui kanal LAPOR! (lapor.go.id), SMS ke 1708, atau melalui media sosial Twitter @LAPOR1708,
atau melalui e-mail halomenpan@menpan.go.id.
Dasar hukum:
[1] Lihat Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU 24/2013”) jo.
Pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (“UU
25/2009”)
[2] Penjelasan Pasal 27 ayat (2) UU 24/2013
[3] Pasal 1 angka 3 UU 37 /2008
[4] Pasal 1 angka 1 jo Pasal 7 huruf a dan c UU 37/2008
[5] Pasal 1 Perpres 87/2016
[6] Pasal 5 Perpres 87/2016
[7] Pasal 2 Perpres 87/2016
[8] Pasal 3 Perpres 87/2016
[9] Pasal 4 Perpres 87/2016
[10] Pasal 8 ayat (1) dan (2) Perpres 87/2016
[11] Pasal 8 ayat (5) Perpres 87/2016
[12] Pasal 12 ayat (1) dan (2) Perpres 87/2016