Untuk mengatasinya, setidaknya dua upaya bisa diambil. Pertama, perbaikan tata kelola
partai mulai dari kaderisasi hingga pendanaan partai politik. Sumber utama merebaknya
korupsi tak berkesudahan oleh kepala daerah ada pada partai politik. Partai tidak
menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Mencuatnya politik berbiaya tinggi acap kali
terjadi karena partai tak ubahnya sebagai mesin pengumpul dana jelang pemilu. Alhasil,
partai dikelola tidak demokratis, kader instan bermunculan dengan modalitas besar bisa
menyingkirkan kader potensial dari internal partai.
Kandidat yang berani memberikan mahar politik besar akan diajak bergabung dan
diutamakan dalam kontestasi elektoral. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas masih
menjadi catatan utama bagi tata kelola keuangan partai politik yang harus dibenahi.
Kedua, penguatan sistem pengawasan dalam proses pengadaan barang dan jasa melalui
keterbukaan informasi dan data yang mudah diakses oleh masyarakat. Meski saat ini
penerapan sistem pengadaan elektronik sudah dilakukan, namun masih terdapat sejumlah
informasi dan data yang sulit diakses oleh masyarakat. Dengan penguatan transparansi dan
akuntabilitas memberikan ruang bagi semua pihak untuk mengawasi pengadaan. Terakhir,
yang tidak kalah penting dalam upaya mengatasi korupsi kepala daerah dengan mendorong
aparat penegak hukum berani menjerat partai politik apabila terbukti melakukan korupsi
seperti halnya pemidanaan korupsi yang melibatkan korporasi.
2. A. Patut untuk dicatat, kasus seperti ini bukan kali pertama terjadi, pada akhir tahun 2020
lalu, seorang mahasiswa di Universitas Negeri Semarang juga menerima skorsing selama 6
bulan setelah melaporkan rektor kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kejadian ini
sungguh sangat disayangkan, sebab, ke depan masyarakat akan selalu merasa dalam
ancaman ketika ingin melaporkan dugaan tindak pidana korupsi ke aparat penegak hukum.
Sebagaimana diketahui, peran serta masyarakat dalam melaporkan dugaan korupsi telah
dilindungi sejumlah peraturan perundang-undangan. Masyarakat memiliki hak untuk
menjalankan fungsi kontrol terhadap kinerja para penyelenggara negara. Hal ini dilakukan
agar memastikan penyelenggaran negara dapat berjalan bersih dan bebas dari korupsi.
Setidaknya terdapat tiga peraturan perundang-undangan yang menjamin peran serta
masyarakat, antara lain, Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK), Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018
tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adanya tiga regulasi di atas setidaknya menunjukkan bahwa negara menjamin keamanan
masyarakat ketika melapor kasus korupsi. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan Konvensi
Persatuan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi (United Nation Convention Against Corruption,
UNCAC), tepatnya Pasal 13 yang mengamanatkan kepada setiap negara peserta, termasuk
Indonesia, agar meningkatkan partisipasi aktif dari perseorangan maupun kelompok di luar
sektor publik dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Merujuk pada persoalan tersebut dan kaitannya dengan penetapan tersangka terhadap
Nurhayati, ada sejumlah isu yang perlu dicermati. Pertama, pelapor tidak dapat dituntut
secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporannya. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1)
dan (2) UU PSK menegaskan bahwa jika ada tuntutan hukum terhadap pelapor atas
laporannya tersebut, maka tuntutan hukum itu wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan
telah diputus oleh Pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap. Atas dasar ini,
seharusnya Polres Cirebon tidak kemudian gegabah dalam mengambil langkah untuk
menetapkan Nurhayati sebagai tersangka atas inisiatifnya melaporkan dugaan korupsi.
Pada umumnya kode etik profesi itu mencangkup tiga hal, yaitu mengatur tentang
independensi, integritas dan profesionalisme yang harus dipatuhi dan dipedomani oleh
seluruh anggota profesi yang bersangkutan dari semua level atau jabatan. Independensi
mewajibkan anggota profesi untuk berperilaku dan bertidak obyektif, bebas dari pengaruh
dan tekanan pihak lain, dan menghindarkan diri dari konflik kepentingan. Jika ia seorang
pejabat publik/ negara maka ia tidak boleh berafiliasi kepada partai politik dan atau
melakukan tindakan yang bernuansa atau bermuatan politis untuk kepentingan pribadi,
kelompok atau golongan.
Integritas, anggota profesi diwajibkan bekerja dengan penuh pengbdian, menjaga diri dari
perbuatan tercela, menjaga nama baik dan martaban organisasi, bangsa dan negara, tidak
melakukan perbuatan yang merugikan profesi, dan tidak menjual rahasia organisasi untuk
kepentingan pribadi.
Hukuman ini dibagi dalam 3 jenis hukuman, yaitu teguran lisan, teguran tertulis,
dan pernyataan tidak puas. Adapun pejabat yang berwewenang untuk
menjatuhkan hukuman disiplin tingkat ringan sebagai berikut:
a. Menteri
Bagi PNS struktural eselon II, fungsional tertentu jenjang Madya, dan
fungsional umum golongan ruang IV/A hingga golongan ruang IV/C di
lingkungannya;
Bagi PNS struktural eselon III, fungsional tertentu jenjang muda dan
penyelia, dan fungsional umum golongan ruang III/C, serta golongan ruang
III/D di lingkungannya;
Bagi PNS fungsional tertentu jenjang pelaksana dan pelaksana pemula, dan
fungsional umum golongan ruang II/A, serta golongan ruang II/B di
lingkungannya.
Khusus bagi sanksi disiplin berupa penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama
satu tahun, kewenangan pemberian sanksi hanya diberikan oleh Menteri sebagai
Pejabat Pembina Kepegawaian tertinggi dalam suatui lembaga.
Sedangkan untuk dua jenis hukuman disiplin tingkat sedang lainnya, diberikan oleh
bebrapa pejabat yang berwewenang menjatuhkan hukuman. Diantaranya sebagai
berikut:
a. Menteri
Untuk PNS struktural eselon III, fungsional tertentu jenjang muda dan
penyelia, serta fungsional umum golongan ruang III/B sampai dengan III/D di
lingkungannya;
Untuk PNS struktural eselon IV, fungsional tertentu jenjang pertama dan
pelaksana lanjutan, dan fungsional umum golongan ruang II/C sampai
dengan golongan ruang III/B di lingkungannya;
Untuk PNS fungsional umum golongan ruang I/A sampai dengan golongan
ruang I/D.
Untuk pemberian sanksi disiplin berupa penurunan pangkat setingkat lebih rendah
selama tiga tahun, wewenang penjatuhan hukuman disiplin berada pada Menteri.
Sedangkan untuk jenis sanksi lainnya, pejabat yang berwenang menjatuhkan hukum
bagi PNS ialah yang menduduki jabatan struktural eselon I, yaitu Presiden.
Sementara, untuk seluruh PNS lainnya kewenangannya berada pada Menteri.