Anda di halaman 1dari 16

Legal Opinion

Tinjauan Hukum Penyalahgunaan Wewenang Oleh


Menteri Sosial dalam Kasus Korupsi Dana Bansos
Covid-19

Dosen Pengampu :
Muhammad Syaiful Anwar S.H.,LL.M

DISUSUN OLEH :
Nama : Dita Millennia Mahendra
Kelas : Hukum 3B
NIM : 4012011091
Jurusan : Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG
TAHUN 2021
A. KASUS POSISI (Statement of Facts)
Penyalahgunaan wewenang oleh pejabat sudah lama dan melekat
bagai kanker di pemerintahan Indonesia. Pada umumnya penyalahgunaan
wewenang oleh pejabat anatara lain memanfaatkan kesempatan selama
menjabat untuk mengisi kantong- kantong pribadi maupun untuk
menguntungkan sekelompok atau golongannya. Kalangan pejabat
pemerintahan ini di Indonesia menempati posisi teratas sebagai pelaku
penyalahgunaan wewenang, baik di pemerintahan pusat maupun
pemerintahan daerah.
Elwi Danil dan Iwan Kurniawan mengnyatakan bahwa, “Nowadays,
corruption is still the most and biggest problem facing by Indonesian, due
to its impacts on the nation”.1 (Saat ini, korupsi masih merupakan masalah
terbesar yang dihadapi Indonesia karena berdampak terhadap bangsa).
Chengzhi Yi menyatakan, bahwa masalah korupsi dan pemerintahan
menjadi masalah penting dan menarik perhatian publik 2 dan telah menjadi
urusan internasional.
Kasus korupsi dana bantuan sosial Covid19 yang membawa nama
Menteri Sosial Juliari Batubara sudah mencapai tahap keputusan. Majelis
Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta telah memutuskan bahwa pelaku
korupsi yaitu Mensos dijatuhi sanksi pidana penjara selama 12 tahun serta
denda Rp 500 juta subside 6 bulan kurungan. Sanksi pidana tambahan
yaitu membayar uang ganti rugi sebesar Rp 14,5 miliar dengan ketentuan
bila tidak dibayar paling lama satu bulan setelah perkara ini berkekuatan
hukum tetap, maka harta benda terpidana dirampas untuk menutupi
kerugian keuangan negara tersebut dan apabila harta bendanya tidak
mencukupi untuk membayar biaya pengganti, maka diganti dengan pidana
penjara selama 2 tahun dan dicabut hak politiknya untuk menduduki
jabatan publik selama 4 tahun setelah selesai menjalani pidana pokok.

1
Elwi Danil & Iwan Kurniawan. Optimizing Confiscation of Assets in Accelerating the Eradication
of Corruption, Halrev Volume 3 Issue.p.67-76
2
Chengzhi Yi, 15 April 2015, Dan Hough (ed): corruption, anti-corruption and governance, Crime
Law Soc Change, Springger, p.285–293

2
Masyarakat Indonesia masih tidak puas dengan kasus ini.
Ketidakpuasan itu dikarenakan harapan masyarakat yang tinggi terhadap
penanganan perkara korupsi bansos ini. Permasalahannya yaitu, tuntutan
dan putusan pidana mati atau seumur hidup yang diharapkan publik
belum terwujud. Dan kehebohan kasus ini ini ditambah juga dengan
pertimbangan hukum Hakim terhadap alasan peringan pidana, yaitu
perpidana sudah menderita dengan adanya hinaan dan cacian di
masyarakat. Keputusan ini sesuai dengan pertimbangan hakim dari hasil
pledoi yang dibuat oleh terpidana.
Berkaca pada fenomena yang sedang terjadi ini, harapan
masyarakat sekarang ada pada Majelis Hakim. Hal ini merupakan
harapan publik pada hakim yang bekerja progresif. Konsep pemikiran
yang progresif dalam ruang lingkup hukum yaitu hukum untuk keadilan
manusia dan bukan manusia untuk hukum. Atas dasar latar belakang itu,
penulis akan menulis legal opinian, yaitu Tinjauan Hukum
Penyalahgunaan Wewenang Oleh Menteri Sosial dalam Kasus Korupsi
Dana Bansos Covid-19 . Dengan tulisan ini diharapkan dapat memberikan
pencerahan kita tentang konsep hukum tindak korupsi serta kelemahnnya

B. RUMUSAN MASALAH (Problem Statement)


Seperti yang telah kita ketahui Dalam kasus dan bansos ini dalam
perkembangan pelaku-pelaku tindak pidana korupsi memiliki jabatan
melekat dengan kekuasaan, untuk itu diperlukan suatu kesadaran sosial
dalam memerangi pidana tindak korupsi yang melibatkan semua yang ada
mulai dengan aparat penegak hukum, birokrasi dan anggota masyarakat
untuk saling membantu dan mengingatkan serta perlu dilakukan
pendekatan untuk perubahan dengan cara kriminologi, sosiologi, dan
yuridis formal.
Maka penulis ingin menyajikan hasil penelitian tentang
penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah dan
pertanggungjawaban hukum pejabat pemerintahan terhadap

3
penyalahgunaan wewenang dalam lingkup tugas dan kewenangan
pejabat pemerintahan serta konsep hukum penyalahgunaan wewenang
oleh pejabat pemerintah.
1) Apa saja penilaian dasar hukum kesalahan menteri sosial dalam
penyalahgunaan wewenang dalam korupsi dana bansos ?
2) Bagaimana proses hukum administrasi tindak korupsi dana
bansos, apakah sesuai hukumannya dengan hukum administrasi
yang berlaku ?
3) Apa sanksi yang pantas diterima oleh menteri sosial yang telah
melakukan tindak korupsi dana bansos?

C. DASAR HUKUM (Applicable Laws)


Penyalahgunaan wewenang merupakan pemakaian wewenang oleh
Badan atau Pejabat Pemerintahan dalam membuat dan mengambil
keputusan serta tindakan dalam menyelenggarakan atau melaksanakan
tugasnya sebagai badan atau pejabat pemerintahan yang dilakukan
dengan melewati kewenangannya, mencampuradukkan wewenang, dan
bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan.3
Penilaian unsur penyalahgunaan wewenang oleh Menteri Sosial
adalah permintaan tertulis kepada Pengadilan untuk menilai ada atau
tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan.
Jika jelas melakukan unsur tersebut maka badan atau pejabat
pemerintahan diminati pertanggungjawaban hukum yang berlaku di
Republik Negara Indonesia.
Teori Pertanggungjawaban Hukum Tindak Korupsi
Salah satu tujuan hukum Indonesia adalah menciptakan masyarakat
adil dan makmur dan negara tidak hanya memelihara ketertiban
masyarakat, tetapi negara berkewajiban dan turut serta memajukan

3
http://www.ptun-denpasar.go.id/page/read/93 diakses pada tanggal 09-11-2021

4
kesejahteraan masyarakat. Di samping menjalankan tugas pemerintahan,
terkait adanya pemberian wewenang dari pemerintah kepada pejabat
pemerintahan berdasarkan ketentuan perundang-undangan, baik dalam
bentuk undang-undang, maupun peraturan pelaksanaannya dalam rangka
pelayan publik. Karenanya. pejabat pemerintahan mengemban tugas
negara yang khusus di lapangan penyelenggaraan kepentingan umum
untuk mencapai masyarakat adil dan makmur, merata material serta
spritual yang merupakan tugas servis publik. 4
Jika hukum mengatur tindakan manusia, maka hukum hanya
bermakna bagi orang-orang yang dapat melakukan tindakan, baik sebagai
tindak pidana atau sebagai sanksi, baik melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu. Secara hukum, kemampuan bertindak utamanya
adalah kemampuan melakukan hubungan hukum serta kemampuan untuk
mempengaruhi prosedur yudisial melalui tuntutan atau banding. 5
Pada pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig
ada dua teori yang melandasinya yaitu:
a) Teori fautes personalles,
Menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan
kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan
kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada
manusia selaku pribadi.
b) Teori fautes de services,
Menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan
pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini
tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam
penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah
kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau

4
Sjachran Basah, 1989, Eksitensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia,
Alumni, Bandung, hlm,12.
5
Jimly Asshiddiqie,2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi, Jakarta, hml .79.

5
kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan
berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung. 6
Berdasarkan uraian di atas, pertanggung jawab hukum dalam
penyalagunaan wewenang oleh Menteri sosial dalam kasus korupsi dana
bansos bersumber pada tujuan hukum pidana dan tujuan hukum
administrasi negara, dan di sisi lain terkait dengan karakter hukum pidana
dan hukum administrasi negara.

Teori Fungsi Hukum


Ada pun fungsi hukum itu meliputi fungsi kontrol sosial, fungsi
menyelesaikan perselisihan, fungsi memadukan, fungsi memudahkan,
fungsi pembaharuan, fungsi kesejahteraan dan lain-lain. 7
Menurut Bernard Arief Sidharta ada dua fungsi hukum, yakni;
Pertama, hukum mengemban fungsi ekspresif yaitu mengungkapkan
pandangan hidup, nilai-nilai budaya dan nilai keadilan. Kedua, hukum
mengemban fungsi instrumental yaitu sarana untuk menciptakan dan
memelihara ketertiban, stabilitas dan prediktabilitas, sarana untuk
melestarikan nilai-nilai budaya dan mewujudkan keadilan, sarana
pendidikan serta pengadaban masyarakat dan sarana pembaharuan
masyarakat (mendorong, mengkanalisasi dan mengesahkan perubahan
masyarakat).8 Sementara menurut Sjachran Basah ada lima fungsi hukum
dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Singkatnya, hukum
memiliki banyak fungsi.9 Bahkan hukum dapat berfungsi sebagai
instrument politik,10 tetapi patutlah dikemukakan pendapat Talcott Parson
yang disitir Akil Muctar, bahwa fungsi utama suatu sistem hukum itu
6
Ridwan H,R, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo, Jakarta, hlm.335-337
7
Hikmahanto Juwana, Patutkah ... op.cit.
8
Bernard Arief Sidharta, 2000. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar maju, Cet. II,
Bandung, hlm.189 77 Lebih jauh lihat Sjacharan Basah,1992, op.cit, hlm.9
9
Hikmahanto Juwana, Juni 2004. Hukum Sebagai Instrumen Politik: Intervensi Atas Kedaulatan
Dalam Proses Legislasi di Indonesia, Gagasan dan Pemikiran Tentang Pembaharuan Hukum
Nasional Volume II Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, Jakarta, hlm.57.
10
Ibid

6
bersifat integrative, artinya untuk mengurangi unsur-unsur konflik yang
potensial dalam masyarakat dan untuk melicinkan proses pergaulan
sosial. Dengan mentaati sistem hukum, maka sistem interaksi sosial
berfungsi dengan baik, tanpa kemungkinan berubah menjadi konflik
terbuka atau terselebung yang kronis. 11

D. ANALISA HUKUM (Law Analysis)


Kasus Menteri Sosial dalam penyalahgunaan wewenang yaitu korupsi
dana bantuan sosial covid19 telah mencakup penyalahgunaan wewenang
dalam hukum administrasi yang dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud,
yaitu:
a) Telah melakukan penyalahgunaan kewenangan jabatan sebagai
Menteri Sosial karena telah melakukan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk
menguntungkan kepentingan pribadi atau golongan;
b) Telah melakukan penyalahgunaan kewenangan tindakan sebagai
pejabat pemerintahan ditujukan untuk kepentingan umum yaitu
menyalurkan dana bantuan sosial kepada masyarakat yang terkena
imbas Covid 19, tetapi menyimpang dari tujuan kewenangan yang
diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya,
yaitu mengambil yang bukan haknya sebagai pejabat pemerintahan
sehingga merugikan negara maupun warga Negara Indonesia;
c) Telah melakukan penyalahgunaan kewenangan sebagai Menteri
Sosial denagn menyalahgunakan prosedur yang seharusnya
dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu yaitu
mensejahterahan dan meringankan beban rakyat yang terkena
imbas Covid 19, tetapi telah menggunakan prosedur lain dengan
menguntungkan diri pribadi dan kelompoknya agar terlaksana.
Berdasarkan hal diatas, konsep penyalahgunaan wewenang
dalam Hukum Adiministrasi Negara dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

11
Akil Muctar, op.cit, hlm.51-52

7
a) Detournement de pouvoir (wewenang/batas kekuasaaan )
Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia yang menjelaskan bahwa unsur
dari suatu tindakan administrasi point kedua telah terpenuhi yaitu:
“yang melampaui wewenang, atau menggunakan wewenang
untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut,
atau termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam
penyelenggaraan pelayanan publik”12
b) Abuse de droit (sewenang-wenang)
“abus de droit” (sewenang-wenang), adalah tindakan pejabat
pemerintahan yang tidak cocok dengan tujuan dari ruang lingkup
ketentuan perundang-undangan yang ada. Pernyataan ini
memeiliki arti bahwa untuk menilai ada tidaknya
penyalahgunaan wewenang oleh menteri sosial dengan
melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang
tersebut diberikan (asas spesialitas).

Prosedur atas Penyalahgunaan wewenang oleh pejabat


pemerintah
Dalam Pasal 17 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU 30/2014”) disebutkan:
Pasal 17
1. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang
menyalahgunakan Wewenang.
2. Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a) larangan melampaui Wewenang;
b) larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau
c) larangan bertindak sewenang-wenang.
Pasal 18

12
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia

8
1. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui
Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
huruf a apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
a) melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya
Wewenang;
b) melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang; dan/atau
c) bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan
mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (2) huruf b apabila Keputusan dan/atau Tindakan
yang dilakukan:
a) di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang
diberikan; dan/atau
b) bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan.
3. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak
sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(2) huruf c apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang
dilakukan:
a) tanpa dasar Kewenangan; dan/atau
b) bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap.

Kelebihan dan Kelemahan Hukum Administrasi


Penyalahgunaan wewenang Tundak Korupsi Dana Bansos
Pasal 21 UU 30/2014 mengatur tentang kewenangan PTUN
untuk menilai ada atau tidak adanya unsur penyelahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintah. Ini adalah
kewenangan baru bagi PTUN.13 Melihat situasi demikian, Mahkama

13
M. Ikbar Andi Endang, 2017, Rasio Hukum Pengujian Penyalahgunaan Wewenang
Berdasarkan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan,

9
Agung mengatasinya dengan mengeluarkan Perma 4/2015 sebagai
pedoman beracara dalam penilaian unsur penyalahgunaan
wewenang.
Hal ini menjadi keuatan hukum administrasi dalam hal
penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah sebagai
hukum yang mengikat.
Adapun kelemahan dalam penilaian unsur penyalahgunaan
wewenang, antara lain:
a) Permohonan
Penyalahgunaan wewenang yang diatur dalam UU 30/2014
termasuk kajian HAN14 sehingga hukumnya bersifat publik. Namun
demikian, hukum fomil dari HAN bersifat privat, karena
menyerahkan sepenuhnya inisiatif penegakan hukum materiilnya
kepada pihak yang merasa dirugikan, sebagaimana sudah
dipraktikkan dalam hukum acara PTUN sejak lama. 15 Sehingga,
pencari keadilan yang akan berperkara di PTUN haruslah
mengajukan gugatan terlebih dahulu, dan bukan mengajukan
permohonan.
Karena hukum acaranya bersifat privat, maka hukum
acaranya mirip sekali dengan hukum acara perdata. Oleh karena
itu, hukum acara perdata sangat relevan untuk dimanfaatkan untuk
mengkaji kelemahan hukum acara dalam penilaian unsur
penyalahgunaan wewenang.
Penggunaan istilah permohonan dalam beracara dalam
penilaian unsur penyalahgunaan wewenang adalah tidak tepat,
karena pada dasarnya penilaian unsur penyalahgunaan wewenang
memiliki kandungan sengketa, sehingga lebih tepat menggunakan

Lampung: Aura Publishing, Hal 70


14
Hukum Administrasi Negara
15
R. Wiyono, 2018, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Sinar
Grafika, Hal 55

10
istilah gugatan. Dengan menggunakan gugatan, maka ada pihak
tergugat yang harus diberi kesempatan untuk menanggapinya.
Oleh karena itu, kelemahan pertama yang ditemukan adalah perlu
diadakan penambahan satu pihak, yaitu pihak tergugat.
Beracara dalam penilaian unsur penyalahgunaan wewenang
akan lebih tepat jika dimulai dengan mengajukan gugatan, bukan
mengajukan permohonan, sebagaimana mengikuti hukum acara
PTUN selama ini yang menggunakan gugatan. Ditambah lagi,
penilaian unsur penyalahgunaan wewenang memiliki kandungan
sengketa di dalamnya, yang mana ada pejabat/badan pemerintah
yang tidak terima atas hasil pengawasan aparat pengawasan intern
pemerintah.
Dalam undang-undang tidak dijelaskan pengertian hasil itu
dalam bentuk apa, tetapi kalau melihat kelaziman dalam praktik
berpemerintahan, tentu bentuk dari hasil itu adalah suatu
keputusan tertulis (beschikking). Artinya, kalau memang objek
sengketa dalam HAPUPW16 itu adalah suatu keputusan dalam
artian beschikking, maka sengketa penilaian unsur penyalahgunaan
wewenang tidaklah berbeda dengan hukum acara PTUN. 17
b) Para Pihak
Hanya satu pihak dalam beracara penilaian unsur
penyalahgunaan wewenang, yaitu pemohon. Kalau memang cukup
satu pihak saja, maka seharusnya produk yang dihasilkan oleh
hakim setelah mengadili adalah penetapan, bukan putusan. Tetapi,
pada kenyataannya, produk yang dihasilkan adalah putusan.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, perkara penilaian unsur
penyalahgunaan wewenang sebenarnya perkara yang
mengandung sengketa, sehingga lebih tepat jika pengajuan

16
Hukum Acara Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang

Zairin Harahap, 2018, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Rajawali Press,
17

Hal 22

11
perkaranya berdasarkan gugatan. Kalau toh, memang sudah diatur
harus berdasarkan permohonan, maka setidaknya dibukalah
kesempatan bagi pihak termohon.
Perlu diingat, salah satu asas hukum acara adalah “hakim
mendengar kedua belah pihak”. Artinya, pihak lawan, yaitu aparat
pengawasan intern pemerintah, diberi kesempatan untuk
menanggapi permohonan/gugatan, sehingga kedudukannya
dijadikan sebagai termohon/tergugat. Dengan demikian, hakim bisa
menilai secara berimbang dan objektif.
Selain perlunya termohon/tergugat dimasukkan dalam
perkara, pihak ketiga yang merasa berkepentingan, seyogyanya
diberi kesempatan juga untuk masuk dalam perkara. Yang
namanya badan/pejabat pemerintah, diberi wewenang tentu tujuan
utamanya adalah untuk melayani rakyat. Nah, apabila ternyata
dalam melaksanakan wewenang tersebut dinyatakan ada unsur
penyalahgunaan, lalu diuji oleh PTUN, maka rakyat, perlu diberi
kesempatan untuk masuk dalam perkara dalam rangka membela
kepentingannya. Rakyat ini bisa diartikan perseorangan atau
kelompok dalam bentuk LSM18 atau organisasi kemasyarakatan.
c) Putusan
Penggunaan istilah putusan sudah tepat, jika pihak lain
(termohon/tergugat) diberi kesempatan untuk masuk ke dalam
perkara. Akan tetapi, istilah putusan menjadi tidak tepat jika pihak
lain tidak ada, sehingga HAPUPW akan lebih tepat bila
menggunakan istilah penetapan. Karena, dengan tidak
dimasukannya pihak lain, maka perkara tersebut dipandang tidak
memiliki kandungan sengketa, sehingga lebih tepat apabila
menggunakan istilah penetapan.
Akan tetapi, jika istilah penetapan tetap dipakai maka akan
semakin tidak tepat, karena salah satu amarnya bersifat

18
Lembaga Swadaya Masyarakat

12
kondemnatoir, lihat Pasal 17 huruf b, yaitu “….. Memerintahkan
kepada negara untuk mengembalikan kepada pemohon uang yang
telah dibayar.” Sehinga, sebagaimana dikatakan pada paragraf
awal, pada dasarnya penggunaan istilah putusan sudahlah tepat,
karena memang salah satu isi amarnya bersifat kondemnatoir.
Amar putusan yang bersifat kondemnatoir itu akan lebih pas
jika aparat pengawasan intern pemerintahan dimasukkan sebagai
tergugat/termohon, agar dirinya bisa melakukan
tanggapan/bantahan atas permohonan yang diajukan pihak
pemohon. Sehingga putusan akan menjadi objektif dan memenuhi
rasa keadilan. Kalau toh nanti pihak termohon kalah dan dihukum
berdasarkan putusan, setidaknya pihak termohon memiliki
keyakinan argumentatif bahwa kekalahannya itu sudah adil, karena
dilalui dengan proses peradilan yang objektif.

Delik penyalahgunaan wewenang Menteri Sosial ini terutama dalam


hal tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 3 UU PTPK, yang
menyatakan:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau
denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Sedangkan, Pasal 3 UU PTPK telah dijelaskan bahwa deliknya
antara lain:
a) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi;

13
b) menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
c) Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara (K. Wantjik Saleh, 1983:51).
Dan pada akhirnya Hakim telah menjatuhkan hukuman kepada
Menteri Sosial Juliari membayar uang pengganti sebesar Rp14,5 miliar
subsidair 2 tahun penjara dan pencabutan hak politik berupa dipilih dalam
jabatan publik selama empat tahun usai terdakwa menjalani pidana pokok.
Meskipun seharusnya semua lapisan warga Indoneisa berharap hukuman
haruslah lebih berat karena menyangkut dana bantuan sosial covid 19
yang merupakan berkaitan dengan kesehatan dan nyawa banyak rakyat.
Sejak 1999 (pasca Reformasi) UU Pemberantasan Tipikor dibentuk
dan KPK sebagai lembaga independen dibentuk, belum terdapat subjek
hukum yang dijatuhi sanksi pidana mati atas kasus korupsi. Bisa
dibandingkan dengan kasus terorisme dan penyalahgunaan narkotika
sudah banyak pelaku yang dijatuhi sanksi pidana mati.
Jika dicermati, sanksi pidana mati di dalam UU Tipikor hanya
tercantum pada Pasal 2 ayat (2). Norma tersebut jika dilihat dari perspektif
ilmu hukum pidana, termasuk dalam kategori delik pemberatan (delict
qualificier). Syarat suatu delik termasuk delik pemberatan, yakni
ancamannya lebih berat dari delik umumnya dan harus ada syarat khusus
yang harus terpenuhi. Syarat khusus yang dijadikan dasar dalam konteks
UU Tipikor yakni adanya "keadaan tertentu".
UU Tipikor memberikan penjelasan lebih lanjut terkait pengertian dari
"keadaan tertentu" itu. Misalnya, waktu negara dalam keadaan bahaya,
waktu terjadi bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi,
dan pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Jika
melihat dari batasan pengertian yang diberikan oleh UU Tipikor itu, maka
masa pandemi Covid-19 ini sudah memenuhi syarat akan hal itu, yakni
termasuk dalam bencana alam nasional dan/atau terjadi krisis ekonomi
dan moneter.

14
E. KESIMPULAN (Conclusion) dan PENUTUPAN (Clossing)
Dari hasil pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat
penulis simpulkan bahwa :
a) Penyalahgunaan wewenang korupsi dana Bansos oleh Menteri
Sosial merupakan pemakaian wewenang oleh Pejabat
Pemerintahan dalam membuat dan mengambil keputusan serta
tindakan dalam menyelenggarakan atau melaksanakan tugasnya
sebagai badan atau pejabat pemerintahan yang dilakukan
dengan melewati kewenangannya, mencampuradukkan
wewenang, dan bertindak sewenang-wenang
b) Kekuatan hukum administrasi dalam hal penyalahgunaan
wewenang oleh Menteri Sosial sebagai hukum yang mengikat
dengan adanya keputusan Mahkama Agung Perma 4/2015
sebagai pedoman beracara dalam penilaian unsur
penyalahgunaan wewenang. Ada 3 kelemahan yang penting
dalam pedoman penilaian unsur penyalahgunaan wewenang
tindak korupsi dan bansos tersebut, antara lain permohonan, para
pihak, putusan.
c) Konsep hukum Delik penyalahgunaan wewenang pejabat
pemerintah terutama dalam hal tindak pidana korupsi diatur
dalam Pasal 3 UU PTPK
Dengan adanya payung hukum yang telah disahkan oleh pemerintah
mengenai penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah
diharapkan adanya kehati-hatian oleh pejababt pemerintah dalam
menjalankan tugsanya serta dalam mengambil keputusan dan tidak
melampaui atau mencampur adukkan wewenangnya sebagai pejabat
pemerintah. Agar segala tugas pemerintahnya dapat berjalan dengan baik
demi Negara Republik Indonesia yang lebih baik serta tidak merugikan
warga negara Indonesia.

15
Demikianlah legal Opinian ini saya sampaikan. Semoga tulisan legal
opinian ini dapat memberikan informasi mengenai konsep hukum
penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan.

16

Anda mungkin juga menyukai