Disusun Oleh :
Fakultas Hukum
2020
Analisis Kasus Mengenai Pelanggaran / Penyalahgunaan Kewenangan oleh 14
Mantan Anggota DPRD Sumut Segera Dimejahijaukan
Plt Jubir KPK, Ali Fikri mengatakan, berkas penyidikan ke-14 mantan anggota DPRD
Sumut itu telah dinyatakan lengkap atau P21. Berkas perkara para mantan wakil rakyat
yang diduga menerima suap dari mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho tersebut
telah dilimpahkan ke tahap penuntutan atau tahap II.
"Hari ini setelah berkas perkara dinyatakan lengkap (P21) Penyidik KPK melaksanakan
tahap II atau penyerahan tersangka dan barang bukti kepada JPU KPK dalam perkara
dugaan TPK memberi /menerima hadiah terkait fungsi dan kewenangan anggotaDPRD
Provinsi Sumut periode 2009-2014 dan /atau 2014-2019," kata Ali, dalam keterangannya,
Rabu (18/11/2020).
Dengan pelimpahan berkas ini, tim Jaksa Penuntut Umum KPK memiliki waktu 14 hari
kerja untuk menyusun surat dakwaan terhadap ke-14 mantan anggota DPRD Sumut.
Nantinya surat dakwaan akan dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Medan untuk
disidangkan.
Dikatakan, penahanan para tersangka tersebut akan menjadi kewenangan JPU selama
20 hari terhitung sejak 18 November 2020 sampai dengan 7 Desember 2020. Saat ini,
masing-masing tersangka tetap ditahan di rutan cabang KPK seperti saat penahanan
pertama oleh penyidik KPK.
"Selama proses penyidikan, telah diperiksa 57 saksi di antaranya Gatot Pujo Nugroho
(mantan Gubernur Sumut) dan beberapa mantan anggota DPRD Sumut," katanya.
Diberitakan, KPK menetapkan 14 anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 dan atau
periode 2014-2019 sebagai tersangka kasus dugaan suap dari mantan Gubernur
Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho. Belasan mantan legislator yang kini menyandang
status tersangka itu, yakni Sudirman Halawa, Rahmad Pardamean Hasibuan,
Nurhasanah, Megalia Agustina, Ida Budiningsih, Ahmad Hosein Hutagalung, Syamsul
Hilal, Robert Nainggolan, Ramli, Mulyani, Layani Sinukaban, Japorman Saragih,
Jamaluddin Hasibuan, dan Irwansyah Damanik.
Para tersangka diduga menerima suap dari Gatot selaku Gubernur Sumut ketika itu
terkait fungsi dan kewenangan mereka sebagai wakil rakyat. Uang yang diterima 14
tersangka dari Gatot itu terkait dengan persetujuan laporan pertanggungjawaban
Pemprov Sumut tahun anggaran 2012 sampai dengan 2014 dan persetujuan perubahan
APBD Provinsi Sumatera Utara tahun anggaran 2013 dan 2014.
Selain itu, para legislator ini juga diduga menerima suap terkait pengesahan APBD
Provinsi Sumatera Utara tahun anggaran 2014 dan 2015 serta penolakan penggunaan
hak interpelasi oleh DPRD Sumatera Utara pada 2015. Dalam proses penyidikan sejauh
ini, KPK telah menyita uang pengembalian dari para tersangka dan saksi senilai total Rp
3,7325 miliar.
Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, 14 Anggota DPRD Sumut tersebut
disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU 31/1999
sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi juncto Pasal 64 Ayat (1) dan Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Analisis Kasus :
Dari penjelasan kasus yang terjadi diatas sebenarnya analisisnya sudah begitu
sangat jelas dipaparkan, baik dari segi pengambilan konklusi dari pihak yang terkait
maupun penyelesaian masalah yang dilakukan terhadap pelaku tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh 14 anggota DPRD Sumatera Utara. Namun, disini saya sebagai
mahasiswa hukum yang dituntut untuk menelaah serta mengkritisi sesuatu, saya akan
mencoba memperjelas pemahaman sebagaimana yang telah dipaparkan diatas.
Selama ini, korupsi merupakan kejahatan yang deringkali dianggap enteng oleh
pejabat-pejabat yang memiliki kekuasaan tertentu. Tanpa bisa dipungkiri, korupsi di
Indonesia memang sudah terbilang sangat parah, sehingga memaksa pemerintah untuk
membentuk suatu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tingkat korupsi di Indonesia
sudah termasuk tinggi setiap tahunnya, mulai dari pejabat kota, provinsi maupun negara.
Hal ini sangat memprihatinkan, pejabat yang seharusnya mengayomi masyarakat malah
tidak memenuhi janji-janji yang telah dibuatnya.
Sejatinya juga, pengaturan pidana dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal
413-437 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disingkat menjadi KUHP, selain itu
ada juga peraturan lain yang mengatur tentang tindak pidana korupsi diluar KUHP yaitu
yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Pertanggungjawaban pidana dalam delik korupsi lebih luas dari
hukum pidana umum. Hal itu nyata dalam hal, kemungkinan penjatuhan pidana secara
in absentia seperti yang terdapat dalam Pasal 23 ayat 1 sampai ayat 4 UndangUndang
Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 38 ayat
1, 2 ,3 dan 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Perampasan barang- barang yang telah disita bagi terdakwa yang telah
meninggal dunia sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah lagi seperti yang terdapat
dalam Pasal 23 ayat 5 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 38 ayat 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahkan kesempatan banding tidak ada.
Perumusan delik dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang sangat luas ruang lingkupnya, terutama yang terdapat dalam Pasal
1 ayat 1 butir a dan b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.