Anda di halaman 1dari 7

Latar belakang

Tindak pidana korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan
tindak pidana lain di berbagai belahan dunia. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat
dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Dampak yang ditimbulkan dapat
menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana
ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan
pembangunan sosial ekonomi dan juga politik, serta dapat merusak nilai nilai demokrasi
dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya. Korupsi
merupakan ancaman terhadap cita- cit a menuju masyarakat adil dan makmur.
Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang
sangat menarik untuk dikaji, apalagi dalam situasi seperti sekarang ini, dimana ada indikasi
yang mencerminkan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Tuntutan akan
pemerintahan yang bersih semakin keras, menyusul krisisi ekonomi akhir-akhir ini. Hal ini
sungguh masuk akal, sebab kekacauan ekonomi saat ini merupakan ekses dari buruknya
kinerja pemerintahan di Indonesia dan praktik korupsi inilah yang menjadi akar masalah.
Masalah korupsi bukan lagi masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi bagi suatu
negara karena masalah korupsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, baik di negara maju
maupun di negara berkembang termasuk juga di Indonesia. Korupsi telah merayap dan
meyelinap dalam berbagai bentuk, atau modus operandi sehingga menggerogoti keuangan
negara, perekonomian negara dan merugikan kepentingan masyarakat.
Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Baik dari jumlah
kasus yang terjadi maupun jumlah kerugian keuangan negara. Kualitas tindak pidana
korupsi yang dilakukan juga semakin sistematis dengan lingkup yang memasuki seluruh
aspek kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor utama
penghambat keberhasilan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur
sebagaiman diamanatkan oleh Undang-Undang dalam memberantas korupsi. Korupsi juga
semakin memperburuk citra pemerintah di mata masyarakat yang tercermin dalam bentuk
ketidakpercayaan dan ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum, bila tidak ada perbaikan
yang berarti, maka kondisi tersebut sangat membahayakan kelangsungan hidup bangsa.
Salah satu agenda reformasi yang dicanangkan oleh para reformis adalah memberantas
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Pada waktu digulirkannya reformasi ada suatu
keyakinan bahwa peraturan perundangan yang dijadikan landasanlandasan untuk
memberantas korupsi dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini
tersebut dapat di lihat dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor XI/ MPR / 1998 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor VIII / MPR/ 2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijaksanaan
Pemberantasaan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan butir c konsideran
Undang undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang dinyatakan sebagai berikut : Bahwa undang undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam
mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.

Tindak lanjut dari TAP MPR RI No. XI/MPR/1998, maka telah disahkan dan diundangkan
beberapa peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum untuk melakukan
pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi. Upaya tersebut diawali dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Konsideran Undang-Undang tersebut
menjelaskan bahwa praktek korupsi, kolusi dan nepotisme tidak hanya dilakukan antara
Penyelenggara Negara melainkan juga antara Penyelenggara Negara dengan pihak lain.
Hal tersebut dapat merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara
serta membahayakan eksistensi Negara, sehingga diperlukan landasan hukum untuk
pencegahannya.
Perbaikan di bidang legislasi juga diikuti dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 sebagai penyempurnaan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun1971 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Konsideran Undang-Undang tersebut secara tegas
menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan Keuangan Negara atau
Perekonomian Negara dan menghambat pembangunan sosial, sehingga harus diberantas
dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 disempurnakan kembali dan diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Penyempurnaan ini dimaksud untuk lebih
menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan
perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan yang adil
dalam memberantas tindak pidana korupsi. Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi
di tengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman yang nyata yang pasti akan terjadi,
yaitu dampak dari kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai
permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui
keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi
yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum.

Kasus PELINDO III mengacu pada 5W 1H


What Apa yang menyebabkan terjadinya korupsi ? Menurut pendapat dari penulis bahwa
korupsi terjadi dikarenakan ketidak puasan diri terhadap apa yang sudah dimiliki.
Who Siapa pelaku dari tindak korupsi pada PELINDO III ? Mantan Direktur Utama PT
Pelindo III djarwo surjanto ditetapkan jadi tersangka oleh Tim Sapu Bersih Pungutan Liar
(Saber Pungli) Bareskrim Mabes Polri di Mapolres Pelabuhan Tanjung Perak terkait kasus
dugaan pungutan liar (pungli) di wilayah Pelindo III Surabaya. (sumber :
http://news.okezone.com/read/2016/11/11/519/1538639/tersangkut-kasus-pungli-mantandirut-pelindo-iii-ditetapkan-sebagai-tersangka )
When Kapan terjadi pungli pada kasus PELINDO III ? Pungli di wilayah Terminal Petikemas Surabaya
terjadi sejak 2004 lalu. Pungli tersebut dilakukan kepada truk yang memuat barang impor (sumber :
http://regional.kompas.com/read/2016/11/11/13205241/eks.dirut.pelindo.iii.jadi.tersangka.kasus.pungli
.pelabuhan.tanjung.perak )
Where Dimana terjadi kasus pungli pada PELINDO III ? di wilayah Terminal Petikemas

Surabaya.
Why Mengapa bisa terjadi pungli pada PELINDO III ? bobroknya mental para petinggi
selaku tersangka yang menerima pemberian gratifikasi, Apa itu gratfikasi, gratifikasi dapat
diartikan sebagai segala macam pemberian baik dalam bentuk uang atau barang dari
masyarakat yang diberikan kepada pejabat negara dalam rangka kepentingan yang ada
kaitannya dengan jabatan dari pejabat tersebut. Sederhananya gratifikasi diberikan kepada
seseorang karena seseorang tersebut memiliki pengaruh atau kewenangan terkait dengan
kepentingan dari si pemberi. (sumber : https://www.pelindo.co.id/media/beritaterkini/q/gratifikasi-apa-bagaimana-dan-apa-saja-jenisnya )
How Bagaimana cara mencegah pungli atau gratifikasi ? diberlakukannya hukuman bagi
para penerima gratifikasi atau pelaku pungli, Menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2001
tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
tindak pidana korupsi pelaku 319 Pasal 13 disebutkan bahwa Pemberi gratifikasi dapat
dihukum pidana penjara hinga seumur hidup. Jika dalam kasus PELINDO III cara
pencegahannya adalah dengan cara dibentuknya Unit Pengendali Gratifikasi (UPG).
(sumber : https://www.pelindo.co.id/media/berita-terkini/q/gratifikasi-apa-bagaimana-danapa-saja-jenisnya )

Kronologi kasus pada PELINDO III


Jakarta - Mabes Polri merilis penangkapan RS, yang menjabat Direktur Operasional dan
Pengembangan Bisnis PT Pelindo III, Selasa (1/11) siang di Surabaya.
Menurut Dir Tipideksus Brigjen Agung Setya kasus ini terungkap saat tim Satgas Dwelling
Time Bareskrim mendapat informasi adanya pungli terhadap kontainer yang dilakukan PT
Angkara.
"Lalu Direktur PT A, AH, sudah kita tangkap dua minggu yang lalu. Ini adalah perusahaan
topeng. Mereka beroperasi seakan-akan resmi. Kontainer yang masuk di Surabaya harus
serahkan bayar Rp 500 ribu/kontainer pada mereka ," kata Agung dalam rilis di Jakarta
Selatan, Rabu (2/11).
PT Angkara ini mengganggu karena setiap kontainer yang keluar dari Tanjung Perak tidak
bisa keluar kalau belum bayar uang pada PT Angkara yang ternyata dibentuk oleh RS.
"Sebelum menangkap AH, ada laporan pengusaha di Jawa Timur. PT A mengumpulkan Rp
3-4 miliar perbulan dan membagikan ke pihak- pihak tertentu. Ini perkembangan kejahatan,
seolah-olah kutipan ini legal," sambungnya.
Agung menambahkan bila sebelum membekuk AH pihaknya menginterogasi pemilik
kontainer pada 20 Oktober lalu. Saat itu, pada CV CP, pemilik kontainer,
ditemukan invoice dari PT A senilai Rp 1,381 juta.
"Invoice itu untuk membayar tiga kontainer. Dua kontainer sudah terbit Surat Perintah
Pengeluaran Barang (SPPB) dan 1 kontainer masih di Singapura," imbuh Agung.
Pembayaran dilakukan melalui cara transfer ke rekening pribadi AH di bank swasta. Setelah
membayar, kontainer itu mendapat segel botol PT A dan juga stiker karantina.
"Inilah pungli PT A yang tidak ada dasar hukumnya. PT A tidak berhak mengeluarkan segel
botol dan ini berpengaruh pada dwelling time," sambung Agung.
Dari rekening AH disita sejumlah akun bank dengan saldo sekitar Rp 10 miliar. Saat
digeledah, polisi menemukan uang cash sebesar Rp 500 juta di kantor PT A. Juga ada
laptop dan pembukuan perusahaan yang sudah ada sejak 2014 itu.
Dari rekening AH itu diketahui sudah ada yang ditransfer ke rekening milik DH yang dikuasai
oleh RS. Total ada Rp 3,9 miliar dana yang pernah mengalir ke RS. Di ruang kerja RS juga
ditemukan Rp 630 juta.
Kedua tersangka dijerat Pasal 368 KUHP tentang pemerasan, UU Karantina, UU Korupsi,
dan UU TPPU. (sumber : http://www.beritasatu.com/hukum/396784-kasus-pelindo-iii-polri-ptankara-dibuat-oleh-rs.html )

Gambar 1 : Barang bukti dari penggeledahan di ruang Direktur Operasional dan


Pengembangan Bisnis PT Pelindo III yang diamankan polisi Polres Tanjung Perak
Surabaya.(sumber : http://surabaya.tribunnews.com/2016/11/11/breaking-news-mantandirut-pelindo-iii-jadi-tersangka-kasus-dugaan-pungli )

Gambar 2. terlihat petugas Polres Pelabuhan lTanjung Perak menunjukkan barang bukti
ratusan juta rupiah yang berhasil diamankan dalam tangkapa tangan diruang kerja Direktur
operasional Pelindo III.(sumber : http://malangberita.net/tersangka-ott-pungli-pelindo-iiidiambil-aliih-mabes-polri/ )

Pihak-pihak yang terlibat pada kasus PELINDO III


1. Direktur Operasional Pelindo IIII bernisial RS (Rahmat Satria)
2. Direktur PT Akara Multi Jaya (AKM) berinisial AH (Agusto

Hutapea)
3.

mantan Dirut PT Pelindo III Pelindo Djarwo Surjanto

Kerugian negara yang didapat dari kasus korupsi PELINDO III berkisar lebih dari 10 milliar
rupiah, didapat dari rekening AH disita sejumlah akun bank dengan saldo sekitar Rp 10
miliar. Saat digeledah, polisi menemukan uang cash sebesar Rp 500 juta di kantor PT A.
Juga ada laptop dan pembukuan perusahaan yang sudah ada sejak 2014 itu, serta dari
rekening AH itu diketahui sudah ada yang ditransfer ke rekening milik DH yang dikuasai oleh
RS. Total ada Rp 3,9 miliar dana yang pernah mengalir ke RS. Di ruang kerja RS juga
ditemukan Rp 630 juta.

TUNTUTAN

Selaku penulis berharap adanya transparansi dalam setiap proyek pemerintah serta
diberikannya pemahaman pada aparatur negara mengenai dampak dari korupsi dan untuk
meningkatkan pemahaman tentang gratifikasi, berikut ulasan singkat dalam sosialisasi
tersebut. Apa itu gratfikasi, gratifikasi dapat diartikan sebagai segala macam pemberian baik
dalam bentuk uang atau barang dari masyarakat yang diberikan kepada pejabat negara
dalam rangka kepentingan yang ada kaitannya dengan jabatan dari pejabat tersebut.
Sederhananya gratifikasi diberikan kepada seseorang karena seseorang tersebut memiliki
pengaruh atau kewenangan terkait dengan kepentingan dari si pemberi. Ada batasan wajar
sumbangan dalam kegiatan sosial yang boleh diterima. Pada kasus diatas angka yang wajar
adalah Rp. 1.000.000, jadi dari sumbangan tersebut diserahkan kepada UPG dan Rp.
500.000 akan diserahkan kepada negara dan Rp. 1.000.000 menjadi hak dari penerima
sumbangan tersebut. Cukup sederhana bukan.
Sekuat apapun sistem yang dibangun, dan sekeras apapun upaya yang dilakukan untuk
meningkatkan kinerja pelayanan akan bobrok karena gratifikasi bukan hanya perusahaan
namun juga keluarga bangsa dan negara. Perlu komitmen dan dukungan dari setiap insan
negara untuk menjaga dan mengendalikan integritas bangsa. Untuk itu apabila kita diberi
sesuatu oleh orang lain yang memiliki hubungan kepentingan dengan kita maka hal utama
yang harus kita lakukan adalah tolak.

Surabaya, 23 November 2016


Penulis,

(Muhammad Rum Sulaiman)

Anda mungkin juga menyukai