Anda di halaman 1dari 5

KLIPPING

HUKUM PENITENSIER

“PIDANA TAMBAHAN”

Dosen:

Henny Saida Flora,SH.M.H.M.Kn

Mata Kuliah:

Hukum Penitensier

Disusun Oleh:

Medi Antoni Naibaho 200600075

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS KATOLIK SANTO THOMAS

MEDAN 2022/2023
Kasus Korupsi Gubernur Pekan Baru “Rusli Zainal”

Sumber. Liputan6.com, Pekanbaru

Masyarakat dan petinggi pemerintahan Provinsi Riau begitu akrab dengan


Komisi Pemberantasan Korupsi. Sejak lembaga anti rasuah itu dibentuk, sudah
puluhan pejabat di Bumi Lancang Kuning berurusan dengan penyidik. Mulai dari
anggota DPRD, kepala dinas, karyawan swasta, bupati hingga gubernur, pernah
terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK. Bahkan, KPK hattrick karena tiga
kali berturut-turut menahan tiga Gubernur Riau. Mulai dari Gubernur Saleh Yazid,
lanjut ke gubernur dua periode, Rusli Zainal. Berikutnya suksesor Rusli dari Partai
Golkar, Annas Maamun, yang sebelumnya dua periode menjabat Bupati Rokan
Hilir.Untuk Saleh dan Rusli, KPK menahan berdasarkan pengembangan dari
tersangka lainnya. Sementara, Annas mengalami nasib sial begitu berada di rumah
pribadinya di Cibubur.

Gubernur Riau 2 periode (2003-2008 dan 2008-2013) Rusli Zainal juga


berurusan dengan KPK. Ia tersangkut dugaan korupsi PON dan izin kehutanan di
Kabupaten Pelalawan, Riau.Dalam kasus ini, Rusli divonis 14 tahun penjara di
Pengadilan Tipikor Pekanbaru. Sewaktu banding ke Pengadilan Tinggi Pekanbaru,
hukumannya dikurangi 2 tahun. Rusli dinilai secara sah dan meyakinkan oleh
majelis hakim melanggar 3 dakwaan KPK. Dalam kasus kehutanan, Rusli dinilai
terbukti melanggar Pasal 2 ayat 2 juncto Pasal 18 UU Nomor 31/1999 sebagaimana
diubah dan ditambah dengan UU nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP juncto Pasal 56 ayat 1 KUHP.

Rusli diinilai melanggar hukum karena mengesahkan Rencana Kerja


Tahunan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (RKT-
IUPHHKHT) terhadap belasan perusaan kayu di Pelalawan. Pengesahan itu
menyebabkan penebangan hutan alam dan merugikan negara senilai Rp265
miliar.Dalam kasus suap PON, Rusli Zainal dinilai terbukti melanggar Pasal 12
huruf a UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor
20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1
KUHP.

Rusli juga terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Nomor 31/1999


sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20/2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Menurut hakim saat itu, Bachtiar, Rusli terbukti memerintah pemberian suap ke
anggota pansus Lapangan Menembak PON Riau senilai Rp900 juta. Ia juga dinilai
memerintahkan suap Rp9 miliar ke Kahar Muzakkir dan Setya Novanto, anggota
DPR RI.Perintah penyuapan itu dipercayakan Rusli ke mantan Kadispora Riau
Lukman Abbas. Terakhir, Rusli dinilai terbukti menerima uang Rp500 juta dari PT
Adhi Karya, sebagai pemulus penambahan anggaran PON dari pusat senilai Rp290
miliar.

Tanggapan:

Pada tingkat kasasi yang berdasarkan dari putusan Mahkamah Agung


Nomor 2233 K/PID.SUS/2017 mengadili menyatakan bahwa Terdakwa Rusli
Zainal telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
korupsi. Tidak hanya pidana pokok yang tertulis dalam putusan Mahkamah Agung
akan tetapi juga dijatuhkan pidana tambahan Pencabutan Hak Politik berupa
pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan public selama 5 (lima) tahun terhitung
semenjak para terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya. Penjatuhan pidana
tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam Perbuatan Terdakwa telah
melanggar Pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.Dicabutnya hak
politik dapat di implementasikan sebagai pidana tambahan dalam kasus tindak
pidana korupsi, misalnya ditinjau dari pelaksanaan yang terjadi selama ini untuk
tindak pidana korupsi, dan pemidanaan. Tuntutan dicabutnya hak politik terkhusus
diarahkan kepada terdakwa bagi yang melakukan perbuatan rasuah yang memiliki
profesi sebagai pejabat publik atau pegawai pemerintahan yang memegang jabatan
penting dan strategis. Meningat klasifikasi dicabutnya hak untuk dipilih dan hak
untuk memilih sebagai pidana tambahan, hingga vonis pidana tambahan terhadap
Pencabutan hak politik mempunyai sifat fakultatif/pilihan. Artinya, majelis hakim
atau pengadilan mempunyai hak proegratif untuk memvonis atau tidak memvonis
hukuman pidana tambahan tersebut. Adapun parameter yang digunakan oleh majlis
hakim untuk menetapkan perlu atau tidaknya vonis pidana tambahan yang berupa
pencabutan hak untuk memilih dan hak untuk dipilih (hak politik), yaitu dengan
cara memperhatikan dari kedudukan atau jabatan terdakwa saat melakukan tindak
pidana rasuah, modus operandi dari kejahatan yang sudah dilakukan dan melihat
dampak perekonomian yang ditimbulkan bagi rakyat.Pertimbangan hukum dari
majlis hakim yang memutuskan pencabutan hak politik bagi terpidana kasus
korupsi dalam perkara Nomor: 2233K/ PID.SUS/2017 terhadap terdakwa terlebih
dahulu telah di pertimbangkan dengan segala fakta-fakta yang diungkapkan di
persidangan dengan menghadirkan saksi-saksi dan mengajukan barang bukti di
persidangan. Sehingga dapat membuktikan kesalahannya yang di dakwakan kepada
terdakwa. Terlebih dahulu majlis hakim mempertimbangkan hal-hal yang
meringankan dan hal-hal yang memberatkan ketika di muka persidangan sebelum
memvonis terdakwa bersalah atau tidak bersalah, yang nantinya akan menjadi
bahan untuk pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa agar
pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa sesuai dengan rasa keadilan bagi terdakwa
dan juga rasa keadilan bagi rakyat.

Menurut saya Pidana tambahan berupa pencabutan hak politik berhasil


sebagai terobosan yang baru dalam upaya pemberantasan rasuah di Indonesia
terkhusus di Provinsi Riau yang dilakukan oleh pejabat publik, setelah
dilaksanakannya revisi yang tujuan untuk lebih jelas terhadap mulai berlakunya
pencabutan hak dapat dijalankan pada hari putusan hakim sebagaimana yang telah
diuraikan pada poin pertama yang diatas. Perangkat para penegak hukum
sepatutnya mempunyai parameter yang jelas dan terang untuk menetapkanhukuman
pidana tambahan yang berupa pencabutan hak politik kepada terdakwa dengan
harapan terwujudnya suatu kepastian hukum di tengah-tengah rakyat.
Harapannya agar pidana tambahan yang berupa dicabutnya hak untuk
dipilih dan hak untuk memilih (hak politik) tidak dilihat seperti penjatuhan pidana
yang tidak sembarangan, dan dapat memberikan efek jera untuk setiap orang yang
melakukan kejahatan, khususnya untuk mereka yang divonis pidana yang diancam
dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Sehingga, penting untuk dilakukannya
revisi terhadap jangka waktu pencabutan hak dan mulai berlaku pencabutan hak
dapat dijalankan pada hari putusan hakim seperti yang telah tertulis pada pasal 38
ayat (2) KUHP pidana. Terkhusus mengenai mulai berlakunya pencabutan hak-hak
tertentu dapat dijalankan pada hari putusan hakim bagi terpidana yang dijatuhi
pidana pokok.

Anda mungkin juga menyukai