Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

DELIK KORUPSI

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK 1

 KARMILA

 WELLY SAFIRA

 WINDA PURWANSYIH

 PUTRI

 RAI CRISTOVEL

 GRACIANO

 I GEDE BAYU

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALU


JURUSAN DIV KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas tentang  ilmu


hukum yang saya sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber . Makalah ini di
susun oleh penyusun Makalah ini membahas tentang “Penegakan Hukum Pidana Dalam
Pemberantasan Korupsi di indonesia”.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca.Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan, untuk itu
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak kami harapkan. Terima kasih.

       
                 
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................................
Daftar Isi...................................................................................................................................
Bab I  PENDAHULUAN.........................................................................................................
 a.Latar Belakang Masalah................................................................................
 b. Rumusan Masalah........................................................................................
1. Bagaimanakah Fenomena Korupsi di Indonesia ?.......................................
2. Bagaimanakah Penegakan Hukum Pidana  Dalam Pemberantasan
Korupsi di indonesia?......................................
c. Tujuan Penulisan..........................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................
a. Fenomena Korupsi di Indonesia...................................................................
b. Penegakan Hukum  Pidana Dalam Pemberantasan Korupi
dindonesia......................................................................................
BAB III PENUTUP........................................................................................................
a. Kesimpulan..................................................................................................
b. Saran............................................................................................................

Daftar Pustaka.........................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

a.       Latar Belakang
Kata korupsi bersal dari bahasa latin, yakni corruptio atau corruptus. Dari
bahasa latin itulah kemudian kata korupsi berkembang di negara-negara Eropa, seperti
corruption, corrupt, corruptie. Arti harifah dari kata tersebut adalah kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, tidak bermoral. Korupsi merupakan
permasalahan yang banyak dialami sebagian Negara di dunia. Ini merupakan
kejahatan yang mudah menjalar di karenakan pada dasarnya semua manusia
mempunyai sifat yang serakah dan hanya mementingkan kepentingan diri sendiri. Di
Indonesia korupsi sudah menjalar kesegala kehidupan, kesemua sektor, dan segala
tingkatan, baik pusat maupun daerah. Hal ini disebabkan korupsi telah terjadi sejak
puluhan tahun lalu yakni sejak zaman kerajaan dimana rakyat nya di wajibkan untuk
memberikan upeti kepada raja sebagai simbol terimakasih. Banyaknya orang yang
terlibat dan juga adanya sebuah kekuatan besar dibelakangnya”kadar-kadarnya”,
membuat korupsi menjadi sulit untuk diberantas sampai keakar-akarnya. Cara yang
seperti ini sering gunakan pelaku untuk melindungi diri dari jeratan hukum. Ditambah
lagi adanya guyonan orang batak yang menyatakan”hepeng do na mangatur
negaraon” atau dapat di artikan “duit yang mengatur negara ini atau dengan duit
semua dapat di beli”.
Seperti realita yang terjadi saat ini, dimana para koruptor bebas untuk keluar
masuk penjara ataupun dapat menikmati fasilitas yang lebih dalam penjara
dibandingkan orang lainnya, asalkan membayar sejumlah uang dalam jumlah tertentu
kepada oknum Lembaga Permasyarakatan(LP). Ini menunjukan buruknya moral
aparat penegak hukum dan juga buruknya sistem hukum yang ada di Indonesia.
Perilaku korupsi tidak terjadi di pemerintah pusat saja melainkan telah merambah ke
daerah-daerah baik di lembaga eksekutif maupun legislatif, dan yang lebih ironis
korupsi itu selalu dilakukan oleh Pejabat Publik dengan cara abuse of power.
Berbagai profesi seolah-olah berlomba melakukan korupsi dengan menggasak
keuangan negara, para koruptor merasa tidak bersalah dan tidak takut terhadap
“kutukan moral”.Dan cap buruk dari masyarakat.
Ruang lingkup korupsi mencakup institusi sosial, politik, ekonomi,
budaya (pendidikan, agama dan sebagainya), pertahanan, keamanan, dengan rentang
waktu yang panjang: masa lalu, masa kini dan masa depan yang berkaitan dengan
fungsi integritas hukum dan stratifikasi hukum pada semua strata institusi sosial.
Hukum harus mampu menjangkau para koruptor yang berlindung dibalik
kekuasaan, sebagai contoh seorang terindikasi melakukan suatu kejahatan korupsi
namun di karenakan ia berasal dari kadar atau anggota partai politik yang mana pada
saat itu kekuasaan tertinggi ( presiden ) berasal dari partai nya. Nah, hal seperti ini lah
yang harus di hilangkan dari penegakan hukum” law enforcemnet “. Kalau tidak,
masyarakat Indonesia bisa menghadapi krisis kepercayaan terhadap pemerintah,
aparat penegak hukum dan kepada hukum itu sendiri. Seperti yang terjadi seperti saat
masyarakat saat ini yang merasa bingung akan kinerja KPK ( Komisi Pemberantasan
Korupsi ) dalam menangulangi kasus korupsi yang ada di indonesia. Disini juga
di  butuhkan peran media komunikasi untuk memberikan informasi secara tuntas
supaya masyarakat dapat memantau perkembangan kasus korupsi yang terjadi dimana
dengan demikian akan mengembalikan rasa percaya akan penegakan hukum khusus
nya penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Oleh sebab itu di perlukan penegakan hukum yang di konsep secara baik agar
hukum itu berfungsi secara efektif dan dapat memberikan suatu efek jera kepada para
koruptor yang melakukan tindakan korupsi khususnya di Indonesia.

b.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah  Korupsi Yang Terjadi di Indonesia ?
2.      Bagaimanakah Penegakan  Hukum  Pidana Dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia

c.       Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui  korupsi yang terjadi di Indonesia
2. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana dalam pemberantasan korupsi di    indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Korupsi Yang Terjadi Di Indonesia


Korupsi bukan lah hal yang baru dalam kehidupan bangsa indonesia. Bangsa
indonesia sejak dahulu sudah di biasakan dengan perilaku memberikan upeti kepada
kerjaan sebagai ucapan terimaksih. Perilaku korupsi zaman Kerajaan Matram yang
melahirkan Perang Diponegoro( 1825-1830 ) akibat tinginya pemungutan pajak dan
korupsi pejabat kerajaan. perilaku memberi upeti ini lah yang sekarang kebanyakan di tiru
oleh rakyat indonesia. Sebagai contoh yang kecil yakni dalam pengurusan SIM( Surat
Izin Megemudi) pengalaman pribadi saya saat mengurus SIM masih banyak saya jumpai
tindakan yang menyimpang dari aparat negara tersebut, yakni proses dan prosedur yang
cukup panjang dapat di persingkat hanya dengan memberikan sejumlah uang kepada
aparat maka tidak perlu mengikuti prosedur ujian SIM orang tersebut akan langsung
secara sah memiliki SIM, masih banyak contoh yang sering di jumpai dalam masalah
budaya memberi upeti ( ucapan terimakasih ) yakni pengurusan paspor pengurusan KTP (
Kartu Tanda Penduduk ), Pengambilan Putusan PN sebagai bahan untuk penulisan skripsi
Mahasiswa Hukum,dsb.
Di indonesia terdapat suatu lembaga yang memonitoring tindak pidana
yakni indonesian coruption wathc  yang mengatakan bahwa kasus korupsi paling marak
terjadi di Tahun 2013, dalam artian penangkapan para koruptor yang terjadi paling marak
di tahun 2013. Sebagian besar koruptor yang di tangkap adalah para angota partai politik
yang memiliki kekuasaan atau kewenangan dan para wakil rakyat tersebut
menyalahgunakan kekuasaannya. Faktor penyebab dari banyak nya koruptor yang berasal
dari partai politik yakni;
1. Partai politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan ideologinya sering
berubah-ubah sesuai dengan kepentingan politik saat itu,
2. Muncul pemimpin yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada kepenting-
an umum,
3. Sebagai oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya berlomba-lomba
mencari keuntungan materil dengan mengabaikan kebutuhan rakyat,
4. Terjadi erosi loyalitas kepada negara karena menonjolkan pemupukan harta dan
kekuasaan. Dimulailah pola tingkah para korup,
5. Sumber kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi pada beberapa kelompok
kecil yang mengusainya saja. Derita dan kemiskinan tetap ada pada kelompok
masyarakat besar (rakyat).
Terdapat banyak bendahara partai politik yang tersangkut korupsi, diantaranya
seperti bendahara umum partai demokrat “ Nazarudin“. Terdapat banyak dana terlarang
yang di pergunakan oleh partai politik dalam melaksanakan kampanye
B. Penegakan Hukum  Pidana Dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Berbicara penegakan hukum ternyata tidak semudah membalikan telapak tangan
untuk menciptakan pemerintahan yang bebas dari korupsi, meskipun ada kebijakan publik di
bidang hukum sebagimana dinyatakan oleh Thomas R. Dye, “ whatever goverments to do or
not to do”.
                 Tindak pidana korupsi yang biasanya diikuti dengan kolusi dan nepotisme dapat
dikatakan sebagai suatu “the white collar crime” sekaligus economic crime yang dapat
menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan negara. Kegiatan tersebut mempunyai pengaruh
yang luar biasa bagi kegiatan perekonomian dan pembangunan suatu negara yang pada
gilirannya dapat menimbulkan dampak krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi harus semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan
tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Oleh karenanya
kejahatan korupsi dapat dikategorikan sebagai extra ordinary crime.
Korupsi di Indonesia sudah bersifat sistemik dan endemik sehingga tidak saja
merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, tetapi juga sudah melanggar hak-hak
ekonomi dan sosial (economic dan social right) masyarakat secara meluas. Kejahatan korupsi
pada beberapa negara juga dianggap sebagai pelanggaran HAM yang menyangkut dengan
kepentingan rakyat banyak (publik). Ini disebabkan, kejahatan korupsi dapat merusak sendi-
sendi peradaban dan nama baik suatu bangsa dalam pergaulan masyarakat internasional
sehingga perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai “kejahatan kemanusiaan” (crime against
humanity) yang harus memperoleh prioritas utama dalam pemberantasannya. Dalam hukum
pidana Indonesia, delik korupsi termasuk dalam klasifikasi hukum pidana khusus yang
diprioritaskan penanganannya oleh aparat penegak hukum ketimbang delik-delik yang
bersifat umum. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara
tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya. Jika
terdapat dua atau lebih perkara yang boleh oleh undang-undang ditentukan untuk
didahulukan, maka penentu mengenai penentuan prioritas perkara tersebut diserahkan pada
tiap lembaga yang berwenang disetiap proses peradilan.

Menurut Athol Noffitt, ia mengemukakan bahwa “sekali korupsi dilakukan apalagi


bila dilakukan oleh pejabat-pejabat yang tinggi, maka korupsi itu akan tumbuh lebih subur”.
Lebih lanjut ia mengatakan “tiada kelemahan yang lebih besar pada suatu bangsa dari pada
korupsi yang merembes ke semua tingkat pelayanan umum. Korupsi melemahkan garis
belakang baik damai maupun perang”. Perilaku buruk pejabat tinggi akan mempengaruhi
kuantitas korupsi  dan akan semakin sulit diberantas.Walaupun negara selalu berbenah diri
dalam menghadapi kejahatan korupsi, namun selalu ada celah bagi  penyelenggara negara
dan pejabat daerah untuk tetap melakukan korupsi yaitu  karena adanya peningkatan sumber-
sumber kekayaan negara dan daerah yang selama ini memang memberikan banyak harapan
bagi koruptor. Sumber keuangan negara dan daerah dimanfaatkan oleh mereka yang
mengelolanya ataupun pejabat yang memberikan pelayanan publik untuk memperkaya
diri  sendiri dan juga orang lainnya termasuk korporasi.
Inilah salah satu kelemahan yang bangsa Indonesia hadapi sekarang. Seiring dengan itu,
Teguh Sulistia, Aria Zurnetti, mengemukakan bahwa ada indikator dalam peningkatan
aktifitas KKN selama ini. Indikator tersebut dapat dilihat dari tiga hal, yakni sebagai berikut:
Pertama, tidak adanya lembaga politik (partai politik, pemerintah (depdagri, Kementerian
PAN, KPKPN) ataupun lembaga swadaya masyarakat) yang efektif dan mampu untuk
mengontrol dengan ketat perilaku KKN para penyelenggara negara. Kedua, tidak adanya
partisipasi partai politik yang signifikan dari sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya
rakyat miskin, tokoh-tokoh masyarakat, baik di kota maupun desa untuk melakukan tekanan
terhadap pemerintahan yang korup. Ketiga, tidak adanya lembaga hukum (kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan) dengan sanksi hukum yang betul-betul mempunyai kekuatan riil
dapat menyadarkan dan menjerakan perilaku KKN para penyelenggara negara.] Meskipun
kejahatan korupsi sudah begitu parah dan masif, sehingga timbul istilah “korupsi sudah
membudaya” dalam kehidupan suatu bangsa dengan tatanan hukum yang rapuh, namun
upaya penegakan hukum untuk memberantasnya seolah-olah mengalami kebuntuan. Bisa jadi
disebabkan oleh banyaknya pelaku yang terlibat merupakan pejabat penting negara yang
mempunyai kekuatan besar dibelakangnya dan juga adanya kesulitan dalam pembuktian
bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seorang, kelompok orang
ataupun korporasi yang merugikan keuangan negara dan masyarakat.
Penerapan asas beban pembuktian terbalik terbatas atau berimbang dalam Pasal 37 UU
No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 memberikan pula kesempatan para
tersangka/terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya memang tidak bersalah dengan
mengemukakan bukti-bukti yang dimilikinya, sekurangnya kesulitan pembuktian di depan
sidang pengadilan dapat meringankan tugas-tugas kejaksaan dalam upaya pembuktian
kesalahan terdakwa. Efektivitasnya masih perlu dibuktikan dari sistem pembuktian yang baru
diberlakukan dalam kasus-kasus mega korupsi yang belum tuntas sampai saat ini seperti
Proyek Hambalang, Bank Century, kasus Simulator SIM di tubuh polri dan lain
sebagainya.Penyelesaian kasus korupsi harus di dahulukan penyikannya artinya penyelesaian
yang secepatnya pada waktu melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
persidangan dibandingkan dengan tindak pidana bukan korupsi. Apabila mega korupsi ini
diselesaikan dengan baik akan menjadi contoh bahwa penegakan hukum di Indonesia tidak
lagi tebang pilih dalam penerapan hukumnya.
Lembaga hukum yang khusus dibentuk untuk melakukan tugas pemberantasan tindak
pidana korupsi, sebenarnya sudah ada sejak lama. Namun namanya saja yang seringkali
berubah. Karena lembaga itu hampir bisa dikatakan dalam pemberantasan korupsi mengalami
kegagalan. Seperti masa orde lama, tercatat beberapa kali dibentuk badan pemberantasan
korupsi yakni Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) yang dibentuk dengan perangkat
aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya dan lembaga yang dikenal dengan nama Operasi
Budhi yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963. Serta Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) yang menggantikan Operasi Budhi. Pada
masa orde baru, setidaknya ada empat lembaga yang dibebani tugas untuk melakukan
pemberantasan korupsi, yakni Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden No. 228 tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967. Karena dianggap tidak
serius memberantas korupsi, maka dibentuklah Komitte Empat berdasarkan Keputusan
Presiden No. 12 Tahun 1970 Tanggal 31 Januari 1970. Kemudian dibentuk lagi Operasi
Tertib (Opstib) berdasarkan Instruksi Presiden No. 9 tahun 1977. Terakhir dihidupkannya
kembali Tim Pemberantasan Korupsi “baru” pada tahun 1982 tanpa menerbitkan putusan
presiden yang baru. Pada masa era reformasi dibawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie
mengeluarkan UU No. 28 Tahun 1999 yang mengamanahkan Pembentukan Komisi
Pengawasan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, maupun Lembaga Ombudsmen.
Masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur), membentuk Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 namun
melalui judicial review akhirnya TGPTPK ini dibubarkan karena berbenturan dengan UU No.
31 Tahun 1999. Kemudian dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka
tugas KPKPN melebur ke dalam KPK.
Menurut Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti dalam bukunya mengatakan, ada sepuluh
langkah dalam upaya pencegahan merebaknya perilaku KKN secara konseptual, guna tercipta
suatu pemerintahan yang bersih dan baik pada masa depan negeri ini. Langkah-langkah
tersebut yaitu:
1. Adanya kesadaran hukum rakyat atau warga masyarakat berperan serta memikul
tanggung jawab bersama terhadap masa depan bangsa dan negara, berupa
pasrtisipasi politik dan kontrol sosial serta tidak bersikap apatis, acuh tak acuh
dengan merebaknya KKN.
2. Menanamkan pada pejabat publik (legislatif, eksekutif yudikatif) dalam
melaksanakan tugas negara sebagai amanah rakyat adanya aspirasi nasional dalam
rangka memulihkan ekonomi bangsa, yaitu mengutamakan kepentingan nasional,
kejujuran dan disiplin serta pengabdian pada bangsa dan negara daripada
kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok atau golongan.
3. Para pemimpin dan pejabat negara memberikan teladan yang baik dengan mematuhi
pola hidup sederhana dan memiliki rasa tanggung jawab moral, sosial, dan hukum
terhadap rakyat dan masyarakat daerahnya.
4. Adanya sanksi hukum yang berat dengan kekuatan yuridis oleh aparat penegak
hukum untuk menindak/memberantas dan menghukum para pelaku KKN tanpa
sikap diskriminatif.
5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintahan melalui penyederhanaan
jumlah instansi bawahannya.
6. Sistem penerimaan pegawai pemerintah berdasarkan “achivement” atau
keterampilan teknis dan bukan berdasarkan “ascription” atau kedekatan
(kekerabatan) sehingga memberikan keluasan bagi berkembangnya kolusi dan
nepotisme.
7. Adanya kebutuhan pada pegawai-pegawai negeri nonpolitik yang profesional,
terampil dan rajin demi kelancaran administrasi pemerintahan ditunjang oleh gaji
yang memadai bagi para pegawai dengan jaminan masa depan yang baik, sehingga
berkurang kecende-rungan untuk melakukan KKN.
8. Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur, bermoral, dan bersih. Kompleksitas
hierarki administratif pemerintahan harus disertai pula disiplin kerja yang tinggi,
sedangkan penerimaan jabatan dan penge-lolaan pendapatan atau belanja keuangan
negara/daerah harus didistri-busikan melalui norma-norma teknis dan transparan
yang dapat dikontrol dan diketahui oleh rakyat.
9. Menciptakan sistem keuangan (budget) yang dikelola pejabat-pejabat yang
mempunyai tanggung jawab etis dan moral tinggi yang diikuti dengan sistem kontrol
efesien dan efektif. Selain itu, dalam menyelenggarakan sistem pemungutan pajak,
bea, cukai, dan retribusi harus jelas dan efektif peruntukannya serta didukung
dengan supervise yang ketat, baik ditingkat pusat maupun daerah.
10. Pemeriksaan terhadap kekayaan pejabat negara harus dilakukan sebelum, selama dan
seusai menjabat secara periodic dengan asas praduga tidak bersalah. Bagi kekayaan
pejabat negara yang statusnya tidak jelas, tidak dilaporkan dan diduga kuat hasil
KKN, maka harta tersebut dapat langsung disita oleh negara dan dipergunakan untuk
kesejahteraan rakyat.[[17]]
Dari pendapat diatas, yang terpenting dalam penanganan kasus korupsi adalah
perilaku moral dari setiap individu baik yang akan berbuat maupun yang telah berbuat
korupsi( koruptor). siapa saja bisa terkena imbas dari perbuatan buruk tersebut bisa negara
dan masyarakat yang tidak tau menau. Oleh karenanya kesadaran hukum, kepatuhan
hokum,penegakan hukum yang benar dan moral merupakan hal esensi atau hal yang sangat
berpengaruh dalam penanganan kasus korupsi. hukum yang buruk akan menjadi baik bila
aparat penegak hukum memiliki moral yang baik dan hukum yang baik akan menjadi buruk
bila aparat penegak hukum tidak memiliki moral yang baik. Moral itu kalau saya artikan
yakni berbicara masalah benar dan salah (wright and wrong ) dan juga mengenai kebaikan
dan keburukan ( goodness and badness )
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Korupsi merupakan kejahatan transasional yang dikategorikan ke dalam extra
ordinary crime, yang dibutuhkan penanganan secara cepat sehingga jika terbukti pelaku
bersalah, maka pelaku dapat dikenakan sanksi pidana dan di masukan kedalam penjara serta
mengembalikan kerugian negara yang telah dikorupsikan demi melindungi negara dan warga
masyarakat. Tiga komponen penting dalam penegakan hukum yakni pemerintah, aparat
penegak hukum dan masyarakat. Dalam melakukan tugasnya, masing-masing harus
profesional dan tidak mudah terbujuk rayu akan janji manis koruptor yang justru akan
merugikan diri mereka sendiri.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat disarankan sebagai berikut:
1. Penanganan korupsi jangan saja bertolak dari penanganan penal melainkan juga harus
dari non penal, karena kejahatan korupsi juga berkaitan dengan moral pelaku yang
buruk.
2. KPK dalam menangani kasus korupsi harus dengan maksimal karna ini merupakan
kejahatan yang bukan saja merugikan negara namun merugikan masyarakat
banyak,dengan kata lain KPK harus lebih banyak mengungkap kasus korupsi, bukan
hanya mengungkap tapi terdapat penyelesaian perkara yang jelas dengan menghukum
terpidana korupsi (Koruptor) dengan hukuman yang sesuai dengan tujuan dari pada
pemidanaan yakni memberikan suatu momok yang menakutkan supaya tidak timbul
koruptor-koruptor baru.
DAFTAR PUSTAKA

Adib Bahari, khotibul Usman. 2009. KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi Dari A


Sampai Z. Cet. Pertama. Pustaka Yustisia. Yogyakarta.
IGM. Nurdjana. 2005. Korupsi Dalam Praktik Bisnis: Pemberdayaan Penegakan
Hukum, Program Aksi Dan Strategi Penanggulangan Masalah Korupsi. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Nyoman Serikat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran Kearah Pengembangan
Hukum Pidana. Cet. Pertama. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Anda mungkin juga menyukai