Anda di halaman 1dari 7

Tugas Hukum Pemerintahan Daerah

Analisis Kasus Mengenai Pelanggaran / Penyalahgunaan Kewenangan oleh DPRD


Provinsi / Kabupaten / Kota

Disusun Oleh :

Leonardus Eka S. P. Manao (19010000264)

Kelas E Semester III (Tiga)

Fakultas Hukum

Universitas Merdeka Malang

2020
Analisis Kasus Mengenai Pelanggaran / Penyalahgunaan Kewenangan oleh 14
Mantan Anggota DPRD Sumut Segera Dimejahijaukan

Jakarta, Beritasatu.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah merampungkan


penyidikan kasus dugaan suap terkait fungsi dan kewenangan DPRD Sumatera Utara
(Sumut) yang menjerat 14 mantan anggota DPRD Sumut. Belasan mantan legislator itu,
yakni Sudirman Halawa, Rahmad Pardamean Hasibuan, Nurhasanah, Megalia Agustina,
Ida Budiningsih, Ahmad Hosein Hutagulung. Kemudian, Syamsul Hilal, Robert
Nainggolan, Ramli, Mulyani, Layani Sinukaban, Japorman Saragih, Jamaluddin
Hasibuan, serta Irwansyah Damanik.

Plt Jubir KPK, Ali Fikri mengatakan, berkas penyidikan ke-14 mantan anggota DPRD
Sumut itu telah dinyatakan lengkap atau P21. Berkas perkara para mantan wakil rakyat
yang diduga menerima suap dari mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho tersebut
telah dilimpahkan ke tahap penuntutan atau tahap II.

"Hari ini setelah berkas perkara dinyatakan lengkap (P21) Penyidik KPK melaksanakan
tahap II atau penyerahan tersangka dan barang bukti kepada JPU KPK dalam perkara
dugaan TPK memberi /menerima hadiah terkait fungsi dan kewenangan anggotaDPRD
Provinsi Sumut periode 2009-2014 dan /atau 2014-2019," kata Ali, dalam keterangannya,
Rabu (18/11/2020).

Dengan pelimpahan berkas ini, tim Jaksa Penuntut Umum KPK memiliki waktu 14 hari
kerja untuk menyusun surat dakwaan terhadap ke-14 mantan anggota DPRD Sumut.
Nantinya surat dakwaan akan dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Medan untuk
disidangkan.

"Rencana persidangan akan dilaksanakan di PN Tipikor Medan," kata Ali.

Dikatakan, penahanan para tersangka tersebut akan menjadi kewenangan JPU selama
20 hari terhitung sejak 18 November 2020 sampai dengan 7 Desember 2020. Saat ini,
masing-masing tersangka tetap ditahan di rutan cabang KPK seperti saat penahanan
pertama oleh penyidik KPK.

"Selama proses penyidikan, telah diperiksa 57 saksi di antaranya Gatot Pujo Nugroho
(mantan Gubernur Sumut) dan beberapa mantan anggota DPRD Sumut," katanya.

Diberitakan, KPK menetapkan 14 anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 dan atau
periode 2014-2019 sebagai tersangka kasus dugaan suap dari mantan Gubernur
Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho. Belasan mantan legislator yang kini menyandang
status tersangka itu, yakni Sudirman Halawa, Rahmad Pardamean Hasibuan,
Nurhasanah, Megalia Agustina, Ida Budiningsih, Ahmad Hosein Hutagalung, Syamsul
Hilal, Robert Nainggolan, Ramli, Mulyani, Layani Sinukaban, Japorman Saragih,
Jamaluddin Hasibuan, dan Irwansyah Damanik.

Para tersangka diduga menerima suap dari Gatot selaku Gubernur Sumut ketika itu
terkait fungsi dan kewenangan mereka sebagai wakil rakyat. Uang yang diterima 14
tersangka dari Gatot itu terkait dengan persetujuan laporan pertanggungjawaban
Pemprov Sumut tahun anggaran 2012 sampai dengan 2014 dan persetujuan perubahan
APBD Provinsi Sumatera Utara tahun anggaran 2013 dan 2014.

Selain itu, para legislator ini juga diduga menerima suap terkait pengesahan APBD
Provinsi Sumatera Utara tahun anggaran 2014 dan 2015 serta penolakan penggunaan
hak interpelasi oleh DPRD Sumatera Utara pada 2015. Dalam proses penyidikan sejauh
ini, KPK telah menyita uang pengembalian dari para tersangka dan saksi senilai total Rp
3,7325 miliar.

Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, 14 Anggota DPRD Sumut tersebut
disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU 31/1999
sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi juncto Pasal 64 Ayat (1) dan Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Analisis Kasus :

Dari penjelasan kasus yang terjadi diatas sebenarnya analisisnya sudah begitu
sangat jelas dipaparkan, baik dari segi pengambilan konklusi dari pihak yang terkait
maupun penyelesaian masalah yang dilakukan terhadap pelaku tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh 14 anggota DPRD Sumatera Utara. Namun, disini saya sebagai
mahasiswa hukum yang dituntut untuk menelaah serta mengkritisi sesuatu, saya akan
mencoba memperjelas pemahaman sebagaimana yang telah dipaparkan diatas.

Masalah korupsi di Indonesia saat ini sungguh sangat memprihatinkan, bukan


hanya hal-hal yang besar saja yang menjadi objek korupsi, bahkan hal-hal kecil pun
memiliki peluang munculnya korupsi. Hal ini tentunya membuat banyak warga
masyarakat cemas dan resah. Hal ini juga pasti menyebabkan kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah menjadi berkurang dan menurun. Pihak yang diberi tanggung jawab
malah menyelewengkan dana untuk kepentingan pribadi mereka. Dengan bertambahnya
korupsi, maka bertambah pula kekecewaan masyarakat

Pada dasarnya, Penyebab seorang melakukan korupsi adalah lemahnya


pendidikan agama, moral, dan etika serta disebabkan oleh beberapa factor lainnya. Dari
faktor penyebab korupsi tersebut menimbulkan akibat hukum yang harus
dipertanggungjawabkan. Sebagaimana yang telah diatur di dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan
bahwa korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian Negara. Namun, dari segi penyelesaian masalah
yang dilakukan oleh pihak KPK dan pihak penyidik hanya menggunakan beberapa pasal
saja yakni Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU 31/1999 sebagaimana telah
diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal
64 Ayat (1) dan Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Padahal masih begitu banyak sebenarnya
pasal yang dapat dijera kepada para pelaku yang dikategorikan sebagai penerima suap
hasil korupsi dari mantan Gubernur Sumatera Utara itu yakni Gatot Pujo Nugroho.
Walaupun dari 14 anggota DPRD tersebut hanya sebagai penerima suap, akan tetapi
mereka dapat dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana korupsi karena secara tidak
langsung mereka sudah menggunakan uang negara tanpa tujuan yang jelas. Dengan hal
ini, saya menilai pihak penyidik maupun pihak dari KPK ada sesuatu yang perlu
pertanyakan entah itu kongkalikong dari pihak DPRD setempat atau dari mantan
Gubernur tersebut.

Selama ini, korupsi merupakan kejahatan yang deringkali dianggap enteng oleh
pejabat-pejabat yang memiliki kekuasaan tertentu. Tanpa bisa dipungkiri, korupsi di
Indonesia memang sudah terbilang sangat parah, sehingga memaksa pemerintah untuk
membentuk suatu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tingkat korupsi di Indonesia
sudah termasuk tinggi setiap tahunnya, mulai dari pejabat kota, provinsi maupun negara.
Hal ini sangat memprihatinkan, pejabat yang seharusnya mengayomi masyarakat malah
tidak memenuhi janji-janji yang telah dibuatnya.

Korupsi yang menjadi-jadi mencerminkan etika sosial politik, karena ketika


seorang pejabat melakukan korupsi, maka pejabat lain yang terkait korupsi akan
melindungi dengan tak tik politiknya agar mereka tidak terjerat, lalu masuk penjara
bersama. Bahkan hukum pun seakan akan menyelamatkan koruptor dan kurang tegas
menghadapi tikus-tikus berdasi tersebut.

Sejatinya juga, pengaturan pidana dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal
413-437 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disingkat menjadi KUHP, selain itu
ada juga peraturan lain yang mengatur tentang tindak pidana korupsi diluar KUHP yaitu
yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Pertanggungjawaban pidana dalam delik korupsi lebih luas dari
hukum pidana umum. Hal itu nyata dalam hal, kemungkinan penjatuhan pidana secara
in absentia seperti yang terdapat dalam Pasal 23 ayat 1 sampai ayat 4 UndangUndang
Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 38 ayat
1, 2 ,3 dan 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Perampasan barang- barang yang telah disita bagi terdakwa yang telah
meninggal dunia sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah lagi seperti yang terdapat
dalam Pasal 23 ayat 5 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 38 ayat 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahkan kesempatan banding tidak ada.
Perumusan delik dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang sangat luas ruang lingkupnya, terutama yang terdapat dalam Pasal
1 ayat 1 butir a dan b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pemeriksaan terhadap tindak pidana korupsi dapat dilakukan melalui persidangan


dan pemberian putusan juga dapat dilakukan tanpa kehadiran terdakwa sesuai dengan
ketentuan Pasal 23 ayat 1 sampai dengan 4 UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 38 ayat 1, 2, 3, dan 4 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Begitu
pula bagi orang yang sudah meninggal sebelum adanya putusan, tidak bisa diubah lagi,
yang diduga telah melakukan korupsi, hakim atas tuntutan penuntut umum, dapat
menuntaskan perampasan barang-barang yang telah disita (Pasal 23 ayat 5 ).

Secara lebih rinci, saya kemudian mengumpulkan beberapa pasal didalam UU


ataupun PerDa dimana pelaku dapat dijerat dengan ketentuan :

1. Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang


Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
2. Undang-undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi
3. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
selanjutnya disempurnakan dengan UU No. 20 Tahun 2001
4. UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
5. Keputusan Presiden RI No. 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi
Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretariat Jenderal Komisi
Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara

Dari ketentuan-ketentuan yang saya rinci diatas, kemudian saya dapat


mengambil suatu pemahaman ketika membandingkan pasal-pasal yang saya
rangkum bahwa pihak penyidik dari KPK masih belum efektif dalam memutuskan
suatu perkara karena pasal-pasal yang dijerat kepada para pelaku masih belum
begitu maksimal sekali sehingga membuat paradigma buruk bagi kaum awam
termasuk saya bahwasanya pihak dari KPK hanya asal menyidik sesuatu. Dengan
demikian, lagi-lagi perlu ditekankan bahwa ini adalah suatu tantangan sekaligus
ancaman bagi kita semua. Dalam hal ini dari sisi strategi pemberantasan korupsi,
secara logis dapat dikatakan bahwa tata kelola yang baik dapat mencegah
terjadinya korupsi.

Indonesia sebagai negara hukum dengan sedemikian banyak aturan


hukum yang berlaku seolah-olah menjadi tidak berdaya saat harus berhadapan
dengan tindak pidana korupsi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai indikator, salah
satunya adalah lambatnya penanganan tindak pidana korupsi sehingga korupsi
kemudian mengakar sedemikian kuat dalam berbagai lapisan masyarakat.
Korupsi tidak hanya berdampak terhadap satu aspek kehidupan saja. Korupsi
menimbulkan efek domino yang meluas terhadap eksistensi bangsa dan negara.
Meluasnya praktik korupsi di suatu negara akan memperburuk kondisi ekonomi
bangsa. Permasalahan korupsi adalah permasalahan bersama bangsa Indonesia
yang membutuhkan upaya dan partisipasi dari setiap lapisan masyarakat. Harus
ada kerja sama yang baik antar anggota masyarakat untuk ikut aktif
menanggulangi korupsi. Berdasarkan hasil riset, cara yang bersifat preventif
terbukti lebih efektif dalam mencegah terjadinya tindak pidana korupsi karena
dengan adanya benteng berupa karakter anti koruptif maka dapat mencegah
seseorang melakukan korupsi meskipun berada dalam lingkungan yang terbiasa
dengan perilaku koruptif, hal ini dapat dicapai salah satunya melalui pendidikan
anti korupsi sejak dini.

Anda mungkin juga menyukai