Anda di halaman 1dari 16

EFEKTIFITAS PENGESAHAN RUU PERAMAPASAN ASET UNTUK

MEMBERIKAN EFEK JERA KEPADA KORUPTOR DI INDONESIA

WINDRO AKBAR P
LATAR BELAKANG

Korupsi yang berlangsung di indonesia sekaan tak ada habisnya, mulai

dari kejahatan ekonomi sosial, tindak pidana umum dan khusus selalu merugikan

negara. ICW atau Indonesia Corruption Watch pernah melakukan perhitungan

perkara korupsi yang masuk pengadilan tipikor di seluruh indonesia pada tahun

2021 mendapatkan kerugian mencapai 62 Triliun rupiah. Namun hanya 1 Triliun

rupiah yang dikembalikan ke Negara.

Istilah korupsi pada mulanya hanya terkandung dalam khazanah

perbincangan umum untuk menunjukkan penyelewengan-penyelewengan yang

dilakukan pejabat-pejabat Negara. Namun karena penyakit tersebut sudah

mewabah dan terus meningkat dari tahun ke tahun bak jamur di musim hujan,

maka banyak orang memandang bahwa masalah ini bisa merongrong kelancaran

tugas-tugas pemerintah dan merugikan ekonomi Negara. Rakyat kecil yang tidak

memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi dan memberikan sanksi pada

umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang paling menyedihkan adalah sikap

rakyat menjadi apatis dengan semakin meluasnya praktik-praktik korupsi oleh be-

berapa oknum pejabat lokal, maupun nasional.

Beragam lembaga, produk hukum, reformasi birokrasi, dan sinkronisasi

telah dilakukan, akan tetapi hal itu belum juga dapat menggeser kasta

pemberantasan korupsi. Seandainya saja kita sadar, pemberantasan korupsi meski

sudah pada tahun keenam perayaan hari antikorupsi ternyata masih jalan ditempat

dan berkutat pada tingkat “kuantitas”. Keberadaan lembaga-lembaga yang

mengurus korupsi belum memiliki dampak yang menakutkan bagi para koruptor,
bahkan hal tersebut turut disempurnakan dengan pemihakan-pemihakan yang

tidak jelas. Dalam masyarakat yang tingkat korupsinya seperti Indonesia,

hukuman yang setengah-setengah sudah tidak mempan lagi. Mulainya dari mana

juga merupakan masalah besar, karena boleh dikatakan semuanya sudah terjangkit

penyakit birokrasi. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan bagi kelangsungan

hidup rakyat yang dipimpin oleh para pejabat yang terbukti melekukan tindak

korupsi. Maka dari itu, di sini kami akan membahas tentang korupsi di Indonesia

dan upaya untuk memberantasnya

Terdakwa korupsi juga tidak sedikit yang bebas oleh karena kurangnya

alat bukti yang dipergunakan untuk membuktikan perbuatan korupsinya secara

materiil terhadap tindak pidana korupsi yang merupakan tindak pidana formiil,

dan asset yang dimilikinya juga tidak dapat dirampas oleh negara. Hal ini

sangatlah ironis, dikarenakan tujuan untuk memulihkan keuangan negara dari

pemberantasan tindak pidana korupsi tidak tercapai, baik memidanakan pelaku

dan merampas aset yang diperolehnya dari tindak pidana korupsi.

Aset hasil tindak pidana korupsi yang diambil oleh para koruptor banyak

yang dilarikan serta disembunyikan di luar negeri dengan cara disembunyikan di

rekening bank sehingga upaya melacak serta mengembalikan aset tersebut

menjadi sulit. Ringannya sanksi hukum yang selama ini diterapkan kepada pelaku

tindak pidana korupsi, hanya dikenakan sanksi pidana penjara badan beberapa

tahun dan tidak ada keharusan mengembalikan harta yang mereka korup. Hal

tersebut dikarenakan para pelaku tindak pidana korupsi dengan pintarnya bisa

mengatasnamakan keluarganya atas aset yang mereka peroleh dari tindak pidana
korupsi. Sanksi yang demikian ringan tidak membuat para pelaku tindak pidana

korupsi merasa jera, bahkan setelah bebas dari penjara mereka bisa menikmati

harta milyaran yang mereka korupsi.

Sampai saat ini belum ada obat yang ampuh untuk menghentikan wabah

korupsi di Indonesia. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

(Wamenkumham) Eddy OS Hiariej, dalam diskusi daring bertema ”Akselerasi

Reformasi Hukum dengan Penyusunan UU Perampasan Aset” mengatakan,

rencana Indonesia yang menggagas RUU Perampasan Aset sebenarnya sudah

tertinggal 17 tahun. Sebab, jika merujuk pada Konvensi Antikorupsi PBB (United

Nation Convetion against Corruption/UNCAC), kehadiran regulasi itu seharusnya

sudah ada selambat-lambatnya pada 31 Desember 2005.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD

menyampaikan kepada DPR dalam Rapat pada 29 Maret 2023 adaynya dugaan

transaksi sebesar 300 milliar rupiah yang dilakukan dialam lingkungan

KEMENKEU atau Kementerian Keuangan. Mahfud MD meminta agar DPR

segera mengesahkan aturan tersebut. Ketua Komisi III DPR Bambang Wiryanto

alias Bambang Pacul mengatakan, pengesahan RUU Perampasan Aset dapat

dilakukan jika ada perintah dari ketua umum partai.

RUMUSAN MASALAH

Dari tinjauan dan isu diatas agar permasalah yang akan dibahas menjadi

jelas dan penelitian hukum mencapai tujuan yang diinginkan, maka permasalahan

yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :


Efektifkah RUU Perampasan Aset untuk memberikan efek jera kepada koruptor?

TUJUAN PENELITIAN

Makalah ini bertujan untuk meneliti :

Efektifitas Pengesahan RUU Perampasan Aset untuk menekan angka korupsi dan

memberikan efek jera kepada koruptor

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Pada penelitian

hukum normatif, dengan menelaah peraturan perundang undangan yang berlaku

dengan permasalahan yang dikaji

PEMBAHASAN

Efektifkah RUU Perampasan Aset untuk memberikan efek jera kepada koruptor?

Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an

bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah melalui

Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 yang diikuti dengan dilaksanakannya

“Operasi Budhi” dan Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi berdasarkan

Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 yang dipimpin langsung oleh Jaksa
Agung, belum membuahkan hasil nyata. Pada era Orde Baru, muncul Undang-

Undang Nomor3 Tahun 1971 dengan “Operasi Tertib”yang dilakukan Komando

Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), namun dengan

kemajuan iptek, modus operandi korupsi semakin canggih dan rumit sehingga

Undang-Undang tersebut gagal dilaksanakan. Selanjutnya dikeluarkan kembali

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Upaya-upaya hukum yang telah

dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak dan sistematis.

Namun korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara

mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan yang pada

akhirnya menjadi krisis multidimensi. Gerakan reformasi yang menumbangkan

rezim Orde Baru menuntut antara lain ditegakkannya supremasi hukum dan

pemberantasan Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut akhirnya

dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 & Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penye-lenggaraan Negara yang Bersih & Bebas

dari KKN.

Gagasan yang layak untuk dipertimbangkan dalam rangka memberikan

keadilan dan kemaslahatan bagi negara dan masyarakat adalah perampasan aset

yang sejalan dengan paradigma keadilan restoratif yakni pengembalian aset hasil

tindak pidana korupsi oleh penegak hukum dan mengembalikan keadaan seperti

semula. Teori keadilan restoratif menyatakan bahwa korban atau keluarganya

dapat kembali kepada keadaan semula seperti sebelum terjadi tindak pidana.

Dalam konteks ini, korban dari tindak pidana korupsi ini adalah negara, karena
negara dapat menderita kerugian yang besar dan memperlambat laju

perekonomian dan politik dari adanya tindak pidana korupsi.

Dalam sistem hukum pidana di Indonesia, KUHAP menggunakan kata

“benda” sebagai padanan aset. Hal tersebut dicantumkan dalam Pasal 39 tentang

penyitaan. Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa penyitaan adalah

serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di

bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak

berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan

peradilan. Lebih lanjut, dalam RUU KUHP, kata aset juga tidak secara jelas

diterangkan baik secara bentuk maupun pengertiannya. Kata aset hanya

dipadankan dengan kata “barang”, yang dicantumkan dalam Pasal 165 RUU

KUHP Berdasarkan pasal tersebut, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

“barang” adalah benda berwujud termasuk air dan uang giral, dan benda tidak

berwujud termasuk aliran listrik, gas, data dan program komputer, jasa termasuk

jasa telepon, jasa telekomunikasi, atau jasa komputerisasi. Tindakan perampasan

aset dalam sistem hukum di Indonesia, terdapat dalam Pasal 10 (b) KUHP,

sebagai salah satu bentuk dari pidana tambahan. Berdasarkan ketentuan tersebut,

maka perampasan dilakukan atas dasar putusan pengadilan atau penetapan dari

hakim, terhadap barang-barang tertentu. Perampasan tersebut dilaksanakan secara

limitatif sesuai dengan ketentuan yang ada didalam KUHP, yaitu barang-barang

yang dimiliki oleh terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau disengaja

dipergunakan dalam melakukan kejahatan.10 Perampasan tersebut dapat

digantikan dengan pidana kurungan apabila barang yang dirampas diserahkan


kembali kepada terpidana, lamanya kurungan tersebut paling sedikit 1 hari dan

paling lama 6 bulan. Pada tahun 2014, Kejaksaan Agung membentuk Pusat

Perampasan Aset (PPA). Pembentukan PPA merupakan hasil kerjasama antara

Kejaksaan Agung RI dengan Kejaksaan Agung kerajaan Belanda. Alasan

pemilihan Belanda karena Belanda memiliki lembaga perampasan aset terbaik di

dunia. Selain itu, persamaan sistem hukum yang digunakan di Indonesia dan

Belanda juga merupakan faktor lain dalam kerjasama pembentukan PPA tersebut.

Pembentukan PPA merupakan pembaharuan dari Satgas Khusus Barang

Rampasan dan Sita Eksekusi yang sudah ada di kejaksaan sejak 2010.

Secara prinsip internasional terdapat 2 jenis perampasan.11 Jenis perampasan

yang dimaksud adalah mekanisme perampasan In Personam dan mekanisme

perampasan In Rem. Perampasan In personam (perampasan pidana), merupakan

tindakan yang ditujukan kepada diri seseorang secara personal (individual).

Tindakan tersebut merupakan bagian dari sanksi pidana sehingga dapat dilakukan

berdasarkan suatu putusan peradilan pidana. Jaksa dalam hal ini harus

membuktikan bahwa aset yang akan dirampas merupakan hasil atau sarana dari

sebuah tindak pidana. Selain itu, permohonan perampasan aset harus diajukan

bersamaan dengan berkas penuntutan oleh penuntut umum. Jenis perampasan aset

yang kedua adalah mekanisme perampasan in rem. Terdapat berbagai macam

istilah untuk mekanisme perampasan In rem, yaitu civil forfeiture, perampasan

perdata, Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture. Inti dari perampasan aset

dengan menggunakan mekanisme In rem adalah gugatan terhadap aset bukan

terhadap orang. Mekanisme ini merupakan tindakan terpisah dari proses peradilan
pidana dan membutuhkan bukti bahwa suatu properti telah tercemar oleh tindak

pidana.

Non-Convitction Based Asset Forfeiture adalah perampasan aset yang

dilakukan dengan prioritas utama bukan melalui proses hukum yang panjang.

Sehingga perampasan dilakukan secara perdata (in rem) di mana menitikberatkan

pada aset tanpa melalui proses pidana yang fokus pada pengejaran in persona.

Konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture sangat menjawab tantangan

penanganan kejahatan korupsi di berbagai negara yang telah menerapkannya.

Perampasan yang dilakukan ialah dengan cara mengejar aset negara yang

dilarikan, NCB Asset Forfeiture pihak utamanya bukan individu untuk

mempertanggungkan pidananya, melainkan kepentingan objek atas aset yang

dicuri dari negara. Konsep utama dari perwujudan keadilan restoratif adalah

dilihat dari segi tujuannya yakni untuk memulihkan keadaan seperti semula akibat

timbulnya tindak pidana di mana dalam konteks ini adalah tindak pidana korupsi,

sehingga perampasan aset ialah proses hukum yang tepat untuk memulihkan

kerugian negara yang lahir karena keserakahan koruptor. Seperti yang

disampaikan oleh pakar hukum pidana, Romli Atmasasmita mengatakan bahwa

paradigma restoratif dalam kasus tindak pidana korupsi dengan mekanisme

pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi merupakan suatu tujuan

pemulihan keadaan yang bermasalah dan mengalami ketidakseimbangan untuk

mencapai harmoni dalam kehidupan masyarakat dan memberikan kemaslahatan

bagi negara dan masyarakat.


Mekanisme perampasan aset di Indonesia Perampasan aset yang berlaku di

Indonesia saat ini dapat dilaksanakan semata-mata terbatas hanya jika pelaku

kejahatan telah dinyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum

tetap (inckracht) atau dengan kata lain perampasan aset dilakukan dengan putusan

pidana, namun perampasan pidana mengalami banyak kesulitan dalam

pelaksanaannya. Salah satunya adalah adanya kemampuan dari pelaku untuk

mengalihkan atau melarikan hasil kejahatan maupun instrument kejahatan ke luar

negeri dan bahkan pelakunya bisa saja melarikan diri ke luar negeri dan tidak

dapat diekstradisi kembali ke Indonesia. Sebagai contoh kasus korupsi dengan

terdakwa Djoko S. Candra atau bahkan kasus yang paling menghebohkan dalam

sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia yaitu kasus korupsi Edy Tansil.

Mereka raib seperti ditelan bumi, bahkan sekalipun keberadaannya diketahui

namun tidak bisa dieksekusi oleh pemerintah karena berbagai keterbatasan

diplomatik. Padahal aset/harta kekayaan mereka masih ada di Indonesia bahkan

mereka masih bisa memperoleh keuntungan dari bergeraknya usahausaha mereka

yang berada di Indonesia, sedangkan pemerintah Indonesia tidak bisa

menjangkaunya. Untuk itu dipandang perlu memiliki instrument hukum yang

memiliki sistem perampasan yang memungkinkan dilakukannya perampasan aset

hasil tindak pidana melalui mekanisme yang dikenal dengan Non-Conviction

Based (NCB) Asset Forfeiture. Mekanisme ini menekankan perampasan aset

tindak pidana secara “in rem” dan bukan kepada orangnya (in personam). Dengan
demikian putusan yang telah berkekuatan hukum tetap terhadap pelaku kejahatan

bukan merupakan prasyarat yang harus dipenuhi dalam perampasan aset.

Draf RUU Perampasan Aset yang disampaikan pemerintah kepada DPR

terdiri dari 7 bab dan 68 pasal. Dalam Pasal 2 RUU Perampasan Aset bahwa

perampasan aset tidak didasarkan pada penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak

pidana. Kemudian di Pasal 3 Ayat 1 berbunyi, perampasan aset tidak

menghapuskan kewenangan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana. RUU

Perampasan Aset menggunakan konsep non-conviction based forfeiture. Artinya,

perampasan aset dilakukan meski tidak ada kasus pidananya atau putusan

pidananya. Karena itu, dalam RUU Perampasan Aset yang disampaikan

pemrintah kepada DPR, ini sesuatu yang belum diatur sama sekali di dalam

perundang undangan di indonesia Jika merujuk pada Pasal 7 RUU Perampasan

Aset, setidaknya ada empat kondisi sejauh mana perampasan aset dapat dilakukan.

Pertama, tersangka atau terdakwa meninggal, melarikan diri, sakit permanen, atau

tidak diketahui keberadaannya. Kedua, terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan

hukum. Ketiga, perkara pidananya tidak dapat disidangkan. Keempat, terdakwa

telah diputus bersalah oleh pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap di kemudian hari diketahui terdapat aset yang belum dirampas. perampasan

aset yang diatur dalam RUU nanti tidak hanya berkaitan dengan tindak pidana

korupsi, tetapi juga tindak pidana umum. Asalkan tindak pidana tersebut memiliki

ancaman pidana penjara 4 tahun atau lebih. Kemudian, terdapat nilai nominal

minimal aset yang dirampas, yakni Rp 100 juta.


Untuk merealisasikan konsep NCB Asset Forfeiture di Indonesia dikarenakan

perundang undangan sebelumnya yang sudah berlaku dirasa kurang efektif untuk

memberikan efek jera kepada para koruptor, pemerintah membetuknya menjadi

RUU Perampasan aset dengan tujuan Asset Recovery atau pengembalian aset yang

sudah diambil tidak dengan haknya oleh koruptor. Dengan disahkannya RUU

Perampasan Aset ini mungkin negara lebih leluasa melakukan penyelidikan,

penyitaan terhadap aset berharga yang telah diambil oleh koruptor sebelum

adanya putusan pengadilan, dan juga mengambil seluruh aset dan sumber daya

yang dimiliki koruptor agar setelah menjalani hukuman tidak bisa lagi melakukan

tindak pidana korupsi karena masih memiliki aset berharga atau sumber daya yang

bisa memberikan kesempatan koruptor mendapatkan tempat untuk merugikan

negara kedepannya.

KESIMPULAN

Korupsi merupakan tindakan buruk yang dilakukan oleh aparatur birokrasi

serta orang-orang yang berkompeten dengan birokrasi. Korupsi dapat bersumber

dari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada sistem politik dan sistem

administrasi negara dengan birokrasi sebagai prangkat pokoknya. Keburukan

hukum merupakan penyebab lain meluasnya korupsi. Seperti halnya delik-delik

hukum yang lain, delik hukum yang menyangkut korupsi di Indonesia masih

begitu rentan terhadap upaya pejabat-pejabat tertentu untuk membelokkan hukum

menurut kepentingannya. Dalam realita di lapangan, banyak kasus untuk


menangani tindak pidana korupsi yang sudah diperkarakan bahkan terdakwapun

sudah divonis oleh hakim, tetapi selalu bebas dari hukuman. Itulah sebabnya

kalau hukuman yang diterapkan tidak drastis, dan pemberantasan korupsi dapat

dipastikan gagal.. Mekanisme Perampasan Aset di Indonesia harus segera

diperbaharui agar penegak hukum lebih leluasa untuk menguasai harta atau aset

dari koruptor agar Recovery Asset atau pengembalian aset kepada negara bisa

lebih efisien.

SARAN

Pengesahan RUU Perampasan Aset untuk segera disahkan. Indonesia

sebagai negara hukum dan RUU Perampasan Aset adalah alat hukum yang masih

cacat di Indonesia, dengan disahkannya RUU Perampasan Aset diharapkan bisa

memberantas kasus korupsi dan bisa memberikan efek jera kepada koruptor
DAFTAR PUSTAKA

PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN

TAP MPR IV/MPR/1999 GARIS GARIS BESAR HALUAN NEGARA TAHUN 1991-

2004

UU NO 28 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAN NEGARA YANG

BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI KOLUSI DAN NEPOTISME

KUHAP PASAL 39

KUHP PASAL 165

KUHAP PASAL 10

BUKU

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Ekstensialisme dan

Abolisionisme (Bandung: Bina Cipta: 2011), h.75

Barbara Vettori, Tough on Criminal Weakth Exploring the Practice of Proceeds from

Crime Confiscation in the EU, Doordrecht: Springer, 2006, hal. 8-11.


JURNAL DAN SKRIPSI

Marfuatul Latifa, Jurnal, URGENSI PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA DI INDONESIA

Pencemaran yang dimaksud disandarkan pada “Taint doctrine” dimana sebuah tindak

pidana dianggap menodai properti yang digunakan atau didapatkan dari tindak pidana.

David Scoott Romantz, “”Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative

Abrogation of Right and The Judicial Response: The Guilt of The Res, 28th Suffolk

University Law Review, 1994, hal. 390.

Sudarto, “Mekanisme Perampasan Aset dengan Menggunakan Non-Conviction Based

Aset Forfeiture sebagai Upaya Pengembalian Kerugian Negara akibat Tindak Pidana

Korupsi”, Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS, Vol. V Nomor I (Januari-Juni 2017), h.111.

RIZKI DWI NUGROHO, Skripsi, PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA

KORUPSI SEBAGAI WUJUD KEADILAN RESTORATIF, UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

INTERNET

https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/05/10/ruu-perampasan-aset-tak-hanya-

mengincar-hasil-tindak-pidana-korupsi

https://www.academia.edu/31886777/

makalah_upaya_pemberantasan_korupsi_di_indonesia
https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?

option=com_content&view=article&id=1948:kpk-dukung-ruu-perampasan-aset-

koruptor&catid=111:kilas-berita-hukum-dan-puu&Itemid=179&lang=en

https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/04/14/menko-polhukam-pemerintah-siap-

kirimkan-surpres-ruu-perampasan-aset-ke-dpr

Anda mungkin juga menyukai